Anda di halaman 1dari 39

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadribata MK, Setiati S. 2006. PAPDI Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.)

2.2. Epidemiologi Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe 2. WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030. (PERKENI. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta.)

2.3. Patofisiologi Tipe ini merupakan tipe yang paling umum dari diabetes pada orang dewasa, namun belakangan juga telah ditemukan pada anak dan remaja. Insulin endogen cukup untuk mencegah ketoasidosis namun tidak dapat mencegah hiperglikemia seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan insulin akibat insensitivitas jaringan (resistensi insulin). (Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadribata MK, Setiati S. 2006. PAPDI Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.) Kombinasi faktor genetik dan lingkungan menyebabkan timbulnya resistensi insulin dan berkurangnya sel beta. Pada awalnya, terjadi hiperplasia sel-sel beta pankreas sehingga produksi insulin meningkat, dan kadar gula darah masih tampak normal.

Setelah beberapa lama, akan terjadi deposisi kronis dari amiloid pada pancreatic islets dan dikombinasikan dengan defek genetik yang diturunkan akan mengganggu fungsi sel beta. Tipe ini disebut juga sebagai non-insulin-dependent diabetes mellitus, (NIDDM), atau adult-onset diabetes (Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadribata MK, Setiati S. 2006. PAPDI Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.) Obesitas merupakan faktor lingkungan penting yang menyebabkan resistensi terhadap insulin. Pada beberapa penderita yang tidak tampak obese, dapat terjadi viseral obesitas akibat akumulasi lemak pada omentum dan daerah mesenterik yang berkorelasi dengan resistensi insulin (obesitas metabolik). Lemak abdominal subkutan tampaknya kurang berperan dalam menimbulkan insensitivitas insulin dibandingkan lemak viseral. Olahraga akan mengurangi deposisi lemak viseral (Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadribata MK, Setiati S. 2006. PAPDI Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.)

Beberapa adipokin yang disekresi oleh sel-sel lemak dapat mempengaruhi aksi insulin pada pasien obesitas. Leptin dan adiponektin meningkatkan sensitivitas terhadap insulin melalui peningkatan respon hepatik. Tumor necrosis factor yang menginaktivasi reseptor insulin dan resistin yang mengganggu aksi insulin pada metabolisme glukosa meningkat pada model hewan dengan obesitas. Konsentrasi abnormal dari adipokin tersebut diperkirakan berperan dalam perkembangan resistensi insulin pada orang dengan obesitas (Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadribata MK, Setiati S. 2006. PAPDI Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.)

Hiperglikemia sendiri dapat mengganggu aksi insulin dengan menyebabkan akumulasi heksosamin pada jaringan lemak dan otot dengan menghambat transpor glukosa (acquired glucose toxicity). Koreksi hiperglikemia dapat membalikkan resistensi insulin tersebut (Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadribata MK, Setiati S.
2006. PAPDI Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.)

Pada DM tipe 2 letak kelainan di beberapa tempat : a. Sekresi insulin oleh pankreas mungkin cukup, tetapi terjadi resistensi insulin di perifer.

b. Jumlah reseptor di jaringan perifer kurang. c. Jumlah reseptor cukup tetapi kualitas reseptor jelek sehingga insulin tidak efektif. d. Terdapat kelainan di pasca reseptor, sehingga proses glikolisis intra seluler terganggu. e. Adanya kelainan campuran diantara nomor a,b,c, dan d.

Tabel 1. Perbandingan perbedaan DM Tipe 1 dan DM Tipe 2

2.4. Faktor Resiko Setiap orang yang memiliki satu atau lebih faktor risiko diabetes selayaknya waspada akan kemungkinan dirinya mengidap diabetes. Para petugas kesehatan, dokter, apoteker dan petugas kesehatan lainnya pun sepatutnya memberi perhatian kepada orang-orang seperti ini, dan menyarankan untuk melakukan beberapa pemeriksaan untuk mengetahui kadar glukosa darahnya agar tidak terlambat memberikan bantuan penanganan. Karena makin cepat kondisi diabetes melitus diketahui dan ditangani, makin mudah untuk mengendalikan kadar glukosa darah dan mencegah komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi. Beberapa faktor risiko untuk diabetes melitus, terutama untuk DM Tipe 2, dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2. Faktor-faktor resiko Diabetes Melitus Tipe 2

2.4. Diagnosis Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini: a. Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya b. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita Setelah ditemukan keluhan tersebut pada pasien, dalam menegakkan diagnosisnya harus dilakukan pemeriksaan yang dapat dilakukan melaui 4 cara yaitu: a. pemeriksaan glukosa plasma sewaktu dimana merupakn hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir b. pemeriksaan kadar glukosa plasma puasa dilakukan dengan puasa yang diartikan pasien tidak mendapatkan kalori tambahan sedikitnya 8 jam c. tes toleransi gula darah (TTGO) dengan beban 75 g glukosa anhidrus yang

dilarutkan ke dalam air lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus. d. Pemeriksaan HbA1c oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandardisasi dengan baik. Maka diagnosis dari DM dapat ditegakkan apabila ditemukan hasil-hasil berikut dalam tiap pemeriksaan : 1. Gejala klasik + Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL 2. Gejala klasik + Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dL 3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL 4. Pemeriksaan HbA1c >6.5% Pemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka yang mempunyai risiko DM namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM, TGT, maupun GDPT, sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular dikemudian hari. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa. Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal (mass screening) tidak dianjurkan mengingat biaya yang mahal, yang pada umumnya tidak diikuti dengan rencana tindak lanjut bagi mereka yang diketemukan adanya kelainan. Pemeriksaan penyaring dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk penyakit lain atau general checkup. Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor risiko lain, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

2.5. Terapi Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup diabetisi. Tujuan penatalaksanaan diantaranya jangka pendek: hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah. Jangka panjang: tercegahnya dan terhambatnya progesivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas dini DM. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistic dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku. a. Langkah-langkah penatalaksanaan DM 1. Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama melipiuti: a. Riwayat Penyakit: Gejala yang timbul, hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu termasuk A1C, hasil pemeriksaan khusus yang telah ada terkait DM Poal makan, status nutrisi, riwayat perubahan berat badan Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan DM secara mandiri, serta kepercayaan yang diikuti dalam bidang terapi kesehatan Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan, perencanaan makan dan program latihan jasmani Riwayat komplikasi akut (KAD, hiperosmolar hiperglikemi,

hipoglikemi) Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi dan traktus urogenitalis Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronis (komplikasi pada ginjal, mata, saluran pencernaan, dll) Pengobatan yang lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah

