Anda di halaman 1dari 24

TUGAS PRESENTASI KASUS Kejang Demam Kompleks dan Diare Akut tanpa Dehidrasi

Tutor : dr. Ariadne, Sp. A

Disusun Oleh : Lucky Mariam G1A009005

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEDOKTERAN PURWOKERTO 2012

I PENDAHULUAN

Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering dijumpai pada anak yang terjadi pada suhu badan yang tinggi yang disebabkan oleh kelainan ekstrakranial. Derajat tinggi suhu yang dianggap cukup untuk diagnosa kejang demam adalah 38 derajat celcius di atas suhu rektal atau lebih. Kejang terjadi akibat loncatan listrik abnormal dari sekelompok neuron otak yang mendadak dan lebih dari biasanya. yang meluas ke neuron sekitarnya atau dari substansia grasia ke substansia alba yang disebabkan oleh demam dari l u a r o t a k . Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang d e m a m . didapatkan pada laki -laki Kejang demam lebih Hal sering tersebut

daripada

perempuan.

d i s e b a b k a n k a r e n a p a d a w a n i t a d i d a p a t k a n m a t u r a s i s e r e b r a l ya n g l e b i h c e p a t dibandingkan laki-laki. Pada tahun 1999 ditemukan pasien kejang demam sebanyak 83 orang dan tidak didapatkan angka k e m a t i a n ( 0 % ) . P a d a t a h u n 2 0 0 0 d i t e m u k a n p a s i e n k e j a n g d e m a m 1 3 2 o r a n g d a n t i d a k didapatkan angka kematian (0 %). Dari data di atas menunjukkan adanya peningkatan insiden kejadian sebesar 37%. Jumlah penderita kejang demam diperkirakan mencapai 2 4% dari jumlah

penduduk di AS, Amerika Selatan, dan Eropa Barat. Namun di Asia dilaporkan penderitanya lebih tinggi. Sekitar 20% di antara jumlah penderita mengalami kejang demam kompleks yang harus ditangani secara lebih teliti. Bila dilihat jenis kelamin penderita, kejang demam sedikit lebih banyak menyerang anak laki-laki. Kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasan seorang anak. Jika terlambat diatasi ada kemungkinan terjadi penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental. Keterbelakangan mental di kemudian hari, merupakan kondisi yang menyedihkan dan bisa berlangsung seumur hidup (Pdpersi,2004). Maka dari itu, penanganan yang cepat dan tepat sangat diperlukan untuk menangani pasien kejang.

II TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering dijumpai pada anak yang terjadi pada suhu badan yang tinggi yang disebabkan oleh kelainan ekstrakranial. Derajat tinggi suhu yang dianggap cukup untuk diagnosa kejang demam adalah 38 derajat celcius di atas suhu rektal atau lebih. Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berusia 6 bulan - 5 tahun. Kejang disertai demam pada bayi < 1 bulan tidak termasuk kejang demam. Jika anak berusia < 6 bulan atau > 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain seperti infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang saat demam, tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang demam dibagi atas 2 jenis : 1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure) ; yaitu : Kejang demam yang berlangsung singkat, < 15 menit dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berupa kejang umum tonik atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang demam tidak berulang dalam 24 jam. Kejang jenis ini merupakan 80% dari seluruh kejang demam 2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure) ; yaitu :

Kejang dengan salah satu ciri berikut : Kejang lama > 15 menit, Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial, Berulang atau lebih dari satu kali dalam 24 jam.

B. ETIOLOGI DAN PREDISPOSISI Penyebab kejang demam masih belum bisa dipastikan. Pada sebagian besar anak, tingginya suhu tubuh bisa menjadi factor pencetus serangan kejang demam. Biasanya suhu demam yang lebih dari 38,8 derajat celcius. Penyebab kejang mencakup factor factor perinatal, malformasi otak congenital, factor genetic, penyakit infeksi, penyakit demam, gangguan metabolism, trauma, neoplasma toksin, sirkulasi, dan penyakit degenerative susunan saraf. Kejang disebut idiopatik bila tidak dapat di temukan penyebabnya. Kondisi yang dapat menyebabkan kejang demam antara lain : infeksi yang mengenai jaringan ekstrakranial seperti tonsillitis, otitits media akut, dan bronchitis.

