Anda di halaman 1dari 13

TUGAS dr. Retno Indar Widayati, M.Si, Sp.

KK

IGNATIUS ERIK DWI WAHYUDI 22010112210164

A.

ACNE VULGARIS Etiologi Akne vulgaris dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Penyebab yang pasti belum diketahui secara jelas, namun terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan, antara lain : genetik, endokrin (androgen, pituitary sebotropic factor, dsb), faktor makanan, keaktifan dari kelenjar sebasea, faktor psikis, musim, infeksi bakteri (Propionibacterium aknes), kosmetika, dan bahan kimia lainnya. 1. Sebum Sebum merupakan faktor utama penyebab timbulnya akne. Pada akne terjadi peningkatan sebum. Sebum yang meningkat tidak hanya terjadi pada akne, tetapi dapat juga pada penyakit parkinson dan akromegali. 2. Bakteri Mikroba yang terlibat pada terbentuknya akne adalah Propionibacterium aknes, Stafilococcus epidermidis, dan Pityrosporum ovale. Dari ketiga mikroba ini yang terpenting yakni Propionibacterium aknes. Bakteri ini merupakan bakteri komensal pada kulit. Pada keadaan patologik, bakteri ini membentuk koloni pada duktus pilosebasea yang menstimulasi trigliserida untuk melepas asam lemak bebas, memproduksi substansi kemotaktik pada sel-sel inflamasi, dan menginduksi duktus epitel untuk mensekresi sitokin pro-inflamasi. 3. Herediter Faktor herediter yang sangat berpengaruh pada besar dan aktivitas kelenjar palit (glandula sebasea). Apabila kedua orang tua mempunyai parut bekas akne, kemungkinan besar anaknya akan menderita akne. 4. Hormon Hormon androgen berasal dari testis, ovarium, dan kelenjar adrenal. Hormon ini menyebabkan kelenjar sebasea bertambah besar dan produksi sebum meningkat pada remaja laki-laki dan perempuan. Hormon androgen merupakan stimulus utama pada sekresi sebum oleh kelenjar sebasea. Pada penderita akne, kelenjar sebasea berespon sangat cepat pada

peningkatan kadar hormon ini di atas normal. Hal ini mungkin disebabkan oleh peningkatan aktivitas 5-reductase yang lebih tinggi pada kelenjar sebasea dibanding kelenjar lain dalam tubuh. 5. Diet Pada beberapa pasien, akne dapat diperburuk oleh beberapa jenis makanan, seperti coklat, kacang, kopi, dan minuman ringan. 6. Iklim Di daerah yang mempunyai empat musim, biasanya akne bertambah hebat pada musim dingin, dan dapat pula meningkat oleh paparan cahaya matahari langsung. 7. Faktor iatrogenik Kortikosteroid baik topikal maupun sistemik dapat meningkatkan keratinisasi duktus polisebasea. Androgen, gonadotropin, dan kortikotropin dapat menginduksi akne pada dewasa muda. Kontrasepsi oral dapat pula menginduksi terjadinya akne.

Patogenesis Patogenesis akne vulgaris sangat kompleks, dipengaruhi banyak faktor dan kadangkadang masih kontroversial. Ada empat hal penting yang berhubungan dengan terjadinya akne, yakni peningkatan sekresi sebum, adanya keratinisasi folikel, bakteri, dan peradangan (inflamasi). 1. Peningkatan sekresi sebum Faktor pertama yang berperan dalam patogenesis akne ialah peningkatan produksi sebum oleh glandula sebacea. Pasien dengan akne akan memproduksi lebih banyak sebum dibanding yang tidak terkena akne meskipun kualitas sebum pada kedua kelompok tersebut adalah sama. Salah satu komponen dari sebum yaitu trigliserida mungkin berperan dalam patogenesis akne. Trigliserida dipecah menjadi asam lemak bebas oleh P.aknes, flora normal yang terdapat pada unit pilosebacea. Asam lemak bebas ini kemudian menyebabkan kolonisasi P.aknes, mendorong terjadinya inflamasi dan dapat menjadi komedogenik. Hormon androgen juga mempengaruhi produksi sebum. Serupa dengan aktifitasnya pada keratinosit infundibuler follikular, hormon androgen berikatan dan mempengaruhi aktifitas sebosit. Orang-orang dengan akne memiliki kadar serum androgen yang lebih tinggi dibanding dengan orang yang tidak terkena akne. 5 reduktase, enzim yang bertanggung jawab untuk mengubah testosteron menjadi DHT