Factor risisko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner, obesitas dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan penyakit endokrin lainnya) Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, status ekonomi Kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi dan kehamilan

b. Pemeriksaan Fisisk Pengukuran tinggi dan berat badan Pengukuran tekanan darah, termasuk tekanan darah ortostatik jika diperlukan Pemeriksaan funduskopi Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid Pemeriksaan jantung Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun menggunakan stetoskop Pemeriksaan ekstemitas atas dan bawah termasuk jari) Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin) dan pemeriksaan neurologis Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain

c. Evaluasi Laboratoris/Penunjang lain Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial A1C Profil lipid pada keadaan puasa ( bkolesterol total, kolesterol HDL, kolesterol LDL, trigliserida) Kreatinin serum Albuminuria Keton, sedimen dan protein dalam urin Elektrokardiogram Foto sinar X dada

d. Tindakan Rujukan Ke dokter ahli mata bila diperlikan pemeriksaan mata lebih lanjut

Konsultasi keluarga berencana untuk wanita usia produktif Konsultasi terapi gizi medis sesuai indikasi Konsultasi dengan educator diabetes Konsultasi dengan spesialis kaki, spesialis perilaku, atau spesialis yang lain sesuai indikasi

2. Evaluasi Medis Secara Berkala Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam sesuadah makan sesuai dengan kebutuhan Pemeriksaan A1c dilakukan setiap 3 bulan Setiap satu tahun dilakukan pemeriksaan: Jasmani lengkap Albuminuria mikro Kreatinin Albumin/globulin dan ALT Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan rigliserida EKG Foto sinar X dada Funduskopi

b. Pilar Penatalaksanaan DM. Pengelolaan DM dimulai dengan terpai gizi medis dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolic berat, misalnya ketoasidosis, stress berat, berat badan yang menurun dengan cepat, ketonuria, insulin dapat diberikan segera. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tentang tanda dan gejala hipoglikemi dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.2 1. Edukasi

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan mapan. Keberhasilan pengeloalan diabetes mandiri membutuhkan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman tentang: Perjalanan penyakit DM Makna dan perlunay pengendalian dan pemantauan DM Penyulit DM dan risikonya Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat hipoglikemik oral atau insulin serta obat-obatan lain Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia) Mengatasi sementara keadaan gawat daraurat seperti rasa sakit atau hipoglikemia Pentingnya latihan jasmani yang teratur Masalh khusus yang dihadapi (misalnya hiperglikemia, pada kehamilan) Pentingnya perawatan diri Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan

Edukasi dapat diberikan secara individual dengan pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah. Seperti halnya dengan proses edukasi, perubahan perilaku memerlukan perencanaan yang baik, implementasi, evaluasi dan dokumentasi. 2. Terapi gizi medis Terapi gizi medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri). Setiap diabetisi sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai target terapi. Prinsip pengaturan

makan pada diabetisi hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing masing individu. Pada diabetisi perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.

a. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari: 1. Karbohidrat Karbohidrat dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi. Pembatrasan karbohidrat total kurang dari 130 g/hari tidak dianjurkan. Makanan harus mengandung lebih banyak karbohidrat terutama yang berserat tinggi. Sukrosa tidak boleh lebih dari 10% total asupan energi. Sedikit gula dapat dikonsumsi sebagai bagian dari perencanaan makan yang sehat dan pemanis non nutrisi dapat digunakan sebagai pengganti jumlah besar gula misalnya pada minuman ringan dan permen. Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari. 2. Lemak Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. Lemak jenuh kurang dari 7% kebutuhan kalori. Bahn makan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain daging berlemak dan susu penuh. Anjuran konsumsi kolesterol kurang dari 300 mg/hari. 3. Protein Dibutuhkan sebesar 15-20% total asupan energi. Sumber protein yang baik adalah iakn, seafood, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan tempe. 4. Garam Asupan natrium tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 1 sendok teh garam dapur. 5. Serat

Penyandang diabetes dianjurkan mengkonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat. 6. Pemanis. Batasi penggunaan pemanis bergizi seperti gula alcohol dan fruktosa. Dalam penggunaanya pemanis bergizi perlu diperhitungkan

kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari. b. Kebutuhan Kalori Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan diabetisi diantaranya adalah dengan memperhitungkan berdasarkan kebutuhan kalori basal yyang besarnya 25-30 kalori /kgBB ideal ditambah dan dikurangi bergantung pada beberapa factor yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan dan lain-lain. Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal/kgBB dan untuk pria sebesar 30 kal/kgBB. Untuk pasien di atas 40 tahun kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk dekade 40-59 tahun, dikurangi 10% untuk usia 60-69 tahun dan dikurangi 20% diatas 70%. Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai intensitas aktivitas fisik. Penambahan sejumalah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada keadaan istirahat, 20% pada pasien dengan

aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat berat. Berdasarkan berat badan, bila kegemukan dikurangi 2030%, bila kurus ditamabha 20-30%. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien sejauh mungkin perubahan dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan kebiasaan. 3. Latihan Jasmani Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit) , merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobic seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan

berenang. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalasmalasan. Kurangi aktivitas misalnya menonton televise, menggunakan internet, atau main game komputer. Persering aktivitas misalnya jalan cepat, olah otot, ataupun bersepeda. 4. Intervensi Farmakologis Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan TGM dan latihan jasmani. 1. Obat Hipoglikemik Oral (OHO) Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan: a. Pemicu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue) 1. Sulfonilurea Obat ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pancreas dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih bisa diberikan pada pasien dengan berat badan lebih. Untuk

menghindari hipoglikemia berkepanjangan tidak dianjurkan penggunaan sulfonylurea kerja panjang pada berbagai keadaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular. 2. Glinid Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonylurea, dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Obat ini di absorbs dengan cepat setelah pemberian secara oral dan di ekskresi secara cepat melalui hati. Golongan ini terdiri dari dua macam obat yaitu Repaglinid (derivate asam benzoate) dan Nateglinid (derivate fenilalanin). b. Penambah Sensitivitas Terhadap Insulin Contoh obat ini adalah Tiazolidindion (Rosiglitazon dan Pioglitazon) berikatan pada peroxisome proliferator activated receptor gamma (PPAR ), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat

edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan Tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala. Saat ini Tiazolidindion tidak digunakan sebagai obat tunggal. c. Penghambat Glukoneogenesis (Metformin) Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), disamping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Metformin terutama dipakai pada diabetisi gemuk. Obati ini dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum >1,5) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, syok, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. d. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose) Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulakna efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dab flatulen. 2. Insulin a. Insulin diperlukan pada keadaan: Penurunan berat badan yang cepat Hiperglikemia berat yang disertai ketosis Ketoasidosis diabetic Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik Hiperglikemia dengan asidosis laktat Gagal dengan kombinasi OHO dosis hamper maksimal Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke) Kehamilan dengan DM/Diabetes mellitus gestasional yang tidak terkendali dengan TGM Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

b. Jenis dan Lama Kerja Insulin Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 4 jenis yaitu: Insulin kerja cepat (rapid acting insulin) Insulin kerja pendek (short acting insulin) Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin) Insulin kerja panjang (long acting insulin) Insulin campuran tetap (premixed insulin) Efek samping terapi insulin antara lain hipoglikemi, reaksi imun terhadap insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin. Tabel 3. Insulin yang Beredar di Indonesia.9 Macam insulin Buatan Efek Puncak (jam) Cepat: Humalog Apidra Aspart Eli Lily (U-100) Aventis (U-100) Novo (U-100) 1-2 4-6 Lama Kerja (jam)

