Anda di halaman 1dari 10

Tes Koagulasi pada Penyakit Hati Armando Tripodi, Ph.D Kata kunci: Sirosis. Perdarahan. Tes Koagulasi.

Pembentukan Thrombin. Fibrinolisis. Thromboelastografi. Prothrombin Time. Activated Partial Thromboplastin Time Sirosis hepatis ditandai dengan penurunan kemampuan fungsi hemostatik yang kompleks termasuk fungsi hemostasis primer, koagulasi, dan fibrinolisis. Gangguan ini dianggap berkontribusi terhadap perdarahan yang sering ditimbulkan oleh sirosis hepatis dan hubungan sebab akibat antara hasil uji hemostasis yang abnormal dengan terjadinya perdarahan pada kasus sirosis hepatis telah menjadi paradigma yang dapat diterima. Oleh karena itu, para hepatologis melakukan berbagai pengujian laboratorium untuk menilai risiko terjadinya perdarahan dan menggunakan acuan pada hasil yang diperoleh untuk membuat keputusan tentang pengelolaan gangguan koagulasi yang menggunakan obat prokoagulan sebagai profilaksis atau sebagai pengobatan. Penulisan artikel ini bertujuan untuk menilai makna klinis dari berbagai pengujian yang berkaitan dengan koagulasi, fibrinolisis, dan thromboelastografi. Koagulasi Sirosis hati ditandai dengan gangguan sintesis semua faktor koagulasi, kecuali faktor VIII dan faktor von Willebrand. Gangguan ini biasanya terdeteksi pada pengukuran faktor koagulasi individual atau terjadi pemanjangan uji protrombin time (PT) dan waktu yang dibutuhkan tromboplastin parsial untuk teraktivasi (aPTT). Prothrombin Time (PT) PT adalah sebuah uji yang dikembangkan oleh Armand Quick pada tahun 1935 untuk meneliti pasien dengan penyakit hati. Hasil pengujian adalah waktu yang dibutuhkan oleh platelet-poor plasma untuk membentuk bekuan darah setelah penambahan tromboplastin dan kalsium klorida. PT dianggap bertanggung jawab terhadap terjadinya defisiensi kongenital atau didapat dari faktor VII, X, V, dan II dan fibrinogen. Jenis tromboplastin merupakan

faktor penentu utama dari seberapa responsifnya pengujian terhadap gangguan koagulasi. Hasil pengujian dapat dinyatakan sebagai simple coagulation time (dalam detik) atau sebagai persentase dari aktivitas pada kurva dosis-respon yang dibentuk oleh peningkatan pengenceran dari normal pooled plasma. Cara lain yang digunakan yaitu menggunakan rasio (patient-to-normal coagulation time) dan INR (International Normalized Ratio), dimana rasio tersebut disamakan nilainya dengan ISI (International Sensitivity Index), yaitu sebuah sistem pengukuran yang digunakan dalam uji ini. INR bukanlah merupakan suatu alat uji melainkan sebuah skala penilaian dalam uji PT yang mulai dilakukan pada tahun 1983 yang bertujuan untuk menyelaraskan hasil uji PT pada berbagai laboratorium yang ada. INR diharapkan dapat menyelaraskan hasil uji PT pada pasien yang mengkonsumsi antagonis vitamin K karena ISI pada umumnya mengkonversikan hasil uji ditentukan oleh jumlah plasma dari pasien dengan penyakit hati yang membutuhkan penentuan nilai ISI yang relevan. Activated Partial Thromboplastin Time (APTT) Uji APTT yang mulai dilakukan pada tahun 1953 dan dimodifikasi pada tahun 1961 adalah waktu (dalam detik) yang dibutuhkan platelet-poor plasma untuk dapat membentuk bekuan darah (clot) ketika tergabung dengan aktivator terlarut dari berbagai faktor koagulasi (faktor XII, prekalikrein, kininogen dengan berat molekul tinggi) dan secara negatif mengaktivasi fosfolipid sebagai pengganti platelet. Uji APTT merupakan uji yang sensitif terhadap kelainan congenital/ kelainan didapat dari semua faktor koagulasi kecuali faktor VII dan faktor XIII. Kombinasi, tipe, dan konsentrasi dari berbagai aktivator dengan fosfolipid menentukan seberapa responsifnya uji ini. Hasil uji yang pada umumnya dinyatakan dalam waktu koagulasi atau rasio (patient-to-normal coagulation time) akan bervariasi menurut sistem pengukuran komersial yang digunakan dalam uji ini. Hal ini terjadi karena tidak ada standarisasi yang telah dilakukan untuk menyelaraskan hasil uji ini pada berbagai laboratorium yang ada.