poten memiliki aktifitas yang meningkat pada bagian tubuh yang menjadi predileksi timbulnya akne yaitu pada wajah, dada, dan punggung. Peranan estrogen dalam produksi sebum belum diketahui secara pasti. Dosis estrogen yang diperlukan untuk menurunkan produksi sebum jauh lebih besar jika dibandingkan dengan dosis yang diperlukan untuk menghambat ovulasi. Mekanisme dimana estrogen mungkin berperan ialah dengan secara langsung melawan efek androgen dalam glandula sebacea, menghambat produksi androgen dalam jaringan gonad melalui umpan balik negatif pelepasan hormon gonadotropin, dan meregulasi gen yang yang menekan pertumbuhan glandula sebacea atau produksi lipid.

P a b c d

Gambar. 1. Patogenesis Akne: a) Hiperkeratosis primer b) Komedo c) Inflamasi papul (pustul) d) Nodul

2. Keratinisasi folikel Hiperproliferasi epidermis follikular menyebabkan pembentukan lesi primer akne yaitu mikrokomedo. Epitel folikel rambut paling atas, yaitu infundibulum menjadi hiperkeratosis dengan meningkatnya kohesi dari keratinosit. Kelebihan sel dan kekuatan kohesinya menyebabkan pembentukan plug pada ostium follikular. Plug ini kemudian menyebabkan konsentrasi keratin, sebum, dan bakteri terakumulasi di dalam folikel. Hal tersebut kemudian menyebabkan pelebaran folikel rambut bagian atas, yang kemudian membentuk mikrokomedo. Stimulus terhadap proliferasi keratinosit dan peningkatan daya adhesi masih belum diketahui. Namun terdapat beberapa faktor yang diduga menyebabkan hiperproliferasi keratinosit yaitu stimulasi androgen, penurunan asam linoleat, dan peningkatan aktifitas interleukin (IL)-1.

Hormon androgen dapat berperan dalam keratinosit follikular untuk menyebabkan hiperproliferasi. Dihidrotestosteron (DHT) merupakan androgen yang poten yang memegang peranan terhadap timbulnya akne. 17 -hidroksisteroid dehidrogenase dan 5-reduktase merupakan enzim yang berperan untuk mengubah dehidroepiandrosteron (DHEAS) menjadi DHT. Jika dibandingkan dengan keratinosit epidermal, keratinosit follikular menunjukkan peningkatan aktifitas 17-hidroksisteroid dehidrogenase dan 5-reduktase yang pada akhirnya meningkatkan produksi DHT. DHT dapat menstimulasi proliferasi keratinosit follikular. Hal lain yang mendukung peranan androgen dalam patogenesis akne ialah bahwa pada orang dengan insensitivitas androgen komplet tidak terkena akne. Proliferasi keratinosit follikular juga diatur dengan adanya asam linoleic. Asam linoleic merupakan asam lemak esensial pada kulit yang akan menurun pada orangorang yang terkena akne. Kuantitas asam linolic akan kembali normal setelah penanganan dengan isotretinoin. Kadar asam linoleic yang tidak normal dapat menyebabkan hiperproliferasi keratinosit follikular dan memproduksi sitokin proinflamasi. Terdapat asumsi bahwa asam linoleic diproduksi dengan kuantitas yang tetap tetapi akan mengalami dilusi seiring dengan meningkatnya produksi sebum. IL-1 juga memiliki peranan dalam hiperproliferasi keratinosit. Keratinosit follikular pada manusia menunjukkan adanya hiperproliferasi dan pembentukan mikrokomedoe ketika diberika IL-1. Antagonis reseptor IL-1 dapat menghambat pembentukan mikrokome.

3. Bakteri Faktor ketiga yakni bakteri. Propionibacterium aknes juga memiliki peranan aktif dalam proses inflamasi yang terjadi. P.aknes merupakan bakteri gram-positif, anaerobik, dan mikroaerobik yang terdapat pada folikel sebacea. Remaja dengan akne memiliki konsentrasi P.aknes yang lebih tinggi dibanding orang yang normal. Bagaimanapun tidak terdapat korelasi antara jumlah P.aknes yang terdapat pada glandula sebacea dan beratnya penyakit yang diderita. Dinding sel P.aknes mengandung antigen karbohidrat yang menstimulasi perkembangan antibodi. Pasien dengna akne yang paling berat memiliki titer antibodi yang paling tinggi pula. Antibodi propionibacterium meningkatkan respon inflamasi dengan mengaktifkan komplemen, yang pada akhirnya mengawali kaskade proses proinflamasi. P.aknes juga memfalisitasi inflamasi dengan merangsang reaksi

hipersensitifitas tipe lambat dengan memproduksi lipase, protease, hyaluronidase, dan faktor kemotaktik. Di samping itu, P.aknes tampak menstimulasi regulasi sitokin dengan berikatan dengan Toll-like receptor 2 pada monosit dan sel polimorfonuklear yang mengelilingi folikel sebacea. Setelah berikatan dengan Toll-like receptor 2, sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-8, IL-12, dan TNF- dilepaskan.