Pendek: Actrapid Humulin-R Novo (U-40 danU100) Eli Lily (U-40 danU100) Menengah: Insulatard Human Monotard Human Humulin_N Novo (U-40 danU100) Novo (U-40 danU100) 2-8 18-24 2-4 6-8

Eli Lily (U-100)

Campuran: Mixtard 30/70 Humulin 30/70 Novo (U-40 danU100) 2-8 14-15

Humalog Mix Eli Lily (U-100) 25 Eli Lily (U-100)

Panjang: Lantus Aventis (U-100) Tanpa puncak Peakless insulin 24

3. Terapi Kombinasi Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan diet rendah untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi, harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alas an klinik dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, dipilih terapi dengan kombinasi tiga OHO.2 Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja sedang/panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah/panjang adalah 10 unit yang diberikan sekitar pukul 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara tersebut kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka obat hipoglikemik oral dihentikan dan diberi insulin saja.

2.6. Komplikasi 2.6.1. Diabetic Kidney Disease Nefropati Diabetik (ND) merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi pada penderita diabetes yakni pada ginjal dan dapat menyebabkan penyakit ginjal kronis dan stadium akhir penyakit ginjal. Patogenesis terjadinya kelainan ginjal pada diabetes tidak dapat diterangkan dengan pasti Gangguan awal pada jaringan ginjal sebagai dasar terjadinya nefropati adalah terjadinya proses hiperfiltrasi-hiperperfusi membran basal glomeruli karena glukosa plasma yang tinggi dan hipertensi menyebabkan terjadinya penebalan membrane basal dan pelebaran glomerulus. Gambaran histologi jaringan pada ND memperlihatkan adanya penebalan membran basal glomerulus, ekspansi mesangial glomerulus yang akhirnya menyebabkan glomerulosklerosis, hyalinosis arteri eferen dan eferen serta fibrosis tubulo interstitial. Tampaknya berbagai faktor berperan dalam terjadinya kelainan tersebut. Peningkatan glukosa yang menahun (glukotoksisitas) pada penderita yang mempunyai predisposisi genetik merupakan faktor-faktor utama ditambah faktor lainnya dapat menimbulkan nefropati. Glukotoksisitas terhadap basal membran dapat melalui 2 jalur:5,6,7 a. Alur metabolik (metabolic pathway): Faktor metabolik diawali dengan hiperglikemia, glukosa dapat bereaksi secara proses non enzimatik dengan asam amino bebas menghasilkan AGEs (advance glycosilation end-products). Peningkatan AGEs akan menimbulkan kerusakan pada glomerulus ginjal. Terjadi juga akselerasi jalur poliol, dan aktivasi protein kinase C. Pada alur poliol (polyol pathway) terjadi peningkatan sorbitol dalam jaringan akibat meningkatnya reduksi glukosa oleh aktivitas enzim aldose reduktase. Peningkatan sorbitol akan mengakibatkan berkurangnya kadar inositol yang menyebabkan gangguan osmolaritas membran basal. b. Alur Hemodinamik : Gangguan hemodinamik sistemik dan renal pada penderita DM terjadi akibat glukotoksisitas yang menimbulkan kelainan pada sel endotel pembuluh darah. Faktor hemodinamik diawali degan peningkatan hormon vasoaktif seperti angiotensin II. angiotensin II juga berperan dalam perjalanan ND. Angiotensin II berperan baik secara hemodinamik maupun non-hemodinamik. Peranan tersebut antara lain

merangsang vasokontriksi sistemik, meningkatkan tahanan kapiler arteriol glomerulus, pengurangan luas permukaan filtrasi, stimulasi protein matriks ekstra selular, serta stimulasi chemokines yang bersifat fibrogenik. Dari kedua faktor diatas maka akan terjadi peningkatan TGF beta yang akan menyebabkan proteinuria melalui peningkatan permeabilitas vaskuler. TGF beta juga akan meningkatkan akumulasi ektraceluler matrik yang berperan dalam terjadinya ND.8 Peran hipertensi dalam patogenesis diabetik kidney disease masih kontroversial, terutama pada penderita DM tipe 2 dimana pada penderita ini hipertensi dapat dijumpai pada awal bahkan sebelum diagnosis diabetes ditegakkan. Dikatakan bahwa hipertensi tidak berhubungan langsung dengan terjadinya nefropati tetapi mempercepat progesivitas ke arah CKD pada penderita yang sudah mengalami diabetik kidney disease. Pada gagal ginjal kronik fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein yang normalnya diekskresikan ke dalam urin tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka gejala akan semakin berat. Penurunan jumlah glomeruli yang normal menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal. Dengan menurunnya LFG mengakibatkan penurunan klirens kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum. Hal ini menimbulkan gangguan metabolisme protein dalam usus yang menyebabkan anoreksia, nausea maupan vomitus yang menimbulkan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Peningkatan ureum kreatinin sampai ke otak mempengaruhi fungsi kerja, mengakibatkan gangguan pada saraf, terutama pada neurosensori. Selain itu Blood Ureum Nitrogen (BUN) biasanya juga meningkat. Pada penyakit ginjal tahap akhir urin tidak dapat dikonsentrasikan atau diencerkan secara normal sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan elektrolit. Natrium dan cairan tertahan meningkatkan resiko gagal jantung kongestif. Penderita dapat menjadi sesak nafas, akibat ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan. Dengan tertahannya natrium dan cairan bisa terjadi edema dan ascites. Hal ini menimbulkan resiko kelebihan volume cairan dalam tubuh, sehingga perlu dimonitor keseimbangan cairannya. Semakin menurunnya fungsi renal terjadi asidosis metabolik akibat ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang

berlebihan. Terjadi penurunan produksi eritropoetin yang mengakibatkan terjadinya anemia. Sehingga pada penderita dapat timbul keluhan adanya kelemahan dan kulit terlihat pucat menyebabkan tubuh tidak toleran terhadap aktifitas. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal terjadi peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon (PTH) dari kelenjar paratiroid. Pada pasien PGK stadium lanjut kemampuan PTH untuk mobilisasi garam kalsium dari tulang akan terganggu. Produksi PTH yang berlebihan menyebabkan gangguan metabolisme vitamin D dan kehilangan yang berlebihan melalui tinja dan semuanya ini merupakan faktor pencetus terjadinya osteodistrofi renal. Laju penurunan fungsi ginjal dan perkembangan gagal ginjal kronis berkaitan dengan gangguan yang mendasari, ekskresi protein dalam urin, dan adanya hipertensi. Gambaran klinis pasien PGK meliputi: 1. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritematosus Sistemik dan lain sebagainya. 2. Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overloaded), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma. 3. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida). Pada individu dengan PGK, klasifikasi ditentukan atas dua hal yaitu atas dasar derajat penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai LFG yang lebih rendah, yang dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut: (140 umur) x berat badan LFG (ml/menit/1,73m2) = 72 *) pada perempuan dikalikan 0,85 x kreatinin plasma *) (mg/dL)

Derajat 1 2 3 4 5

Penjelasan Kerusakan ginjal dengan LFG normal / Kerusakan ginjal dengan LFG ringan Kerusakan ginjal dengan LFG sedang Kerusakan ginjal dengan LFG berat Gagal ginjal

LFG 90 60 89 30 59 15 29 < 15 atau dialisis

Gambaran Laboratorium Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi a. b. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal. c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,

peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalemia, asidosis metabolik. d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria.