Nilai Klinis dari Prothrombin Time (PT) dan Activated Partial Thromboplastin Time (APTT) pada Sirosis Hati PT dan APTT umumnya digunakan untuk melakukan investigasi terhadap pasien dengan sirosis hati walaupun uji ini diketahui sebagai prediktor yang buruk terjadinya perdarahan pada pasien dengan sirosis hati. Telah dapat dibuktikan bahwa PT dan APTT tidak cukup adekuat untuk menggambarkan ketidakseimbangan koagulasi sebagaimana yang terjadi pada sirosis hati, yaitu sebuah kondisi dimana kadar beberapa antikoagulan yang terjadi secara natural seperti protein C dan antithrombin mengalami reduksi secara paralel dengan prokoagulan. Hal yang harus diperhatikan juga adalah protein C in vivo akan diaktivasi oleh thrombin dengan bantuan reseptor endothelialnya yaitu thrombomodulin. Plasma dan reagen yang dibutuhkan untuk mengaktivasi PT dan APTT tidak mengandung thrombomodulin dalam jumlah yang adekuat. Sebagai konsekuensinya, aktivasi protein C akan dibatasi sehingga protein C tidak dapat melakukan aktivitasnya sebagai antikoagulan secara maksimal. Hal ini dapat dijelaskan bahwa PT dan APTT hanya responsif pada thrombin yang dibentuk sebagai fungsi untuk prokoagulan tetapi kurang responsif terhadap inhibisi thrombin yang dimediasi oleh antikoagulan. Sesuai dengan hal tersebut maka PT dan APTT seharusnya dianggap sebagai uji yang tepat untuk menyelidiki defisiensi prokoagulan yang terjadi karena faktor kongenital tetapi bukan merupakan defisiensi antikoagulan kongenital atau defisiensi yang didapat dari prokoagulan maupun antikoagulan sebagaimana yang terjadi pada sirosis hati. Keseimbangan dari prokoagulan dan antikoagulan akan menghasilkan nilai yang normal pada sirosis hati yang stabil ketika dinilai oleh pembentukan thrombin yang diukur pada saat terdapat thrombomodulin, dan keseimbangan ini dapat terlihat walaupun terdapat pemanjangan PT dan APTT. Platelet berkontribusi terhadap pembentukan thrombin sehingga kejadian trombositopenia dan atau trombositopati yang ditemukan pada sirosis hati secara teoritis dapat mempengaruhi pada pembentukan thrombin. Studi terbaru menunjukkan bahwa pembentukan thrombin ketika dinilai pada platelet-rich plasma dari sirosis hati yang stabil pada saat terdapat thrombomodulin tidak dapat dibedakan dari subjek kontrol pada kondisi penelitian yang sama dimana kadar platelet lebih tinggi dari 60x109 / L.

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian tersebut adalah fungsi koagulasi pada pasien sirosis hati yang stabil adalah normal jika kadar platelet cukup tinggi untuk mempertahankan pembentukan thrombin normal yang dihasilkan oleh plasma. Kesimpulan ini dapat menjelaskan kurangnya kemampuan efikasi obat antihemoragik sebagai rekombinan aktif faktor VII yang digunakan pada pasien penyakit hati kronis walaupun obat ini dapat memperpendek PT. Selain itu, dapat diambil kesimpulan pula bahwa uji koagulasi secara konvensial tidak terlalu bermakna untuk memprediksi perdarahan pada kasus sirosis hati atau sebagai panduan untuk melakukan terapi yang tepat untuk pasien yang megalami perdarahan pada sirosis hati. Jika sebuah uji diperlukan pada kondisi ini, uji pembentukan thrombin yang dinilai pada saat terdapat thrombomodulin merupakan uji yang memiliki prioritas utama untuk dilakukan.