4. Inflamasi Pada awalnya telah diduga bahwa inflamasi mengikuti proses pembentukan komedo, namun terdapat bukti baru bahwa inflamasi dermal sesungguhnya mendahului pembentukan komedo. Biopsi yang diambil pada kulit yang tidak memiliki komedo dan cenderung menjadi akne menunjukkan peningkatan inflamasi dermal dibandingkan dengan kulit normal. Biopsi kulit dari komedo yang baru terbentuk menunjukkan aktifitas inflamasi yang jauh lebih hebat. Mikrokomedo akan meluas menjadi keratin, sebum, dan bakteri yang lebih terkonsentrasi. Walaupun perluasan ini akan menyebabkan distensi yang

mengakibatkan ruptur dinding follikular. Ekstrusi dari keratin, sebum, dan bakteri ke dalam dermis mengakibatkan respon inflamasi yang cepat. Tipe sel yang dominan pada 24 jam pertama ruptur komedo adalah limfosit. CD4+ limfosit ditemukan di sekitar unit pilosebacea dimana sel CD8+ ditemukan pada daerah perivaskuler. Satu sampai dua hari setelah ruptur komedo, neutrofil menjadi sel yang predominan yang mengelilingi mikorkomedo. Keempat elemen dari patogenesis akne yaitu hiperprofliferasi keratinosit follikular, seboroik, inflamasi, dan P.aknes merupakan langkah-langkah yang saling berkaitan dalam pembentukan akne.

Gambaran Klinis Gambaran klinis berupa papula, pustula, nodusa atau kista miliar sampai lentikuler merata pada seluruh regio, disertai komedo. Erupsi timbul pada tempat predileksi seperti wajah, dada, punggung, dan lengan atas bagian luar disertai rasa gatal.

B.

ERUPSI ACNEIFORM Erupsi akneformis adalah kelainan kulit yang menyerupai akne yang berupa reaksi peradangan folikuler dengan manifestasi klinis papulopustular. Etiologi

Etiologi penyakit ini masih belum jelas. Semula erupsi akneformis disangka sebagai salah satu jenis akne, namun kemudian diketahui bahwa etiopatogenesis dan gejalanya berbeda. Induksi obat yang diberikan secara sistemik diakui sebagai faktor penyebab yang paling utama.

Patogenesis --Patogenesis terjadinya erupsi akneiformis belum diketahui secara pasti. John Hunter dkk menyatakan bahwa erupsi akneiformis terjadi melalui mekanisme non imunologis yang dapat disebabkan karena dosis yang berlebihan, akumulasi obat atau karena efek farmakologi yang tidak diinginkan. Andrew J.M dalam bahasannya tentang Cutaneous Drug Eruption menyatakan bahwa mekanisme non imunologis merupakan suatu reaksi pseudo-allergic yang menyerupai reaksi alergi, tetapi tidak bersifat antibodydependent. Ada satu atau lebih mekanisme yang terlibat dalam reaksi tersebut, yaitu: pelepasan mediator sel mast dengan cara langsung, aktivasi langsung dari sistem komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme enzim asam arachidonat sel. Selain itu adanya efek sekunder yang merupakan bagian dari efek farmakologis obat, juga dapat menimbulkan manifestasi di jaringan kulit. ----Wasitaatmadja dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin mengatakan bahwa erupsi akneformis adalah reaksi kulit yang berupa peradangan folikular akibat adanya iritasi epitel duktus pilosebasea.

Gambaran Klinis Gambaran klinis berupa papul yang eritematous, pustul, monomorfik atau oligomorfik, biasanya tanpa komedo, komedo dapat terjadi kemudian setelah sistem sebum ikut terganggu. Dapat disertai demam, malese, dan umumnya tidak terasa gatal. MACAM MACAM ACNE 1. Acne Vulgaris Menurut Kligman & Plewig : - Comedonal acne - Papulo pustules acne - Conglobata acne Menurut Gruper : - Acne Vulgaris Tropical acne Mechanical acne Fulminan acne Neonatal acne - Acne Venenata Cosmetical acne Chlor acne Occupational acne - Acne Physical Senile acne Radiation acne 2. Acne Rosacea 3. Acneiform Eruption 4. Perioral Dermatitis

C.

