Anda di halaman 1dari 68

BAB I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sampai saat ini hipertensi masih menjadi masalah karena beberapa hal, antara lain meningkatkan prevalensi hipertensi, masih banyak hipertensi yang belum mendapat pengobatan maupun yang sudah diobati tetapi tekanan darah belum mencapai target, serta adanya penyakit penyerta dan komplikasi yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.16

Hipertensi adalah penyakit yang terjadi akibat peningkatan tekanan darah yang bisa menyebabkan berbagai komplikasi terhadap beberapa penyakit lain, bahkan penyebab timbulnya penyakit jantung, stroke, dan ginjal. Di seluruh dunia, hipertensi merupakan masalah yang besar dan serius.16 Di samping karena prevalensinya yang tinggi dan cenderung meningkat di masa yang akan datang, juga karena tingkat keganasannya yang tinggi berupa kecacatan permanen dan kematian mendadak.

Hipertensi tidak hanya menyerang di usia tua saja, tetapi remaja juga bisa mengalaminya. Pada masa transisi ini remaja rentan untuk mengalami masalah serta berperilaku risiko tinggi, seperti merokok, minum-minuman berakohol, dan lain-lain. Perilaku-perilku berisiko tersebut merupakan salah satu faktor penyebab hipertensi.

Hipertensi bersifat diturunkan atau bersifat genetik. Individu dengan riwayat keluarga hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi daripada individu yang tidak mempunyai keluarga dengan

riwayat hipertensi. Insidensi hipertensi meningkat seiring dengan pertambahan usia, dan pria memiliki risiko hipertensi lebih tinggi untuk menderita hipertensi lebih awal. Obesitas dapat meningkatkan kejadian hipertensi. Hal ini disebabkan lemak dapat menimbulkan sumbatan pada pembuluh darah sehingga dapat meningkatkan tekanan darah.

Kurangnya olahraga meningkatkan risiko menderita hipertensi karena meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang yang tidak aktif juga cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantungnya harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung memompa, makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pathogenesis dari hipertensi+ penyakit ginjal kronik+gagal jantung kongestif ? 2. Bagaimana cara menegakan diagnose hipertensi+ penyakit ginjal

kronik+gagal jantung kongestif ? 3. Bagaimana penatalaksanaan komprehensif hipertensi+ penyakit ginjal kronik+gagal jantung kongestif ? 4. Bagaimana pemilihan obat yang sesuai untuk kasus hipertensi+ penyakit ginjal kronik+gagal jantung kongestif ?

C. Tujuan

Mengetahui

tentang,

patofisiologi,

cara

menegakkan

diagnosa,

serta

penatalaksanaannya hipertensi+ penyakit ginjal kronik+gagal jantung kongestif .

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

1. Penyakit ginjal kronik

1. Definisi Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Dan ditandai dengan adanya uremia ( retensi urea dan sampah nitrogen lainnya dalam darah). (2)

2. Kriteria (2) Kriteria Penyakit Ginjal Kronik (NKF-KDOQI, 2002) 1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi: Kelainan patologis Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests) 2. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

3. Klasifikasi (2) Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit Derajat Penjelasan 1 LFG (ml/mn/1,73m2)

Kerusakan ginjal dengan LFG normal 90 atau

Kerusakan ringan

ginjal

dengan

LFG 60 89

Kerusakan sedang

ginjal

dengan

LFG 30 59

4 5

Kerusakan ginjal dengan LFG Gagal ginjal

berat

15 29 < 15 atau dialisis

Klasifikasi atas dasar penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft Gault sebagai berikut : LFG (ml/mnt/1,73m2) (140 umur) X berat badan *) 72 X kreatinin plasma (mg/dl) *) pada perempuan dikalikan 0,85 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Diagnosis Etiologi Penyakit Penyakit diabetes Penyakit ginjal non Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi diabetes sistemik, obat, neoplasma) Penyakit vaskular ( penyakit pembuluh darah Tipe mayor ( contoh ) ginjal Diabetes tipe 1 dan 2

besar, hipertensi, mikroangiopathi) Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan obat) Penyakit kistik (ginjal polikistik) Penyakit transplantasi pada Rejeksi kronik Keracunan obat (siklosporin / takrolimus) Penyakit recurrent (glomerular) Transplant glomerulopathy

4. Etiologi (3) Dua penyebab utama penyakit gagal ginjal kronis adalah diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2 (44%) dan hipertensi (27%). Diabetes melitus adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan kadar glukosa dalam darah sehingga menyebabkan kerusakan pada organ-organ vital tubuh seperti ginjal dan jantung serta pembuluh darah, saraf dan mata. Sedangkan hipertensi merupakan keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah yang jika tidak terkontrol akan menyebabkan serangan jantung, stroke, dan penyakit ginjal kronik. Penyakit ginjal kronik juga dapat menyebabkan hipertensi. Kondisi lain yang dapat menyebabkan gangguan pada ginjal antara lain : Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis (10%), dapat menyebabkan inflamasi dan kerusakan pada unit filtrasi ginjal. Merupakan penyakit ketiga tersering penyebab penyakit ginjal kronik Penyakit keturunan seperti penyakit ginjal polikistik (3%) menyebabkan pembesaran kista di ginjal dan merusak jaringan sekitar, dan asidosis tubulus.Malformasi yang didapatkan oleh bayi pada saat berada di dalam rahim si ibu. Contohnya, penyempitan aliran urin normal sehingga terjadi aliran balik urin ke ginjal. Hal ini menyebabkan infeksi dan kerusakan pada ginjal.Lupus dan penyakit lain yang memiliki efek pada sistem imun (2%). Penyakit ginjal obstruktif

seperti batu saluran kemih, tumor, pembesaran glandula prostat pada pria danrefluks ureter. Infeksi traktus urinarius berulang kali seperti pielonefritis kronik. Penggunaan analgesik seperti acetaminophen (Tylenol) dan ibuprofen (Motrin, Advil) untuk waktu yang lama dapat menyebabkan neuropati analgesik sehingga berakibat pada kerusakan ginjal. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis dan stenosis arteri renalis. Penyebab lainnya adalah infeksi HIV, penyakit sickle cell, penyalahgunaan heroin, amyloidosis, gout, hiperparatiroidisme dan kanker.

5. Faktor resiko Faktor resiko penyakit ginjal kronik diantara lain : pasien dengan diabetes melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berusia lebih dari 50 tahun, individu dengan riwayat diabetes melitus, hipertensi dan penyakit ginjal dalam keluarga serta kumpulan populasi yang memiliki angka tinggi

diabetes atau hipertensi seperti African Americans, Hispanic Americans, Asian, Pacific Islanders, dan American Indians. (4) 6. Epidemiologi (2) Di Amerika Serikat, data tahun 1995 1999 menyatakan insiden penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40 60 kasus perjuta penduduk pertahun. 7. Anatomi Ginjal(1) Ginjal adalah sepasang organ berbentuk kacang yang terletak di belakang rongga abdomen, satu di setiap sisi kolumna vertebralis sedikit diatas garis pinggang. Setiap ginjal diperdarahi oleh arteri renalis dan vena renalis, yang masing masing masuk dan keluar ginjal dilekukan medial yang menyebabkan organ ini berbentuk seperti buncis. Ginjal mengolah plasma

yang mengalir masuk ke dalamnya untuk menghasilkan urin yang kemudian mengalir ke sebuah rongga pengumpul sentral (pelvis renalis) yang terletak pada bagian dalam sisi medial di pusat (inti) kedua ginjal. Lalu dari situ urin disalurkan ke dalam ureter, sebuah duktus berdinding otot polos yang keluar dari batas medial dekat dengan pangkal (bagian proksimal) arteri dan vena renalis. Terdapat dua ureter, yang menyalurkan urin dari setiap ginjal ke sebuah kandung kemih. Kandung kemih ( buli buli) yang menyimpan urin secara temporer, adalah sebuah kantung berongga yang dapat diregangkan dan volumenya disesuaikan dengan mengubah ubah status kontraktil otot polos di dindingnya. Secara berkala, urin dikosongkan dari kandung kemih keluar tubuh melalui sebuah saluran, uretra. Bagian bagian sistem kemih diluar ginjal memiliki fungsi hanya sebagai saluran untuk memindahkan urin keluar tubuh. Setelah terbentuk di ginjal, komposisi dan volume urin tidak berubah pada saat urin mengalir ke hilir melintasi sisi sistem kemih.

Setiap ginjal terdiri dari sekitar satu juta satuan fungsional berukuran mikroskopik yang dikenal sebagai nefron, yang disatukan satu sama lain oleh jaringan ikat. Susunan nefron di dalam ginjal membentuk dua daerah khusus : daerah sebelah luar yang tampak granuler ( korteks ginjal) dan daerah bagian dalam yang berupa segitiga segitiga bergaris garis, piramida ginjal, yang secara kolektif disebut medula ginjal. Setiap nefron terdiri dari komponen vaskuler dan komponen tubulus, yang keduanya secara struktural dan fungsional berkaitan erat

Komponen vaskuler dari nefron diantara lain : Arteriol aferen merupakan bagian dari arteri renalis yang sudah terbagi bagi menjadi pembuluh pembuluh halus dan berfungsi menyalurkan darah ke kapiler glomerulus Glomerulus suatu berkas kapiler berbentuk bola tempat filtrasi sebagian air dan zat terlarut dari darah yang melewatinya

Arteriol eferen Tempat keluarnya darah yang tidak difiltrasi ke dalam komponen tubulus meninggalkan glomerulus dan merupakan satu satunya arteriol di dalam tubuh yang mendapat darah dari kapiler

Kapiler peritubulus Merupakan arteriol eferen yang terbagi bagi menjadi serangkaian kapiler yang kemudian membentuk jalinan mengelilingi sistem tubulus untuk memperdarahi jaringan ginjal dan berperan dalam pertukaran cairan di lumen tubulus. Kapiler kapiler peritubulus menyatu membentuk venula yang akhirnya mengalir ke vena renalis, temoat darah meninggalkan ginjal

Komponen tubulus dari setiap nefron adalah saluran berrongga berisis cairan yang terbentuk oleh satu lapisan sel epitel, di antara lain : Kapsula Bowman Suatu invaginasi berdinding rapat yang melingkupi glomerulus untuk mengumpulkan cairan yang difiltrasi oleh kapiler glomerulus Tubulus proksimal Seluruhnya terletak di dalam korteks dan sangat bergelung (berliku liku) atau berbelit si sepanjang perjalanannya. Tubulus proksimal menerima cairan yang difiltrasi dari kapsula bowman Lengkung henle Lengkung tajam atau berbentuk U atau yang terbenam ke dalam medula. Pars desendens lengkung henle terbenam dari korteks ke dalam medula, pars assendens berjalan kembali ke atas ke dalam korteks. Pars assendens kembali ke daerah glomerulus dari nefronnya sendiri, tempat saluran tersebut melewati garpu yang dibentuk oleh arteriol aferen dan arteriol eferen. Dititk ini sel sel tubulus dan sel sel vaskuler mengalami spesialisasi membentuk

aparatus jukstaglomerulus yang merupakan suatu struktur yang berperan penting dalam mengatur fungsi ginjal.

Tubulus distal Seluruhnya terletak di korteks. Tubulus distal menerima cairan dari lengkung henle dan mengalirkan ke dalam duktus atau tubulus pengumpul

Duktus atau tubulus pengumpul Suatu duktus pengumpul yang menerima cairan dari beberapa nefron yang berlainan. Setiap duktus pengumpul terbenam ke dalam medula untuk mengosongkan cairan yang kini telah berubah menjadi urin ke dalam pelvis ginjal

Terdapat 2 jenis nefron yaitu nefron korteks dan nefron jukstamedula yang dibedakan berdasarkan lokasi dan panjang sebagian strukturnya. Nefron korteks merupakan jenis nefron yang paling banyak dijumpai dan lengkung tajam dari nefron korteks hanya sedikit terbenam ke dalam medula. Sebaliknya, nefron jukstamedula terletak di lapisan dalam korteks di dekat medula dan lengkungnya terbenam jauh ke dalam medula. Selain itu, kapiler peritubulus nefron jukstamedula membentuk lengkung vaskuler tajam yang dikenal sebagai vasa rekta, yang berjalan berdampingan erat dengan lengkung henle. Susuna paralel dan karakteristik permeabilitas dan transportasi lengkung henle dan vasa rekta berperan penting dalam kemampuan ginjal menghasilkan urin dalam berbagai konsentrasi tergantung kebutuhan tubuh.

