Anda di halaman 1dari 8

IMPLIKASI UU PRAKTIK KEDOKTERAN TERHADAP RUMAH SAKIT, DOKTER, MAHASISWA DAN RESIDEN

Oleh Sofwan Dahlan


BERBICARA tentang praktik kedokteran, sebetulnya sudah banyak diatur dalam berbagai produk perundang-undangan; antara lain UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, PP No. 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan dan PP No. 1 Tahun 1988 Tentang Ijin Praktek. Disamping itu masih ada lagi peraturan dalam bentuk Permenkes, yang sering dipersoalkan dari aspek yuridisnya. Kekurangan dari peraturan-peraturan tersebut diatas adalah belum mampu menjawab semua tantangan dan persoalan yang muncul berkaitan dengan pelaksanaan praktek kedokteran, belum terintegrasi dengan baik, belum jelas bentuk pengaturan serta pengawasannya dan belum optimal dalam memberdayakan potensi profesi serta institusi yang terkait. Sementara itu, perubahan demi perubahan terus terjadi didalam masyarakat, sehingga sekarang masyarakat menjadi: 1. Semakin materialistis dan hedonistis. 2. Semakin memahami hak-haknya, namun sayangnya kurang diimbangi oleh peningkatan pemahaman mengenai logika medis dan logika hukum, sehingga akibatnya semua bentuk adverse event digeneralisasi sebagai kasus malpraktek. (Adverse event adalah kejadian tak sesuai harapan yang lebih disebabkan oleh intervensi medis daripada oleh penyakitnya sendiri dan bersifat injury). 3. Semakin litigious (gemar menuntut dan menggugat rumah sakit atau dokter). 4. Smakin memandang dokter bukan sebagai partnership dalam mengatasi problem kesehatannya. 5. Semakin menerima konsep Hak Asasi Manusia sebagai acuan bagi penentuan kebijakan dibidang sosial dan hukum 6. Semain tinggi penghargaannya terhadap prinsip-prinsip konsumeris-me, antara lain prinsip he who pays the piper calls the tune (siapa membayar pengamen suling maka dialah yang menentukan nadanya atau lagunya). Dunia kedokteran sendiri, dalam beberapa dekade belakangan ini, juga mengalami berbagai perubahan yang cukup berarti, antara lain: 1. Bertambah pesatnya kemajuan ilmu dan teknologi (sebagai akibat berubahnya dunia kedokteran menjadi research oriented) sehingga memunculkan medical paradoxes (yaitu apa yang dahulu mustahil sekarang menjadi mungkin dan apa yang dahulu dianggap asymptomatic medical condition dan risk sekarang dianggap sebagai penyakit sehingga akibatnya semakin sulit membedakan illnesses dan non-illnesses) serta munculnya technological compulsion (if we can do, let do it). 2. Terjadi pergeseran nilai akibat conceptual transformation dari teknologi maju serta munculnya the slippery slope argument guna dijadikan alasan pembenar bagi tindakan medis yang ethically questionable. 3. Sikap paternalistik dalam hubungan terapetis mengalami degradasi. 4. Adanya intervensi konsep-konsep hukum dalam praktek kedokteran. 5. Prinsip-prinsip konsumerisme mulai mengganggu otonomi profesi. Pasienpun sekarang ini menurut Timothy Low (2004) sudah banyak berubah, antara lain menjadi:

1. More educated. 2. Easy access to information through inter-net. 3. Lifestyle change. 4. Looking for value. 5. Demands and expectations different. Hal-hal inilah yang kemudian melandasi pemikiran akan perlunya disusun UU Praktik Kedokteran yang lebih terintegrasi dan menyeluruh, lebih memperjelas aspek pembinaan dan pengawasan, lebih mempertegas aspek kepastian dan perlindungan hukum serta lebih memberdayakan semua potensi yang terkait (termasuk organisasi profesi). Oleh sebab itu kehadiran UU Praktek Kedokteran patut disambut dengan rasa gembira (terlepas dari kekurangan-kekurangannya) mengingat fungsinya yang amat penting dalam menciptakan praktik kedokteran yang berkualitas, aman, tertib dan teratur sehingga diharapkan mampu melindungi semua pihak. Masyarakat sebagai pengguna layanan medis (yang tentunya awam tentang masalah kedokteran) harus dilindungi kepentingan serta hak-haknya dan dokter sebagai pemberi layanan kesehatan juga perlu dilindungi martabat, kehormatan dan sekaligus hak-haknya. Kesemuanya ini akan dapat terwujud apabila UU Praktik Kedokteran itu sendiri mampu menghadirkan nilai-nilai yang dapat memberi efek perlindungan bagi semua pihak; antara lain nilai keadilan, keseimbangan, kejujuran, moralitas, kepastian, kemanfaatan dan sebagainya. Sejauh mana UU Praktik Kedokteran yang baru disahkan tersebut memenuhi nilai-nilai tadi, ada baiknya kita kaji kembali secara seksama, sebab banyak kalangan LSM Kesehatan yang menilai UU Praktek Kedokteran lebih banyak menguntungkan para dokter dan dokter gigi ketimbang masyarakat Benarkah penilaian mereka? Apakah justru tidak sebaliknya, yakni sangat merugikan para dokter dan dokter gigi? Lalu bagaimana halnya dengan pelaku pengobatan alternatif (kedokteran tradisional) yang samasekali tidak tersentuh oleh UU Praktek Kedokteran (baik dari aspek pengaturan, pengawasan dan pembinanaannya) sehingga undang-undang ini terkesan menganakemaskan mereka dan menganaktirikan kalangan medis? SEKILAS SEPUTAR UU PRAKTEK KEDOKTERAN Tanpa mengurangi sedikitpun hormat saya atas jerih payah semua pihak yang terlibat dalam penyusunan dan pengesahan UU Praktek Kedokteran, dengan jujur saya katakan bahwa ada banyak kekurangan dan kesalahan (sebagiannya merupakan kesalahan yang tak terampuni) yang terdapat dalam UU Praktek Kedokteran. Kekurangan dan kesalahan dari UU Praktek Kedokteran tersebut antara lain: 1. Materinya terlalu teknis. Mestinya hanya esensialianya saja, sedangkan hal-hal teknis sebaiknya diatur didalam peraturan pelaksanaan. Memang tidak bisa disalahkan jika maunya lembaga legislatif membuat undang-undang seperti itu, akan tetapi harus disadari bahwa undang-undang yang terlalu teknis akan menjadikan undang-undang itu rigid dan rentan terhadap perubahan tak prinsipiel sehingga akibatnya tidak tahan lama. Satu hal lagi yang perlu saya ingatkan kepada semua pihak adalah bahwa dengan diundangkannya UU Praktek Kedokteran maka hal ini merupakan preseden buruk mengingat ide ketika UU Kesehatan dirancang adalah untuk menyatukan berbagai aturan di bidang kesehatan yang tersebar (diversifikasi) di berbagai produk perundang-undangan (UU Tentang Pokok-Pokok Kesehatan, UU Tenaga Kesehatan, UU Kesehatan Jiwa, UU Farmasi, UU Kesehatan Kerja, UU Higiene dan Sanitasi, UU Wabah dan masih banyak lagi). Mestinya tentang praktek kedokteran (juga tentang Sarana Kesehatan termasuk rumah sakit) diatur saja dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana diamanatkan oleh UU Kesehatan. Dengan diundang-kannya UU Praktek Kedokteran (rencananya juga