Uji Pembentukan Thrombin Uji pembentukan thrombin adalah uji secara umum yang dilakukan dimana koagulasi plasma diaktifkan oleh sejumlah kecil faktor jaringan sebagai pemicu dan fosfolipid yang bertindak sebagai substitusi platelet. Pada kurva pembentukan trombin (yaitu konsentrasi thrombin terhadap waktu) yang terdiri dari jeda fase yang terjadi segera setelah aktivasi koagulasi, puncak dari thrombin yaitu waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke puncak, dan daerah di bawah kurva yang disebut thrombin endogen potensial. Thrombin endogen potensial dapat dianggap sebagai pengukuran dari jumlah trombin dimana sampel plasma yang diberikan dapat dihasilkan di bawah kondisi eksperimen yang spesifik dan menunjukkan keseimbangan diantara protein prokoagulan dan antikoagulan yang aktif di dalam plasma.. Hal ini dapat berguna untuk menilai risiko perdarahan pada pasien sirosis, tetapi studi klinik lebih mendalam diperlukan untuk memperkuat hipotesis ini, terutama bagi pasien yang kondisinya diperberat oleh infeksi bakteri atau disfungsi endotel. Hingga hasil penelitian tersebut dapat dipublikasikan, klinisi yang mengobati pasien sirosis hati harus lebih mengutamakan penilaian klinis mereka terhadap pasien dengan sirosis hati diantaranya riwayat perdarahan sebelumnya, perubahan hemodinamik setelah hipertensi portal, gagal ginjal, dan disfungsi endotel.

Waktu prothrombin (Prothrombin Time) sebagai Indeks Prognosis pada Sirosis Hati Prothrombin time ini juga telah digunakan selama bertahun-tahun dalam kombinasi dengan parameter klinis dan parameter laboratorium lain untuk menghitung indeks prognostik seperti Child-Pugh atau model stadium akhir penyakit hati (MELD). MELD pada khususnya telah dapat diterima secara luas sebagai indeks survival dan telah digunakan untuk memprioritaskan pasien yang akan menerima transplantasi hati. Pada pengamatan yang telah dijelaskan dalam paragraf sebelumnya yaitu tentang ketidaksesuaian PT untuk memprediksi perdarahan tidak mengurangi kegunaannya dalam menentukan prognosis sirosis hati dan hasilnya dinyatakan dalam skala yang sesuai untuk menjamin keselarasan diantara berbagai pemeriksaan laboratorium. Fibrinolisis Fibrinolisis adalah mekanisme yang diatur secara ketat oleh proenzim plasminogen yang akan diubah menjadi plasmin. Pada berbagai literatur dinyatakan bahwa pada umumnya sirosis hati ditandai dengan hiperfibrinolisis. Gangguan yang terjadi secara kompleks ini umumnya dapat terdeteksi dengan mengukur derajat fibrinolisis dari individual plasmatic component. Pengukuran individual plasmatic component tidak dapat memberikan gambaran yang jelas tentang keseimbangan fibrinolisis karena interaksi kompleks yang terjadi diantara aktivator dan anti-aktivator yang mengatur perubahan plasminogen-plasmin. Pada berbagai literatur ditunjukkan bahwa liver yang mengalami sirosis diduga terjadi peningkatan kadar activator plasminogen tissue dan penghambatnya, tetapi juga terjadi penurunan kadar plasminogen, antiplasmin, dan faktor XIII. Penelitian baru-baru ini telah difokuskan pada trombin-activatable fibrinolisis inhibitor (TAFI), dan para peneliti menduga bahwa kekurangan TAFI yaitu suatu keadaan yang khas pada sirosis hati, dapat menjelaskan keadaan hyperfibrinolisis yang sering terjadi dalam penyakit ini. Akan tetapi, hasil peelitian terbaru pada topik ini memberikan hasil yang bertentangan. Menurut Lisman dkk, kekurangan TAFI tidak terkait dengan peningkatan fibrinolisis plasma, karena defisiensi TAFI ini diimbangi oleh penurunan yang terjadi secara bersamaan dengan faktor profibrinolisis. Sebaliknya, menurut Colucci dkk, defisiensi TAFI dikaitkan dengan peningkatan fibrinolisis plasma. Penjelasan untuk hasil yang bertentangan ini adalah kemungkinan digunakannya desain penelitian yang berbeda dari uji yang

digunakan

oleh

dua

peneliti

tersebut

untuk

menilai

keseimbangan

fibrinolisis.

Kesimpulannya, pada pengamatan ini menunjukkan bahwa pengukuran individual plasmatic component dari jalur fibrinolitik tidak terlalu bermakna dan uji sederhana yang menggambarkan keseimbangan pada uji in vivo harus dikembangkan dan diteliti dalam uji klinis untuk menilai kegunaannya dalam memprediksi perdarahan pada pasien sirosis hati.

