Anda di halaman 1dari 10

Tugas Tanggal Dosen

: 3 (Individu) : 14 Oktober 2012 : Supratigno Aji, Ir. MT

KAITAN ANTARA KAPASITAS FISKAL DENGAN PENYUSUNAN TATA RUANG


Tugas ini disusun guna melengkapi tugas mata kuliah Pembiayaan Pembangunan

Oleh : AUFIYA ALTHOF FAIZAL (103060024)

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG 2012

KAITAN ANTARA KAPASITAS FISKAL DENGAN PENYUSUNAN TATA RUANG

A. Pengertian Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007 : 505), pengertian dari kapasitas yaitu ruang yang tersedia / daya tampung. Sedangkan berdasarkan pengertian lainnya kapasitas yaitu nilai maksimum yang bisa diisi. Pengertian dari fiskal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pendapatan negara (2007 : 317). Sedangkan berdasarkan wikipedia dijelaskan pengertiannya secara luas yaitu bentuk pendapatan negara atau kerajaan yang dikumpulkan dari masyarakat dan oleh pemerintahan negara atau kerajaan dianggap sebagai pendapatan, lalu digunakan sebagai pengeluaran dengan program-program untuk menghasilkan pencapaian terhadap pendapatan nasional, produksi, dan perekonomian serta digunakan pula sebagai perangkat

keseimbangan dalam perekonomian. Dengan demikian pengertian dari kapasitas fiskal adalah sejumlah pendapatan yang dapat dihasilkan oleh suatu negara/daerah. Kapasitas fiskal bisa disebut juga sebagai potensi penerimaan. Sedangkan berdasarkan Undang-Undang No 33 Tahun 2004 yang merupakan kapasitas fiskal daerah yaitu sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan Dana Bagi Hasil (Dirjen Perimbangan Keuangan, 2004). Dalam undang-undang tersebut disebut pula bahwa daerah dengan kapasitas fiskal yang besar, akan tetapi kebutuhan fiskalnya kecil akan memperoleh transfer dana dari pusat dalam bentuk DAU (Dana Alokasi Umum), dengan jumlah yang relatif kecil. Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah pasal 28 ayat 4 menyebutkan kapasitas fiskal daerah merupakan pendanaan yang berasal dari PAD dan Dana Bagi Hasil. Menurut Sidik ada empat kriteria untuk menjamin sistem hubungan keuangan pusat-daerah yang baik. Pertama, harus memberikan kewenangan yang rasional dari berbagai tingkat pemerintahan mengenai penggalian sumber dana pemerintah dan kewenangan penggunaannya, kedua yaitu menyajikan suatu

bagian yang memadai dari sumber-sumber dana masyarakat secara keseluruhan untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi penyediaan pelayanan dan

pembangunan yang diselenggarakan pemerintah daerah, ketiga yaitu sejauh mungkin membagi pengeluaran pemerintah secara adil di antara daerah-daerah, atau sekurang-kurangnya memberikan prioritas pada pemerataan pelayanan kebutuhan dasar tertentu dan keempat yaitu pajak dan retribusi yang dikenakan pemerintah daerah harus sejalan dengan distribusi yang adil atas beban keseluruhan dari pengeluaran pemerintah dalam masyarakat. Sumber-sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pembiayaan, dan lain-lain pendapatan. Desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan yang dilimpahkan. Desentralisasi fiskal merupakan konsekuensi logis dari diterapkan kebijakan otonomi daerah. Prinsip dasar yang harus diperhatikan adalah money follow functions, artinya penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintah membawa konsekuensi anggaran yang diperlukan untuk 4 melaksanakan kewenangan tersebut. Perimbangan keuangan dilakukan melalui mekanisme dana perimbangan, yaitu pembagian penerimaan antar tingkatan pemerintahan guna menjalankan fungsifungsi pemerintahan dalam kerangka desentralisasi. Masalah keseimbangan anggaran menjadi masalah serius karena banyak pemerintah pusat tidak mengijinkan pemerintah daerah untuk melakukan utang kepada publik. Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal dapat menggunakan pendekatan expenditure assignment dan revenue assigment. Pendekatan expenditure

