Anda di halaman 1dari 6

Andrea Hirata: Sebuah Kemungkinan dalam Bersastra

M. Yoesoef
Universitas Indonesia

Judul buku: Laskar Pelangi dan


Sang Pemimpi
Penulis: Andrea Hirata
Penerbit: Bentang
Tahun terbit: 2005 dan 2006
Tebal: halaman

Sebuah tetralogi, tentu menunjukkan benang merah yang mengikat antarbagian,


sebagaimana yang kita baca pada tetralogi Pamoedya Ananta Toer yang mengisahkan
empat periode dalam perjalanan seorang Minke (Raden Mas Tirto Adhisuryo).
Bagaimana dengan Andrea Hirata?
Laskar Pelangi, novel ini menggambarkan hingar bingar semangat sepuluh anak
sejak pertama kali menjejakkan di bangku sekolah hingga mereka satu persatu
menemukan jati dirinya di sekolah itu. Tentu dalam hal ini peranan guru mereka, Bu
Mus, menjadi pengikat perjalanan anak-anak itu. Kesepuluh anak itu adalah Aku
(pencerita), A Kiong, Borek, Harun, Kucai, Lintang, Mahar, Sahara (satu-satunya
perempuan), Syahdan, Trapani, dan menjadi sebelas dengan Flo.
Sebagaimana lazimnya sebuah fiksi, pengarang tentu akan memperkenalkan para
tokoh yang bermain di dalam cerita. Untuk hal ini, Andrea menempuh sebuah pemaparan
yang tidak biasa, yaitu merekonstruksi karakter dan perawakan kesembilan sahabat, Bu
Mus, dan Pak Harfan secara menarik. Pemaparan tentang Tokoh Aku tidak secara
spesifik dipaparkan dibandingkan dengan kesembilan sahabatnya itu.
Cara Andrea Hirata menampilkan karakter tokoh-tokoh ceritanya dilakukan
dengan memainkan tautan pikiran pembaca pada hal-hal yang memang sudah dikenal,
antara lain seperti Nebukadnezzar, Babylon, Pearl Harbour, kisah peniup seruling dan
tikus, dan sebagainya. Demikian juga dengan pendeskripsian lingkungan alam di sekitar
sekolah dengan menyebutkan nama latin dari flora dan fauna, bahkan sejumlah istilah
dari berbagai bidang ilmu, seperti ilmu fisika, kimia, biologi, antropologi, astronomi, dan
sosial untuk memberi gambaran konkret tentang suatu peristiwa atau perilaku para tokoh.
Referensi yang kaya yang disusun Andrea setidaknya membentuk sebuah opini pada
pembaca, yaitu betapa pengarang ini memiliki pengetahuan yang luas, mulai dari yang
ilmiah sampai pada hal-hal populer yang hidup di masyarakat. Beragamnya pembaca
novel ini nampaknya telah pula dipertimbangkan Andrea, sehingga di bagian belakang
buku ada glosarium yang membantu pembaca untuk memahami sejumlah istilah.
Mengutip apa yang dikemukakan Subagio Sastrowardoyo mengenai kaitan antara
pengarang dan karyanya bahwa bakat saja tidak cukup jika tidak dibarengi dengan
intelektualitas. Di sinilah pada hemat saya, Andrea telah memadukan dua hal tadi, bakat
dan intelektualitas, di dalam novelnya secara terang benderang.
Novel ini dimulai dengan sebuah suasana kecemasan dua orang pendidik, Pak
Harfan dan Bu Mus yang sangat berharap sekolahnya, SD Muhammadiyah, dapat
membuka kelas baru dengan minimal 10 siswa. Sebuah permulaan yang mampu
mengikat pembaca untuk terus menelusuri bab demi bab. Ketegangan semakin
memuncak ketika hampir pada batas waktu yang ditetapkan—pukul sebelas—belum
genap 10 orang calon murid. Ketegangan pun terbangun dengan sendirinya dalam
peristiwa itu dan di menit terakhir datanglah sang penyelamat. Tegangan yang dibangun
di bagian pertama itu akhirnya menjadi sebuah kegembiraan kendati pada bagian ini
Andrea memuncul bibit-bibit kepedihan yang bersumber pada suasana paradoks, seperti
pada kutipan berikut.

Para orangtua mungkin menganggap kekurangan satu murid sebagai pertanda bagi
anak-naknya bahwa mereka memang sebaiknya didaftarkan pada para juragan saja.
Sedangkan aku dan agaknya juga anak-anak yang lain merasa amat pedih: pedih pada
orangtua kami yang tak mampu, pedih menyaksikan detik-detik terakhir sebuah sekolah
tua yang tutup justru pada hari pertama kami ingin sekolah, dan pedih pada niat kuat kami
untuk belajar tapi tinggal selangkah lagi harus terhenti hanya karena kekurangan satu
murid.... (hlm.5)

Paradoks yang lebih besar terlihat dari hidup miskin dan keras yang dijalani oleh
masyarakat Belitong justru di pulaunya sendiri yang kaya dengan bijih timah. Kekayaan
alam itu tidak dinikmati sepenuhnya oleh masyarakat Belitong, tetapi justru oleh para
pendatang yang kemudian membangun benteng sosial dengan masyarakat sekitar.