8. Fisiologi Ginjal(1) Ginjal melaksanakan tiga proses dasar dalam menjalankan fungsi regulatorik dan ekskretorik yaitu : (1) filtrasi glomerulus Terjadi filtrasi plasma bebas protein menembus kapiler glomerulus ke dalam kapsula Bowman melalui tiga lapisan yang membentuk membran glomerulus yaitu dinding kapiler glomerulus, lapisan gelatinosa aseluler yang dikenal sebagai membran basal dan lapisan dalam kapsula bowman.

Dinding kapiler glomerulus, yang terdiri dari selapis sel endotel gepeng, memiliki lubang lubang dengan banyak pori pori besar atau fenestra, yang membuatnya seratus kali lebih permeabel terhadap H2O dan zat terlarut dibandingkan kapiler di tempat lain. Membran basal terdiri dari glikoprotein dan kolagen dan terselip di antara glomerulus dan kapsula bowman. Kolagen menghasilkan

kekuatan struktural, sedangkan glikoprotein menghambat filtrasi protein plasma kecil. Walaupun protein plasma yang lebih besar tidak dapat difiltrasi karena tidak dapat melewati pori pori diatas, pori pori tersebut sebenarnya cukup besar untuk melewatkan albumin dan protein plasma terkecil. Namun, glikoprotein karena bermuatan sangat negatif akan menolak albumin dan pritein plasma lain, karena yang terakhir juga bermuatan negatif. Dengan demikian, protein plasma hampir seluruhnya tidak dapat di filtrasi dan kurang dari 1% molekul albumin yang berhasil lolos untuk masuk ke kapsula bowman.

Lapisan dalam kapsula bowman terdiri dari podosit, sel mirip gurita yang mengelilingi berkas glomerulus. Setiap podosit memiliki banyak tonjolan memanjang seperti kaki yang saling menjalin dengan tonjolan podosit di dekatnya. Celah sempit antara tonjolan yang berdekatan dikenal sebagai celah filtrasi, membentuk jalan bagi cairan untuk keluar dari kapiler glomerulus dan masuk ke dalam lumen kapsula bowman.

Tekanan yang berperan dalam proses laju filtrasi glomerulus adalah tekanan darah kapiler glomerulus, tekanan onkotik koloid plasma, dan tekanan hidrostatik kapsula bowman. Tekanan kapiler glomerulus adalah tekanan cairan yang ditimbulkan oleh darah di dalam kapiler glomerulus. Tekana darah glomerulus yang meningkat ini mendorong cairan keluar dari glomerulus untuk masuk ke kapsula bowman di sepanjang kapiler glomerulus dan merupakan gaya utama yang menghasilkan filtrasi glomerulus.

GFR dapat dipengaruhi oleh jumlah tekanan hidrostatik osmotik koloid yang melintasi membran glomerulus. Tekanan onkotil plasma melawan filtrasi, penurunan konsentrasi protein plasma, sehingga menyebabkan peningkatan GFR. Sedangkan tekanan hidrostatik dapat meningkat secara tidak terkontrol dan dapat mengurangi laju filtrasi.

Untuk mempertahankan GFR tetap konstan, maka dapat dikontrol oleh otoregulasi dan kontrol simpatis ekstrinsik.

Mekanisme otoregulasi ini berhubungan dengan tekanan darah arteri, karena tekanan tersebut adalah gaya yang mendorong darah ke dalam kapiler glomerulus. Jika tekanan darah arteri meningkat, maka akan diikuti oleh peningkatan GFR. Untuk menyesuaikan aliran darah glomerulus agar tetap konstan, maka ginjal melakukannya dengan mengubah kaliber arterial aferen, sehingga resistensi terhadap aliran darah dapat disesuaikan. Apabila GFR meningkat akibat peningkatan tekanan darah arteri, maka GFR akan kembali menjadi normal oleh konstriksi arteriol aferen yang akan menurunkan aliran darah ke dalam glomerulus.

Selain mekanisme otoregulasi, untuk menjaga GFR agar tetap konstan adalah dengan kontrol simpatis ekstrinsik GFR. Diperantarai oleh masukan sistem saraf simpatis ke arteriol aferen untuk mengatur tekanan darah arteri sehingga terjadi perubahan GFR akibat refleks baroreseptor terhadap perubahan tekanan darah.

Dalam keadaan normal, sekitar 20% plasma yang masuk ke glomerulus difiltrasi dengan tekanan filtrasi 10 mmHg dan menghasilkan 180 L filtrat glomerulus setiap hari untuk GFR rata rata 125 ml/menit pada pria dan 160 liter filtrat per hari dengan GFR 115 ml/menit untuk wanita. (2) reabsorpsi tubulus Merupakan proses perpindahan selektif zat zat dari bagian dalam tubulus (lumen tubulus) ke kapiler peritubulus agar dapat diangkut ke sistem vena kemudian ke jantung untuk kembali diedarkan. Proses ini meupakan transport aktif dan pasif karena sel sel tubulus yang berdekatan dihubungkan oleh tight junction. Glukosa dan asam amino dereabsorpsi seluruhnya disepanjang tubulus proksimal melalui

transport aktif. Kalium dan asam urat hampir seluruhnya direabsorpsi secara aktif dan di sekresi ke dalam tubulus distal. Reabsorpsi natrium terjadi secara aktif di sepanjang tubulus kecuali pada ansa henle pars descendens. H2O, Cl-, dan urea direabsorpsi ke dalam tubulus proksimal melalui transpor pasif. Berikut ini merupakan zat zat yang direabsorpsi di ginjal : a. Reabsorpsi Glukosa Glukosa direabsorpsi secara transpor altif di tubulus proksimal. Proses reabsorpsi glukosa ini bergantung pada pompa Na ATP-ase, karena molekul Na tersebut berfungsi untuk mengangkut glukosa menembus membran kapiler tubulus dengan menggunakan energi. b. Reabsorpsi Natrium Natrium yang difiltrasi seluruhnya di glomerulus, 98 99% akan direabsorpsi secara aktif ditubulus. Sebagian natrium 67% direabsorpsi di tubulus proksimal, 25% dereabsorpsi di lengkung henle dan 8% di tubulus distal dan tubulus pengumpul. Natrium yang direabsorpsi sebagian ada yang kembali ke sirkulasi kapiler dan dapat juga berperan penting untuk reabsorpsi glukosa, asam amino, air dan urea. c. Reabsorpsi Air Air secara pasif direabsorpsi melalui osmosis di sepanjang tubulus. Dari H2O yang difiltrasi, 80% akan direabsorpsi di tubulus proksimal dan ansa henle. Kemudian sisa H2O sebanyak 20% akan direabsorpsi di tubulus distal dan duktus pengumpul dengan kontrol vasopressin. d. Reabsorpsi Klorida Ion klorida yang bermuatan negatif akan direabsorpsi secara pasif mengikuti penurunan gradien reabsorpsi aktif dan natrium yang bermuatan positif. Jumlah Klorida yang direabsorpsikan ditentukan oleh kecepatan reabsorpsi Na

e. Reabsorpsi Kalium Kalium difiltrasi seluruhnya di glomerulus, kemudian akan direabsorpsi secara difusi pasif di tubulus proksimal sebanyak 50%, 40% kalium akan dirabsorpsi di ansa henle pars assendens tebal, dan sisanya direabsorpsi di duktus pengumpul f. Reabsorpsi Urea Urea merupakan produk akhir dari metabolisme protein. Ureum akan difiltrasi seluruhnya di glomerulus, kemudian akan

direabsorpsi sebagian di kapiler peritubulus, dan urea tidak mengalami proses sekresi. Sebagian ureum akan direabsorpsi di ujung tubulus proksimal karena tubulus kontortus proksimal tidak permeabel terhadap urea. Saat mencapai duktus pengumpul urea akan mulai direabsorpsi kembali. g. Reabsorpsi Fosfat dan Kalsium Ginjal secara langsung berperan mengatur kadar kedua ion fosfat dan kalsium dalam plasma. Kalsium difiltrasi seluruhnya di glomerulus, 40% direabsorpsi di tubulus kontortus proksimal dan 50% direabsorpsi di ansa henle pars assendens. Dalam reabsorpsi kalsium dikendalikan oleh homon paratiroid. Ion fosfat ayng difiltrasi, akan direabsorpsi sebanyak 80% di tubulus kontortus proksimal kemudian sisanya akan dieksresikan ke dalam urin. (3) sekresi tubulus Proses perpindahan selektif zat zat dari darah kapiler peritubulus ke dalam lumen tubulus. Proses sekresi terpenting adalah sekresi H+, K+ dan ion ion organik. Proses sekresi ini melibatkan transportasi transepitel. Di sepanjang tubulus, ion H+ akan disekresi ke dalam cairan tubulus sehingga dapat tercapai keseimbangan asam basa. Asam urat dan K+ disekresi ke dalam tubulus distal. Sekitar 5% dari kalium yang terfiltrasi akan dieksresikan ke dalam urin dan kontrol sekresi ion K+ tersebut diatur oleh hormon antidiuretik. Kemudian hasil dari ketiga proses tersebut adalah terjadinya eksresi urin, dimana semua konstituen plasma yang mencapai tubulus, yaitu yang difiltrasi

atau disekresi tetapi tidak direabsorpsi, akan tetap berada di dalam tubulus dan mengalir ke pelvis ginjal untuk eksresikan sebagai urin.

Fungsi spesifik yang dilakukan oleh ginjal, yang sebagian besar ditujukan untuk mempertahankan kestabilan lingkungan cairan eksternal : 1. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh 2. Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES termasuk Na+, Cl-, K+, HCO3-, Ca++, Mg++, SO4=, PO4= dan H+ 3. Memelihara volume plasma yang sesuai, sehingga sangat berperan dalam pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini dilaksanakan melalui peran ginjal sebagai pengatur keseimbangan garam dan H2O 4. Membantu memelihara keseimbangan asam basa tubuh, dengan menyesuaikan pengeluaran H+ dan HCO3- melalui urin 5. Memelihara osmolaritas (konsentrasi zat terlarut) berbagai cairan tubuh, terutama melalui pengaturan keseimbangan H2O 6. Mengeksresikan (eliminasi) produk produk sisa (buangan) dari metabolisme tubuh. Misalnya urea, asam urat, dan kreatinin. Jika dibiarkan menumpuk, zat zat sisa tersebut bersifat toksik, terutama bagi otak 7. Mengeksresikan banyak senyawa asing. Misalnya obat, zat penambah pada makanan, pestisida, dan bahan bahan eksogen non-nutrisi lainnya yang berhasil masuk ke dalam tubuh

8. Mensekresikan eritropoietin, suatu hormon yang dapat merangsang pembentukan sel darah merah 9. Mensekresikan renin, suatu hormon enzimatik yang memicu reaksi berantai yang penting dalam proses konservasi garam oleh ginjal 10. Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya

9. Patofisiologi Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasari, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pada penyakit ginjal kronik terjadi pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif. Perubahan fungsi neuron yang tersisa setelah kerusakan ginjal menyebabkan pembentukan jaringan ikat, sedangkan nefron yang masih utuh akan mengalami peningkatan beban eksresi sehingga terjadi lingkaran setan hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah glomerulus. Demikian seterusnya, keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan Gagal Ginjal Terminal (GGT) atau End Stage Renal Disease (ESRD). Adanya peningkatan aktivitas aksis reninangiotensin-aldosteron intrarenal, hipertensi sistemik, nefrotoksin dan hipoperfusi ginjal, proteinuria, hiperlipidemia ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. (2) Dengan adanya penurunan LFG maka akan terjadi : (5) - Anemia Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan penurunan produksi eritropoietin sehingga tidak terjadi proses pembentukan eritrosit menimbulkan anemia ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit, penurunan kadar Hb dan diikuti dengan penurunan kadar hematokrit

darah. Selain itu GGK dapat menyebabkan gangguan mukosa lambung (gastripati uremikum) yang sering menyebabkan perdarahan saluran cerna. Adanya toksik uremik pada GGK akan mempengaruhi masa paruh dari sel darah merah menjadi pendek, pada keadaan normal 120 hari menjadi 70 80 hari dan toksik uremik ini dapat mempunya efek inhibisi eritropoiesis - Sesak nafas Menurut saya disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus juxtaglomerulus sehingga mengubah

angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II merangsang pelepasan aldosteron dan ADH ssehingga menyebabkan retensi NaCl dan air volume ekstrasel meningkat (hipervolemia) volume cairan berlebihan ventrikel kiri gagal memompa darah ke perifer LVH peningkatan tekanan atrium kiri peningkatan tekanan vena pulmonalis peningkatan tekanan di kapiler paru edema paru sesak nafas - Asidosis Pada penyakit ginjal kronik, asidosis metabolik dapat terjadi akibat penurunan kemampuan ginjal untuk mengeksresikan ion H+ disertai dengan penurunan kadar bikarbonat (HCO3) dan pH plasma. Patogenesis asidosis metabolik pada penyakit ginjal kronik meliputi penurunan eksresi amonia karena kehilangan sejumlah nefron, penurunan eksresi fosfat, kehilangan sejumlah bikarbonat melalui urin. Derajat asidosis ditentukan oleh penurunan pH darah. Apabila penurunan pH darah kurang dari 7,35 dapat dikatakan asidosis metabolik. Asidosis metabolik dpaat menyebabkan gejala saluran cerna seperti mual, muntah, anoreksia dan lelah. Salah satu gejala khas akibat asidosis metabolik adalah pernapasan kussmaul yang timbul karena kebutuhan untuk meningkatkan eksresi karbon dioksida untuk mengurangi keparahan asidosis