UU Rumah Sakit) maka apa yang sudah berhasil disatukan kedalam UU Kesehatan, dipecah-pecah kembali seperti sediakala. 2. Definisi Praktik Kedokteran menimbulkan pertanyaan. Rumusan definisi praktek kedokteran tidak menggambarkan amalan perobatan dalam arti luas sebagaimana dimaksud dalam UU Kesehatan (yaitu boleh menggunakan ilmu kedokteran atau menggunakan cara lain yang bertanggungjawab) walaupun penulis sadar bahwa suatu definisi yuridis memang dapat dirumuskan dalam berbagai versi sesuai perspektif pembuat definisi (dalam hal ini adalah lembaga legislatif). Hanya saja definisi yuridis Praktek Kedokteran sebagaimana dirumuskan dalam UU Praktek Kedokteran memiliki konsekuensi hukum yang jauh berbeda dengan definisi yuridis dari kebanyakan negara-negara lain. Di Florida misalnya, praktek kedokteran (medical practice) didefinisikan sebagai berikut: Any person . shall be deemed to be practicing medicine . who holds himself out as being able to diagnose, treat, operate or prescribe for any human disease, pain, injury, deformity or physical condition, or who shall offer or undertake by any means or methods, to diagnose, treat, operate or prescribe for any human disease, pain, injury, deformity or physical condition. The exclusions usually refer to type of activities, such as the administration of home remedies, treatment by prayer or spiritual means. Berdasarkan definisi seperti tersebut diatas maka siapapun (any person) yang melakukan amalan yang mengandung essensi mengobati orang sakit maka ia, di Negara bagian Florida, dapat dikatagorikan melakukan praktek kedokteran (medical practice) walaupun ia bukan seorang dokter ataupun dokter gigi. Hal seperti ini tidak berlaku disini karena definisi yuridis praktek kedokteran sudah dibatasi hanya apabila yang melakukan rangkaian kegiatan pengobatan adalah dokter atau dokter gigi. 3. Kurang ada sinkronisasi dengan UU Kesehatan yang masih berlaku, misalnya dalam hal terminologi & konsep. Sebagaimana diketahui bahwa dari Pasal 56 dan Pasal 59 UU Kesehatan dapat disimpulkan bahwa SIP (Surat Izin Praktek) merupakan ijin sarana kesehatan swasta tak berbadan hukum yang diselenggarakan oleh dokter atau dokter gigi, tetapi kenapa UU Praktek Kedokteran masih mensyaratkan SIP (disamping Surat Tanda Registrasi) bagi dokter yang kerja di rumah sakit, sehingga seolah-olah SIP merupakan lisensi. Perlu diluruskan kembali pemahaman kita, bahwa LISENSI merupakan personal privilege yang memberikan kewenangan melakukan suatu jenis amalan (yang biasanya dapat membahayakan apabila dilakukan oleh seseorang yang tidak mempunyai kompetensi). Kebijakan bahwa dokter harus memiliki lisensi merupakan kebijakan untuk melindungi kepentingan masyarakat, sehingga oleh karenanya merupakan ranah (subject matter) dari hukum publik. Adapun hakekat dari lisensi adalah merupakan dokumen yang merubah status hukum orang biasa yang tidak memiliki privilige (hak istimewa) menjadi seseorang yang memiliki privilege. Berdasarkan Pasal 29 ayat (3) dan Pasal 35 UU Praktek Kedokteran, lisensi dokter adalah Surat Tanda Registrasi (STR). Sementara SIP Dokter atau SIP Dokter Gigi merupakan surat ijin sarana kesehatan (lihat Pasal 56 dan Pasal 59 UU Kesehatan), sehingga hakekatnya, SIP merupakan dokumen yang merubah status hukum rumah biasa menjadi SARANA KESEHATAN. Kebijakan bahwa sarana kesehatan tak berbadan hukum yang diselenggarakan oleh dokter atau dokter gigi harus memiliki ijin merupakan subject matter dari hukum publik guna melindungi kepentingan masyarakat dari sarana kesehatan yang tak memenuhi syarat.