C. PATOFISIOLOGI Infeksi yang terjadi pada jaringan diluar cranial seperti tonsillitis, ototis media akut, bronchitis, penyebab terbanyaknya adalah bakteri yang bersifat toksik. Toksik yang dihasilkan oleh mikro organisme dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui hematogen atau limfogen. Penyebaran toksik ke seluruh tubuh akan direspon oleh hipotalamus sebagai tanda tubuh dalam bahaya secara sistemik, naiknya pengaturan suhu di hipotalamus

akan merangsang kenaikan suhu di bagian tubuh lain seperti otot, kulit, sehingga terjadi peningkatan kontraksi otot. Naiknya suhu hipotalamus, otot, kulit, dan jaringan tubuh yang lain akan disertai mediator kimia seperti epinefrin dan prostaglandin. Pengeluaran mediator kimia dapat merangsang peningkatan potensial aksi pada neuron. Peningkatan potensial inilah yang merangsang perpindahan ion Natrium, ion Kalium dengan cepat dari luar ke dalam sel. Peristiwa inilah yang dapat menaikan fase depolarisasi neuron dengan cepat hingga timbul kejang. Serangan cepat itu pula yang dapat menjadikan anak mengalami penurunan respon kesadaran. D. PENEGAKAN DIAGNOSIS 1. Anamnesa Penggolongan kejang demam menurut criteria adalah kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang lama kejangnya kurang dari 15 menit, umum dan tidak berulang pada satu episode demam. Kejang demam kompleks adalah kejang demam yang lebih lama dari 15 menit baik bersifat fokal atau multipel. Biasanya terjadi pada umur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun, frekuensi kejang lebih dari 3 kali / tahun. 2. Pemeriksaan Fisik Tanda vital terutama suhu, pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau mulase kepala berlebihan yangdisebabkan oleh trauma. Ubun ubun besar yang tegang dan membenjol menunjukkanadanya peninggian tekanan intrakranial yang dapat disebabkan oleh pendarahansebarakhnoid atau

subdural. Pada bayi yang lahir dengan kesadaran menurun, perludicari luka atau bekas tusukan janin dikepala atau fontanel enterior yang

disebabkankarena kesalahan penyuntikan obat anestesi pada ibu. Pemeriksaan untuk menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA,OMA). Pemeriksaan tanda rangsang meningeal (menyingkirkan diagnosis

meningoensefalitis). 3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin; dilakukan untuk evaluasi penyebab demam, atau keadaan lain; misalnya pemeriksaan darah perifer, elektrolit dan gula darah. Punksi lumbal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan

kemungkinan meningitis; risiko meningitis bakterialis adalah 0.6% - 6.7 %. Jika yakin klinis bukan meningitis, tidak perlu dilakukan. Mengingat manifestasi klinis meningitis sering tidak jelas pada bayi maka pada bayi < 12 bulan sangat dianjurkan punksi lumbal, bayi antara 12 18 bulan dianjurkan, bayi > 18 bulan tidak rutin. EEG tidak direkomendasikan karena tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau memperkirakan risiko epilepsi di kemudian hari. Pemeriksaan EEG dapat dilakukan pada kejang demam tak khas; misalnya pada anak usia > 6 tahun atau kejang demam fokal. Pencitraan seperti foto X ray, CT scan atau MRI kepala hanya