- Hipertensi Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II memiliki efek vasokonstriksi kuat sehingga meningkatkan tekanan darah. - Hiperlipidemia Penurunan GFR menyebabkan penurunan pemecahan asam lemak bebas oleh ginjal sehingga menyebabkan hiperlipidemia. - Hiperurikemia Terjadi gangguan eksresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi di dalam darah (hiperurikemia). Kadar asam urat yang tinggi akan menyebabkan pengendapan kristal urat dalam sendi, sehingga sendi akan terlihat membengkak, meradang dan nyeri - Hiponatremia Peningkatan eksresi natrium dapat disebabkan oleh pengeluaran hormon peptida natriuretik yang dapat menghambat reabsorpsi natrium pada tubulus ginjal. Bila fungsi ginjal terus memburuk disertai dengan penurunan jumlah nefron, natriuresis akan meningkat. Hiponatremia yang disertai dengan retensi air yang berlebihan akan menyebabkan dilusi natrium di cairan ekstraseluler. Keadaan hiponetremia ditandai dengan gangguan saluran pencernaan berupa kram, diare dan muntah. - Hiperfosfatemia Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eksresi fosfat sehingga fosfat banyak yang berada dalam sirkulasi darah. Jika kelarutannya terlampaui, fosfat akan bergabung deng Ca2+ untuk

membentuk kalsium fosfat yang sukar larut. Kalsium fosfat yang terpresipitasi akan mengendap di sendi dan kulit ( berturut-turut menyebabkan nyeri sendi dan pruritus)

- Hipokalsemia Disebabkan karena Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat. Keadaan hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar paratiroid sehingga memobilisasi kalsium fosfat dari tulang. Akibatnya terjadi demineralisasi tulang (osteomalasia). Biasanya PTH mampu membuat konsentrasi fosfat di dalam plasma tetap rendah dengan menghambat reabsorbsinya diginjal. Jadi meskipun terjadi mobilisasi kalsium fosfat dari tulang, produksinya di plasma tidak berlebihan dan konsentrasi Ca2+ dapat meningkat. Namun pada insufisiensi ginjal, eksresinya melalui ginjal tidak dapat ditingkatkan sehingga konsentrasi fosfat di plasma meningkat. Selanjutnya konsentrasi CaHPO4 terpresipitasi dan konsentrasi Ca2+ di plasma tetap rendah. Oleh karena itu, rangsangan untuk pelepasan PTH tetap berlangsung. Dalam keadaan perangsangan yang terus-menerus ini, kelenjar paratiroid mengalami hipertrofi bahkan semakin melepaskan lebih banyak PTH. Kelaina yang berkaitan dengan hipokalsemia adalah hiperfosfatemia, osteodistrofi renal dan

hiperparatiroidisme sekunder. Karena reseptor PTH selain terdapat di ginjal dan tulang, juga terdapat di banyak organ lain ( sistem saraf, lambung, sel darah dan gonad), diduga PTH berperan dalam terjadinya berbagai kelainan di organ tersebut.

Pembentukan kalsitriol berkurang pada gahal ginjal juga berperan dalam menyebabkan gangguan metabolisme mineral. Biasanya hormon ini merangsang absorpsi kalsium dan fosfat di usus. Namun karena terjadi penurunan kalsitriol, maka menyebabkan menurunnya absorpsi fosfat di usus, hal ini memperberat keadaan hipokalsemia - Hiperkalemia Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H+ plasma meningkat, maka ion hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel sel ginjal sehingga mengakibatkan kebocoran ion K+ ke dalam plasma. Peningkatan konsentrasi ion H+ dalam sel ginjal akan menyebabkan peningkatan sekresi hidrogen, sedangkan sekresi kalium di ginjal akan

berkurang sehingga menyebabkan hiperkalemia. Gambaran klinis dari kelainan kalium ini berkaitan dengan sistem saraf dan otot jantung, rangka dan polos sehingga dapat menyebabkan kelemahan otot dan hilangnya refleks tendon dalam, gangguan motilitas saluran cerna dan kelainan mental. - Proteinuria Proteinuria merupakan penanda untuk mengetahui penyebab dari kerusakan ginjal pada GGK seperti DM, glomerulonefritis dan hipertensi. Proteinuria glomerular berkaitan dengan sejumlah penyakit ginjal yang melibatkan glomerulus. Beberapa mekanisme menyebabkan kenaikan permeabilitas glomerulus dan memicu terjadinya glomerulosklerosis. Sehingga molekul protein berukuran besar seperti albumin dan immunoglobulin akan bebas melewati membran filtrasi. Pada keadaan proteinuria berat akan terjadi pengeluaran 3,5 g protein atau lebih yang disebu dengan sindrom nefrotik. - Uremia Kadar urea yang tinggi dalam darah disebut uremia. Penyebab dari uremia pada GGK adalah akibat gangguan fungsi filtrasi pada ginjal sehingga dapat terjadi akumulasi ureum dalam darah. Urea dalam urin dapat berdifusi ke aliran darah dan menyebabkan toksisitas yang mempengaruhi glomerulus dan mikrovaskularisasi ginjal atau tubulus ginjal. Bila filtrasi glomerulus kurang dari 10% dari normal, maka gejala klinis uremia mulai terlihat. Pasien akan menunjukkan gejala iritasi traktus gastrointestinal, gangguan neurologis, nafas seperti amonia (fetor uremikum), perikarditis uremia dan pneumonitis uremik. Gangguan pada serebral adapat terjadi pada keadaan ureum yang sangat tinggi dan menyebabkan koma uremikum.

10. Diagnosis Gejala Klinis Pada penyakit ginjal kronik, gejala gejalanya berkembang secara perlahan. Pada awalnya tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi

ginjal hanya dapat diketahui dari pemeriksaan laboratorium. Sejalan dengan berkembangnya penyakit, maka lama kelamaan akan terjadi peningkatan kadar ureum darah semakin tinggi (uremia). Pada stadium ini, penderita menunjukkan gejala gejala fisik yang melibatkan kelainan berbagai organ seperti : - Kelainan saluran cerna : nafsu makan menurun, mual, muntah dan fetor uremik - Kelainan kulit : urea frost dan gatal di kulit - Kelainan neuromuskular : tungkai lemah, parastesi, kram otot, daya konsentrasi menurun, insomnia, gelisah - Kelainan kardiovaskular : hipertensi, sesak nafas, nyeri dada, edema - Gangguan kelamin : libido menurun, nokturia, oligouria

Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60 % pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30 % mulai terjadi keluhan pada seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG kurang 30 % pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolumia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15 % akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal

replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal. (2) Gambaran Laboratorium(2) Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi : a) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya b) Penurunan fungsi ginjal berupa peningakatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG c) Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik d) Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isostenuria Gambaran Radiologis(2) Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi : a) Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak b) Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan c) Pielografi antegrad atau retrograd sesuai indikasi d) Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi e) Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi Biopsi Dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal(2) Dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan dan bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan

mengevaluasi hasil terapi yang sudah diberikan. Kontraindikasi pada ukuran ginjal yang mengecil, ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas. 11. Komplikasi(2) Penyakit ginjal kronik dapat menyebabkan berbagai komplikasi sebagai berikut : - Hiperkalemia - Asidosis metabolik - Komplikasi kardiovaskuler ( hipertensi dan CHF ) - Kelainan hematologi (anemia) - Osteodistrofi renal - Gangguan neurologi ( neuropati perifer dan ensefalopati) - Tanpa pengobatan akan terjadi koma uremik 12. Penatalaksanaan(2) Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi : 1) Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya Waktu yang tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan LFG. Bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat. 2) Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG untuk mngetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. 3) Memperlambat perburukan fungsi ginjal Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Cara untuk mengurangi hiperfiltrasi

glomerulus adalah : o Pembatasan asupan protein

Karena kelebihan protein tidak dapat disimpan didalam tubuh tetapi di pecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama dieksresikan melalui ginjal selain itu makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion anorganik lainnya juga dieksresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada penderita penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lainnya dan mengakibatkan sindrom uremia. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama dan untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia

Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik LGF ml/menit Asupan g/kg/hari >60 25 60 Tidak dianjurkan 0,6 Tidak dibatasi protein Fosfat g/kg/hari

0,8/kg/hari, < 10 g > 0,35

termasuk

gr/kg/hr nilai biologi tinggi 5 -25 0,6 0,8/kg/hari, < 10 g > 0,35

termasuk

gr/kg/hr protein nilai biologi tinggi atau tambahan 0,3 g

asam amino esensial atau asam keton <60(sind.nefrotik) 0,8/kg/hari (+1 gr < 9 g protein/ g

proteinuria atau 0,3 g/kg tambahan asam

amino esensial atau asam keton o Terapi farmakologi Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat antihipertensi (ACE inhibitor) disamping bermanfaat untuk

memperkecil resiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerular dan hipertrofi glomerulus 4) Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular Dengan cara pengendalian DM, pengendalian hipertensi, pengedalian dislipidemia, pengedalian anemia, pengedalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. 5) Pencegahan dan terapi terhadap penyakit komplikasi - Anemia Evaluasi terhadap anemia dimulai saaat kadar hemoglobin < 10 g% atau hematokrit < 30% meliputi evaluasi terhadap status besi ( kadar besi serum/serum iron, kapasitas ikat besi total/ total iron binding capacity, feritin serum), mencari sumber perdarahan morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis,dll. Pemberian eritropoitin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Sasaran hemoglobin adalah 11 12 g/dl. - Osteodistrofi renal Penatalaksaan osteodistrofi renal dapat dilakukan melalui : i. Mengatasi hiperfosfatemia Pembatasan asupan fosfat 600 800 mg/hari Pemberian pengikat fosfat, seperti garam, kalsium, alluminium hidroksida, garam magnesium. Diberikan secara oral untuk menghambat absorpsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan calcium acetate

Pemberian bahan kalsium memetik, yang dapat menghambta reseptor Ca pada kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. ii. Pemberian kalsitriol Pemakaian dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali normal karena dapat meningkatkan absorpsi fosfat dan kaliun di saluran cerna sehingga mengakibatkan penumpukan garam calcium carbonate di jaringan yang disebut kalsifikasi metastatik, disamping itu juga dapat mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid. iii. Pembatasan cairan dan elektrolit Pembatasan asupan cairan untuk mencegah terjadinya edema dan kompikasi kardiovaskular sangat perlu dilakukan. Maka air yang masuk dianjurkan 500 800 ml ditambah jumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi asuapannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan karena hiperkalemia dapat

mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5 5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema yang terjadi. 6) Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal Dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG < 15 ml/mnt. Berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.

13. Prognosis Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka panjangnya buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan

yang dilakukan sekarang ini, bertujuan hanya untuk mencegah progresifitas dari GGK itu sendiri. Selain itu, biasanya GGK sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai tingkat lanjut dan menimbulkan gejala sehingga penanganannya seringkali terlambat. (3)

2. Congestif Heart Failure

1. Definisi Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri-ciri yang penting dari definisi ini adalah pertama, definisi gagal adalah relatif terhadap kebutuhan metabolik tubuh. Kedua, penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditujukan spesifik pada fungsi miokardium; gagal miokardium umumnya mengakibatkan gagal jantung, tetapi mekanisme kompensatorik sirkulasi dapat menunda atau bahkan mencegah perkembangan penyakit menjadi gagal jantung. 6 Beberapa istilah dalam gagal jantung : 9 1. Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik : Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan sulit dibedakan dari pemeriksaan fisis, foto thoraks, atau EKG dan hanya dapat dibedakan dengan echocardiography. Gagal jantung sistolik adalah

ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, kemampuan aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya. Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel. Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi lebih dari 50%. Ada 3 macam gangguan fungsi diastolik ; Gangguan relaksasi, pseudo-normal, tipe restriktif.

