Anda di halaman 1dari 3

DARI PECEL YU YEM SAMPAI BEMO W Oleh: Anita Nusantari (Pustakawan UK Petra Surabaya)

Pecel Yu Yem rame luar biasa. Sayurnya yang lengkap, bumbunya yang sedap dan rempeyeknya yang renyah mampu mengundang orang untuk datang dan datang lagi. Saya sudah sedari tadi mengantri. Dalam hati saya berhitung satu, dua, tiga, wah masih antrian ke-empat. Saking ngidamnya pecel Yu Yem, saya tetap berusaha sabar. Saya merasa makan pecel Yu Yem akan dapat menghapus semua rasa capek setelah ngantri sedemikian lama.

Tiba-tiba ada seorang wanita usia paro baya bergega s-gegas turun dari mobil sedan merah,Yu Yem pecel lima bungkus, cepetan ya Yu, mau langsung berangkat ke Malang! Saya melirik wanita itu, berlipstick merah muda, memakai rouge pipi coklat muda, rambutnya bercat merah maroon. Wanita tersebut memakai sepatu berhak tinggi warna merah maroon dan menenteng tas bermerk terkenal juga berwarna merah maroon. Pasti bukan wanita biasa. Pasti seorang wanita kaya dan terpelajar pula. Yu Yem tanpa sungkan dengan antrian yang lain segera melayani wanita paro baya tadi Pedas Bu? tanya Yu Yem. Ya, peyeknya yang banyak ya Yu!. Saya kembali melirik wanita tadi, heran juga tidak ada satupun dari para antrian yang protes. Saya mulai sebal Yu, saya sudah antri dari tadi!. Dengan enteng Yu Yem berujar, Sabar ya Bu. Saya mencoba menatap wanita paro baya tadi, tak ada reaksi, dia nampak kelihatan sangat sibuk dengan HPnya. Ketika nada panggil terdengar, dia kelihatan bingung HP yang mana yang harus diangkat dari banyak HP yang dimilikinya.

Yu Yem menyelesaikan bungkus kelima dan memasukkannya ke tas kresek. Wanita paro baya tadi sambil setengah melempar ua ng 50ribuan ke pangkuan Yu Yem berujar, Ambil Yu! Yu Yem kelihatan sumringah. Wanita paro baya tadi masih saja tak peduli bergegas masuk ke panther merah miliknya. Itu tadi Bu Broto, istrinya Pak Lurah Desa Mumet. Semua yang ngantri nampaknya bisa menerima dan maklum dengan keputusan Yu Yem mendahulukan Bu Broto yang katanya istri Pak Lurah Desa Mumet.

Saya tambah sebal, mungkin dasar saya yang punya sifat kurang sabar akhirnya memilih tidak jadi beli pecel Yu Yem. Pecel yang sayurnya lengkap, bumbunya sedap dan rempeyeknya renyah pasti tidak akan pernah saya datangi lagi. Orang-orang yang sedang antri terheran- heran melihat saya yang batal membeli. Saya semakin tak peduli Yu, saya tidak jadi beli saja, sudah terlalu lama saya mengantri, Yu Yem lebih peduli sama orang yang berpangkat Sepeda gunung yang tadinya saya parkir di depan tenda Yu Yem kukayuh kuat-kuat. Dongkol!

Datang juga hari Sabtu, hari libur kami sekeluarga. Sekitar jam 10 pagi, suami dan kedua anak saya sudah rapi jali. Kami merencanakan nonton film Batman: The Dark Knight di salah satu sinema terbesar di Kota Surabaya. Sampai di sinema antrian sudah panjang. Suami saya mengantri di barisan ke 30 lebih. Anak saya yang besar mulai gelisah, kuatir tidak memperoleh karcis. Sejurus datanglah seorang wanita muda, bermata bundar, cantik, berambut panjang lurus, saya menebak pasti seorang mahasiswi. Mahasiwi cantik tadi mendatangi seorang Bapak yang mengantri agak di depan. Dengan gayanya yang manja dan senyum yang saya akui sangat menarik berbicara lembut ke Bapak tadi, Oom nitip beli karcis ya, Batman 10 lembar! Tanpa

menunggu jawaban Bapak tadi, si wanita muda nancantik mengeluarkan beberapa lembar 50ribuan, Ini uang pas Oom, terimakasih ya Oom!, Si Bapak yang dipanggil si Oom tadi tersenyum sebentar dan mengangguk. Beberapa menggerutu melihat adegan tadi. Saya kembali tak sabar, saya datangi wanita cantik tadi, Mbak ngantri donk!. Tampaknya wanita muda cantik tadi memang bermuka tebal, senyumnya yang tiba-tiba menurut saya sangat jelek seolah-olah meneriakkan kemenanngan. Kesabaran saya terluka untuk yang kedua. Tangan suami saya, saya tarik, Kita tidak jadi nonton! Suami saya mau protes tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Anak-anak saya mengikuti langkah kami sambil tidak mengerti apa yang terjadi. Pokoknya jengkel!

Senin pagi selalu hari yang sangat sibuk. Bemo W jurusan Sidoarjo Surabaya menjadi primadona. Saya salah satu yang antri diantara banyak orang. Bemo kuning cerah itu berhenti tepat di depanku. Entah dari mana datangnya, seorang pria muda berseragam SMU sambil menenteng tas hitam menyerondol masuk. Beruntung hari itu saya sedang sabar. Saya hanya menghela nafas dan menunggu bemo berikutnya.

Sepanjang perjalanan Sidoarjo Surabaya membuat saya merenung, mungkin banyaknya korupsi di negeri salah satunya juga karena masih belum menjiwainya budaya ngantri. Lebih baik bayar sana bayar sini, sogok sana sogok sini yang penting dapat lebih cepat, yang penting dapat lebih banyak, yang penting dapat lebih dulu, yang penting tidak perlu mengantri..... Ah bangsaku.. kapan ya menjadi lebih baik lagi?

Anda mungkin juga menyukai