dilakukan jika ada : 1. Kelainan neurologik fokal menetap (misal hemiparesis) 2. Paresis n.VI (n.abdusens) - bola mata tidak dapat melirik ke lateral 3. Papiledema E. PENATALAKSANAAN 1. Farmakologi Umumnya kejang berlangsung singkat dan berhenti sendiri. Jika masih kejang diberikan diazepam intravena 0.3 0.5 mg/kg.bb iv diberikan dalam waktu 3 5 menit, dosis maksimal 20 mg atau diazepam per rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan < 10 kg dan10 mg jika berat badan > 10 kg atau diazepam per rektal 5 mg untuk usia < 3 tahun dan 7.5 mg. untuk usia > 3 tahun jika setelah pemberian diazepam per rektal kejang belum berhenti, dapat diulang dengan dosis sama setelah selang waktu 5 menit. Jika setelah dua kali pemberian diazepam per rektal masih belum berhenti, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit diberikan diazepam intravena 0.3 0.5 mg/kg.bb. Jika masih tetap kejang, berikan fenitoin intravena 10-20 mg/kg.bb/kali dengan kecepatan 1 mg/menit atau < 50 mg/menit. Jika berhenti dosis selanjutnya fenitoin 4-8 mg/kg.bb/hari dimulai 12 jam setelah dosis awal. Jika masih belum berhenti, rawat di ruang intensif.

Pemberian obat saat demam tidak ada bukti bahwa pemberian antipiretik mengurangi risiko kejang demam, tetapi dapat diberikan parasetamol dengan dosis 10 -15 mg/kg.bb/kali diberikan 4 kali sehari, tidak lebih dari 5 kali sehari. Obat lain ibuprofen dengan dosis 5-10 mg/kgbb/kali, 3 4 kali sehari. Asam asetil salisilat tidak dianjurkan terutama pada usia < 18 bulan karena risiko sindrom Reye. Diazepam oral 0.3 mg/kg.bb tiap 8 jam saat demam menurunkan risiko berulangnya kejang demam pada 30% - 60 % kasus, begitu pula diazepam rektal 0.5 mg/kg.bb setiap 8 jam pada suhu > 38.5oC. Hati hati dengan efek samping ataksia, iritabel dan sedasi berat yang terjadi pada 25% - 39% kasus. Fenobarbital, fenitoin dan karbamazepin saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam. Pengobatan rumat/pencegahan/profilaksis diberikan jika: 1. Kejang lama > 15 menit 2. Ada kelainan neurologis nyata sebelum atau sesudah kejang,misalnya paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus. 3. Kejang fokal Dipertimbangkan jika : 1. Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam 2. Terjadi pada bayi < 12 bulan 3. Kejang demam 4 kali/tahun

Pilihan pertama saat ini ialah asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kg.bb/hari dibagi 2-3 dosis atau fenobarbital 3-4 mg/kg. bb/hari dibagi dalam 1-2 dosis. Asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati pada sebagian kecil kasus terutama pada usia < 2 tahun; fenobarbital dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40% - 50% kasus lama pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang; kemudian dihentikan bertahap dalam 1-2 bulan. 2. Non Farmakologi a. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik b.Memberitahukan cara penanganan kejang c. Memberi informasi tentang risiko kejang berulang d. Pemberian obat pencegahan memang efektif, tetapi harus diingat risiko efek samping obat Jika anak kejang, lakukan hal berikut : a. Tetap tenang dan tidak panik b. Kendorkan pakaian yang ketat, terutama sekitar leher c Jika tidak sadar, posisikan anak telentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan atau lendir di mulut dan/atau

hidung. Walaupun ada risiko lidah tergigit, jangan masukkan apapun ke dalam mulut. d. Ukur suhu tubuh, catat lama dan bentuk/sifat kejang e. Tetap bersama anak selama kejang f. Berikan diazepam per rektal. Jangan diberikan jika kejang telah berhenti. g. Bawa ke dokter atau rumahsakit jika kejang berlangsung 5 menit. (BRW)

F. PROGNOSIS Risiko cacad akibat komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Ada penelitian retrospektif yang melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus, biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang. Kematian akibat kejang demam tidak pernah dilaporkan.