4. Kewenangan regeling (membuat peraturan) oleh lembaga independen. Pemberian kewenangan regeling (membuat aturan) kepada lembaga independen seperti Konsil Kedokteran Indonesia, akan menimbulkan keadaan dimana produk regeling tidak dapat lagi dikontrol oleh undang-undang. Mestinya untuk Konsil Kedokteran Indonesia dibuatkan peraturan tersendiri oleh institusi yang sepantasnya diserahi kewenangan mengatur, sementara konsil hanya melaksanakan misinya sesuai peraturan tersebut. 5. Ada hal-hal yang mestinya masuk subject matter hukum privat, namun pada kenyataannya diperlakukan sebagai subject matter dari hukum publik. Jika UU Praktek Kedokteran (juga UU Kesehatan) menyatakan bahwa orang yang hendak menjadi pengobat berlandaskan ilmu kedokteran harus memiliki kewenangan (baca: Lisensi atau STR) maka sebenarnya hal ini merupakan subject matter dari hukum publik karena ada kepentingan publik yang perlu dilindungi. Tetapi jika dokter sudah memiliki kewenangan (baca: memilik Lisensi atau STR) dan bermaksud bekerja sebagai profesional di salah satu rumah sakit maka mestinya ia tidak perlu lagi meminta ijin kepada otoritas kesehatan daerah (public bureaucrat) dalam bentuk SIP mengingat masalah hubungan antara dokter dan rumah sakit tersebut merupakan subject matter dari hukum privat. Apalagi menurut UU Kesehatan, SIP merupakan ijin sarana kesehatan tak berbadan hukum yang diselenggarakan swasta (dalam hal ini oleh dokter sendiri). Apa pertimbanganya sehingga untuk bekerja di rumah sakit harus membawa-bawa surat ijin sarana kesehatan pribadi? Sekarang semuanya terpulangkan kepada Menteri Kesehatan yang oleh UUPK diberi kewenangan membuat peraturan mendapatkan SIP dan Konsil Kedokteran Indonesia yang oleh UUPK diberi kewenangan regeling tentang lisensi. Saya hanya ingin mengingatkan bahwa pada abad 18 George Barkeley sudah mengatakan : Jangan mengaburkan kata dan bahasa karena hal itu akan sama artinya dengan meniup debu didepan mata sehingga di kemudian hari tidak akan dapat melihat sesuatu dengan jelas. Yang terjadi sekarang ini adalah persis seperti apa yang dikatakan oleh filosof tersebut. Kini kita tidak bisa lagi melihat dengan jelas apa bedanya lisensi dengan surat ijin praktik. Dan hal itu dimulai sejak sebutan lisenai dokter dirubah dari SID (Surat Ijin Dokter) menjadi SP (Surat Penugasan). Oleh sebab itu dalam rangka menyusun peraturan tentang SIP oleh Menteri Kesehatan dan peraturan tentang STR oleh Konsil sebagai tindak lanjut dari UUPK maka kedua institusi tersebut perlu meluruskan lebih dahulu konsep yang selama ini kabur, dengan menafsirkan UUPK secara cerdas dan cermat tanpa menafikan UU Kesehatan) agar para dokter terhindar dari kebingungan dan birokrasi yang berlebihan. Berkenaan dengan penggunaan lisensi (STR) untuk bekerja di banyak sarana kesehatan (RS) maka sudah sepantasnya dibatasi jumlahnya demi mutu safety. Pengawasannya dapat dilakukan oleh otoritas kesehatan daerah, tetapi bentuk pengawasannya cukup dengan menetapkan kewajiban kepada dokter maupun sarana kesehatan yang ketempatan untuk melapor. 6. Kebijakan kriminal yang dirumuskan dalam kebijakan legislatif mengundang pertanyaan & sangat memberatkan. Sebagaimana diketahui bahwa untuk tindak pidana diluar KUHP berlaku pula ketentuan umum. Mengingat konsekuensi yuridis materiel dan konsekuensi yuridis formil berbeda antara KEJAHATAN (fundamentally wrong) dan PELANGGARAN (legally wrong) maka seharusnya setiap tindak pidana dalam UU Praktek Kedokteran dikualifikasi sebagaimana halnya tindak pidana yang diatur dalam UU Kesehatan. Karena tidak dikualifikasi maka hakim harus bekerja keras membuat interpretasi sendiri mengenai kualifikasinya dan tentunya hal ini akan membuka peluang terjadinya interpretasi yang berbeda-beda untuk kasus yang sama.