assigment menyatakan bahwa terjadi perubahan

tanggung jawab pelayanan

publik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, sehingga peran local public goods meningkat. Kebijakan ini dapat dilakukan melalui dua tahap. Pertama yaitu menentukan secara umum batasan urusan pemerintah pusat dan daerah. Kedua yaitu membagi secara tegas urusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah

secara spesifik untuk urusan yang bersifat grey area. Pendekatan ini mensyaratkan penentuan Standar Pelayanan Minimum (SPM) setiap urusan yang dilimpahkan ke pemerintah daerah sudah terindentifikasi, sehingga besarnya standar pengeluaran minimum (Standard Spending Assesement = SSA) untuk setiap penyediaan barang publik yang didaerahkan dapat diketahui. Ciri utama pendekatan revenue assigment yaitu memberikan peningkatan kemampuan keuangan, melalui alih sumber pembiayaan pusat kepada daerah, dalam rangka membiayai fungsi yang didesentralisasikan (Mahi, 2002 (c); Lewis, 2001 dan 2003, LPEM FE-UI, 2001). Penentuan sumber-sumber pembiayaan ke daerah dapat dilakukan dengan berpegangan pada tax assigment. Lima prinsip utama dalam menjalankan tax assigment dapat diuraikan sebagai berikut, Satu yaitu Progressive redistributive taxes should be centralize, pajak untuk

kepentingan redistribusi pendapatan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat kedua yaitu Taxes suitable for economic stabilization should be centralized, pajak untuk kepentingan stabilisasi perekonomian sebaiknya dipungut oleh pemerintah pusat. Ketiga yaitu Unequal tax bases among jurisdictions should be centralized. Misalnya pembebanan pajak terhadap deposit sumber daya alam menjadi tanggungjawab pemerintah pusat untuk menghindari geographical inequities dan menjaga allocative distortions. Keempat yaitu Taxes on mobile factors of

production should be centralized. Objek pajak yang relatif tidak bergerak akan menjadi tanggungjawab pemerintah daerah. Artinya bahwa pemerintah pada level yang lebih rendah akan menghindari objek pajak yang mudah berpindah, karena pajak tersebut dapat mendistrosi aktivitas perekonomian. Kelima yaitu

Residence-based taxes, such as excise, should be levied by local authorities. Hal ini dimungkinkan karena tidak ada potensi perpindahan antar daerah (Musgrave, Mahi, 2005).

B. Komponen Kapasitas Fiskal Berdasarkan Undang-Undang No 33 Tahun 2004, komponen kapasitas fiskal terdiri dari PAD dan Dana Bagi Hasil (Dirjen Perimbangan Keuangan, 2004)

1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengeloalaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu komponen sumber pendapatan daerah sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 79 undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, berdasarkan pasal 79 UU 22/1999 disimpulkan bahwa sesuatu yang diperoleh pemerintah daerah yang dapat diukur denga uang karena kewenangan (otoritas) yang diberikan masyarakat dapat berupa hasil pajak daerah dan retribusi daerah. Sumber pendapatan daerah terdiri dari: Hasil Pajak Daerah Hasil Retribusi Daerah Hasil Perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah Dana Perimbangan Pinjaman Daerah Lain-lan pendapatan daerah yang sah Dalam pasal 79 mengisyaratkan bahwa dalam penyelenggaraan fungsifunsi pemerintahan daerah, kepala daerah Kabupaten/Kota. Dengan kata lain, hiharapkan kepada kepala daerah Kabupaten/Kota didalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan daerah tidak terus menerus selalu menggantungkan dana (anggaran) dari pusat melalui pembangian dana perimbangan. Dalam administrasi keuangan daerah PAD adalah pendapatan daerah yang diurus dan diusahakan sendiri oleh daerah yang dimaksud sebagai sumber PAD guna pembangunan. Berdasarkan ketentuan maka PAD dapat disimpulkan sebagai: a. PAD merupakan sumber pendekatan daerah dengan mengelola dan

memanfaatkan potensial daerahnya.

b.

Di dalam mengelola, mengolah dan memanfaatkan potensi daerah, PAD

dapat berupa pemungutan pajak, retribusi dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.

