Anda di halaman 1dari 4

12.

Penggunaan B-agonis dilarang sebagai terapi ada pasien dengan sepsis induced ARDS (gred 1 B) tanpa kehadiran indicator spesifik seperti bronkospasme. Rational: Pasien dengan sepsi induced ARDS sering terjadi peningkatan permeabilitas pasa wsakular. Dari data pre-klinis dan klinis dini, menyarankan B-adrenergik agonis bisa mempercepatkan kadar resorpsi pada edema alveolar (300). Dari percobaan klinis di penelitian kesan B-agonis pada pasien dengan ARDS pada 1 perbandingan aerolised albuterol dan placebo pada 282 pasien dengan ARDS, percobaan dihentikan karena tidak bermakna.Pasien dengan albuterol mempunyai kadar denyut jamtung yang tinggi pada hari kedua dan 1 trend terdeteksi terhadap penurunan pada hari bebas ventilator. Kadar kematian sebelum discharged adalah sebanyak 21.0% pada kelompok albuterol vs 17.7% pada pasien dengan terpai plasebo lebih dari separuh pasien yang mengikuti percobaan ini mempunnyai penyebab ARDS pulmonary atau bukan pulmonary sepsis (301). Penggunaan salbutamol intravena diuji pada uji coba BALTI-2. Sebanyak 326 pasie dengan ARDS, 251 penyebabnya asalah pulmonary dan bukan pulmonary, diterapi dengna salbutamol intravena 15 mg/kgbb ideal, atau plasebo selama 7 hari. Kadar mortalitas pada pasien yang diterapi dengan salbutamol meningkat pada hari ke-28 (34% vs 23%,RR,1.4%;95%,CI,1.032.08)membawa kepada terminasi dini uji. Indikasi spesifik B-20 agonis untuk terapi bronkospasme dan hyperkalemi. Penggunaan B-agonis dalam bentuk intravena atau aerosol secara rutin pada kondisi selain dari ini dilarang untuk pasien dengan induced ARDS. P.Sedasi,Analgesic dan Blokade Neuromuskular pada Sepsis 1. Pada pasien dengan sepsis ventilasi mekanis disarankan meminimumkan sedasi continue atau intermiten untuk mencapai target titik akhir titrasi spesifik. Rational: Berdasarkan daripad bukti yang didapatkan, mengindikasi bahwa , dengan menterhadkan penggunaan sedasi pada pasien ventilasi dengan sakit kritikal bisa menurukan durasi ventilasi mekanik dan perwatan di icu dan Rumah Sakit. Penelitian yang dijalanlan pada pasien ini, menunjukkan tidak bermanfaat pada pasien dengan sepsis tanpa penggunaan protocol untuk sedasi, dan kontrol percobaan klinis didapatkan protocol sedasi menurunkan durasi ventilasi mekanikal,mengurangkan tempoh rawat inap dan trakeostomi. Daripada studi observasi pada 250 pasien dengan sakit kritikal sedasi dalam merupakan suatu hal yang baisa pad apasien dengan ventilasi mekanik. Secara rawak, pada kontrol klinis percobaan menunjukkan hari tanpa ventilasi memanjang, berkurang masa menginap di ICU pada pasien