2. Low Output dan High Output Heart Failure Low output heart failure disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi, kelainan katup dan perikard. High output heart failure ditemukan pada penurunan resistensi vaskular sistemik seperti dan hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula A V, beri-beri,

Penyakit Paget. Secara praktis, kedua kelainan ini tidak dapat dibedakan 3. Gagal Jantung Kiri dan Kanan Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan

tekanan vena pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan orthopnea. Gagal jantung kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti pada hipertensi pulmonal primer/sekunder,

tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis. Tetapi karena perubahan biokimia gagal jantung terjadi pada miokard ke- 2 ventrikel, maka retensi cairan pada gagal jantung yang sudah berlangsung bulanan atau tahun tidak lagi berbeda. 4. Gagal Jantung Akut dan Kronik Contoh gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba akibat endokarditis, trauma, atau infark miokard luas. Curah jantung yang menurun secara tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer. Contoh gagal jantung kronik adalah

kardiomiopati dilatasi atau kelainan multivalvular yang terjadi secara perlahan-lahan. Kongesti perifer sangat menyolok, namun tekanan darah masih terpelihara dengan baik.

Curah jantung yang kurang memadai, juga disebut forward failure, hampir selalu disertai peningkatan kongesti/ bendungan di sirkulasi vena (backward failure), karena ventrikel yang lemah tidak mampu

memompa darah dalam jumlah normal, hal ini menyebabkan peningkatan volume darah di ventrikel pada waktu diastol, peningkatan tekanan diastolik akhir di dalam jantung dan akhirnya peningkatan tekanan

vena . Gagal jantung kongestif mungkin mengenai sisi kiri dan kanan jantung atau seluruh rongga jantung. 10

2. Etiologi Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi : regurgitasi aorta dan defek septum ventrikel. Dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokardium dan kardiomiopati. Faktor-faktor yang dapat memicu perkembangan gagal jantung melalui penekanan sirkulasi yang mendadak dapat berupa : aritmia, infeksi sistemik, infeksi paru-paru dan emboli paru.6

Penyebab tersering gagal jantung kiri adalah hipertensi sistemik, penyakit katup mitral atau aorta, penyakit jantung iskemik, dan penyakit miokardium primer. Penyebab ventrikel kiri, tersering gagal jantung kanan adalah gagal

yang menyebabkan kongesti paru dan peningkatan

tekanan arteria pulmonalis. Gagal jantung kanan juga dapat terjadi tanpa disertai gagal jantung kiri pada pasien dengan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh paru (kor polmunale) dan pada pasien dengan penyakit katup arteri pulmonalis atau trikuspid. 10

3. Patofisiologi Bila jantung mendadak menjadi rusak berat, seperti nfark miokard, maka kemampuan pemompaan jantung akan segera menurun. Sebagai akibatnya akan timbul dua efek utama penurunan curah jantung, dan bendungan darah di vena yang menimbulkan kenaikan tekanan vena jugularis. 10,11,12

Sewaktu jantung mulai melemah, sejumlah respons adaptif lokal mulai terpacu dalam upaya mempertahankan curah jantung. Respons tersebut mencakup peningkatan aktivitas adrenergik simpatik, peningkatan beban awal akibat aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan hipertrofi ventrikel. Mekanisme ini mungkin memadai untuk mempertahankan curah

jantung pada tingkat normal atau hampir normal pada awal perjalanan gagal jantung, dan pada keadaan istirahat. Namun, kelainan kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak saat beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung, kompensasi menjadi semakin kurang efektif.
6,10,11,12

1. Peningkatan aktivitas adrenergik simpatis : Salah satu respons neurohumoral terhadap penurunan curah jantung adalah peningkatan aktivitas sistem adrenergik simpatis. Meningkatnya aktivitas adrenergik simpatis merangsang pengeluaran katekolami dari saraf-saraf adrenergik jantung dan medulla adrenal. Katekolamin ini akan menyebabkan kontraksi lebih kuat otot jantung (efek inotropik positif) dan peningkatan kecepatan jantung. Selain itu juga terjadi vasokontriksi arteri perifer untuk menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume darah dengan mengurangi aliran darah ke organorgan yang metabolismenya rendah misal kulit dan ginjal untuk mempertahankan perfusi ke jantung dan otak. Vasokonstriksi akan meningkatkan aliran balik vena ke sisi kanan jantung, untuk selanjutnya menambah kekuatan kontraksi sesuai dengan hukum Starling. Kadar katekolamin dalam darah akan meningkat pada gagal jantung,

terutama selama latihan. Jantung akan semakin bergantung pada katekolamin yang beredar dalam darah untuk mempertahankan kerja ventrikel.namun pada akhirnya respons miokardium terhadap

rangsangan simpatis akan menurun; katekolamin akan berkurang pengaruhnya terhadap kerja ventrikel. 6, 9, 12

Gambar 1. Mekanisme aktivasi sistem syaraf simpatik dan parasimpatik pada gagal jantung. 13 2. Peningkatan beban awal melalui aktivasi sistem Renin-AngiotensinAldosteron : Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan retensi natrium dan air oleh ginjal, meningkatkan volume ventrikel. Mekanisme yang mengakibatkan aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron pada gagal jantung masih belum jelas. Namun apapun mekanisme pastinya, penurunan curah jantung akan memulai serangkaian peristiwa berikut: - Penurunan aliran darah ginjal dan penurunan laju filtrasi glomerulus - Pelepasan renin dari apparatus jukstaglomerulus - Interaksi renin dan angiotensinogen dalam darah untuk

menghasilkan angiotensinI - Konversi angotensin I menjadi angiotensin II - Rangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal. - Retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus

kolektifus. Angiotensin II juga menghasilkan efek vasokonstriksi yang meningkatkan tekanan darah. 6, 10, 11, 12

Gambar 2. Sistem Renin - Angiotemsin- Aldosteron 14

3. Hipertrofi ventrikel : Respon kompensatorik terakhir adalah hipertrofi miokardium atau bertambah tebalnya dinding. Hipertrofi miokardium akan mengakibatkan peningkatan kekuatan kontraksi ventrikel. Awalnya, respon

kompensatorik sirkulasi memiliki efek yang menguntungkan; namun akhirnya mekanisme kompensatorik dapat menimbulkan gejala,

meningkatkan kerja jantung, dan memperburuk derajat gagal jantung. Retensi cairan yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan

kontraktilitas menyebabkan terbentuknya edema dan kongesti vena paru dan sistemik. Vasokontriksi arteri juga meningkatkan beban akhir dengan memperbesar resistensi terhadap ejeksi ventrikel; beban akhir juga meningkat karena dilatasi ruang jantung. Akibatnya, kerja jantung dan kebutuhan oksigen miokardium juga meningkat. Hipertrofi

miokardium dan rangsangan simpatis lebih lanjut akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Jika peningkatan kebutuhan oksigen tidak dapat dipenuhi akan terjadi iskemia miokardium dan gangguan miokardium lainnya. Hasil akhir dari peristiwa yang saling berkaitan ini adalah meningkatnya beban miokardium dan terus berlangsungnya gagal jantung. 6, 9,12,13

Gambar 3. Pola remodelling jantung yang terjadi karena respon terhadap hemodinamik berlebih. 13

4. Manifestasi Klinik Manifestasi klinik gagal jantung harus dipertimbangkan relatif terhadap derajat latihan fisik yang menyebabkan timbulnya gejala. Pada awalnya, secara khas gejala hanya muncul saat beraktivitas fisik, tetapi dengan bertambah beratnya gagal jantung, toleransi terhadap latihan semakin menurun dan gejala-gejala muncul lebih awal dengan aktivitas yang lebih ringan. 6, 9

Gejala-gejala dari gagal jantung kongestif bervariasi diantara individu sesuai dengan sistem organ yang terlibat dan juga tergantung pada derajat penyakit.6, 9, 14 Gejala awal dari gagal jantung kongestif adalah kelelahan. Meskipun kelelahan adalah gejala yang umum dari gagal jantung kongestif, tetapi gejala kelelahan merupakan gejala yang tidak spesifik yang mungkin

disebabkan oleh banyak kondisi-kondisi lain. Kemampuan seseorang untuk berolahraga juga berkurang. Beberapa pasien bahkan tidak merasakan keluhan ini dan mereka tanpa sadar membatasi aktivitas fisik mereka untuk memenuhi kebutuhan oksigen. Dispnea, atau perasaan sulit bernapas adalah manifestasi gagal jantung yang paling umum. Dispnea disebabkan oleh meningkatnya kerja pernapasan akibat kongesti vaskular paru yang mengurangi kelenturan paru.meningkatnya tahanan aliran udara juga menimbulkan dispnea. Seperti juga spektrum kongesti paru yang berkisar dari kongesti vena paru sampai edema interstisial dan akhirnya menjadi edema alveolar, maka dispnea juga berkembang progresif. Dispnea saat beraktivitas menunjukkan gejala awal dari gagal jantung kiri. Ortopnea (dispnea saat berbaring) terutama disebabkan oleh redistribusi aliran darah dari bagianbagian tubuh yang di bawah ke arah sirkulasi sentral.reabsorpsi cairan interstisial dari ekstremitas bawah juga akan menyebabkan kongesti vaskular paru-paru lebih lanjut. Paroxysmal Nocturnal Dispnea (PND) dipicu oleh timbulnya edema paru intertisial. PND merupakan

manifestasi yang lebih spesifik dari gagal jantung kiri dibandingkan dengan dispnea atau ortopnea. Batuk non produktif juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama pada posisi berbaring. Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru adalah ciri khas dari gagal jantung, ronki pada awalnya terdengar di bagian bawah paru-paru karena pengaruh gaya gravitasi. Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronkial yang terjadi akibat distensi vena. Gagal pada sisi kanan jantung menimbulkan gejala dan tanda kongesti vena sistemik. Dapat diamati peningkatan tekanan vena jugularis;

vena-vena leher mengalami bendungan . tekanan vena sentral (CVP) dapat meningkat secara paradoks selama inspirasi jika jantung kanan yang gagal tidak dapat menyesuaikan terhadap peningkatan aliran balik vena ke jantung selama inspirasi.

Dapat terjadi hepatomegali; nyeri tekan hati dapat terjadi akibat peregangan kapsula hati. Gejala saluran cerna yang lain seperti anoreksia, rasa penuh, atau mual dapat disebabkan kongesti hati dan usus. Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial. Edema mula-mula tampak pada bagian tubuh yang tergantung, dan terutama pada malam hari; dapat terjadi nokturia (diuresis malam hari) yang mengurangi retensi cairan.nokturia disebabkan oleh

redistribusi cairan dan reabsorpsi pada waktu berbaring, dan juga berkurangnya vasokontriksi ginjal pada waktu istirahat. Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema anasarka. Meskipun gejala dan tanda penimbunan cairan pada aliran vena sistemik secara klasik dianggap terjadi akibat gagal jantung kanan, namun manifestasi paling dini dari bendungan sistemik umumnya disebabkan oleh retensi cairan daripada gagal jantung kanan yang nyata. Seiring dengan semakin parahnya gagal jantung kongestif, pasien dapat mengalami sianosis dan asidosis akibat penurunan perfusi jaringan. Aritmia ventrikel akibat iritabilitas miokardium dan aktivitas berlebihan sietem saraf simpatis sering terjadi dan merupakan penyebab penting kematian mendadak dalam situasi ini.

5. Diagnosis Diagnosis gagal jantung kongestif didasarkan pada gejala-gejala yang ada dan penemuan klinis disertai dengan pemeriksaan penunjang antara lain foto thorax, EKG, ekokardiografi, pemeriksaan laboratorium rutin, dan pemeriksaan biomarker. 7, 15 Kriteria Diagnosis : 15 Kriteria Framingham dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif 6, 14

Kriteria Major : 1. Paroksismal nokturnal dispnea 2. Distensi vena leher 3. Ronki paru 4. Kardiomegali 5. Edema paru akut 6. Gallop S3 7. Peninggian tekana vena jugularis 8. Refluks hepatojugular

Kriteria Minor : 1. Edema eksremitas 2. Batuk malam hari 3. Dispnea deffort 4. Hepatomegali 5. Efusi pleura 6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal 7. Takikardi(>120/menit) Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria minor.

Klasifikasi

menurut

New

York

Heart

Association

(NYHA),

merupakan pedoman untuk pengklasifikasian penyakit gagal jantung kongestif berdasarkan tingkat aktivitas fisik, antara lain: 6 NYHA class I, penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam kegiatan fisik serta tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit jantung seperti cepat lelah, sesak napas atau berdebar-debar, apabila melakukan kegiatan biasa. NYHA class II, penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang biasa dapat menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti kelelahan, jantung berdebar, sesak napas atau nyeri dada.