Gambaran Radiologis Pemeriksaan radiologis penyakit GGK meliputi : a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan c. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

Terapi dasar adalah kendali kadar gula darah, kendali tekanan darah, dan kendali lemak darah. Disamping itu, perlu pula dilakukan mengubah gaya hidup seperti pengaturan diet, penurunan berat badan bila berlebih, latihan fisik, menghentikan kebiasaan merokok. Semua tindakan ini adalah juga tindakan preventif terhadap penyakit kardiovaskuler.5,6,7 Terapi non farmakologis, terdiri dari 3 pengelolaan penyakit ginjal diabetik yaitu: 1. Edukasi. Hal ini dilakukan untuk mencapai perubahan prilaku, melalui pemahaman tentang penyakit DM, makna dan perlunya pemantauan dari pengendalian DM, penyulit DM, intervensi farmakologis dan non-farmakologis, hipoglikemia,dan masalah khusus yang dihadapi. 2. Perencanaan makan. Perencanaan makan pada penderita DM dengan komplikasi penyakit ginjal diabetik disesuaikan dengan penatalaksanaan diet pada penderita gagal ginjal kronis. Perencanaan diet yang diberikan adalah diet tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam. Dalam upaya mengurangi progresivitas nefropati maka pemberian diet rendah protein sangat penting. Pembatasan protein mulai dilakukan pada LFG< 60 ml/mnt, sedangkan diatas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Pada penderita PGK konsumsi protein yang direkomendasikan adalah 0,6-0,8 gr/kgBB/hari (50% protein dianjurkan yang mempunyai nilai biologi tinggi) dengan kalori 30-35 kkal/kgBB/hari.2 Sebab kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, diet tinggi protein pada pasien PGK akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anoganik lain dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Selain itu, asupan protein berlebih akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus yang akan meningkatkan perburukan fungsi ginjal.1,3 Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama.

Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Jika terjadi malnutrisi, jumlah asupan protein dan kalori dapat ditingkatkan.1 Pada pasien post HD, untuk mempertahankan keadaan klinik stabil, protein yang dianjurkan adalah 1.2 gr/kgBB/hari karena pada pasien HD kronik sering mengalami malnutrisi. Malnutrisi pada pasien HD kronik disebabkan oleh intake protein yang tidak adekuat, proses inflamasi kronik dalam proses dialisis, dialysis reuse, adanya penyakit komorbid, gangguan gastrointestinal, post dialysis fatigue, dialysis yang tidak adekuat, overhidrasi interdialytic. Pada pasien CAPD protein yang dianjurkan 1.5 gr/kgBB/hari.Penderita DM sendiri cenderung mengalami keadaan dislipidemia. Keadaan ini perlu diatasi dengan diet dan obat bila diperlukan. Dislipidemia diatasi dengan statin dengan target LDL kolesterol < 100mg/dl pada penderita DM dan < 70 mg/dl bila sudah ada kelainan kardiovaskuler.7,8 3. Latihan Jasmani. Dilakukan teratur 3-4 kali seminggu, selama kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas terhadap insulin, tapi tetap harus disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani penderita. Contoh latihan jasmani yang dimaksud adalah jalan, sepeda santai, joging, berenang. Prinsipnya CRIPE (Continous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance).7 Terapi Farmakologis, yang perlu dilakukan adalah : 1. Pengendalian DM Berbagai penelitian klinik jangka panjang (5-7 tahun) dengan melibatkan ribuan penderita telah menunjukkan bahwa pengendalian kadar gula darah secara intensif akan mencegah progresivitas dan mencegah timbulnya penyulit kardiovaskuler, baik pada DM tipe I maupun tipe II. Oleh karena itu, perlu sekali diupayakan agar terapi ini dilaksanakan sesegera mungkin. Diabetes terkendali yang dimaksud adalah pengendalian secara intensif kadar gula darah, lipid dan kadar HbAlc sehingga mencapai kadar yang diharapkan. Selain itu pengendalian status gizi dan tekanan darah juga perlu diperhatikan.6,7
Tabel 5. Kadar gula darah, lipid, HbAlc

Indikator keberhasilan

Target

Glukosa darah puasa Glukosa darah 2 jam pp A1C Kolesterol total Kolesterol LDL Kolesterol HDL Trigliserida 2. Pengendalian Tekanan Darah

80-100 mg/dl 80-144 mg/dl <6,5% <200 <100 >45 <150

Pengendalian tekanan darah merupakan hal yang penting dalam pencegahan dan terapi nefropati diabetik. Pengendalian tekanan darah juga telah ditunjukkan memberi efek perlindungan yang besar, baik terhadap ginjal, renoproteksi maupun terhadap organ kardiovaskuler. Makin rendah tekanan darah yang dicapai, makin baik pula renoproteksi. Banyak panduan yang menetapkan target yang seharusnya dicapai dalam pengendalian tekanan darah pada penderita diabetes.1,7 Pada penderita diabetes dan kelainan ginjal, target tekanan darah yang dianjurkan oleh American Diabetes Association dan National Heart, Lung, and Blood Institute adalah < 130/80 mmHg, akan tetapi bila proteinuria lebih berat 1 gr/24 jam, maka target lebih rendah yaitu < 125/75 mmHg. Pengelolaan tekanan darah dilakukan dengan dua cara, yaitu non-farmakologis dan famakologis. Terapi non-farmakologis adalah melalui modifikasi gaya hidup antara lain menurunkan berat badan, meningkatkan aktivitas fisik, menghentikan merokok, serta mengurangi konsumsi garam. Harus diingat bahwa untuk mencapai target ini tidak mudah. Sering harus memakai kombinasi berbagai jenis obat dengan berbagai efek samping dan harga obat yang kadang sulit dijangkau penderita. Hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah tercapainya tekanan darah yang ditargetkan apapun jenis obat yag dicapai. Akan tetapi karena Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACE-I) dan Angiotensin Reseptor blocker (ARB), dikenal mempunyai efek antiprotein uric maupun renoproteksi yang baik, maka selalu disukai pemakaian obat-obatan ini sebagai awal pengobatan hipertensi pada penderita DM. Pada penderita hipertensi dengan mikroalbuminuria atau makroalbuminuria, ACE inhibitor dan ARB

merupakan terapi utama yang paling dianjurkan. Jika salah satu tidak dapat diterima atau memberikan hasil yang kurang maksimal maka dapat dianjurkan penggunaan Non Dihydropyridine CalciumChannel Blockers (NDCCBs). 5,6,7 3. Penanganan Gagal Ginjal Dasar penatalaksanaan gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi dua1, yaitu: Terapi konservatif dan terapi pengganti. a. Terapi Konservatif 1. Memperkecil beban ginjal atau mengurangi kadar toksin uremik: - keseimbangan cairan - diet tinggi kalori, rendah protein, dan rendah garam bila ditemukan adanya oedema atau hipertensi - menghindarkan obat-obat nefrotoksik (NSAID, aminoglikosida, tetrasiklin) 2. Memperbaiki faktor-faktor yang reversible - mengatasi anemia - menurunkan tekanan darah - mengatasi infeksi 3. Mengatasi hiperfosfatemia dengan memberikan Ca(CO)3 dan diet rendah fosfat 4. Terapi penyakit dasar seperti DM 5. Terapi keluhan b. Terapi pengganti Dilakukan pada PGK stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/mnt. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.1