D.

GONORE Etiologi : Neisseria gonorrhoeae ( diplokokus gram (-), anaerob obligat ) Bentuk klinis : 1. Servisitis Gonore 2. Uretritis Gonore 3. Infeksi Gonore Diseminata

4. Gonore Anorektal Proktitis ( radang anus/rektum ), duh, darah, tenesmus Gay Bowel Syndrome 5. Gonore Orofaring Faringitis, adenopati servikal

SIFILIS Etiologi : Treponema pallidum Pembagian sifilis menurut WHO ialah Sifilis Dini dan Sifilis Lanjut dengan waktu diantaranya 2 tahun, ada yang mengatakan 4 tahun. I. Sifilis Aquisita (didapat) A. Sifilis dini Sifilis primer (SI) Sifilis sekunder (SII) Sifilis laten dini B. Sifilis Lanjut Sifilis laten lanjut Sifilis tersier (SIII) Sifilis kardiovaskuler Neurosifilis II. Sifilis kongenital Sifilis kongenital dini Sifilis kongenital lanjut Stigmata

Manifestasi Klinis : A. Sifilis dini 1. Sifilis Primer Sifilis stadium I (Sifilis primer), timbul tiga minggu (10-90 hari) setelah terjadi infeksi, timbul lesi pada tempat T. Pallidum masuk. Lesi umumnya hanya satu, pertama berupa papula yang erosive, berukuran beberapa millimeter sampai 1-2 cm, berbentuk bulat atau bulat lonjong, dasarnya bersih, merah, kulit disekitarnya tidak ada tanda tanda radang, dan bila di raba ada pengerasan (indurasi) yang merupakan satu lapisan yang tipis. Kelainan ini tidak nyeri (indolen). Gejala tersebut sangat khas bagi sifilis stadium I primer. Erosi dapat

berubah menjadi ulkus berdinding tegak lurus, sedangkan sifat lainya gejala primer. Keadaan ini disebut ulkus durum, yang dapat menjadi vagedenik bila ulkusnya meluas kesamping dan kedalam. Kadang kadang hanya terdapat edema induratif pada pintu masuk T. Palidum, yang tersering pada labia mayora. Sekitar tiga minggu kemudian terjadi penjalaran ke kelenjar inguinal medial. Kelenjar tersebut membesar, padat, kenyal pada perabaan, tidak nyeri, soliter dan dapat digerakkan bebas dari sekitarnya. Keadaan ini disebut sebagai sifilis stadium I kompleks primer. Lesi umumnya terdapat pada genitalia, dapat juga ekstra genital seperti bibir, lidah, tonsil, jari tangan, anus dan puting susu. Tanpa pengobatan lesi dapat hilang spontan dalam 4 6 minggu, cepat atau lambat tergantung pada kecil besarnyua lesi. 2. Sifilis Sekunder (S II) Sifilis sekunder atau sifilis stadium II timbul setelah sifilis stadium I sudah sembuh, waktu antara sifilis stadium I dan II umumnya 6-8 minggu. Kadang kadang terjadi masa transisi yakni sifilis stadium I masih ada saat timbul gejala sifilis stadium II. Sifat yang khas pada sifilis stadium II jarang ada rasa gatal. Gejala konstitusi seperti nyeri kepala, demam subfebril, anoreksia, athralgia dan nyeri leher biasanya mendahului, kadang kadang bersamaan dengan kelainan pada kulit. Kelainan kulit yang timbul berupa macula, papula, pustula. Tidak terdapat vesikel dan bula, sifilis stadium II disebut sebagai The greatest imitator of all skin diseases. Selain kelainan kulit, pada stadium ini terdapat kelainan selaput lendir mulut dan genitalia, kelenjar getah bening yang generalisata dan alat dalam. 3. Sifilis Laten Dini Laten berarti tidak ada gejala klinis dan kelainan, termasuk alat alat dalam, tetapi infeksi masih ada dan aktif.