NYHA class III, penderita penyakit dengan pembatasan yang lebih banyak dalam kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang kurang dari kegiatan biasa sudah menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti yang

tersebut di atas. NYHA class IV, penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun tanpa menimbulkan keluhan, yang bertambah apabila mereka melakukan kegiatan fisik meskipun sangat ringan.

Pemeriksaan Penunjang Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung, pemeriksaan penunjang sebaiknya dilakukan. 15 1. Pemeriksaan Laboratorium Rutin : 13,14,15 Pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urea nitrogen (BUN), kreatinin serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Juga dilakukan pemeriksaan gula darah, profil lipid. 2. Elektrokardiogram (EKG) Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG adalah untuk menilai ritme, menentukan adanya left ventrikel hypertrophy (LVH) atau riwayat MI (ada atau tidak adanya Q wave). EKG Normal biasanya menyingkirkan kemungkinan adanya disfungsi diastolik pada LV. 14,15 3. Radiologi : Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung dan bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadang- kadang efusi pleura begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat mengidentifikasi penyebab nonkardiak pada gejala pasien. 8,9,10 4. Penilaian fungsi LV : Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis,

mengevaluasi, dan menangani gagal jantung. Pemeriksaan paling berguna adalah echocardiogram 2D/ Doppler, dimana dapat memberikan penilaian semikuantitatif terhadap ukuran dan fungsi LV begitu pula

dengan menentukan keberadaan abnormalitas pada katup dan/atau pergerakan dinding Keberadaan regional (indikasi adanya MI sebelumnya).

dilatasi atrial kiri dan hypertrophy LV, disertai dengan diastolic pada LV yang

adanya abnormalitas pada pengisian

ditunjukkan oleh pencitraan, berguna untuk menilai gagal jantung dengan EF yang normal. Echocardiogram 2- D/Doppler juga bernilai untuk menilai ukuran ventrikel kanan dan tekanan pulmoner, dimana sangat penting dalam evaluasi dan penatalaksanaan cor pulmonale. MRI juga memberikan analisis komprehensif terhadap anatomi jantung dan sekarang menjadi gold standard dalam penilaian massa dan volume LV. Petunjuk paling berguna untuk menilai fungsi LV adalah EF (stroke volume dibagi dengan end-diastolic volume). Karena EF mudah diukur dengan pemeriksaan noninvasive dan mudah dikonsepkan. Pemeriksaan ini diterima secara luas oleh para ahli. Sayangnya, EF memiliki beberapa keterbatasan sebagai tolak ukur kontraktilitas, karena EF dipengaruhi oleh perubahan pada afterload dan/atau preload. Sebagai contoh, LV EF meningkat pada regurgitasi mitral sebagai akibat ejeksi darah ke dalam atrium kiri yang bertekanan rendah. Walaupun demikan, dengan pengecualian jika EF normal (> 50%), fungsi sistolik biasanya adekuat, dan jika EF berkurang secara bermakna (<30-40%). 15

6. Penatalaksanaan Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penalaksanaan secara non farmakologis dan secara farmakologis. Penatalaksanaan gagal jantung baik akut maupun kronik ditujukan untuk mengurangi gejala dan memperbaiki prognosis, meskipun penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi. 15 Terapi : 14 a. Non Farmakalogi : - Anjuran umum : Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan.

Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan seperti biasa. Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang masih bisa dilakukan. Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang. - Tindakan Umum : Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung ringan dan 1 g pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan. Hentikan rokok Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada yang lainnya. Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama 2030 menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang). Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut.

b. Farmakologi Terapi farmakologik terdiri atas; panghambat ACE, Antagonis Angiotensin II, diuretik, Antagonis aldosteron, -blocker, vasodilator lain, digoksin, obat inotropik lain, anti-trombotik, dan anti-aritmia. 14, 15 1. Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling sedikit diuretik reguler dosis rendah. Permulaan dapat digunakan loop diuretik atau tiazid. Bila respon tidak cukup baik, dosis diuretik dapat dinaikkan, berikan diuretik intravena, atau kombinasi loop diuretik dengan tiazid. Diuretik hemat kalium,

spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat (klas fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung sistolik. 2. Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivitas

neurohormonal, dan pada gagal jantung yang disebabkan disfungsi

sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai dengan dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif. 3. Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE. Pemberian dimulai dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung. Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung klas fungsional II dan III. Penyekat Beta yang digunakan carvedilol, bisoprolol atau metaprolol. Biasa digunakan bersama-sama dengan penghambat ACE dan diuretik. 4. Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada intoleransi terhadap ACE ihibitor. 5. Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal

jantung disfungsi sistolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial, digunakan bersama-sama diuretik, ACE inhibitor, beta blocker. 6. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk

pencegahan emboli serebral pada penderita dengan fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat emboli,

trombosis dan Trancient Ischemic Attacks, trombus intrakardiak dan aneurisma ventrikel. 7. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang

asimptomatik atau aritmia ventrikel yang menetap. Antiaritmia klas I harus dihindari kecuali pada aritmia yang mengancam nyawa. Antiaritmia klas III terutama amiodaron dapat digunakan untuk

terapi aritmia atrial dan tidak digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak dapat digunakan untuk mencegah kematian mendadak. 8. Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium antagonis untuk mengobati angina atau hipertensi pada gagal jantung. Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5 2 l/hari) dan pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah

baring jangka pendek dapat membantu

perbaikan

gejala

karena

mengurangi metabolisme serta meningkatkan perfusi ginjal. Pemberian heparin subkutan perlu diberikan pada penderita dengan imobilitas. Pemberian antikoagulan diberikan pada penderita dengan fibrilasi atrium, gangguan fungsi sistolik berat dengan dilatasi ventrikel. 15

Penderita

gagal

jantung

akut

datang

dengan

gambaran

klinis

dispneu, takikardia serta cemas,pada kasus yang lebih berat penderita tampak pucat dan hipotensi. Adanya trias hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg), oliguria serta cardiac output yang rendah

menunjukkan bahwa penderita dalam kondisi syok kardiogenik. Gagal jantung akut yang berat serta syok kardiogenik biasanya timbul pada infark miokard luas, aritmia yang menetap (fibrilasi atrium maupun ventrikel) atau adanya problem mekanis seperti ruptur otot papilari akut maupun defek septum ventrikel pasca infark. 15

Gagal jantung akut yang berat merupakan kondisi emergensi dimana memerlukan penatalaksanaan yang tepat termasuk mengetahui penyebab, perbaikan hemodinamik, menghilangan kongesti paru, dan perbaikan oksigenasi jaringan. Menempatkan penderita dengan posisi duduk

dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi dengan masker sebagai tindakan pertama yang dapat dilakukan.

Monitoring gejala serta produksi kencing yang akurat dengan kateterisasi urin serta oksigenasi jaringan dilakukan di ruangan khusus. Base excess menunjukkan perfusi jaringan, semakin rendah menunjukkan adanya asidosis laktat akibat metabolisme anerob dan merupakan prognosa yang buruk. Koreksi hipoperfusi memperbaiki asidosis,pemberian bikarbonat hanya diberikan pada kasus yang refrakter. 15

Pemberian

loop

diuretik

intravena

seperti

furosemid

akan

menyebabkan venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun

belum ada diuresis. Loop diuretik

juga

meningkatkan

produksi

prostaglandin vasdilator renal. Efek ini dihambat oleh prostaglandin inhibitor seperti obat antiflamasi nonsteroid, sehingga harus dihindari bila memungkinkan. 15

Opioid parenteral seperti morfin atau diamorfin penting dalam penatalaksanaan gagal jantung akut berat karena dapat menurunkan

kecemasan, nyeri dan stress, serta menurunkan kebutuhan oksigen. Opiat juga menurunkan preload dan tekanan pengisian ventrikel serta udem paru. Dosis pemberian 2 3 mg intravena dan dapat diulang sesuai kebutuhan. 15

Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus) mengurangi preload serta tekanan pengisian ventrikel dan berguna untuk pasien dengan angina serta gagal jantung. Pada dosis rendah bertindak sebagai vasodilator vena dan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan vasodilatasi arteri termasuk arteri koroner. Sehingga dosis pemberian harus adekuat sehingga terjadi.keseimbangan antara dilatasi vena dan arteri tanpa mengganggu perfusi jaringan. Kekurangannya adalah teleransi terutama pada pemberian intravena dosis tinggi, sehingga pemberiannya hanya 16 24 jam. 15

Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator yang diberikan pada gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien gagal jantung yang disertai krisis hipertensi. Pemberian nitropusside dihindari pada gagal ginjal berat dan gangguan fungsi hati. Dosis 0,3 0,5 g/kg/menit. 15

Nesiritide adalah peptide natriuretik yang merupakan vasodilator. Nesiritide adalah BNP rekombinan yang identik dengan yang dihasilkan ventrikel. Pemberiannya akan memperbaiki hemodinamik dan

neurohormonal, dapat menurunkan aktivitas susunan saraf simpatis dan menurunkan kadar epinefrin, aldosteron dan endotelin di plasma.

Pemberian intravena menurunkan tekanan pengisian ventrikel tanpa meningkatkan laju jantung, meningkatkan stroke volume karena berkurangnya afterload. Dosis pemberiannya adalah bolus 2 g/kg dalam 1 menit dilanjutkan dengan infus 0,01 g/kg/menit. 15

Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada gagal jantung akut yang disertai hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat inotropik dan / atau vasodilator digunakan pada penderita gagal jantung akut dengan tekanan darah 85 100 mmHg. Jika tekanan sistolik < 85 mmHg maka inotropik dan/atau vasopressor merupakan tekanan darah pilihan. Peningkatan

yang berlebihan akan dapat meningkatkan afterload.

Tekanan darah dianggap cukup memenuhi perfusi jaringan bila tekanan arteri rata - rata > 65 mmHg. 15 Pemberian dopamin 2 g/kg/mnt menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah splanknik dan ginjal. Pada dosis 2 5 g/kg/mnt akan merangsang reseptor adrenergik beta sehingga terjadi peningkatan laju dan curah jantung. Pada pemberian 5 15 g/kg/mnt akan merangsang reseptor adrenergik alfa dan beta yang akan meningkatkan laju jantung serta vasokonstriksi. Pemberian dopamin akan merangsang reseptor adrenergik 1 dan 2, menyebabkan berkurangnya tahanan vaskular sistemik (vasodilatasi) dan meningkatnya kontrkatilitas. Dosis umumnya 2 3 g/kg/mnt, untuk meningkatkan curah jantung diperlukan dosis 2,5 15 g/kg/mnt. Pada pasien yang telah mendapat terapi penyekat beta, dosis yang dibutuhkan lebih tinggi yaitu 15 20 g/kg/mnt. 15

Phospodiesterase

inhibitor

menghambat

penguraian

cyclic-AMP

menjadi AMP sehingga terjadi efek vasodilatasi perifer dan inotropik jantung. Yang sering digunakan dalam klinik adalah milrinone dan enoximone. Biasanya digunakan untuk terapi penderia gagal jantung akut dengan hipotensi yang telah mendapat terapi penyekat beta yang

memerlukan inotropik positif. Dosis milrinone intravena 25 g/kg bolus 10 20 menit kemudian infus 0,375 075 g/kg/mnt. Dosis enoximone 0,25 0,75 g/kg bolus kemudian 1,25 7,5 g/kg/mnt. 13

Pemberian vasopressor ditujukan pada penderita gagal jantung akut yang disertai syok kardiogenik dengan tekanan darah < 70 mmHg. Penderita dengan syok kardiogenik biasanya dengan tekanan darah < 90 mmHg atau terjadi penurunan tekanan darah sistolik 30 mmHg selama 30 menit.Obat yang biasa digunakan adalah epinefrin dan norepinefrin. Epinefrin diberikan infus kontinyu dengan dosis 0,05 0,5 g/kg/mnt. Norepinefrin diberikan dengan dosis 0,2 1 g/kg/mnt. 15

Penanganan

yang

lain

adalah

terapi

penyakit

penyerta

yang

menyebabkan terjadinya gagal jantung akut de novo atau dekompensasi. Yang tersering adalah penyakit jantung koroner dan sindrom koroner akut. Bila penderita datang dengan hipertensi emergensi pengobatan bertujuan untuk menurunkan preload dan afterload. Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat seperti lood diuretik intravena, nitrat atau nitroprusside intravena maupun antagonis kalsium

intravena(nicardipine).