G. KOMPLIKASI Pada penderita kejang demam yang mengalami kejang lama biasanya terjadi hemiparesis. Kelumpuhannya sesuai dengan kejang fokal yang terjadi. Mula mula

kelumpuhan bersifat flasid, tetapi setelah 2 minggu timbul spastisitas. Kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak sehingga terjadi epilepsy. Ada beberapa komplikasi yang mungkin terjadi pada klien dengan kejang demam : a. Pneumonia aspirasi b. Asfiksia c. Retardasi mental

a.

Definisi Diare didefinisikan sebagai penyakit yang ditandai dengan betambahnya frekuensi defekasi lebih dari >3x perhari disertai dengan adanya perubahan konsistensi tinja yang menjadi cair, dengan atau tanpa ditemukannya darah dan atau lendir.

b. Etiologi dan Predisposisi Etiologi dari diare dapat diklasifikasikan menjadi beberapa faktor yaitu : 1. Faktor infeksi a. Infeksi enteral adalah infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab utama diare pada anak. Infeksi enteral dapat disebabkan oleh : 1) Infeksi bakteri disebabkan oleh Vibrio cholera, E.coli, Salmonella, Shigella. 2) Infeksi virus disebabkan oleh Enterovirus ( Coxsackie, Poliomyelitis), adenovirus, rotavirus. 3) Infeksi parasit disebabkan oleh cacing (Ascaris, Trichuris, Oxyuris, Strongyloides) 4) Infeksi Protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Trichomonas hominis)

5) Infeksi Jamur ( Candida albicans) b. Infeksi parenteral merupakan suatu infeksi yang berawal dari infeksi di bagian tubuh lain di luar alat pencernaan, seperti Otitis Media Akut (OMA), tonsilofaringitis, bronkopneumonia, ensefalitis dan sebagainya. 2. Faktor malabsorpsi a. Malabsorpsi karbohidrat : disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa). b. Malabsorpsi lemak terutama lemak jenuh c. Malabsorpsi protein 3. Faktor makanan Makanan basi, beracun, dan alergi terhadap makanan tertentu 4. Faktor psikologis Rasa takut dan cemas

c.

Patofisiologi Prinsip mekanisme terjadinya diare yaitu sebagai berikut : 1. Diare osmotik Mukosa usus halus adalah epitel berpori, yang dapat dilalui oleh air dan elektrolit dengan cepat untuk mempertahankan tekanan osmotik antara lumen usus dengan cairan ekstrasel. Adanya bahan yang tidak diserap, menyebabkan bahan intraluminal pada usus halus bagian proksimal tersebut bersifat hipertoni dan menyebabkan hiperosmolaritas. Akibat perbedaan tekanan osmosis antara lumen usus dan darah maka pada segmen usus jejunum yang bersifat permeable, air akan mengalir ke arah jejunum, sehingga akan banyak terkumpul air dalam lumen usus. Na akan mengikuti masuk ke dalam lumen, dengan demikian akan terkumpul cairan intraluminal yang besar dengan kadar Na normal. Sebagian kecil cairan ini akan dibawa kembali, akan tetapi lainya akan tetap tinggal di lumen oleh karena ada bahan yang tidak dapat diserap seperti Mg, glukosa, sucrose, laktosa, maltosa di segmen ileum dan melebihi kemampuan absopsi kolon, sehinga terjadi diare. Bahan-bahan

seperti karbohidrat dan jus buah, atau bahan yang mengandung sorbitol dalam jumlah berlabihan akan memberikan dampak yang sama. 2. Motilitas Diare dapat juga dikaitkan dengan gangguan motilitas. Meskipun motilitas jarang menjadi penyebab utama malabsorbsi, teatpi perubahan motilitas mempunyai pengaruh terhadap absorpsi. Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya penyerap makanan oleh usus sedangkan peristaltik usus yang menurun mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan yang selanjutnya dapat menimbulkan diare.