2. Dana Bagi Hasil Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Pengaturan DBH dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintahan Daerah merupakan penyelarasan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 17 Tahun 2000. Dalam Undang-Undang tersebut dimuat pengaturan mengenai Bagi Hasil penerimaan Pajak penghasilan (PPh) pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi dalam Negeri dan PPh Pasal 21 serta sektor pertambangan panas bumi sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi. Selain itu, dana reboisasi yang semula termasuk bagian dari DAK, dialihkan menjadi DBH. Dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam.

C. Kaitan Antara Kapasitas Fiskal dan Penyusunan Tata Ruang

Berbagai upaya untuk mengatasi masalah kesenjangan antar wilayah, kemiskinan, dan pengangguran telah lama dilakukan oleh Pemerintah melalui berbagai kebijakan dan program nasional. Dengan dimulai pada tahun 1994, Pemerintah menjalankan Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang kemudian dilanjutkan dengan program-program Pendukung sejenis Desa lainnya, seperti (P3DT), Program Program

Pembangunan

Prasarana

Tertinggal

Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Pengembangan Prasarana Perdesaan (P2D), Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), dan Proyek Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah (P2MPD). Sejalan dengan itu, dimulai pada tahun 1998, beberapa perubahan paradigma yang mendasar telah

terjadi di Indonesia, seperti desentralisasi, reformasi sistem keuangan negara dan sistem perencanaan pembangunan nasional, yang mempengaruhi seluruh pelaksanaan program Pemerintah, termasuk beberapa program yang telah disebutkan. Beberapa peraturan perundang-undangan telah diterbitkan terkait dengan desentralisasi, di antaranya adalah Undang-undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Selanjutnya terkait dengan reformasi sistem keuangan negara adalah UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang kemudian diikuti dengan diberlakukannya UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Adapun terkait dengan pengembangan wilayah, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, sebagai perbaikan dan penyesuaian dari UU No. 24 Tahun 1992, juga telah diterbitkan. Di lain pihak, pelaksanaan otonomi daerah menghadapi beberapa kendala, terutama pada dua hal penting, yaitu kapasitas sumberdaya manusia (SDM) dan kapasitas fiskal daerah, yang keduanya masih rendah di sebagian besar daerah di Indonesia. Rendahnya kapasitas SDM, baik aparat pemerintah daerah maupun masyarakat pelaku utama pembangunan, menyebabkan kemampuan daerah tidak optimal dalam melaksanakan kewenangan pemerintahan dan pembangunan, yang di dalamnya termasuk kemampuan pemerintah daerah dalam melakukan penyerapan aspirasi dan pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan yang partisipatif. Di dalam UU No. 25 Tahun 2004, secara tegas telah digariskan kebijakan nasional yang mensyaratkan keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan. Sementara itu, rendahnya kapasitas fiskal daerah menyebabkan kemampuan daerah menjadi amat terbatas dalam melakukan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya. Terlebih lagi, seringkali terjadi perencanaan keuangan yang kurang efektif terkait dengan pengalokasian dana Pemerintah di daerah dalam proses integrasi dengan penggunaan dana pembangunan daerah. Dilihat dari aspek pengembangan

wilayah, keterbatasan kemampuan pemerintah daerah jelas terjadi dalam ketidaksesuaian antara dokumen perencanaan daerah dengan rencana tata ruang wilayah.

KESIMPULAN Kapasitas Fiskal merupakan pendapatan yang dihasilkan di suatu negara atau daerah. Kapasitas Fiskal ini didapat dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) atau bisa juga didapat dari Dana Bagi Hasil. Kapasitas Fiskal sangat berpengaruh pada tata ruang wilayah tersebut karena semakin besar kapasitas fiskalnya maka akan semakin baik tata ruangnya itu terjadi karena dalam penataan ruang membutuhkan dana yang sangat besar dan dengan mempunyai kapasitas fiskal yang besar maka kebutuhan dana dalam penataan ruang itu akan tertanggulangi.

PERTANYAAN Apakah kapasitas fiskal suatu daerah itu selalu berbading lurus dengan tingkat kemajuan suatu daerah?

LAMPIRAN

Materi Perkuliahan Perkuliahan Universitas Sumatera Utara

http://ciptakarya.pu.go.id/bangkim/rise.php www.wikipedia.com Kamus Besar Bahasa Indonesia http://bataviase.co.id/node/355499


Zaini, Bastian. 2004. Dana Alokasi Khusus. Techical note. World Bank, Jakarta Office

Anda mungkin juga menyukai