Loop diuretik diberkan pada penderita dengan

tanda kelebihan cairan. Terapi nitrat untuk menurunkan preload dan afterload, meningkatkan aliran darah koroner. Nicardipine diberikan pada penderita dengan disfungsi diastolik dengan afterload tinggi. Penderita dengan gagal ginjal,diterapi sesuai penyakit dasar. Aritmia jantung harus diterapi. 15

Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah Pompa balon intra aorta, pemasangan pacu jantung, implantable cardioverter defibrilator, ventricular assist device. Pompa balon intra aorta ditujukan pada penderita gagal jantung berat atau syok kardiogenik yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan, disertai regurgitasi mitral atau ruptur septum interventrikel. Pemasangan pacu jantung bertujuan

untuk mempertahankan laju jantung dan mempertahankan sinkronisasi atrium dan ventrikel, diindikasikan pada penderita dengan

bradikardia yang simtomatik dan blok atrioventrikular derajat tinggi. Implantable cardioverter device bertujuan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel dan takikardia ventrikel. Vascular Assist Device merupakan pompa mekanis yang mengantikan sebgaian fungsi ventrikel, indikasi pada penderita dengan syok kardiogenik yang tidak respon terhadap terapi terutama inotropik. 15

7. Prognosa Meskipun penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung telah sangat berkembang, tetapi prognosisnya masih tetap jelek, dimana angka mortalitas setahun bervariasi dari 5% pada pasien stabil dengan gejala ringan, sampai 30-50% pada pasien dengan gejala berat dan progresif. Prognosisnya lebih buruk jika disertai dengan disfungsi ventrikel kiri berat (fraksi ejeksi< 20%), gejala menonjol, dan kapasitas latihan sangat terbatas (konsumsi oksigen maksimal < 10 ml/kg/menit), insufisiensi ginjal sekunder, hiponatremia, dan katekolamin plasma yang meningkat. Sekitar 40-50% kematian akibat gagal jantung adalah mendadak. Meskipun beberapa kematian ini akibat aritmia ventrikuler, beberapa diantaranya merupakan akibat infark miokard akut atau bradiaritmia yang tidak terdiagnosis. Kematian lainnya adalah akibat gagal jantung progresif atau penyakit lainnya. Pasien-pasien yang mengalami gagal jantung stadium lanjut dapat menderita dispnea dan memerlukan bantuan terapi paliatif yang sangat cermat. 15

C. Hipertensi

1. Definisi Tekanan Darah Tekanan darah adalah tekanan yang digunakan untuk mengedarkan darah dalam pembuluh darah dalam tubuh. Jantung yang berperan sebagai pompa otot mensuplai tekanan tersebut untuk menggerakan darah dan juga mengedarkan darah diseluruh tubuh. Pembuluh darah (dalam hal ini arteri) memiliki dinding-dinding yang elastis dan menyediakan resistensi yang sama terhadap aliran darah. Oleh karena itu, ada tekanan dalam sistem peredaran darah, bahkan detak jantung 16

Menurut Shankie (2001) tekanan darah (blood presure, TD) adalah tekanan yang dilakukan darah atas dinding pembuluh darah. Besaran yang dipakai dalam pengukuran dengan mercury sphygnomanometer yaitu tekanan darah sistolik (SBP) dan diastolik (DBP).

2.

Definisi Hipertensi Hipertensi adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan curah jantung dan/atau kenaikan pertahanan perifer (Soemantri dan Nugroho, 2006). Menurut The Joint National Commitee of Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of The Blood Pressure (2004) dikatakan hipertensi jika tekanan darah sistolik yang lebih besar atau sama dengan 140 mmHg atau peningkatan tekanan darah diastolik yang lebih besar atau sama dengan 90 mmHg. Umumnya tekanan darah normal seseorang 120 mmHg/80 mmHg. Hasil pemeriksaan tersebut dilakukan 2 atau lebih pemeriksaan dan dirata-rata.

3. Epidemiologi Hipertensi Hipertensi telah menjadi permasalahan kesehatan yang sangat umum terjadi. Data dari National Health and Nutrition Examination (NHANES) menunjukkan bahwa 50 juta atau bahkan lebih penduduk Amerika mengalami tekanan darah tinggi. Angka kejadian hipertensi di seluruh

dunia mungkin mencapai 1 milyar orang dan sekitar 7,1 juta kematian akibat hipertensi terjadi setiap tahunnya 17

Dalam suatu data statistika di Amerika serikat pada populasi penderita dengan risiko hipertensi dan penyakit jantung koroner, lebih banyak dialami oleh pria daripada wanita saat masih muda tetapi pada umur 45 sampai 54 tahun, prevalensi hipertensi menjadi lebih meningkat pada wanita. Secara keseluruhan pada penderita wanita prevalensi hipertensi akan meningkat seiring dengan meningkatnya usia, hanya sekitar 3% sampai 4 % wanita pada umur 35 tahun yang menderita hipertensi, sementara >75% wanita menderita hipertensi pada umur 75 tahun 18

Di Indonesia, belum ada data nasional lengkap untuk prevalensi hipertensi. Dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, prevalensi hipertensi di Indonesia adalah 8,3%. Sedangkan dari survei faktor risiko penyakit kardiovaskular (PKV) oleh proyek WHO di Jakarta, menunjukkan angka prevalensi hipertensi dengan tekanan darah 160/90 masing-masing pada pria adalah 12,1% dan pada wanita angka prevalensinya 12,2% pada tahun 2000. Secara umum, prevalensi hipertensi pada usia lebih dari 50 tahun berkisar antara 15%-20%

Dari penderita yang mendapat medikasi hanya satu-pertiga mencapai target darah yang optimal/normal. Di Indonesia belum ada data nasional namun, pada studi MONICA 2000 di daerah perkotaan Jakarta dan FKUI 2000-2003 di daerah lido pedesaan kecamatan cijeruk memperlihatkan kasus hipertensi derajat II (berdasarkan JNC VII) sebesar 20,9%. Dimana hanya sebagian kecil yang menjalani pengobatan yaitu 13.3%. Jadi di indonesia masih sedikit sekali yang menjalani pengobatan

4. Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan Nilai Tekanan Darahnya

Pada tahun 2004, The Joint National Commitee of Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of The Blood Pressure (JNC-7) mengeluarkan batasan baru untuk klasifikasi tekanan darah, <120/80 mmHg adalah batas optimal untuk risiko penyakit kardiovaskular. Didalamnya ada kelas baru dalam klasifikasi tekanan darah yaitu pre-hipertensi. Kelas baru prehipertensi tidak digolongkan sebagai penyakit tapi hanya digunakan untuk mengindikasikan bahwa seseorang yang masuk dalam kelas ini memiliki resiko tinggi untuk terkena hipertensi, penyakit jantung koroner dan stroke dengan demikian baik dokter maupun penderita dapat mengantisipasi kondisi ini lebih awal, hingga tidak berkembang menjadi kondisi yang lebih parah. Individu dengan prehipertensi tidak memerlukan medikasi, tapi dianjurkan untuk melakukan modifikasi hidup sehat yang penting mencegah peningkatan tekanan darahnya. Modifikasi pola hidup sehat adalah penurunan berat badan, diet, olahraga, mengurangi asupan garam, berhenti merokok dan membatasi minum alkohol 17 Klasifikasi Hipertensi TEKANAN ( mmHg) KLASIFIKASI SISTOL Normal PRE-HIPERTENSI < 120 mmHg 120-139 mmHg DIASTOL < 80 mmHg 80 89

mmHg HIPERTENSI : Stadium 1 140 159 mmHg 90 99

mmHg Stadium 2 > 160 mmHg > mmHg 100

5.

Berdasarkan Etiologinya Hipertensi berdasarkan etiologi / penyebabnya dibagi menjadi 2 : A. Hipertensi Primer atau Esensial Hipertensi primer atau yang disebut juga hipertensi esensial atau idiopatik adalah hipertensi yang tidak diketahui

etiologinya/penyebabnya (Shankie, 2001). Paling sedikit 90% dari semua penyakit hipertensi dinamakan hipertensi primer 16 B. Patofisiologi hipertensi primer 19 Beberapa teori patognesis hipertensi primer meliputi : - Aktivitas yang berlebihan dari sistem saraf simpatik - Aktivitas yang berlebihan dari sistem RAA - Retensi Na dan air oleh ginjal - Inhibisi hormonal pada transport Na dan K melewati dinding sel pada ginjal dan pembuluh darah - Interaksi kompleks yang melibatkan resistensi insulin dan fungsi endotel 18

Sebab-sebab yang mendasari hipertensi esensial masih belum diketahui. Namun sebagian besar disebabkan oleh ketidaknormalan tertentu pada arteri. Yakni mereka memiliki resistensi yang semakin tinggi (kekakuan atau kekurangan elastisitas) pada arteri-arteri yang kecil yang paling jauh dari jantung (arteri periferal atau arterioles), hal ini seringkali berkaitan dengan faktor-faktor genetik, obesitas, kurang olahraga, asupan garam berlebih, bertambahnya usia, dll 19 Secara umum faktor-faktor tersebut antara lain: 1) Factor Genetika (Riwayat keluarga) Hipertensi merupakan suatu kondisi yang bersifat menurun dalam suatu keluarga. Anak dengan orang tua hipertensi memiliki kemungkinan dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi daripada anak dengan orang tua yang tekanan darahnya normal 1

2) Ras Orang-orang afro yang hidup di masyarakat barat mengalami hipertensi secara merata yang lebih tinggi daripada orang berkulit putih. Hal ini kemungkinan disebabkan karena tubuh mereka mengolah garam secara berbeda 3) Usia Hipertensi lebih umum terjadi berkaitan dengan usia, Khususnya pada masyarakat yang banyak mengkonsumsi garam. Wanita premenopause cenderung memiliki tekanan darah yang lebih tinggi daripada pria pada usia yang sama, meskipun perbedaan diantara jenis kelamin kurang tampak setelah usia 50 tahun. Penyebabnya, sebelum menopause, wanita relatif terlindungi dari penyakit jantung oleh hormon estrogen. Kadar estrogen menurun setelah menopause dan wanita mulai menyamai pria dalam hal penyakit jantung 4) Jenis kelamin Pria lebih banyak mengalami kemungkinan menderita hipertensi daripada wanita. Hipertensi berdasarkan jenis kelamin ini dapat pula dipengaruhi oleh faktor psikologis. Pada pria seringkali dipicu oleh perilaku tidak sehat (merokok, kelebihan berat badan), depresi dan rendahnya status pekerjaan Sedangkan pada wanita lebih berhubungan dengan pekerjaan yang mempengaruhi faktor psikis kuat 5) Stress psikis Stress meningkatkan aktivitas saraf simpatis, peningkatan ini mempengaruhi meningkatnya tekanan darah secara bertahap. Apabila stress berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah menjadi tetap tinggi. Secara fisiologis apabila seseorang stress maka kelenjer pituitary otak akan menstimulus kelenjer endokrin untuk mengahasilkan hormon adrenalin dan hidrokortison ke dalam darah sebagai bagian homeostasis tubuh. Penelitian di AS

menemukan enam penyebab utama kematian karena stress adalah PJK, kanker, paru-paru, kecelakan, pengerasan hati dan bunuh diri 6) Obesitas Pada orang yang obesitas terjadi peningkatan kerja pada jantung untuk memompa darah agar dapat menggerakan beban berlebih dari tubuh tersebut. Berat badan yang berlebihan menyebabkan bertambahnya volume darah dan perluasan sistem sirkulasi. Bila bobot ekstra dihilangkan, TD dapat turun lebih kurang 0,7/1,5 mmHg setiap kg penurunan berat badan (Tan dan Kirana, 2003). Mereduksi berat badan hingga 5-10% dari bobot total tubuh dapat menurunkan resiko kardiovaskular secara signifikan. 7) Asupan garam Na Ion natrium mengakibatkan retensi air, sehingga volume darah bertambah dan menyebabkan daya tahan pembuluh meningkat. Juga memperkuat efek vasokonstriksi noradrenalin. Secara statistika, ternyata bahwa pada kelompok penduduk yang mengkonsumsi terlalu banyak garam terdapat lebih banyak hipertensi daripada orang-orang yang memakan hanya sedikit garam 8) Rokok Nikotin dalam tembakau adalah penyebab tekanan darah

meningkat. Hal ini karena nikotin terserap oleh pembuluh darah yang kecil dalam paru-paru dan disebarkan keseluruh aliran darah. Hanya dibutuhkan waktu 10 detik bagi nikotin untuk sampai ke otak. Otak bereaksi terhadap nikotin dengan memberikan sinyal kepada kelenjer adrenal untuk melepaskan efinephrine (adrenalin). Hormon yang sangat kuat ini menyempitkan pembuluh darah, sehingga memaksa jantung untuk memompa lebih keras dibawah tekanan yang lebih tinggi 9) Konsumsi alkohol Alkohol memiliki pengaruh terhadap tekanan darah, dan secara keseluruhan semakin banyak alkohol yang di minum semakin

tinggi tekanan darah. Tapi pada orang yang tidak meminum minuman keras memiliki tekanan darah yang agak lebih tinggi daripada yang meminum dengan jumlah yang sedikit. C. Hipertensi Sekunder 16 Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang terjadi sebagai akibat suatu penyakit, kondisi dan kebiasaan. Karena itu umumnya hipertensi ini sudah diketahui penyebabnya. Terdapat 10% orang menderita apa yang dinamakan hipertensi sekunder

Umumnya penyebab Hipertensi sekunder dapat disembuhkan dengan pengobatan kuratif, sehingga penderita dapat terhindar dari pengobatan seumur hidup yang seringkali tidak nyaman dan membutuhkan biaya yang mahal

Patofisiologi hipertensi sekunder Hipertensi sekunder disebabkan oleh suatu proses penyakit sistemik yang meningkatkan tahanan pembuluh darah perifer atau cardiac output, contohnya adalah renal vaskular atau parenchymal dan disease, Bila

adrenocortical

tumor,

feokromositoma

obat-obatan.

penyebabnya diketahui dan dapat disembuhkan sebelum terjadi perubahan struktural yang menetap, tekanan darah dapat kembali normal

Krisis Hipertensi Krisis hipertensi didefinisikan sebagai kondisi peningkatan tekanan darah yang disertai kerusakan atau yang mengancam kerusakan terget organ dan memerlukan penanganan segera untuk mencegah kerusakan atau keparahan target organ

The Fifth Report of the Joint National Comitte on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC-7, 2004) membagi krisis hipertensi ini menjadi 2 golongan yaitu : Hipertensi emergensi (darurat) dan Hipertensi urgensi (mendesak). Kedua hipertensi ini ditandai nilai

tekanan darah yang tinggi, yaitu 180 mmHg/120 mmHg dan ada atau tidaknya kerusakan target organ pada hipertensi.