2.6.2. Diabetic Foot Ada beberapa komponen penyebab sebagai pencetus timbulnya ulkus diabetikum pada pasien diabetes, dapat dibagi 2 faktor besar yaitu: Faktor kausatif a. Neuropati perifer (sensorik, motorik, autonom)

Merupakan faktor kausatif utama dan terpenting. Hiperglikemia menyebabkan peningkatan kerja enzim aldose reductase dan sorbitol dehydrogenase. Hasil kerja enzim tersebut mengkonversi glukosa intraseluler menjadi sorbitol dan fruktosa. Akumulasi produk ini menurunkan sintesis sel saraf myoinositol, yang diperlukan untuk konduksi pada saraf normal. Selain itu, konversi kimia glukosa menyebabkan penurunan cadangan nicotinamide adenine dinucleotide phosphate, yang diperlukan untuk detoksifikasi terhadap stress oksidatif dan untuk sintesis vasodilator nitric oxide. Hasilnya akan terjadi peningkatan stress oksidatif dalam sel saraf dan terjadi vasokonstriksi yang menyebabkan iskemia yang nantinya memicu cidera sel saraf dan kematian.3,10 Neuropati sensorik biasanya derajatnya cukup dalam (>50%) sebelum mengalami kehilangan sensasi proteksi yang berakibat pada kerentanan terhadap trauma fisik dan termal sehingga meningkatkan risiko ulkus kaki. Tidak hanya sensasi nyeri dan tekanan yang hilang, tetapi juga propriosepsi yaitu sensasi posisi kaki juga hilang. Neuropati motorik mempengaruhi semua otot-otot di kaki, mengakibatkan penonjolan tulang-tulang abnormal, arsitektur normal kaki berubah, deformitas yang khas seperti hammer toe dan hallux rigidus. Sedangkan neuropati autonom atau autosimpatektomi, ditandai dengan kulit yang kering, tidak berkeringat dan peningkatan capillary filling sekunder akibat shunting arteriovenous kutan, hal ini mencetuskan timbulnya fisura, kerak kulit. Semuanya menjadikan kaki rentan terhadap trauma yang minimal.3 b. Tekanan plantar kaki yang tinggi. Merupakan faktor kausatif kedua terpenting. Keadaan ini berkaitan denga dua hal yaitu keterbatasan mobilitas sendi (ankle, subtalar, first metatarsophalangeal joints) dan deformitas dari kaki. Pada suatu penelitian mengatakan bahwa pasien denga neuropati perifer, 28% dengan tekanan plantar yang tinggi, dalam 2,5 tahun kemudian timbul ulkus dikaki dibanding dengan pasien tanpa tekanan plantar tinggi.3 c. Trauma Terutama trauma yang berulang, 21% trauma akibat gesekan alas kaki, 11% karena cedera kaki (kebanyakan karena jatuh), 4% selulitis akibat komplikasi tinea pedis, dan 4% karena kesalahan memotong kuku jari kaki.3

Derajat luka pada kaki diabetes diklasifikasikan berdasarkan Wagner. Berikut adalah tabel klasifikasi derajat luka Wagner:9

Klasifikasi Wagner Grade 0 Lesi Tidak ada ulkus terbuka bisa terdapat deformitas atau selulitis 1 2 3 Ulkus superficial Ulkus dalam hingga tendon atau kapsul sendi Ulkus dalam dengan abses, osteomyelitis atau sepsis sendi 4 5 Gangren local forefoot atau tumit Gangren pada seluruh kaki

Selain mengetahui derajat luka, pada penderita diabetic foot perlu dilakukan pemeriksaan berupa kultur dan sensitifitas kuman terhadap abses pada luka tersebut untuk mengetahui jenis kuman atau bakteri yang telah menginveksi. Sehingga pemberian terapi obat-obatan dapat dipilih obat-obatan yang sesuai dengan kultur dan sensitivitasnya. Kultur dari eksudat dan jaringan dalam dari ulkus dilakukan untuk membuktikan adanya kuman penyebab inveksi. Tekhnik pengambilan spesimen adalah permukaan luka dibersihkan dengan cairan normal saline dan kasa steril, contoh eksudat diambil dengan mengoleskan cotoonswab steril pada permukaan ulkus, sedangkan jaringan dalam diambil dengan pisau scapel. Pengananan Ulkus Kaki Diabetes Setelah infeksi ulkus dinilai, selanjutnya adalah debridement sebagai langkah yang vital dan esensial sebagai usaha wound bed preparation. Ada 3 tujuan debridemen yaitu drainase pus dan menghilangkan jaringan nekrotik, memperbaiki lingkungan luka untuk merangsang penyembuhan luka, dan untuk menilai beratnya infeksi, disamping dapat mengambil contoh jaringan dalam untuk kultur. Debridement harus dikombinasi dengan atibiotika. Amputasi biasanya dilakukan jika inveksi jaringan lunak yang luas atau kombinasi bersama osteomielitis. Pasca operasi perlu dilakukan perawatan berupa perawatan ulkus, balut diganti 2-3 kali sehari, antibiotika sesuai