Selain tidak disebut kualifikasinya, sanksinyapun menurut pendapat saya amat memberatkan para dokter dan dokter gigi. Dan beratnya hukuman tersebut mengingatkan saya kepada kedokteran di era Priestly Medicine (Mesir kuno dan Babilonia), yaitu hukuman potong tangan. SIKAP MENGHADAPI UU PRAKTEK KEDOKTERAN Undang-Undang Praktik Kedokteran dibuat karena ada kebutuhan masyarakat akan undangundang yang berkaitan dengan upaya di bidang kesehatan. Mengingat masyarakat itu sendiri terdiri dari berbagai macam golongan dan subsistem dengan hak dan kepentingannya masing-masing yang sering kali tidak searah atau bahkan saling bertentangan satu sama lain maka undang-undang (yang merupakan produk legislatif) harus berupaya mengadopsi kompromi-kompromi. Adanya m aksim dalam sosiologi hukum yang menyatakan bahwa tidak ada satupun undang-undang yang tidak cacat sejak dilahirkan merupakan maksim yang cukup rasional. Oleh sebab itu jika kita mengharapkan setiap undang-undang harus sempurna tanpa cacat, barangkali kita tidak akan pernah memiliki undang-undang di bidang apapun. Menurut Satjipto Rahardjo, guru besar sosiologi hukum Undip, bahwa kita tidak bisa menyerahkan begitu saja perjalanan suatu undang-undang (termasuk UU Praktik Kedokteran) hanya kepada hukum, apalagi hukum yang dijalankan secara normatif-dogmatis. Sebagai stakeholder yang berkepentingan, publik dan masyarakat bisa turut menjaga agar hukum yang cacat itu masih bisa diupayakan untuk berprestasi positif. Sejalan dengan apa yang dikatakan Holme (the life of the law has not been logic, but experience) dan apa yang dikatakan Karl Renner (the development of the law works out what is socially reasonable) maka debat tentang UU Praktik Kedokteran harus ditindaklanjuti dengan upaya agar UU Praktik Kedokteran bisa lebih memberikan rasa keadilan kepada masyarakat luas. Apa yang dikatakan Satjipto Rahardjo merupakan tantangan bagi semua pihak dalam mengoperasionalkan UU Praktek Kedokteran (merubah in abstracto menjadi in concreto); antara lain: 1. Pemerintah Pusat ketika hendak membuat Peraturan Pemerintah (PP). 2. Menteri Kesehatan saat menyusun Peraturan Menteri. 3. Konsil Kedokteran Indonesia ketika membuat peraturan tentang lisensi. 4. Pemerintah Daerah sewaktu merancang Perda yang berkaitan dengan perijinan menyelenggarakan sarana kesehatan perseorangan. 5. Penegak hukum ketika hendak melaksanakan law enforcement. Semua pihak yang disebutkan diatas harus mampu menafsirkan UU Praktek Kedokteran secara cermat sehingga mampu menghadirkan rasa keadilan kepada semua pihak tanpa menafikan undang-undang lainnya yang masih berlaku, utamanya UU Kesehatan. Bahwa undang-undang harus ditafsirkan menurut maksud si pembuat undang-undang memang benar, namun sejauh menyangkut UU Praktek Kedokteran, maksud si pembuat undang-undang tidak seluruhnya tertuang dalam bagian penjelasannya, sementara bunyi pasalnya sendiri ada yang tidak logis, tidak jelas konsepnya dan juga ada yang mengundang perdebatan. Oleh sebab itu untuk beberapa bagian dari UU Praktek Kedokteran tersebut perlu dilakukan penafsiran berdasarkan gramatikal, historis, restriktif, epikeia (semangat dari undang-undang), sosiologis, analogis dan bahkan penafsiran a contrario. Memang tidak ada salahnya samasekali jika terhadap undang-undang yang cacat diajukan untuk dilakukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi. Hanya saja yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa sampai sekarang ini tidak kurang dari 50 buah undang-undang sudah didaftarkan untuk diuji materi. Selain itu, Mahkamah Konstitusi tidak berwenang memperbaiki undang-undang. Perbaikan selanjutnya tetap menjadi kewenangan lembaga legislatif. Oleh sebab itu jalan terbaik yang harus ditempuh dalam rangka mensikapi UU Praktek Kedokteran adalah mengikuti