Thromboelastografi Thromboelastografi adalah teknik yang dapat memberikan pengamatan secara terusmenerus terhadap semua fungsi hemostatik yang mengarah pada pembentukan bekuan darah dan proses lisisnya. Tromboelastografi sudah dikembangkan bertahun-tahun lalu sebagai teknik untuk meneliti pasien dengan penyakit yang menyebabkan perdarahan dan dapat dipertimbangkan setidaknya dalam teori sebagai prototipe dari uji hemostasis secara umum karena (diduga) melibatkan fungsi hemostasis, koagulasi, dan fibrinolisis. Sebelumnya penggunaan teknik ini terbatas karena buruknya standarisasi dan sulitnya melakukan interpretasi terhadap parameter yang ada Baru-baru ini, konsep thromboelastografi telah ditinjau kembali menggunakan teknologi komputer terbaru. Dengan peralatan terbaru yang menggunakan teknologi komputer telah membuat thromboelastografi modern lebih baik terutama selama intervensi bedah mayor seperti transplantasi hati dan bedah kardiovaskular. Baru-baru ini, thromboelastografi telah digunakan untuk memberikan gambaran bagi pembentukan heparinoid endogen sebagai kontributor terjadinya koagulopati pada pasien dengan penyakit hati. Dalam thromboelastografi yang menggunakan whole blood dapat berguna dalam praktek sehari-hari terutama untuk mendeteksi efek antikoagulan dari heparinoid endogen yang berkaitan dengan perdarahan. Agar konsisten dengan kondisi in vivo, tromboelastografi harus dikombinasikan dengan thrombomodulin untuk mempertahankan aktivasi protein C yang optimal. Penelitian lebih lanjut sangat dibutuhkan untuk menggali aplikasi klinis dari teknologi ini untuk mengoptimalkan penggunaan terapi yang bermanfaat bagi pasien dan untuk menghindarkan dari hal yang tidak perlu dan berbahaya dalam penggunaan produk darah dan prokoagulan.

Kesimpulan Semua pengujian yang telah dijelaskan sebelumnya konsisten dengan konsep bahwa tidak normalnya sistem koagulasi pada sirosis hati yang stabil adalah tidak tepat. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kegunaan dari uji konvensional yang umumnya dilakukan. Pengujian alternatif mendekati apa yang terjadi pada keadaan in vivo seharusnya dikembangkan dan diteliti kembali pada pengujian klinik (clinical trial) yang tepat untuk menetapkan kegunaan uji tersebut pada sirosis hati dengan perdarahan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hedner U, Erhardtsen E. Hemostatic disorders in liver disease. In: Schiff ER, Sorrell MF, Maddrey WC, editors. Diseases of the liver. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2003. p. 62535. 2. Caldwell SH, Hoffman M, Lisman T, et al. Coagulation disorders and hemostasis in liver disease: pathophysiology and critical assessment of current management. Hepatology 2006;44:103946. 3. Hollestelle MJ, Geertzen HG, Straatsburg IH, et al. Factor VIII expression in liver disease. Thromb Haemost 2004;91:26775. 4. Lisman T, Bongers TN, Adelmeijer J, et al. Elevated levels of von Willebrand factor in cirrhosis support platelet adhesion despite reduced functional capacity. Hepatology 2006;44:5361. 5. Quick AJ. The prothrombin in hemophilia and in obstructive jaundice. J Biol Chem 1935;109:734. 6. van den Besselaar AMHP, Poller L, Tripodi A. Guidelines for thromboplastins and plasmas used to control oral anticoagulant therapy (1999). WHO Tech Rep Ser 1999;889:6493. 7. Tripodi A, Chantarangkul V, Primignani M, et al. The international normalized ratio calibrated for cirrhosis (INRliver) normalizes prothrombin time results for model for end-stage liver disease calculation. Hepatology 2007;46:5207. 8. Bellest L, Eschwege V, Poupon R, et al. A modified international normalized ratio as an effective way of prothrombin time standardization in hepatology. Hepatology 2007;46:528 34. 9. Langdell RD, Wagner RH, Brinkhous KM. Effect of antihemophilic factor on onestage clotting tests; a presumptive test for hemophilia and a simple one-stage antihemophilic factor assay procedure. J Lab Clin Med 1953;41:63747. 10.Proctor RR, Rapaport SI. The partial thromboplastin time with kaolin. A simple screening test for first stage plasma clotting factor deficiencies. Am J Clin Pathol 1961;36:2129.