d. Penegakan Diagnosis 1. Anamnesis Pada anamnesis perlu ditanyakan lama diare, frekuensi, volume, konsistensi tinja, warna, bau, ada/tidak lendir dan darah. Bila disertai muntah volume dan frekuensinya. Kencing: biasa, berkurang, jarang atau tidak kencing dalam 68jam terakhir serta makanan dan minuman yang diberikan selama diare. Hal ini penting karena diagnosis diare dapat ditegakkan dengan mengetahui tanda dan gejala klinis yang tampak 2. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: berat badan, suhu tubuh, frekuensi denyut jantung dan pernapasan serta tekanan darah. Selanjutnya perlu dicari tanda-tanda dehidrasi tambahan lainya seperti ubun-ubun besar cekung atau tidak, mata cowong atau tidak, ada atau tidak adanya air mata, bibir, mukosa mulut dan lidah kering atau basah. Pernpasan yang cepat dan dalam indikasi adanya asiodosis metabolik. Bising usus yang lemah atau tidak ada bila terdapat hipokalemia. Pemeriksaan ekstremitas perlu karena perfusi dan capillary refill dapat menentukan derjat dehidrasi yang terjadi. Penilaian beratnya atau derajat dehidrasi dapat ditentukan dengan cara objektif yaitu dengan membandingkan berat badan

sebelum dan sesudah diare dan subjektif dengan menggunakan kriteria WHO dan MMWR. 3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium dilakukan hanya untuk mengetahui sebab terjadinya diare, yang terdiri dari : a. Darah: darah lengkap, serum elektrolit, analisa gas darah, glukosa darah, kultur dan tes kepekaan terhadap antibiotika b. Urine: urine lengkap, kultur dan test kepekaan terhadap antibiotika c. Tinja: 1) Pemeriksaan makroskopik tinja meliputi warna, konsistesi, bau, adanya lendir, adanya darah, dan adanya busa. 2) Pemeriksaan mikroskopik

e.

Penatalaksanaan Dasar pengobatan diare adalah : 1. Pemberian cairan (rehidrasi awal dan rumat). a. Tanpa dehidrasi: cairan rumah tangga dan ASI diberikan semaunya, oralit diberikan sesuai usia setiap kali buang air besar atau muntah dengan dosis: Usia kurang dari 1 tahun : 50-100 cc Usia 1-5 tahun : 100-200 cc Usia lebih dari 5 tahun : semaunya (200-300ml) b. Dehidrasi tidak berat (ringan-sedang): rehidrasi dengan menggunakan oralit 75 cc/kgBb dalam 3 jam pertama kemudian diberikan cairan sesuia dengan cairan yang keluar. c. Dehidrasi berat; rehidrasi parenteral dengan cairan ringer laktat atau ringer asetat 100 cc/kgBb. d. Dietetik (pemberian makanan). Pemberian makanan per oral diberikan setelah anak rehidrasi. Dengan cara ini penyembuhan penderita dapat lebih cepat, dan kenaikan

berat badan lebih baik walaupun frekwensi diare bertambah. diperhatikan faktor faktor sebagai berikut : 1) Insiden diare pada bayi yang mendapat ASI

Pada

pelaksanaan dietetik, penderita diare akut dengan dehidrasi perlu

2) Pemberian ASI sebaiknya diteruskan walaupun frekwensi intoleransi laktosa tinggi. Untuk anak < 1 tahun atau berat badan < 7 kg, diberikan ASI dan susu rendah laktosa dan asam lemak tidak jenuh seperti LLM, Elmiron, bubur susu. Sedangkan untuk anak > 1 tahun dengan berat badan > 7 kg, diberikan makanan padat atau makanan cair atau susu sesuai dengan kebiasaan makan di rumah. Buah yang dapat diberikan pada penderita diare adalah pisang, kalori dari pisang adalah 99 kcal dan kandungan kaliumnya 9,5 mmol/100 gram. Bila ada infeksi terutama diare maka kebutuhan kalori dan protein bertambah karena meningkatnya katabolisme protein tubuh.

Pertumbuhan kalori dan protein untuk mengejar laju pertumbuhan (catch up growth) membutuhkan kenaikan kalori sekitar 30 % dan protein sekitar 100 % dari keadaan basal untuk menggantikan kehilangan selama diare, sedangkan kalium dibutuhkan untuk mengatasi hipokalemi.