dahulu saran Satjipto Rahardjo, baru kemudian kita melobi lembaga legislatif agar dalam waktu yang tidak terlalu lama bersedia merevisi UU Praktek Kedokteran. IMPLIKASI UU PRAKTEK KEDOKTERAN Disediakannya tenggang waktu satu tahun (sejak UU Praktek Kedokteran diundangkan sampai masa berlakunya) diharapkan cukup waktu bagi pihak-pihak yang terkena implikasi untuk melakukan persiapan. A. Implikasi Terhadap Dokter. UU Praktek Kedokteran menimbulkan implikasi serta memiliki sanksi yang berat sehingga harus direspon secara baik oleh setiap dokter yang melakukan amalan perobatan, baik di sarana kesehatan maupun diluar sarana kesehatan; antara lain: 1. Harus memiliki sertifikat KOMPETENSI dari kolegium. 2. Harus memiliki STR (LISENSI) dari Konsil Kedokteran Indonesia. 3. Harus selalu MENJAGA kompetensinya dengan terus menerus mengikuti pendidikan berkelanjutan. (Untuk masalah ini mestinya tidak perlu ada sanksi pidana). 4. Harus memperbarui STR (LISENSI) yang habis masa berlakunya. 5. Harus punya SIP jika ingin praktik swasta perorangan. (Untuk kerja di Rumah Sakit mestinya SIP tidak perlu dibawa-bawa, cukup dengan STR saja). 6. Dalam menjalankan praktik harus selalu: a. Memenuhi Standar Pelayanan yang berlaku. b. Menjalankan prosedur Informed Consent yang benar. c. Melaksanakan manajemen Rekam Medis dengan baik. d. Menjaga Rahasia Kedokteran. e. Menghormati semua Hak Pasien. Kompetensi itu sendiri diartikan sebagai kondisi atau persyaratan agar dapat melaksanakan tugas dan menjalankan peran (the condition of being capable atau the capacity to perform task or role). Aspek-aspek yang harus dikuasai agar dapat melaksanakan tugas dan perannya sebagai seorang dokter menurut New South Wales Medical Board adalah: 1. Clinical judgment. 2. Medical knowledge. 3. Clinical skill. 4. Humanistic quality. 5. Communication skill. Dengan menguasai aspek-aspek tersebut diatas maka dokter akan dapat menjalankan perannya sebagai: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Medical Expert. Professional. Communicator. Health Advocate. Scholar. Collaborator. Manager.

Adalah menjadi tugas Kolegium untuk memahami masalah kompetensi ini mengingat tanggungjawabnya sebagai lembaga yang menurut UU Praktek Kedokteran diberi kewenangan menerbitkan Sertifikat Kompetensi. Pertanyannya sekarang ialah apakah masih diperlukan uji

kompetensi lagi bagi lulusan program studi spesialis yang sudah melaksanakan ujian akhir oleh Kolegium? Jawaban pertanyaan tadi terpulangkan pada aspek-aspek yang diujikan pada akhir studinya. Apabila materi ujian program studi spesialis sudah mencakup kelima aspek tersebut diatas maka tidak ada salahnya jika pada saat yang sama juga diterbitkan Sertifikat Kompetensi sekaligus Adapun mengenai Standar Pelayanan dapat saya kemukakan disini bahwa Standar Pelayanan diartikan sebagai tingkatan mutu yang mencerminkan telah diterapkannya ilmu, ketrampilan, pertimbangan dan perhatian yang layak, yang umumnya dilakukan oleh kebanyakan dokter dengan kualifikasi keahlian yang sama dalam menghadapi situasi dan kondisi yang sama pula (Hubert Smith). Jika standar pelayanan hendak dirumuskan dan dilegitimasi maka hendaknya pandai-pandailah dalam merumuskannya agar tidak menjadi bumerang bagi para dokter di daerah yang memiliki keterbatasan. Perumus harus pandai-pandai pula menjaring mana-mana yang merupakan hal essensial dan manamana yang tidak, serta mana-mana yang pokok dan mana-mana yang hanya bersifat tambahan. Oleh sebab itu jangan terlalu detail, tetapi cukup prinsip-prinsipnya saja. B. Implikasi Terhadap Rumah Sakit. UU Praktek Kedokteran juga memberikan implikasi kepada rumah sakit, antara lain: 1. Hanya boleh mempekerjakan dokter berlisensi (STR). Guna menjaga mutu safety, Konsil perlu membatasi jumlah penggunaan STR untuk bekerja di berapa Sarana Kesehatan. Tentunya dengan mempertimbangkan berbagai variabel (misalnya jenis lisensi yakni dokter umum atau spesialis, fungsinya yaitu sebagai consultant only atau consultant with management, kondisi daerah dan sebagainya). 2. Memberikan Clinical Privilege sesuai kompetensi yang dimiliki dokter. 