kultur, kontrol edema dan pemberian nutrisi adekuat. Pembalut oklusif atau semi oklusif telah dikembangkan untuk merangsang reepiteliasi, mengurangi nyeri dan masa penyembuhan, menyerap darah dan cairan tubuh serta tidak nyeri saat pemasangan atu pelepasan. Pembalut tersebut contohnya adalah pembalut hidroklorid, Alginat, Hidrogel, Foam, Hidrofiber, pembalut yang mengandung kasa paraffin dan tidak lengket, serta pembalut yang dapat merangsang angiogenesis dan bisa menurunkan infeksi yaitu pembalut atau krim asam hyaluronat dan pembalut yang mengandung arang dan silver. .( Yasa, Ketut Putu. 2011. Peranan Bedah Dalam Penanganan Ulkus Diabetikum. Denpasar: Bali Geriatric Update Symposium (Bagus) V) Selain perawatan luka, pada pasien perlu diberikan sepatu khusus penderita diabetes untuk mencegah terjadinya perlukaan yang baru. Sepatu tersebut dirancang khusus sesuai dengan bentuk kaki dan daerah pada kaki yang mengalami penekanan. Daerah pada kaki yang mengalami penekanan paling tinggi diberikan bantalan yang lembut guna menurunkan gesekan yang berpotensi menyebabkan perlukaan baru. Berikut adalah gambar contoh sepatu pasien diabetes .( Yasa, Ketut Putu. 2011. Peranan Bedah Dalam Penanganan Ulkus Diabetikum. Denpasar: Bali Geriatric Update Symposium (Bagus) V) Pengurangan Tekanan/ Off Loading Pengurangan Tekanan/ Off Loading ke ulkus kaki diabetic penting untuk pengobatan. Reduksi tekanan mencegah trauma lebih lanjut dan mempromosikan penyembuhan. Hal ini sangat penting dalam pasien diabetes dengan penurunan atau tidak ada sensasi di ekstremitas bawah. Selanjutnya, studi terbaru memberikan bukti bahwa trauma ringan (misalnya, stres yang berulang, tekanan sepatu) memainkan peran utama dalam jalur kausal ulserasi. Pemilihan off loading modalitas harus ditentukan oleh karakteristik fisik pasien dan kemampuan untuk memenuhi dengan pengobatan serta oleh lokasi dan keparahan ulkus. Pada pasien perlu diberikan sepatu khusus penderita diabetes untuk mencegah terjadinya perlukaan yang baru. Sepatu tersebut dirancang khusus sesuai dengan bentuk kaki dan daerah pada kaki yang mengalami penekanan. Daerah pada kaki yang mengalami penekanan paling tinggi diberikan bantalan yang lembut guna menurunkan gesekan yang berpotensi menyebabkan perlukaan baru.

Untuk mengindari komplikasi lebih lanjut, perlu dilakukan perawatan pada kaki pasien DM, baik tanpa atau dengan ulkus.

2.6.3. Diabetic Heart Disease

BAB III LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien Nama Umur Jenis Kelamin Kewarganegaraaan Alamat Agama Pendidikan Pekerjaan Status Pernikahan Tanggal MRS Tanggal Pemeriksaan : IMW : 42 tahun : Laki-laki : Indonesia : Lingkungan Kampus UNUD Jimbaran, Kuta : Hindu : Tamat SMA : Buruh bangunan : Sudah menikah : 5 April 2013 : 20 April 2013

3.2. Anamnesis (20/4/2013) Keluhan utama Lemas seluruh tubuh

Riwayat Penyakit Sekarang Pasien masuk rumah sakit tanggal Jumat, 5 April 2013 pukul 02.30 WITA dengan keluhan tiba-tiba badan lemas sejak jam 01.00 WITA. Pasien merasa lemas seluruh tubuh hingga tidak kuat untuk bicara. Setelah itu pasien langsung diantar oleh keluarganya ke Instalasi Rawat Darurat (IRD) Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah. Sehari sebelum masuk rumah sakit, pasien minum obat untuk penyakit gula jam 6 sorenya, setelah minum obat tidak merasakan ada yang berbeda dengan yang sebelumnya. Namun tiba-tiba pada jam 1 malam, ketika pasien sudah tertidur, ia terbangun dan merasa lemas. Pada saat masuk IRD, hasil pemeriksaan gula darah pasien 38 mg/dL.

Tampak juga adanya luka pada telapak kaki kanan pasien yang sudah diperban pada pada saat pemeriksaan, perban berbentuk persegi dengan panjang sisi kira-kira 3 sentimeter. Diakui selama ini luka tidak pernah mengganggu pasien, hanya terasa seperti menebal saja. Namun pada saat dirawat di rumah sakit terkadang terasa nyeri ketika dibersihkan lukanya. Hanya terdapat luka pada satu tempat itu saja dan tidak pernah terjadi di daerah kaki yang lain. Pasien tidak pernah mencoba mengobati sendiri luka tersebut. Pasien bercerita bahwa luka tersebut didapatnya pada saat berobat di dukun. Dukun menyarankan untuk meletakkan kakinya di bata panas untuk melancarkan aliran darah, pasien tidak merasa sakit ketika meletakkan kakinya diatas bata panas tersebut. Namun setelah itu kaki bengkak tampak seperti terkena setrika namun tidak sampai berdarah ataupun pernah bernanah, namun pada saat wawancara dikatakan sudah kembali normal setelah dirawat di rumah sakit.

Pasien juga sempat merasa sesak napas ketika dirawat di rumah sakit. Sesak muncul ketika sakit di kakinya muncul pula, selain itu sesak diakui tidak pernah muncul. Ketika sesak pasien merasa tubuhnya makin lemas dan pasien berusaha untuk menarik napas lebih dalam. Sesak menghilang ketika nyeri di kakinya juga hilang, pasien belum pernah mencoba untuk merubah posisi tidur ketika sesak.

Selama dirawat di rumah sakit, buang air kecil (BAK) dikatakan lebih sedikit dari biasanya dan buang air besar (BAB) dikatakan tidak ada masalah, dengan volume BAK setiap harinya kira-kira sebanyak satu gelas aqua lebih dan berwarna jernih.

Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan Pasien juga menceritakan bahwa kedua tangan dan kakinya sempat bengkak sejak 1 tahun lalu dan masih ada ketika masuk rumah sakit kali ini, namun tangan dan kaki dikatakan sudah kembali normal sejak cuci darah yang ketiga kalinya. Bengkak pada tangan terjadi dari tangan bagian atas hingga jari tangan, pada kaki terjadi dari paha sampai jari kaki. Pasien menduga bengkak disebabkan karena terdapat air di bawah kulit, karena pasien ingat pernah diperiksa oleh dokter dan ketika kulit ditekan tampak masuk seperti terdapat air dan perlu beberapa saat kulitnya naik perlahan dan kembali seperti semula. Keadaan ini membuat pasien malu untuk bersosialisasi dengan tetangganya dan mengganggu aktivitas sehari-harinya. Pasien datang ke dukun juga untuk mencoba mengobati keadaan ini. Pasien bercerita bahwa muncul bengkak ini

terjadi perlahan-lahan dari 1 tahun lalu dan semakin membesar sampai dirawat rumah sakit.

Pasien juga pernah mengalami kesemutan di kedua tangan dan kaki. Pasien lupa sudah terjadi sejak kapan, namun terjadi setelah didiagnosis menderita diabetes. Kesemutan dikatakan tidak begitu mengganggu aktivitas pasien, hanya dirasa tidak nyaman saja dan mengurangi kemampuan pasien untuk merasakan sesuatu di kedua tangan dan kakinya, namun saat pemeriksaan sudah tidak dirasakan lagi. Pewawancara mencoba untuk menekan jari kaki pasien dengan cukup kuat namun pasien tidak merasa sakit.