11.Schemmer P, Decker F, Dei-Anane G, et al. The vital threat of an upper gastrointestinal bleeding: risk factor analysis of 121 consecutive patients. World J Gastroenterol 2006;12:3597601. 12. Ewe K. Bleeding after liver biopsy does not correlate with indices of peripheral coagulation. Dig Dis Sci 1981;26:38893. 13. Dillon JF, Simpson KJ, Hayes PC. Liver biopsy bleeding time: an unpredictable event. J Gastroenterol Hepatol 1994;9:26971. 14. Segal JB, Dzik WH. Paucity of studies to support that abnormal coagulation test results predict bleeding in the setting of invasive procedures: an evidence-based review. Transfusion 2005;45:141325. 15. Boks AL, Brommer EJ, Schalm SW, et al. Hemostasis and fibrinolysis in severe liver failure and their relation to hemorrhage. Hepatology 1986;6:7986. 16. Diaz LK, Teruya J. Liver biopsy. N Engl J Med 2001;344:2030. 17. Grabau CM, Crago SF, Hoff LK, et al. Performance standards for therapeutic abdominal paracentesis. Hepatology 2004;40:4848. 18. Terjung B, Lemnitzer I, Dumoulin FL, et al. Bleeding complications after percutaneous liver biopsy. An analysis of risk factors. Digestion 2003;67:13845. 19. McGill DB, Rakela J, Zinsmeister AR, et al. A 21 year experience with major hemorrhage after percutaneous liver biopsy. Gastroenterology 1990;99:1396400. 20. Bravo AA, Sheth SG, Chopra S. Liver biopsy. N Engl J Med 2001;344:495500. 21. Tripodi A, Salerno F, Chantarangkul V, et al. Evidence of normal thrombin generation in cirrhosis despite abnormal conventional coagulation tests. Hepatology 2005;41:5538. 22. Dahlback B. Progress in the understanding of the protein C anticoagulant pathway. Int J Hematol 2004;79:10916. 23. Bevers EM, Comfurius P, Zwaal RF. Platelet procoagulant activity: physiological significance and mechanisms of exposure. Blood Rev 1991;5:14654. 24. Tripodi A, Primignani M, Chantarangkul V, et al. Thrombin generation in patients with cirrhosis: the role of platelets. Hepatology 2006;44:4405. 25. Bosch J, Thabut D, Bendtsen F, et al. Recombinant factor VIIa for upper gastrointestinal bleeding in patients with cirrhosis: a randomized, double-blind trial. Gastroenterology 2004;127:112330.

26. Lodge JP, Jonas S, Jones RM, et al. Efficacy and safety of repeated perioperative doses of recombinant factor VIIa in liver transplantation. Liver Transpl 2005;11: 9739. 27. Planinsic RM, van der Meer J, Testa G, et al. Safety and efficacy of a single bolus administration of recombinant factor VIIa in liver transplantation due to chronic liver disease. Liver Transpl 2005;11:895900. 28. Hemker HC, Giesen P, Al Dieri R, et al. Calibrated automated thrombin generation measurement in clotting plasma. Pathophysiol Haemost Thromb 2003;33:415. 29. Chantarangkul V, Clerici M, Bressi A, et al. Thrombin generation assessed as endogenous thrombin potential (ETP) in patients with hypo- or hyper-coagulability. Effects of phospholipids, tissue factor and residual platelets on the measurement performed in plateletpoor and platelet-rich plasma. Haematologica 2003;88: 54754. 30. Pugh RN, Murray-Lyon IM, Dawson JL, et al. Transection of the oesophagus for bleeding oesophageal varices. Br J Surg 1973;60:6469. 31. Malinchoc M, Kamath PS, Gordon FD, et al. A model to predict poor survival in patients undergoing transjugular intrahepatic portosystemic shunts. Hepatology 2000;31:86471. 32. Wiesner R, Edwards E, Freeman R, et al. United Network for Organ Sharing Liver Disease Severity Score Committee. Model for end-stage liver disease (MELD) and allocation of donor liver. Gastroenterology 2003;124:916. 33. Tripodi A, Chantarangkul V, Mannucci PM. The international normalized ratio to prioritize patients for liver transplantation. Problems and possible solutions. J Thromb Haemost In press. 34. Lisman T, Leebeek FW, Mosnier LO, et al. Thrombin-activatable fibrinolysis inhibitor deficiency in cirrhosis is not associated with increased plasma fibrinolysis. Gastroenterology 2001;121:1319. 35. Colucci M, Binetti BM, Branca MG, et al. Deficiency of thrombin activatable fibrinolysis inhibitor in cirrhosis is associated with increased plasma fibrinolysis. Hepatology 2003;38:230 7. 36. Koh MB, Hunt BJ. The management of perioperative bleeding. Blood Rev 2003; 17:17985. 37. Montalto P, Vlachogiannakos J, Cox DJ, et al. Bacterial infections in cirrhosis impairs coagulation by a heparin effect: a prospective study. J Hepatol 2002; 37:4637.

Anda mungkin juga menyukai