yang dirawat dengan bolus morfin intravena daripada pasien yang mendapat sedasi(propofol dan midazolam).Pada kelompok intervensi, dideteksi adanya agitasi delirium. Walaupun penelitian yang dijalanka bukan pada kelompok pasien dengan sepsis, pemberian sedasi intermiten, interupsi sedatif harian dan titrasi sistemik menunjukkan adanya penurunsn durasi pada ventilasi mekanik(284,305,308,309). Pasien menereima agen blok neuromaskular (NMBAs) dievaluasi individual berdasarkan pemberhentian obat sedatif karena blok pada neuromaskular harus di reverse.Penggunaan metode intermittent vs continuous dalam pemberian sedatif pada pasien yang kritikal. Studi observasi pada pasien dengan ventilasi mekanikal,menunjukkan pemberian sedasi yang berterusan memanjankan durasi ventilasi mekanikal dan tempoh perwatan di ICU dan rumah sakit. Uji klinis interupsi harian infus obat penenang terus menerus telah dievaluasi. Uji coba terkontrol secara acak di jalankan pada 128 orang dewasa ventilasi mekanik menerima sedasi intravena dalam infus obat penenang secara terus menerus sampai pasien terjaga dapat menurunkan durasi ventilasi mekanis dan lama inap di ICU(238). Meskipun pasien tidak menerima infus obat penenang terus menerus dalam penelitian ini, interupsi harian dan kesadaran memungkinkan untuk titrasi sedasi, untuk membuat dosis intermiten. Disamping itu, satu uji coba kesadaran spontan dikombinasikan dengan percobaan pernapasan spontan menurunkan durasi ventilasi mekanis, lama tinggal di ICU dan rumah sakit (238). Tidak ada perbedaan dalam durasi ventilasi mekanis atau panjang tinggal antara kelompok; dan interupsi sehari-hari dikaitkan dengan opiod harian yang lebih tinggi dan dosis benzodiazepin,dan jugak beban tugas kerja perawat. Tambahan, satu studi observasi prospektif secara random menunjukkan miokard iskemik merupakan penyakit umum dalam kelompok penyakit kritikal pada pasien dengan ventilasi, interupsi sedative harian tidak menyebabkan okurens iskemik miokard (312). Rehabillitasi fisikal merupakan goal utama tanpa menghiraukan apa jua metode sedatif yang diberikan. 2. Disarankan pemberian NMBAs pada pasien septic tanpa ARDS semungkin yang boleh dielakkan pemberiannya karena resiko terjadinya permanjangan blockade neuromaskular berikutan pemberhentian obat. Jika NMBAs harus dikekalkan , bolus intermiten atau infusi continue dapat digunakan (gred 1c). 3. Short course NMBAs (<48 jam)untuk pasien dengan sepsis induced ARDS dini Pao2/Fio2 ,150mm Hg (grade 2c). Rational: Walaupun NMBAs sering diadminitrasi pada pasien kritikal,perannya di ICU tidak begitu jelas. Tidak ada bukti yang menyatakan blockade neuromuscular menurunkan kadar mortalitas atau morbidity mayor pada kelompok pasien dan belum ada penelitian yang dilakukan tentang penggunaan NMBAs pada pasien septic. dan

Indikasi utama penggunaan NMBA di ICU intuk memfasilitas ventilasi mekanikal (314). Dengan penggunaan yang benar, ianya dapat membantu memperbaiki komplians pada dinding dada, mengelak dissynchrony dan penurunan puncak tekanan udara(315). Paralisi otot juga dapat mengurangkan konsumsi oksigen dengan mengurangkan kerja pernapasan dan aliran darah otot respirasi (316). Bagaimanapun, uji coba klinis pada control placebo pada pasien dengan sepsis menunjukkan penghantran,konsumsi oksigen dan pH intramukosal gastric tidak membaik semasa blockade neuromuscular. Sebuah uji klinis secara acak pada infusi continue cisatracurium pada pasien dengan ARDS dini dan Pao2/Fio2 <150 mmHg menunjukkan peningkatan tingkat kelangsungan hidup dan lebih disesuaikan organ kegagalan-bebas hari tanpa peningkatan risiko di ICU dibandingkan dengan pasien yang diobati dengan placebo(318). Para peneliti menggunakan dosis tinggi cisatracurium tanpa train of fourmonitor dan separuh pasien dar kelompok placebo menerima dosis tunggal NMBA. Tidak diketahui samaada NMBA lain memberikan kesan yang sama. Walaupun banyak pasien yang terpilih dalam percobaan ini menemui criteria sepsis tapi tidak dijaminkan hasilnya sama dengan hasil pada pasien sepsis. A GRADEpro Summary of Evidence Table tentang penggunaan NMBA pada ARDS dilampirkan di Supplemental Digital Content (http://links.lww.com/CCM/A615). Terdapat saranan assosiasi diantara penggunaan NMBA dan miopati dan neuropati disarankan oleh studi kasus dan prospektif observasi pada populasi critical care (315,319-322),namun mekanisme yang dihasilkan oleh NMBAs atau yang mengkontribusi kepada miopati dan neuropati tidak diketahui pada pasien ini. Walaupun tidak ada studi spesifik terhadap kelompok ini, secara kebijakan klinis, berdasarkan pengetahuan sedia ada, NMBAs tidak akan di administer kecuali terdapat indikasi yang jelas blokade neuromuscular tidak aman penggunaannya bersamaan sedatif dan analgesic (315). RCT secara prospektif membandingkan stimulasi saraf perifer dan assessment standar klinis pasien di ICU. RUdis et al (323) secara random77 pasien dengan sakit kritiakal di ICU memerlukan blockade neuromuscular untuk menerima pemberian dosis verocuronium berdasrkan kelompok simulasi train-of-four atau dengan assessment klinis. Non randomized studi observasi menyarankan monitoring pada saraf perifer mengurangkan atau tidak memberikan kesan pada penyembuhan klinis dari NMBAs di ICU (324,325). Manfaat yang didapati dari monitoring nueromuskular, termasuk mempercepatkan penyembuhan pada fungsi neuromuscular dan memendekan masa intubasi. Potensi untuk menghematkan kos (mengurangkan jumlah dosis NMBAs dan memendekkan masa intubasi) memungkinkan. Q. Kontrol glukosa 1. Menyarankan pendekatan protocol pada manajemen glukosa darah pada pasien di ICU dengan sepsis berat,memulakan dosis insulin bila dua konsekutif level glukosa darah>180 mg/dl.