Pasien sebelumnya pernah diberitahu oleh dokter di puskesmas dekat tempat tinggal pasien bahwa dirinya menderita diabetes mellitus tipe 2 kira-kira 15 tahun lalu. Diakui oleh pasien bahwa gula darahnya bernilai sekitar 200-300 pada saat didiagnosis menderita diabetes, pasien diperiksa dengan disuntik di jari tangannya. Pasien datang tanpa keluhan dan memang rajin periksa ke dokter setiap dua bulan sekali. Sebelum didiagnosis menderita diabetes, diakui pasien bahwa ia merasa buang air kecil lebih dari biasanya, satu hari bisa sampai 15 kali dengan volume air kencing 1/4-1/2 gelas aqua. Pasien mendapatkan perawatan berupa obat minum dua jenis, pasien lupa nama obat tersebut, namun masih ingat dengan aturan minumnya, yaitu diberikan pada saat pagi jam 6, siang jam 12, dan sore jam 6. Pada saat pagi minum satu jenis obat sebelum makan, dan satunya lagi sesudah makan. Pada saat siang dan sore hanya satu jenis saja diberikan setelah makan, sama dengan jenis obat di pagi hari yang diberikan setelah makan dengan rutin dan dibantu dengan pengawasan anggota keluarga yang lain yang tinggal bersamanya. Selain obat tersebut, pasien mengaku tidak pernah meminum obat lain sebelumnya. Pasien juga diberitahu oleh dokter untuk mengganti jenis makanan dengan memperbanyak sayur-sayuran dan meminta keluarga pasien untuk membantu mengawasi. Pasien mengeluhkan pada saat itu makanan yang diberikan sangat sedikit dan tidak mengenyangkan, padahal pasien masih ingin makan dan minum lebih banyak, namun diakui tetap mengikuti aturan tersebut. Meskipun pasien ingin makan dan minum lebih banyak, dikatakan bahwa tidak ada penambahan keinginan untuk makan dan minum, dibandingkan sebelum menderita diabetes, hanya karena makanan yang dimakan selama di rumah membosankan. Pasien juga terus rutin kontrol gula darah setiap 2 minggu sekali dan

mengambil obat setiap sebulan sekali. Dikatakan gula darah pasien pernah naik turun tak menentu dengan nilai paling tinggi mencapai lebih dari 500, namun tidak pernah kurang dari 100. Ada penurunan berat badan sedikit yang tidak diinginkan oleh pasien sebesar 1-2 kilogram dari 15 tahun lalu hingga saat pemeriksaan. Postur badan pasien dikatakan tidak pernah berubah drastis dari mudanya, selalu berbadan besar.

Pasien mengaku bahwa dirinya pernah putus minum obat selama kurang lebih 2 bulan tertanggal sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit dan mengganti perawatan pada penyakitnya dengan berobat ke dukun. Hal ini dilakukan pasien atas saran dari keluarga yang tinggal bersamanya dan pasien sendiri menyetujuinya, karena dirasa selama ini minum obat tidak dirasa adanya perbaikan atas kondisi pasien.

Riwayat Keluarga Pasien merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak laki-lakinya diceritakan juga menderita Diabetes mellitus. Adik perempuan pasien juga menderita penyakit yang sama, namun sampai saat ini diceritakan tidak ada keluhan sama sekali dan dapat beraktivitas seperti biasa. Kedua saudara kandung pasien dikatakan tidak pernah dirawat di rumah sakit sama sekali, hanya berobat dan kontrol dengan dokter yang sama dengan pasien. Pasien tidak mengetahui apakah kedua orang tuanya ada yang memiliki penyakit diabetes atau tidak. Riwayat tekanan darah tinggi, asma, dll disangkal oleh pasien. Selama ini menurut pasien, tekanan darahnya paling tinggi bernilai 130.

Riwayat Personal dan Sosial Pasien sebelumnya bekerja sebagai satpam sebuah kantor saat sekitar berumur 20 tahun, dan bekerja sebagai kepala dinas sebuah kantor pemerintahan daerah pada saat masa pemerintahan Presiden Soeharto. Setelah pensiun, pasien bekerja sebagai petani dan sekarang sudah tidak bekerja sejak 10 tahun yang lalu. Setelah tidak bekerja sama sekali, pasien sehari-harinya di rumah membantu kegiatan rumah tangga yang ringan seperti menyapu dan mengepel lantai, serta merawat cucu-cucunya yang juga tinggal serumah bersamanya. Pasien bercerita sejak bekerja sebagai kepala dinas ia tidak pernah berolahraga sama sekali. Pasien mengaku mempunyai riwayat merokok pada waktu mudanya, sehari kira-kira 1 bungkus rokok, namun sekarang sudah berhenti.

Minum kopi jarang dan tidak setiap hari, hanya kalau pasien sedang ingin saja sebanyak 1 gelas, dan tidak pernah minum alkohol/tuak.

3.3. Pemeriksaan Fisik Tanda-tanda vital (20 April 2013) Kondisi umum : Baik Kesadaran GCS Gizi Nadi Respirasi Suhu aksila Berat badan Tinggi Badan BMI VAS : Compos mentis : E4V5M6 : Baik : 84 kali/menit : 20 kali/menit : 36,5oC : 74 kg : 165 cm : 27,2 kg/m2 : 0/10

Tekanan darah : 130/90 mmHg

Pemeriksaan Umum Mata THT : Telinga Hidung Tenggorokan Lidah Bibir Leher Thoraks Cor : : daun telinga N/N, sekret tidak ada, pendengaran normal : sekret tidak ada : tonsil T1/T1 hiperemis (-), faring hiperemis (-) : ulkus (-), papil lidah atrofi (-) : basah, stomatitis (-) : JVP + 0 cm H2O, pembesaran kelenjar getah bening (-) : : anemis +/+, ikterus -/-, reflek pupil +/+ Isokor, edema palpebra -

Inspeksi Palpasi Perkusi

: Iktus kordis tidak tampak : Iktus kordis tidak teraba, kuat angkat (-), thrill (-) : batas atas jantung ICS 2 sinistra batas bawah jantung setinggi ICS 5 sinistra batas kanan jantung parasternal line dekstra batas kiri jantung midclavicula line sinistra ICS 5

Auskultasi : S1S2 tunggal regular murmur (-) Pulmo : Inspeksi Palpasi Perkusi : simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-) : vokal fremitus N/N, pergerakan simetris : sonor/sonor +/+ +/+ Abdomen : Inspeksi Palpasi Perkusi Ekstremitas : Kulit dan muskuloskeletal Kaki Kanan KULIT KAKI Kering/bersisik Tumit pecah-pecah Bulu rambut menipis Kalus Hiperpigmentasi Ya Tidak Kaki Kiri Ya Tidak : distensi (-) : hepar tidak teraba, lien tidak teraba, ginjal tidak teraba, nyeri tekan (-) : timpani (+), ascites (-) Auskultasi : bising usus (+) normal -/-/-/-/-