B. Sifilis lanjut 1. Sifilis Laten Lanjut Sifilis laten lanjut biasanya tidak menular. Lama masa laten dapat bertahun tahun bahkan seumur hidup. Perlu diperiksa pula, apakah ada sikatrik bekas stadium I pada alat genitalia atau lekoderma pada leher yang menunjukan bekas

sifilis II (collar of venus). Kadang kadang terdapat pula banyak kulit hipotrofi lentikular pada badan bekas papul papul sifilis II. Perbedaan antara sifilis sekunder dini dan sifilis sekunder lanjut, dimana pada sifilis sekunder dini terdapat kelainan kulit generalisata, simetrik, dan lebih cepat hilang beberapa hari sampai beberapa minggu. Pada sifilis sekunder lanjut tidak generalisata lagi, melainkan setempat setempat, tidak simetrik dan lebih bertahan lama yaitu beberapa minggu hingga beberapa bulan. 2. Sifilis Tersier (S III) Sifilis tersier atau sifilis stadium III terjadi lesi yang khas berbentuk guma dapat terjadi 3-7 tahun setelah infeksi. Guma umumnya satu, dapat multipel ukuran milier sampai berdiameter beberapa centimeter. Guma dapat timbul pada semua jaringan dan organ mula mula tidak menunjakan tanda tanda radang akut dan dapat digerakkan. Setelah beberapa bulan mulai melunak biasanya dimulai dari tengah dimana tandatanda radang mulai tampak, kulit menjadi eritematosa dan livid serta melekat terhadap guma tersebut kemudian terjadi perforasi dean keluar cairan seropurulen, kadang kadang sanguinolen dan dapat terjadi jaringan nekrotik sentral dikelilingi jaringan granulasi dan pada bagian luarnya terdapat jaringan fibrosa, sifatnya destruktif. Guma mengalami supurasi dan memecah serta meninggalkan suatu ulkus dengan dinding curam dan dalam, dasarnya terdapat jaringan nekrotik berwarna kuning putih. Sifilis stadium ini dapat merusak semua jaringan, tulang rawan pada hidung dan palatum. Guma juga dapat ditemukan pada organ dalam seperti lambung dan hepar, lien, paru dan lain lain. 3. Sifilis Kardiovaskuler Sifilis kardiovaskuler bermanifestasi 10-20 tahun setelah infeksi, umumnya mengenai usia 40 50 tahun, insidensi pada pria tiga kali lebih banyak daripada wanita. Terutama yang terkena adalah jantung, pembuluh darah besar dan sedang. Kebanyakan kematian pada sifilis ini disebabkan karena kelainan system kardovaskuler. Kelainan kardiovaskuler biasanya disebabkan oleh nekrosis aorta yang berlanjut kearah katup. Tandatanda sifilis kardiovaskuler adalah insifusiensi aorta atau aneurisma. Sifilis pada jantung jarang ditemukan dan dapat menimbulkan miokarditis difus atau guma pada jantung. Pada pembuluh darah

besar, lesi dapat timbul di aorta, arteri pulmonalis dan pembuluh darah besar yang berasal dari aorta. Aneurisma umumnya terdapat pada aorta asendens, selain itu juga pada aorta torakalis dan abdominalis. Pembuluh darah sedang, misalnya a.serebralis dan a.medulla spinalis paling sering terkena. Selain itu a.hepatitis dan a.femoralis juga dapat diserang . 4. Neurosifilis Neurosifilis umumya bermanifestasi dalam 10 20 tahun setelah infeksi, walaupun T. palidum langsung bergerak setelah infeksi ke system otot dan syaraf. Neurosifilis ini dibagi menjadi tiga jenis yaitu tergantung pada tipe dan tingkat kerusakan susunan syaraf pusat: 1. Neuorsifilis asimtomatik Tidak ada tanda dan gejala kerusakan susunan saraf pusat. Pada pemeriksaan sumsum tulang belkang menunjukan kenaikan sel, protein total dan tes serologis reaktif. 2. Neurosifilis meningovaskular. Terdapat tnda dan gejala kerusakan susunan saraf pusat, berupa kerusakan pembuluh darah serebrum, infark dan ensefalo malaisia dengan tanda tanda adanya focus neorologis sesuai dengan ukuran dan lokasi lesi. Pada pemeriksaan sumsum tulang belakang menunjukan kenaikan sel, protein total dan tes serologis reaktif 3. Neurosifilis parenkimatosa Neurosifilis ini terdiri dari paresis dan tabes dorsalis. Tanda dan gejala paresis sangat banyak dan selalu menunjukan penyebaran kerusakan parenkimatosa. Perubahan sifat ini dapat terjadi mulai dari yang ringan sampai sikotik. Terdapat tanda tanda focus neurologis. Sedangkan tanda dan gejala pertama tabes dorsalis akibat degenerasi kolumna posterior adalah parestesia, ataksia, arefleksia, ganguan kandung kemih, impotensi dan perasan nyeri seperti terpotong - potong.