2. Obat obatan. a. Antibiotika Antibiotika diberikan jika penyebabnya jelas seperti : 1) Kolera diberikan Tetrasiklin 25 50 mg/kgBB/hari 2) Campylobakter diberikan Eritromisin 40 50 mg/kgBB/hari b. Anti Diare Obat obat yang berkhasiat menghentikan diare secara cepat seperti antispasmodik/spasmolitik atau opium (papaverin, ekstrak

beladona, codein, morfin, dsb) obat ini hanya berkhasiat menghentikan

peristaltik usus saja karena justru justru akan memperburuk keadaan karena akan menyebabkan terkumpulnya cairan di lumen usus, dilatasi usus, melipatgandakan pembiakan bakteri (over growth), gangguan digesti dan absorpsi lainnya 3. Absorben Obat obat absorben (pengental tinja) seperti kaolin, pektin, charcoal (norit, tabonal), Bismuth Subsalisit, dan sebagainya telah dibuktikan tidak ada manfaatnya. Obat obat stimulan seperti adrenalin, nikotinamit dan sebagainya tidak akan dapat memperbaiki syok atau dehidrasi beratnya karena penyebabnya adalah kehilangan cairan (syok hipovolemik).

A. DEFINISI Proses pernanahan yang terlokalisir diantara jaringan otak, baik disertai pembentukan kapsul atau tidak. Tidak ada satupun gejala klinis khas untuk abses otak. Gambaran klasik yang sering dijumpai berupa sakit kepala, panas, defisit neurologis fokal, kejang dan gangguan kesadaran. B. ETIOLOGI Penyebab terbanyak adalah bakteri anaerobik (70%). Bakteri lain yang jadi penyebab adalah Streptococcus sp, Staphylococcus sp, Bacteriodes fragilis.

C. PATOFISIOLOGI Pada bayi baru lahir biasanya disebabkan oleh Proteus sp, E coli, Group B Streptococcus. Abses otak dapat terjadi karena: 1. Penyebaran langsung dari fokus infeksi yang berdekatan dengan otak, misalnya infeksi 2. 3. 4. telinga tengah, sinusitis paranasalis dan mastoiditis

Penyebaran dari fokus infeksi yang jauh secara hematogen Infeksi akibat trauma tembus kepala Infeksi pasca operasi kepala Terjadinya abses otak melalui 4 stadium, yaitu:

1. 2. 3. 4.

Stadium serebritis dini (hari ke 1 3) Stadium serebritis lambat (hari ke 4 9) Stadium pembentukan kapsul dini (hari ke 10 14) Stadium pembentukan kapsul lambat (setelah hari ke 14)

D. PENEGAKAN DIAGNOSIS Anamnesis Sakit kepala merupakan keluhan dini yang paling sering dijumpai (70 90%). Terkadang juga didapatkan mual, muntah dan kaku kuduk (25%). Pemeriksaan fisik Panas tidak terlalu tinggi. Defisit neurologis fokal menunjukkan adanya edema di sekitar abses. Kejang biasanya bersifat fokal. Gangguan kesadaran mulai dari perubahan kepribadian, apatis sampai koma. Apabila dijumpai papil edema menunjukkan bahwa proses sudah berjalan lanjut. Dapat dijumpai hemiparese dan disfagia. Pemeriksaan laboratorium Darah: jarang dapat memastikan diagnosis. Biasanya lekosit sedikit meningkat dan laju endap darah meningkat pada 60% kasus Cairan Serebro Spinal (CSS): dilakukan bila tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial (TIK) oleh karena dikhawatirkan terjadi herniasi Pemeriksaan radiologi CT Scan: CT scan kepala dengan kontras dapat dipakai untuk memastikan diagnosis. Pada stadium awal (1 dan 2) hanya didapatkan daerah hipodens dan daerah irreguler yang tidak menyerap kontras. Pada stadium lanjut (3 dan 4) didapatkan daerah hipodens dikelilingi cincin yang menyerap kontras