Sasaran untuk upper blood glucose level180 mg/dL dari target glukosa darah 110 mg/dL (grade 1A). 2. Kami menyarankan glukosa darah di pantau setiap 1 hingga 2 jam sehingga value glukosa dan kadar infusi insulin stabil, kemudian 4 jam setelahnya (gred 1c). 3. Kami menyarankan level glukosa diadapatkn dengan point of care testing darah kapiler diinterprestasi dengan hati-hati, dimana takut terjadinya ketidak akkurasi pada saat pengukuran estimasi darah arterial atau nilai plasma glukosa (UG). Rational: Satu uji coba oleh RCT single center di ICU bedah jantung mendemonstrasi penurunan mortilitas di ICU dengan intensive insulin intravena ( Leuven protocol) mensasarkan glukosa darah 80 hingga 110 mg/dL (326). Percobaan kedua terapi insulin intensif dengan menggunakan Leuven protocol pada pasien di ICU antipitasi panjang rawat inapdi ICUlebih dari 3 hari di 3 ICU dan kadar mortilitas keseleruhan tidak berkurang. Semenjak studi ini (326,327) dan studi sebelumya Surviving Sepsis Guideliness(7) muncul, beberapa RCT (128,328-332) dan meta analisis(333-337) pada terapi intensif insulin dijalankan. Studi RT melibatkan populasi pasien bedah dan perawatan ICU menemui terapi intense insulin tidak menurunkn kadar mortalitas(128,328-332), sementara NICE SUGAR trials mendemostransikan peningkatan morbilitas (311). Semua studi (128,328-332) melaporkan peninggian kejadian pada severe hypoglycemia (glukosa<40mg/dL) (6%-29%) dengan terapi intensif insulin. Beberapa meta analisis mengkonfirmasikan bahwa terapi intensif insulin tidak berkaitan dengan manfaat mortalitas di bedah , medical atau pasien ICU(333,335,337). Metaanalisis dariGriesdale dan teman sejawat,menggunakn diantara perbandingan percobaan didorong oleh Van den Berghe et al (326),menemukan terapi intensif insulin sangat bermanfaat pada pasien bedah di ICU (ratio risiko,0.63[0.44-0.9]), sementara meta analisis Friedrich et al (336) menggunakan perbandingan percobaan, menunjukkan tidak bermanfaat pada pasien bedah di mix medical-sergery ICU(rasi resiko0.99[0.82-1.11]).RCT melaporkan (326,327)membandingkan terapi intense insulin dengan control tinggi (180-200mg/dL) (OR,0.89[0.73-1.09],sementara yang tidak memberikan manfaat (330-332) dibandingkan dengan intensif terapi dengan control moderate (108-180mg/dL)[OR,1.14(1.02 to-1.26)]. Pencetus untuk pemberian protocol insulin pada glukosa darah>180 mg/dL dengan sasaran level glukosa darah diatas <180 mg/dL ditemukan dari studi NICE-SUGAR (331), dimana menggunakan nilai ini sbagai permulaan dan pemberhentian terapi.

Anda mungkin juga menyukai