Anda di halaman 1dari 4

PENDAHULUAN HIV/AIDS 1.

Definisi Dengan identifikasi HIV pada tahun 1983 dan bukti sebagai agen etiologi AIDS pada tahun 1984, dan dengan ketersediaan tes diagnosis yang sensitif dan spesifik terhadap infeksi HIV, definisi AIDS telah membuat beberapa revisi selama bertahun tahun. Sistem klasifikasi CDC baru untuk dewasa dan remaja yang terinfeksi HIV mengelompokkan seseorang terhadap dasar kondisi klinis yang dihubungkan dengan infeksi HIV dan jumlah limfosit T CD4. Sistem ini berdasarkan atas tiga kelompok jumlah limfosit T CD4 dan tiga kelompok klinis dan direpresentasikan oleh 9 jenis kategori. Individu yang terinfeksi HIV dengan kadar < 200/L telah masuk dalam klasifikasi AIDS menurut definisi, terlepas dari adanya gejala atau penyakit oportunistik. Definisi AIDS sangat kompleks dan komprehensif; namun, klinisi sebaiknya tidak fokus apakah AIDS muncul namun harus melihat penyakit HIV sebagai suatu spektrum yang berasal dari infeksi primer, ada atau tanpa sindrom akut, kedalam tahap asimtomatik, kedalam penyakit lanjut.

2. Etiologi HIV merupakan anggota dari famili lentivirus. Lentivirus, termasuk virus visna dari domba dan sapi, kucing, dan Simian Immunodeficiency Viruses (SIVs), mampu menginfeksi sel dalam waktu yang lama dan bersifat laten dan memiliki efek sitopatik jangka pendek, dan virus ini dapat menimbulkan penyakit yang fatal namun berkembang dengan lambat, misalnya degenerasi Sistem Saraf Pusat (SSP). Dua jenis tipe HIV, yaitu HIV-1 dan HIV-2, telah diidentifikasi. HIV-1 merupakan penyebab tersering dari AIDS, namun HIV-2, yang berbeda dalam hal struktur gen dan antigenisitasnya, menyebabkan sindrom klinis yang serupa.

3. Manifestasi Klinis A. Sindrom HIV Akut Diperkirakan 50 70% individu dengan infeksi HIV mengalami sindrom klinis akut kira kira 3 6 minggu setelah infeksi primer. Gejala yang muncul diantaranya demam, ruam kulit, mialgia, faringitis. Sindrom ini merupakan tipikal dari sindrom virus akut dan dihubungkan dengan mononukleosis infeksius akut. Gejala ini biasanya bertahan selama

1 sampai beberapa minggu dan secara bertahap menghilang karena respon imun terhadap HIV berkembang dan level viremia di plasma menurun. Infeksi oportunistik telah dilaporkan selama tahap infeksi ini dan mencerminkan imunodefisiensi yang berasal dari jumlah sel T CD4 yang berkurang dan mungkin juga akibat disfungsi sel T CD4 dan gangguan yang diinduksi sitokin endogen yang dihubungkan dengan viremia yang sangat tinggi dalam plasma. B. Tahap Asimtomatis Klinis Laten Walaupun lamanya waktu dari infeksi inisial menuju perkembangan penyakit klinis sangat bermacam macam, waktu rata rata untuk pasien yang tidak diobati adalah 10 tahun. Menurut penjelasan diatas, penyakit HIV dengan replikasi virus aktif terus berjalan dan progresif selama periode asimtomatis. Jangkauan progresifitas penyakit secara langsung dihubungkan dengan level RNA HIV. Pasien ini secara umum mempunyai kadar RNA HIV yang sangat rendah. Beberapa pasien tertentu tetap asimtomatis walaupun fakta bahwa sel T CD4 mereka menunjukkan progresifitas penurunan yang cepat. Pada pasien ini, adanya penyakit oportunistik mungkin menjadi manifestasi awal dari infeksi HIV. Selama masa asimtomatis dari infeksi HIV, rentang rata rata dari penurunan sel T CD4 adalah 50/L per tahun. Ketika jumlah sel T CD4 turun menjadi < 200/L, keadaan imunodefisiensi menjadi cukup berat untuk menempatkan pasien pada resiko tinggi untuk infeksi oportunistik dan neoplasma. C. Tahap Simtomatis Gejala penyakit HIV dapat muncul pada suatu waktu selama perjalanan infeksi HIV. Secara umum, spektrum penyakit yang diamati berubah ketika jumlah sel T CD4 menurun. Komplikasi HIV yang lebih berat dan mengancam jiwa terjadi pada pasien dengan jumlah sel T CD4 < 200/L. Diagnosis AIDS dikatakan pada seseorang dengan infeksi HIV dan jumlah sel T CD4 dibawah 200/L dan pada seseorang dengan infeksi HIV yang mengalami salah satu dari penyakit yang dihubungkan dengan HIV dipertimbangkan menjadi kelompok C dalam klasifikasi CDC. Sementara itu, agen penyebab dari infeksi sekunder merupakan organisme oportunistik misalnya P. carinii, mikobakterium atipikal, Cytomegalovirus (CMV), dan organisme lain yang pada dasarnya tidak menimbulkan penyakit.

4. Tatalaksana Obat obat infeksi HIV terdiri dari tiga kategori : obat yang menginhibisi enzim reverse transcriptase virus, menginhibisi enzim protease virus, dan obat yang menginterferensi masuknya virus. Inhibitor reverse transcriptase termasuk analog nukleosida zidovudine, didanosine, zalcitabine, stavudine, lamivudine, abacavir, and emtricitabine; analog nukleotida tenofovir; dan nonnucleoside reverse transcriptase inhibitors nevirapine, delavirdine, and efavirenz. Obat obat ini harus digunakan secara kombinasi. Inhibitor reverse transcriptase menghambat siklus replikasi HIV pada titik sintesis DNA dependen RNA. Sementara nonnucleoside reverse transcriptase inhibitors cukup selektif untuk enzim reverse transcriptase HIV 1. Analog nukleotida dan nukleosida menghambat reaksi polimerisasi DNA. Untuk alasan ini, efek samping serius lebih sering ditimbulkan pada analog nukleosida dan termasuk kerusakan mitokondria yang dapat menyebabkan steatosis hepatik dan asidosis laktat sebaik neuropati perifer dan pankreatitis. Selain itu, efek samping obat ini dapat berupa hiperlipidemia, intoleransi glukosa, dan gangguan distribusi lemak yang sering disebut sebagai sindrom lipodistropi.

KELAINAN KULIT PADA PASIEN HIV/AIDS 1. INFEKSI OPORTUNISTIK A. Virus 1. Herpes Simplex Virus 2. Moluskum Kontagiosum 3. Varicella Zoster-Virus 4. Human Papiloma Virus 5. Cytomegalo Virus 6. Epstein Barr Virus B. Bakteri 1. C. Jamur 1. Candidosis 2. Dermatofitosis 3. Cryptococcis

4. Histoplasmosis D. Parasit 1. Leishmaniasis 2. Skabies

Asd

2.

NON-INFEKSI A. Dermatitis Seboroik B. Psoriasis C.

3.

NEOPLASMA

Anda mungkin juga menyukai