C. Sifilis Kongenital Sifilis kongenital pada bayi terjadi, jika ibunya terkena sifilis, terutama sifilis dini oleh karena banya T. Pallidum beredar dalam darah. Treponema masuk secara hematogen ke janin melalui plasenta yang sudah dapat terjadi pada masa kehamilan 10 minggu. Sifilis congenital dibagi menjadi sifilis kongenital dini, lanjut dan

stigmata. Batas antara dini dan lanjut ialah 2 tahun, yang dini bersifat menular sedangkan yang lanjut berbentuk guma dan tidak menular, sedangkan stigmata berarti jaringan parut atau deformitas akibat penyembuhan kedua stadium tersebut. 1. Sifilis Kongenital Dini Gambaran klinis sifilis kongenital dini sangant bervarasi, dan menyerupai sifilis stadium II. Karena infeksi pada janin melalui aliran darah maka tidak dijumpai kelainan sifilis primer. Pada saat lahir bayi dapat tampak sehat dan kelainan timbul setelah beberapa minggu, tetapi dapat pula kelainan sudah sejak lahir. Pada bayi dapat dijumpai kelainan berupa : 1. Pertumbuhan intrauterine yang terlambat 2. Kelainan membra mukosa : mucous patch dapat ditemukan di bibir, mulut, farings, larings dan mukosa genital. Rinitis sifilitika (snuffles ) dengan gambaran yang khas berupa cairan hidung yang mula-mula encer kemudian menjadi bertambah pekat, purulen dan hemoragik. 3. Kelainan kulit : makula, papula, papuloskuamosa dan bula. Bula dapat sudah ada sejak lahir, tersebar secara simetris, terutama pada telapak tangan dan kaki. Makula, papula atau papuloskuamosa tersebar secara generalisata dan simetris. 4. Kelainan tulang : osteokondritis, periostitis dan osteitis pada tulang-tulang panjang merupakan gambaran yang khas. 5. Kelenjar getah bening : limfadenitis generalisata. 6. Alat-alat dalam. 7. Mata : korioretinitis, glaukoma dan uveitis. 8. Susunan saraf pusat : meningitis sifilitika akuta. 2. Sifilis Kongenital lanjut Kelainan umumnya timbul setelah 7 20 tahun. Kelainan yang timbul berupa : 1. Keratitis interstisial 2. Guma 3. Neurosifilis 4. Kelainan sendi : yaitu artralgia difusa dan hidatrosis bilateral (cluttons joint).

3. Stigmata Lesi sifilis congenital dapat meninggalkan sisa, berupa jaringan parut dan deformitas yang karakteristik yaitu : 1. Muka : saddle nose terjadi akibat gangguan pertumbuhan septum nasi dan tulang-tulang hidung. Buldog jaw akibat maksila tidak berkembang secara normal sedangkan mandibula tidak terkena. 2. Gigi : pada gigi seri bagian tengah lebih pendek dari pada bagian tepi dan jarak antara gigi lebih besar (Hutchinsons teeth). 3. Rhaegade : terdapat disekitar mulut 4. Tulang : osteoperiostitis yang menyembuh akan menimbulkan kelainan klinis dan radiologis, pada tibia berupa sabre tibia dan pada daerah frontal berupa frontal bossing. 5. Tuli : kerusakan N.VIII akibat labirintitis progresif 6. Mata : keratitis interstisialis.

FLOUR ALBUS 1. Servisitis Gonore Etiologi : Neisseria gonorrhoeae Flour berupa kuning kental. 2. Trikomoniasis vaginalis Etiologi : Trichomonas vaginalis Flour berupa kuning kehijauan, agak encer, dan bau apek. 3. Kandidosis Vulvovaginalis Etiologi : Candida Flour berupa kuning kental bergumpal seperti santan / susu pecah. Sangat gatal dan merah meradang. 4. Vaginosis Bakterialis Etiologi : Haemofilus vaginalis ( Gardnerella vaginalis ), Mycoplasma hominis, Bacteriodes spp. Flour berupa duh homogen, warna dan konsistensi homogen (putih keabuan seperti air taji), berbau amis / tidak sedap setelah berhubungan seksual.

Anda mungkin juga menyukai