Auskultasi : vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-

Edema Healed ulcer KUKU KAKI Menebal Infeksi Perubahan warna Rapuh Ingrowing nail Atrofi TELAPAK KAKI Hallux valgus Pes cavus Charcot foot JARI KAKI Hammer toe Claw toe Hiperekstensi (cocked up) Lain-lain (sebutkan) -Suhu Vaskular

Hangat Hangat

KANAN Arteri tibialis Palpasi Lemah posterior 3.4. Pemeriksaan Penunjang Darah Lengkap (8 April 2013) Parameter WBC %NE %LY %MO %EO Hasil 17,07 77,03 14,10 4,643 3,392 Unit x103/L % % % %

KIRI Lemah

Nilai Rujukan
4,10 11,00

Keterangan Tinggi Tinggi Normal Normal Normal

47,00 80,00
13,00 40,00 2,00 11,00 0,00 5,00

%BA #NE #LY #MO #EO #BA RBC HGB HCT MCV MCH MCHC
RDW

0,84 13,14 2,406 0,79 0,57 0,14


4,282 11,78 35,01 79,76 25,51 33,63 11,25

% x103/L x103/L x103/L x103/L x103/L x106/L g/dL % fL Pg g/dL


%

0,00 2,00 2,50 7,50 1,00 4,00 0,10 1,20 0,00 0,50 0,00 0,10 4,50 5,90 13,50 17,50 41,00 53,00

Normal Tinggi Normal Normal Normal Normal Normal Rendah Rendah Rendah Rendah Normal
Normal

80.00 100.00 26,00 34,00 31.00 36.00


11,60 14,80

PLT
MPV

320,80
7,798

x103/L
fL

150.00 440.00
6,80 10,00

Normal
Normal

Kimia Klinik (8 April 2013) Parameter


SGOT SGPT BUN Creatinin Albumin

Hasil 10,29 7,581


12,02

Satuan U/L U/L


Mg/dL

Nilai Rujukan 11,00 33,00 11,00 50,00


8,00 23,00

Keterangan Rendah Rendah


Normal

1,084
3,286

mg/dL
g/dL

0,70 1,20
3,40-4,80

Normal
Rendah

Analisis Gas Darah (8 April 2013) Parameter pH


pCO2 pO2

Hasil 7,40
44,00 82,00

Satuan mmHg mmHg

Nilai Rujukan 7,35 7,45


35,00 45,00 80,00 100,00

Keterangan Normal
Normal Normal

HCO3TCO2 BEecf

27,30
28,70 2,50

mmol/L
mmol/L mmol/L

22,00 26,00
24,00 30,00 -2,00 2,00

Tinggi
Normal Tinggi

SO2c

96,00

95,00 100,00

Normal

Natrium
Kalium

124,00
3,60

mmol/L
mmol/L

136,00 145,00
3,5 5,10

Rendah
Normal

Lipid Profile (10 April 2013) Parameter Cholesterol HDL Direk LDL Direk Triglyserida
Glukosa Darah Sewaktu HbA 1C

Hasil 117,0 22,20


104,70

Satuan mg/dL mg/dL


mg/dL

Nilai Rujukan 140 199 40,00 65,00


<100

Keterangan Rendah Rendah


Normal

63,00
281,00 9,256

mg/dL
mg/dL %

<150
70,00-140,00 <6,5

Normal
Tinggi Tinggi

Radiologi (8 April 2013)

Cruris dextra AP/Lateral dan Pedis dextra AP/Oblique Alignment baik Trabekulasi tulang normal Celah dan permukaan sendi baik Tidak tampak erosi / destruksi tulang Tampak area luscent di soft tissue region metatarsal dan phalang proximal pedis kanan dengan soft tissue swelling disekitarnya.

Kesan: Tulang-tulang cruris dan pedis kiri tidak tampak kelainan

Thorax AP Cor: besar dan bentuk normal Pulmo: tidak tampak infiltrat / nodul. Corakan bronchovaskuler normal Sinus pleura kanan kiri tajam Diaphragma kanan kiri normal Tulang-tulang tidak tampak kelainan Cor dan pulmo tidak tampak kelainan

Kesan: -

EKG Heart rate 82 bpm Normal sinus rhytm Normal axis

3.5. Diagnosis Kerja 1. Diabetes mellitus tipe II - diabetic foot grade I pedis dextra - hipoalbumin et causa inflamasi kronik 2. Penyakit ginjal kronis tingkat V et causa diabetic kidney disease - anemia ringan et causa penyakit ginjal kronis et causa diabetic kidney disease

3.

Cardiomegali et causa suspect hypertensive heart disease (hipertensi terkontrol) - edema paru et causa suspect hypertensive heart disease

3.6. Terapi - Intravenous full drip larutan saline 0.9% 8 tetes per menit - Diet tinggi kalori, protein 0.8 gr/ kg berat badan/ hari, rendah garam - Novorapid 3x6 IU - Lisinopril 1 x 2.5 mg PO - Aminophyllin - Asam folat - CaCO3 - Transfusi albumin 1 kolf per hari selama 3 hari (target albumin - Hemodialisis per minggu 2 kali - Debridement setiap hari 2.5 mg/dL)

3.7 Planning Planning Diagnostik Echocardiography

Terapi Monitoring Periksa gula darah puasa jam 6 pagi setiap hari Periksa gula darah 2 jam post prandial sehari 3 kali Keluhan pasien Vital sign Keseimbangan cairan BAB V KESIMPULAN Diabetes melitus (DM) adalah suatu sindroma klinis kelainan metabolik, ditandai oleh adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja insulin (resistensi insulin) atau keduanya. Tujuan penatalaksanaan secara

umum adalah meningkatnya kualitas hidup diabetisi. Penatalaksanaan jangka pendek dimaksudkan untuk menghilangkan keluhan dan tanda-tanda DM, mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah. Sedangkan penatalaksanaan jangka panjang dimaksudkan untuk mencegah dan menghambat progesivitas komplikasi mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati. Tujuan akhir penatalaksanaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas dini pasien DM. Ulkus kaki diabetes merupakan permasalahan yang sering dijumpai pada penderita DM. Penyebab timbulnya ulkus diabetikum dapat dibagi 2 faktor besar yaitu faktor kausatif (neuropati perifer, abnormalitas distribusi tekanan plantar, dan trauma minor repetitif) dan faktor kontributif (aterosklerosis/PAD, hiperglikemia yang tidak terkontrol, dan kondisi komorbid lainnya seperti nefropati dan retinopati, merokok, serta usia tua). Ulkus kaki diabetes sepenuhnya dapat dicegah melalui deteksi dini, pengawasan kaki yang ketat, pengobatan agresif, pendekatan multidisiplin, edukasi tentang perawatan kaki dan penggunaan sepatu serta kontrol gula darah. Tatalaksana ulkus kaki diabetes meliputi kontrol glikemik yang ketat, penanganan komorbid, penanganan infeksi, dan perawatan luka yang komprehensif.

Anda mungkin juga menyukai