Membedakan kedua golongan krisis hipertensi bukanlah dari tingginya TD, tapi dari kerusakan organ sasaran. Kenaikan TD yang sangat pada seorang penderita dianggap sebagai suatu keadaan emergensi bila terjadi kerusakan secara cepat dan progresif dari sistem syaraf sentral, miokardinal, dan ginjal. Hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi perlu dibedakan karena cara penanggulangan keduanya berbeda

1. Hipertensi emergensi (darurat) Ditandai dengan TD Diastolik >120 mmHg, disertai kerusakan berat dari organ sasaran yag disebabkan oleh satu atau lebih

penyakit/kondisi akut. Keterlambatan pengobatan akan menyebabkan timbulnya sequele atau kematian. TD harus diturunkan sampai batas tertentu dalam satu sampai beberapa jam. Penderita perlu dirawat di ruangan intensive care unit atau (ICU)

Penanggulangan hipertensi emergensi : Pada umumnya kondisi ini memerlukan terapi obat antihipertensi parenteral. Tujuan terapi hipertensi darurat bukanlah menurunkan tekanan darah 140/90 mmHg, tetapi menurunkan tekanan arteri rerata (MAP) sebanyak 25 % dalam kurun waktu kurang dari 1 jam. Apabila tekanan darah sudah stabil, tekanan darah dapat diturunkan sampai 160 mmHg/100-110 mmHg dalam waktu 2-6 jam kemudian. Selanjutnya tekanan darah dapat diturunkan sampai tekanan darah sasaran (<140 mmHg atau < 130 mmHg pada penderita diabetes dan penyakit ginjal kronik) setelah 24-48 jam

2. Hipertensi urgensi (mendesak) Hipertensi mendesak ditandai dengan TD diastolik >120 mmHg dan dengan tanpa kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD

harus diturunkan secara bertahap dalam 24 jam sampai batas yang aman memerlukan terapi oral hipertensi.

Penderita dengan hipertensi urgensi tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit. Sebaiknya penderita ditempatkan diruangan yang tenang, tidak terang dan TD diukur kembali dalam 30 menit. Bila tekanan darah tetap masih sangat meningkat, maka dapat dimulai pengobatan. Umumnya digunakan obat-obat oral antihipertensi dalam menggulangi hipertensi urgensi ini dan hasilnya cukup memuaskan.

Penanggulangan hipertensi urgensi : Pada umumnya, penatalaksanaan hipertensi mendesak dilakukan dengan menggunakan atau menambahkan antihipertensi lain atau meningkatkan dosis antihipertensi yang digunakan, dimana hal ini akan menyebabkan penurunan tekanan darah secara bertahap. Penurunan tekanan darah yang sangat cepat menuju tekanan darah sasaran (140/90 mmHg atau 130/80 mmHg pada penderita diabetes dan penyakit ginjal kronik) harus dihindari. Hal ini disebabkan autoregulasi aliran darah pada penderita hipertensi kronik terjadi pada tekanan yang lebih tinggi pada orang dengan tekanan darah normal, sehingga penurunan tekanan darah yang sangat cepat dapat menyebabkan terjadinya cerebrovaskular accident, infark miokard dan gagal ginjal akut

Patofisiologi Hipertensi Mekanisme patogenesis hipertensi yaitu Peningkatan tekanan darah yang dipengaruhi oleh curah jantung dan tahanan perifer. Mekanisme hipertensi tidak dapat dijelaskan dengan satu penyebab khusus, melainkan sebagai akibat interaksi dinamis antara faktor genetik, lingkungan dan faktor lainnya. Tekanan darah dirumuskan sebagai perkalian antara curah jantung dan atau tekanan perifer yang akan meningkatkan tekanan darah. Retensi sodium, turunnya filtrasi ginjal, meningkatnya rangsangan saraf simpatis,

meningkatnya aktifitas renin angiotensin alosteron, perubahan membran sel, hiperinsulinemia, disfungsi endotel merupakan beberapa faktor yang terlibat dalam mekanisme hipertensi.

Mekanisme patofisiologi hipertensi salah satunya dipengaruhi oleh sistem renin angiotensin aldosteron, dimana hampir semua golongan obat anti hipertensi bekerja dengan mempengaruhi sistem tersebut. Renin angiotensin aldosteron adalah sistem endogen komplek yang berkaitan dengan pengaturan tekanan darah arteri. Aktivasi dan regulasi sistem renin angiotensin aldosteron diatur terutama oleh ginjal. Sistem renin angiotensi aldosteron mengatur keseimbangan cairan, natrium dan kalium. Sistem ini secara signifikan berpengaruh pada aliran pembuluh darah dan aktivasi sistem saraf simpatik serta homeostatik regulasi tekanan darah. . 7 Diagnosa Hipertensi 16 Pemeriksaan diagnostik terhadap pengidap tekanan darah tinggi

mempunyai beberapa tujuan : a) Memastikan bahwa tekanan darahnya memang selalu tinggi b) Menilai keseluruhan risiko kardiovaskular c) Menilai kerusakan organ yang sudah ada atau penyakit yang menyertainya d) Mencari kemungkinan penyebabnya. Diagnosis hipertensi menggunakan tiga metode klasik yaitu a) pencatatan riwayat penyakit (anamnesis) b) pemeriksaan fisik (sphygomanometer) c) pemeriksaan laboraturium (data darah,urun,kreatinin serum,kolesterol). Kesulitan utama selama proses diagnosis ialah menentukan sejauh mana pemeriksaan harus dilakukan. Dimana pemeriksaan secara dangkal saja tidak cukup dapat diterima karena hipertensi merupakan penyakit seumur hidup dan terapi yang dipilih dapat memberikan implikasi yang serius untuk pasien

Prosedur dan Kriteria Diagnosis Cara pemeriksaan tekanan darah, yaitu : Anamnesis: Sering sakit kepala (meskipun tidak selalu), terutama bagian belakang, sewaktu bangun tidur pagi atau kapan saja terutama sewaktu mengalami ketegangan, Keluhan sistem kardiovaskular (berdebar, dada terasa berat atau sesak terutama sewaktu melakukan aktivitas isomerik)

Keluhan sistem serebrovaskular (susah berkonsentrasi, susah tidur, migrain, mudah tersinggung, dll) diketahuinya secara kebetulan. Tidak jarang tanpa keluhan,

Lamanya mengidap hipertensi. Obat-obat antihipertensi yang telah dipakai, hasil kerjanya dan apakah ada efek samping yang ditimbulkan. Pemakaian obat-obat lain yang diperkirakan dapat mempermudah terjadinya atau mempengaruhi pengobatan hipertensi (kortikosteroid, analgesik, anti inflamasi, obat flu yang mengandung pseudoefedrin atau kafein, dll), Pemakaian obat kontrasepsi, analeptik,dll - Riwayat hipertensi pada kehamilan, operasi pengangkatan kedua ovarium atau monopause. - Riwayat keluarga untuk hipertensi. - Faktor-faktor resiko penyakit kardiovaskular atau kebiasaan buruk (merokok, diabetes melitus, berat badan, makanan, stress, psikososial, makanan asin dan berlemak).

Pemeriksaan Fisik - Pengukuran tekanan darah pada 2-3 kali kunjungan berhubung variabilitas tekanan darah. Posisi terlentang, duduk atau berdiri dilengan kanan dan kiri. - Perabaan denyut nadi diarteri karotis dan femoralis. - Adanya pembesaran jantung, irama gallop. - Pulsasi aorta abdominalis, tumor ginjal, bising abdominal

- Denyut nadi diekstremitas, adanya paresis atau paralisis. - Penilaian organ target dan faktor-faktor resiko. - Funduskopi, untuk mencari adanya retinopati keith wagner i-v. - Elektrokardiografi, untuk melihat adanya hipertrofi ventrikel kiri, abnormalitas atrium kiri, iskemia atau infark miokard. - Foto thoraks, untuk melihat adanya pembesaran jantung dengan konfigurasi hipertensi bendungan atau edema paru. - Laboratorium : DL, UL, BUN, kreatin serum, asam urat, gula darah, profil lipid K+ dan Na+ serum.

8. Pengobatan Hipertensi Tujuan terapi obat anti hipertensi adalah 1. Mengurangi morbiditas dan mortalitas kardiovaskular dan renal akibat komplikasi 2. Tekanan darah yang diharapkan setelah terapi adalah <140/90 mmHg tanpa adanya komplikasi, hal ini berhubungan dengan penurunan risiko komplikasi CVD (Coronary Vascular Disease) 3. Pasien hipertensi dengan komplikasi diabetes mellitus dan penyakit renal, tekanan darah yang diharapkan dapat dicapai setelah terapi yaitu <130/80 mmHg.

Prinsip penggunaan obat antihipertensi Jenis obat antihipertensi yang digunakan, ada beberapa prinsip yang mendasari penggunaan obat antihipertensi, yaitu : - Mulailah dengan dosis terkecil untuk menghindari reaksi yang tidak dikehendaki. Bila terdapat respon tekanan darah yang baik dan obat ditoleransi dengan baik, dosis dapat ditingkatkan secara bertahap sampai tekanan darah sasaran tercapai (<140 mmHg atau <130 mmHg pada penderita diabetes atau penyakit ginjal kronik). - Gunakan kombinasi obat untuk memaksimalkan respon tekanan darah dan meminimalkan reaksi yang tidak dikehendaki.

- Gantilah dengan kelas obat yang berbeda bila dosis awal dari obat tidak memberikan efek yang berarti atau ada masalah efek samping obat.

Hipertensi Modifikasi

Rekomendasi

Penurunan SBP Ratarata

Penurunan berat badan

Menjaga kg/m2)

berat

badan 5-20 mmHg

normal (BMI 18,5-24,9

Penerapan DASH

Mengkonsumsi makanan 8-14 mmHg kaya buah, sayur, dan rendah lemak dengan asupan

mengurangi

lemak jenuh dan lemak total Mengurangi sodium asupan Mengurangi asupan 2-8 mmHg

sodium, tidak boleh lebih dari 100 mmol per hari (2,4 g sodium atau 6 g garam dapur)

Aktivitas fisik

Melakukan seperti

aktivitas 4-9 mmHg 30

jalan-jalan

menit per hari selama seminggu Mengurangi alkohol konsumsi Tidak boleh lebih dari 2 2-4 mmHg kali (misal 24 oz bir, 10 oz anggur, atau 3 oz

wiski) untuk pria, dan 1 kali untuk wanita dan orang dengan berat

badan ringan

- Gunakan formulasi yang minimal memberikan kontrol tekanan darah selama 24 jam. Hal ini penting untuk menjaga kepatuhan pasien dan untuk memastikan tekanan darah terkontrol pada pagi hari ketika terjadi peningkatan tekanan darah. Menghindari variasi tekanan darah sepanjang hari yang membantu menghindari kerusakan organ sasaran

Selain obat-obat yang dapat menurunkan tekanan darah tinggi dapat dianjurkan : - Bila perubahan gaya hidup saja tidak mengendalikan tekanan darah. - Bila penurunan tekanan darah tinggi secara cepat dan drastis diperlukan. - Bila penderita tekanan darah tinggi juga mengalami kondisi medis yang menyertainya.