3. Memfasilitasi agar dokter selalu melaksanakan layanan kesehatan sesuai standar pelayanan. 4. Melaksanakan : a. Manajemen Informed Consent yang benar. b. Manajemen Rekam Medik yang baik dan rapi. c. Manajemen Rahasia Kedokteran yang tertib. d. Manajemen Kendali Mutu (Audit Medik dsbnya). 5. Memfasilitasi terlaksananya semua Hak Pasien. 6. Melakukan tindakan korektif terhadap dokter yang pelanggaran. C. Implikasi Terhadap Residen. Perlu diketahui bahwa residen yang melakukan praktek pendidikan di suatu rumah sakit belum memiliki kompetensi spesialistis dan juga belum punya kewenangan spesialistis. Oleh karena itu belum berwenang melakukan amalan perobatan spesialistis. Tetapi bagi reside yang sudah punya STR Dokter Umum (sekarang SP Dokter Umum) maka ia hanya berwenang melakukan amalan perobatan yang bersifat umum saja (misalnya menangani pasien umum ketika mendapat tugas jaga di poliklinik atau UGD). Karena kewenangan spesialistis belum punya maka setiap tindakan spesialistis harus ada close supervision oleh pembimbing yang bertaggungjawab terhadap pasien. Kualifikasi pembimbing tentunya harus dokter yang berkompeten dan berwenang di bidangnya masing-masing. Guna mengurangi dampak hukumnya, menurut pendapat saya sebaiknya dalam perekrutan residen dipersyaratkan telah memiliki STR Dokter Umum sehingga residen tersebut sudah berwenang melakukan amalan perobatan yang bersifat umum. D. Implikasi Terhadap Mahasiswa.

Tentang implikasi UU Praktek Kedokteran terhadap mahasiswa, perlu saya tegaskan disini bahwa mahasiswa kedokteran belum memiliki kompetensi dan belum memiliki kewenangan melakukan amalan perobatan macam apapun. Oleh sebab itu masalah hukum menyangkut mahasiswa tergantung dari bentuk keterlibatannya, yaitu: 1. SECARA PASIF : Dalam hal ini mahasiswa hanya MELIHAT proses anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan proses terapi (termasuk operasi). Keterlibatan mahasiswa seperti ini masalah hukumnya hanyalah menyangkut keberadaannya ditengah-tengah proses layanan medis mengingat adanya hak pasien untuk menyetujui atau tidak menyetujui kehadiran orang lain selain dokter dan perawat. Tentunya hal ini dapat diatasi dengan meminta ijin kepada pasien sebab peraturan perundang-undangan mengenai rumah sakit pendidikan (yang melindungi keberadaan mahasiswa dalam proses pelayanan medis) belum ada. Di masa mendatang peraturan itu harus ada guna melindungi mahasiswa, pembimbing dan rumah sakit. 2. SECARA AKTIF : Keterlibatan mahasiswa yang menjalani pendidikan di rumah sakit yang bersifat aktif, antara lain: a. Melakukan pengobatan bersama-sama pembimbing. b. Melaksanakan execution atas decision (planning) yang dibuat oleh pembimbing. c. Membuat decision atau planning dan sekaligus melakukan execution. Keterlibatan mahasiswa seperti ini, utamanya keterlibatan sebagaimana disebutkan pada butir (2b) dan (2c) mengandung implikasi hukum yang agak komplek. Oleh sebab itu dalam mempekerjakan mahasiswa perlu memperhatikan ha-hal tersebut dibawah ini, yaitu: 1. Kepentingan pasien harus dinomersatukan, bukan pendidikan. 2. Prinsip kehati-hatian (strong precautionary principle) harus benar-benar dilaksanakan. 3. Hak-hak pasien harus dihormati. 4. Kualifikasi pembimbing harus dirumuskan. 5. Harus ada close spervision guna mencegah kesalahan serta untuk mengatasi adverse event atau adverse reaction yang secara tak terduga muncul. 6. Pembimbing harus mampu berperan sebagai captain of the ship. Melihat uraian tersebut diatas maka tampaknya peran dan fungsi Komite Medik menjadi sangat penting, antara lain: 1. Mengatur hak klinik (clinical privileges) dokter, residen dan mahasiswa. 2. Memperluas, mempersempit dan bahkan mencabut hak klinik. 3. Menetapkan tugas dan tanggungjawab pembimbing. 4. Menyusun persyaratan dan tatalaksana kepaniteraan klinik residen dan mahasiswa. SEMOGA BERMANFAAT. Jakarta, 21 Agustus 2005.

Anda mungkin juga menyukai