E.PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan medikamentosa dengan atau tanpa aspirasi dilakukan pada stadium serebritis, abses multipel dan abses yang didapatkan pada daerah kritis Pada penatalaksanaan medikamentosa diberikan: 1. Cefotaxime 200-300 mg/KgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis selama 6

minggu atau Kombinasi Ampicillin 200 mg/KgBB/hari IV dibagi dalam 6 dosis + Chloramphenicol 100 mg/KgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis. 2. Metronidazole 15 mg/KgBB/dosis IV kemudian dilanjutkan dengan 7,5 mg/KgBB/dosis IV/PO setiap 6 jam selama 7 hari (maksimal 4 g/hari). 3. a. Apabila didapatkan peningkatan TIK dapat diberikan: Mannitol dosis awal 0,5-1 mg/KgBB IV kemudian dilanjutkan 0,25-0,5 mg/KgBB IV setiap 4-6 jam b. Dexamethasone dosis awal 0,5 mg/KgBB IV dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,5 mg/KgBB/hari IV dibagi dalam 3 dosis atau

Methylprednisolone dosis awal 1-2 mg/KgBB IV dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,5 mg/KgBB/dosis setiap 6 jam Pengurangan dosis (tappering off) dimulai pada hari ke 5

Perhatian: Steroid dapat menghambat penetrasi antibiotik pada abses dan menghambat pembentukan dinding abses yang berakibat abses mudah pecah dan terjadi meningitis. E. KOMPLIKASI Herniasi unkal atau tonsiler karena kenaikan TIK, Ventrikulitis karena pecahnya abses di ventrikel, dan Perdarahan abses. F. PROGNOSIS Prognosis baik bila usia muda, tidak didapatkan gangguan neurologis berat dan tidak ada penyakit yang mendasari.

KESIMPULAN

1. Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering dijumpai pada anak yang terjadi pada suhu badan yang tinggi yang disebabkan oleh kelainan ekstrakranial. 2. Abses kepala merupakan Proses pernanahan yang terlokalisir diantara jaringan otak, baik disertai pembentukan kapsul atau tidak. Tidak ada satupun gejala klinis khas untuk abses otak. Gambaran klasik yang sering dijumpai berupa sakit kepala, panas, defisit neurologis fokal, kejang dan gangguan kesadaran. 3. Diare didefinisikan sebagai penyakit yang ditandai dengan

betambahnya frekuensi defekasi lebih dari >3x perhari disertai dengan adanya perubahan konsistensi tinja yang menjadi cair, dengan atau tanpa ditemukannya darah dan atau lendir.

DAFTAR PUSTAKA

Behrman, dkk. Kejang. Dalam: Ilmu Kesehatan Anak . Ed. 15th. EGC. Th: 2000. Hal;2059-67.6. Pusponegoro D, Hardiono.Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. Dalam: Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.Th: 2006. Hal; 1 Punjiadi, A.H, dkk. Kejang Demam. Dalam: Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter anak indonesia. Jilid 1. Cetakan Pertama. Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak ndonesia Jakarta. Th: 2010. Hal; 150-15 S. Ismael., D.P Widodo., D.H Pusponegoro. 2008. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. CDK 165 VOL 35 NO 6. Wong, Dona L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatric. Jakarta : EGC Subagyo B dan Santoso NB. Diare akut dalam Buku Ajar GastroenterologiHepatologi Jilid 1, Edisi 1. Jakarta: Badan penerbit UKK GastroenterologiHepatologi IDAI. WHO. Diare dalam Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten Kota. Jakarta: WHO Indonesia.2009. Suandi IKG. Manajemen nutrisi pada gastroenteritis dalam Kapita Selekta Gastroenterologi Anak. Jakarta: Sagung Seto. 2007:84-100. Saharso, Darto. 2006. Artikel Abses Otak. Available at www.pediatric.com. Diakses tanggal 8 desember 2012.

Anda mungkin juga menyukai