Metode yang paling baik dan aman untuk mengendalikan tekanan darah adalah dengan melakukan perubahan-perubahan gaya hidup. Jika perubahan-perubahan ini tidak membawa nilai tekanan darah yang diinginkan, maka obat antihipertensi dapat diberikan.

Jenis Terapi Obat Anti Hipertensi Terapi Tunggal Penggunaan satu macam obat anti hipertensi untuk pengobatan hipertensi dapat direkomendasikan bila nilai tekanan darah awal mendekati nilai tekanan darah sasaran. Menurut JNC-7 nilai tekanan darah awal mendekati nilai tekanan darah sasaran apabila selisihnya kurang dari 20 mmHg untuk tekanan darah sistolik dan kurang darah sistolik dan kurang

dari 10 mmHg untuk tekanan darah diastolik. Hal ini meliputi penderita hipertensi tahap 1 dan tekanan darah sasaran <140/90 mmHg \

Terapi Kombinasi Bila menggunakan terapi obat kombinasi, biasanya dipilih obat-obat yang dapat meningkatkan efektivitas masing-masing obat atau mengurangi efek samping masing-masing obat.

Memulai terapi dengan kombinasi dua obat direkomendasikan untuk penderita hipertensi tahap 2 atau penderita hipertensi yang nilai tekanan darah sasarannya jauh dari nilai tekanan darah awal (20 mmHg untuk tekanan darah sistolik dan 10 mmHg untuk tekanan darah diastolik). Terapi kombinasi juga merupakan pilihan bagi pasien yang nilai tekanan darah sasarannya sulit dicapai (penderita diabetes dan penyakit ginjal kronik) atau pada pasien dengan banyak indikasi pemaksaan yang membutuhkan beberapa antihipertensi yang berbeda. Dalam ALLHAT (Antihypertensive and Lipid-Lowering Treatment in Prevent Heart Attack Trial) disebutkan 60% penderita hipertensi mencapai tekanan darah terkontrol pada TD <140/90 mmHg dengan penggunaan dua atau lebih anti hipertensi, dan hanya 30% yang tekanan darahnya terkontrol dengan satu obat anti hipertensi. JNC-7 merekomendasikan penggunaan tiga atau lebih obat anti hipertensi untuk mencapai target terapi tekanan darah yang diinginkan

Tabel

2.6

Kombinasi

Obat

Anti KEUNTUNGAN

hipertensi yang Sering Digunakan Kombinasi obat anti hipertensi ACE inhibitor Kalsium antagonis -Menurunkan tekanan intra glomeruler -Memperbaiki permeabilitas glomeruler - Menghambat terjadinya hipertrofi glomeruler - Mencegah terjadinya glomeruler - Mengurangi proteinuria - Mengurangi hipermetabolisme ginjal - Meningkatkan natriuresis - Mengurangi hipermetabolisme ginjal Mengurangi akumulasi Ca2+ intraselular - Diajurkan pada nefropati hipertensif dan hipertensi dengan nefropati diabetik ACEI/ARB Diuretik - Meningkatkan natriuresis - Memperbaiki toleransi glukosa dan kadar asam urat - Mempertahankan kadar K+ plasma - Mempercepat regresi LVH - Meningkatkan kepekaan ACEI/ARB. - Baik untuk hipertensi usia muda dengan peningkatan sistem RAA dan simpatis - Baik pula untuk hipertensi dan pasca infark akut dengan tujuan : o Menurunkan risiko takhiaritmia o Mengurangi progresivitas dilatasi ventrikel o Memperbaiki toleransi latihan

ACEI/ARBBeta bloker

Beta bloker Diuretik - Menurunkan peningkatan sistem RAA karena diuretik - Beta bloker mempunyai efek antialdosteron ringan - Baik untuk isolated systolic hypertension, stroke dan infark miokard

Beta bloker Kalsium antagonis - Menurunkan curah jantung dan tahanan - perifer - Memperbaiki integritas endotel - Normalisasi peningkatan sistem RAA - karena kalsium antagonis - Sangat baik meregresi LVH - Normalisasi resistensi insulin dan gangguan profil lipid karena beta bloker - Baik untuk hipertensi dengan angina pektoris - Baik untuk hipertensi dan takhiaritmia

D. Efusi Pleura

1. Definisi Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari dalam kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat berupa cairan transudat atau cairan eksudat.Cairan pada efusi pleura dapat bebas yg generalized atau setempat (circumscribed) dan encapsulated (terbungkus kapsul) 20,22.

Pada keadaan normal rongga pleura hanya mengandung cairan sebanyak 1020 ml, cairan pleura komposisinya sama dengan cairan plasma, kecuali pada cairan pleura mempunyai kadar protein lebih rendah yaitu < 1,5 gr/dl 22.

2. Fisiologi Cairan Pleura Volume cairan pleura selalu konstan, akibat dari: - P. hidrostatik : 9 mmHg, produksi oleh pleura parietalis

- P. koloid osmotik : 10 mmHg, absorbsi oleh pleura viseralis

3. Etiologi Pembentukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh banyak keadaan yang berasal dari 22,25: a. Kelaian paru : infeksi, baik oleh bakteri maupun virus aau jamur, tumor paru, tumor mediastinum, metastase. b. Kelainan sistemik : penyakit-penyakit yang mengakibatkan hambatan aliran getah bening, hipoproteinemia pada penyakit ginjal, hati, dan kegagalan jantung. c. Trauma kecelakaan atau tindakan pembedahan. d. Ideopatik.

Cairan pada efusi pleura dapat berupa : - Cairan transudat Terdiri atas cairan yang bening, biasanya ditemukan pada kegagalan jantung, kegagalan ginjal akut atau kronik, keadaan hipoproteinemia pada kegagalan fungsi hati, pemberian cairan infuse yang berlebihan, dan fibroma ovarii (meigs syndrome). - Cairan eksudat Berisi cairan kekeruhan, paling sering ditemukan pada infeksi tuberculosa, atau nanah (empiema) dan penyakit-penyakit kolagen (SLE, RA) - Cairan darah Dapat disebabkan trauma tertutup atau terbuka, infark paru dan karsinoma paru - Cairan getah bening Meskipun jarang terjadi tetapi dapat diakibatkan oleh sumbatan aliran getah bening thoraks, misalnya pada filiariasis atau metastasis pada kelenjar getah bening dari suatu keganasan.

4. Manifestasi Klinis Gejala Utama Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika mekanika paru terganggu. Gejala yang paling sering timbul adalah sesak, berupa rasa penuh dalam dada atau dispneu . Nyeri bisa timbul akibat efusi yang banyak, berupa nyeri dada pleuritik atau nyeri tumpul. Pada efusi unilateral, biasanya penderita mengeluh lebih nyaman tidur miring kearah bagian paru yang mengalami efusi. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak keringat, batuk, banyak riak. Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan 20,21,22

5. Pemeriksaan Fisik Inspeksi : pengembangan paru menurun, gerakan dada sisi sakit tertinggal, tampak lebih cembung Palpasi : penurunan fremitus vocal atau taktil, gerak dada sisi sakit tertinggal Perkusi : perkusi pada sisi yang sakit redup pada bagian bawah garis Ellis Damoiseu Auskultasi : penurunan bunyi napas Jika terjadi inflamasi, maka dapat terjadi friction rub.

Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan akan berpindah tempat.

6. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan radiologi a. Rontgen thorak Jumlah cairan minimal yang terdapat pada thoraks tegak adalah 250300ml. bila cairan kurang dari 250ml (100-200ml), dapat ditemukan pengisian cairan di sudut costofrenikus posterior pada foto thorak lateral

tegak. Cairan yang kurang dari 100ml (50-100ml), dapat diperlihatkan dengan posisi lateral dekubitus dan arah sinar horizontal dimana cairan akan berkumpul disisi samping bawah 23,24,25. b. Computed Tomography Scan CT scan dada akan terlihat adanya perbedaan densitas cairan dengan jaringan sekitarnya. c. Ultrasonografi Penampilan khas dari efusi pleura merupakan lapisan anechoic antara pleura visceral dan pleura parietal. Bentuk efusi dapat bervariasi dengan respirasi dan posisi. 7. Penatalaksanaan Torakosentesis. Aspirasi cairan pleura selain bermanfaat untuk memastikan diagnosis, aspirasi juga dapat dikerjakan dengan tujuan terapetik. Torakosentesis dapat dilakukan sebagai berikut 23,25: 1. Penderita dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau diletakkan diatas bantal; jika tidak mungkin duduk, aspirasi dapat dilakukan pada penderita dalam posisi tidur terlentang. 2. Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks, atau di daerah sedikit medial dari ujung scapula, atau pada linea aksilaris media di bawah batas suara sonor dan redup. 3. Setelah dilakukan anastesi secara memadai, dilakukan penusukan dengan jarum berukuran besar, misalnya nomor 18. Kegagalan aspirasi biasanya disebabkan karena penusukan jarum terlampaui rendah sehingga mengenai diahfrahma atau terlalu dalam sehingga mengenai jaringan paru, atau jarum tidak mencapai rongga pleura oleh karena jaringan subkutis atau pleura parietalis tebal.

Gambar Metode torakosentesis

4. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap aspirasi. Untuk mencegah terjadinya edema paru akibat pengembangan paru secara mendadak. Selain itu pengambilan cairan dalam jumlah besar secara mendadak menimbulkan reflex vagal, berupa batuk, bradikardi, aritmi yang berat, dan hipotensi.

Pemasangan WSD Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks dihubungkan dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara lambat dan aman. Pemasangan WSD dilakukan sebagai berikut: 1. Tentukan tempat pemasangan, biasanya pada sela iga ke IV dan V, di linea aksillaris anterior dan media. 2. Lakukan analgesia / anestesia pada tempat yang telah ditentukan. 3. Buat insisi kulit dan sub kutis searah dengan pinggir iga, perdalam sampai muskulus interkostalis. 4. Masukkan Kelly klemp melalui pleura parietalis kemudian dilebarkan. Masukkan jari melalui lubang tersebut untuk memastikan sudah sampai rongga pleura / menyentuh paru. 5. Masukkan selang ( chest tube ) melalui lubang yang telah dibuat dengan menggunakan Kelly forceps 6. Selang ( Chest tube ) yang telah terpasang, difiksasi dengan jahitan ke dinding dada

7. Selang ( chest tube ) disambung ke WSD yang telah disiapkan. 8. Foto X- rays dada untuk menilai posisi selang yang telah dimasukkan.

Gambar. Pemasangan jarum WSD

WSD perlu diawasi tiap hari dan jika sudah tidak terlihat undulasi pada selang, kemungkinan cairan sudah habis dan jaringan paru mengembang. Untuk memastikan dilakukan foto toraks. Selang torak dapat dicabut jika produksi cairan/hari <100ml dan jaringan paru telah mengembang. Selang dicabut pada saat ekspirasi maksimum.

Pleurodesis. Bertujuan melekatkan pleura viseralis dengan pleura parietalis, merupakan penanganan terpilih pada efusi pleura keganasan. Bahan yang digunakan adalah sitostatika seperti tiotepa, bleomisin, nitrogen mustard, 5fluorourasil, adramisin, dan doksorubisin. Setelah cairan efusi dapat dikeluarkan sbanyak-banyaknya, obat sitostatika (misal; tiotepa 45 mg) diberikan selang waktu 710 hari; pemberian obat tidak perlu pemasangan WSD. Setelah 13 hari, jika berhasil, akan terjadi pleuritis obliteratif yang

menghilangkan rongga pleura, sehingga mencegah penimbunan kembali cairan dalam rongga tersebut.

Obat lain adalah tetrasiklin. Pada pemberian obat ini WSD harus dipasang dan paru dalam keadaan mengembang. Tetrasiklin 500 mg dilarutkan dalam 3050 ml larutan garram faal, kemudian dimasukkan ke dalam rongga pleura melalui selang toraks, ditambah dengan larutan garam faal 1030 ml larutan garam faal untuk membilas selang serta 10 ml lidokain 2% untuk mengurangi rasa nyeri yang ditimbulkan obat ini. Analgetik narkotik diberikan 11,5 jam sebelum pemberian tetrasiklin juga berguna mengurangi rasa nyeri tersebut. Selang toraks diklem selama 6 jam dan posisi penderita diubah-ubah agar penyebaran tetrasiklin merata di seluruh bagian rongga pleura. Apabila dalam waktu 24 jam - 48 jam cairan tidak keluar, selang toreaks dapat dicabut.

Anda mungkin juga menyukai