Tak disangsikan lagi, jika di-zoom out, kampung kami adalah kampung terkaya di
Indonesia. Inilah kampung tambang yang menghasilkan timah dengan harga segenggam
lebih mahal puluhan kali lipat dibandingkan segantang padi. Triliunan rupiah set tertanam
di sana, miliaran rupiah uang berputar sangat cepat seperti putaran mesin parut, dan
miliaran dolar devisa mengalir deras seperti kawanan tikus terpanggil pemain seruling ajaib
der Rattenfanger von Hameln. Namun jika di-zoom in, kekayaan itu terperangkap di satu
tempat, ia tertimbun di dalam batas tembok-tembok tinggi Gedong. (hlm. 49)

Secara sosial, kawasan Gedong adalah lambang kemakmuran; di luar kawasan


itu, kemiskinan dan keterbatasan menjadi sesuatu yang akrab dengan masyarakatnya dan
hal inilah yang mengemuka di bagian awal novel ini.

...Aku tahu beliau sedang gugup dan aku maklum bahwa tak mudah bagi seorang pria
berusia empat puluh tujuh tahun, seorang buruh tambang yang beranak banyak dan bergaji
kecil, untuk menyekolahkan anak laki-lakinya ke sekolah. Lebih mudah menyerahkannya
pada tauke pasar pagi untuk jadi tukang parut atau pada juragan untuk menjadi kuli kopra
agar dapat membantu ekonomi keluarga. Menyekolahkan anak berarti mengikatkan diri
pada biaya selama belasan tahun dan hal itu bukan perkara gampang bagi keluarga kami.
(hlm. 3)

Kenyataan yang tergambar dari kutipan tersebut merupakan persoalan klasik di


negara ini yang nyaris tak terselesaikan. Bahkan semakin menggurita. Hal yang kemudian
mengemuka dalam novel ini adalah bagaimana masyarakat (Belitong) menyiasati
kemelaratan dan keterbatasan yang sudah berakar dalam kehidupan mereka termasuk
dalam hal memilih sekolah. Ada sejumlah alasan para orangtua memilih sekolah untuk
mendidik anak-anak mereka.

Kami bertetangga dan kami adalah orang-orang Melayu Belitong dari sebuah komunitas
yang paling miskin di pulau itu. Adapun sekolah kami, SD Muhammadiyah, juga sekolah
kampung yang paling miskin di Belitong. Ada tiga alasan mengapa para orangtua
mendaftarkan anaknya di sini. Pertama, karena sekolah Muhammadiyah tidak menetapkan
iuran dalam bentuk apa pun, para orangtua hanya menyumbangkan sukarela semampu
mereka. Kedua, karena firasat, anak-anak mereka dianggap memiliki karakter yang mudah
disesatkan iblis sehingga sejak usia muda harus mendapat pendadaran Islam yang tangguh.
Ketiga, karena anaknya memang tak diterima di sekolah mana pun. (hlm.4)

Bab satu hingga tiga puluh merupakan sejumlah snapshot perjalanan para murid
itu di sekolah Muhammadiyah mulai dari SD hingga SMP. Sedangkan Bab 31 hingga 34
terjadi dua belas tahun kemudian sejak mereka lulus dari SMP Muhammadiyah Belitong.

Menarik untuk dibahas dari setiap bab dalam novel ini adalah pola pendeskripsian
tokoh, karakter, dan peristiwa yang menampilkan tautan pikiran pembaca pada berbagai
hal yang sebenarnya diketahui secara umum, diketahui oleh pembaca yang memang
mengerti suatu disiplin ilmu tertentu. Pola ini menjadi sangat dominan dan boleh
dikatakan merupakan pencapaian artistik Andrea Hirata. Berikut beberapa cuplikan
mengenai hal itu.
Tautan pikiran yang menggenapi imajinasi pembaca terlihat pada contoh
mengenai tokoh berikut.

(1) Ayahnya, yang seperti orang Bushman itu, sekarang menganggap keputusan
menyekolahkan Lintang adalah keputusan yang tepat, paling tidak ia senang melihat
semangat anaknya menggelegak. (hlm.95)

Deskripsi ini mengemukakan tentang A Ling, anak tauke A Miuaw, yang


memesona tokoh Aku.

(2) Seperti kebanyakan ras Mongoloid, tulang pipinya tidak menonjol, tapi bidang
wajahnya, bangun bahunya, jenjang lehernya, potongan rambutnya, dan jatuh dagunya
yang elegan menciptakan keseluruhan kesan dirinya benar-benar mirip Michelle Yeoh,
bintang film Malaysia yang cantik itu. (hlm. 211)

Mengenai sebuah kawasan:

(3) Mereka, kaum borjuis ini, bersemayam di kawasan eksklusif yang disebut Gedong.
Mereka seperti orang-orang kulit putih di wilayah selatan Amerika pada tahun 70-an.
(hlm. 42)
(4) Sepadan dengan kebun gantung yang memesona di pelataran Babylon, sebuah taman
kesayangan Tiran Nebukadnezzar III untuk memuja Dewa Marduk, Gedong adalah
land mark Belitong.

Dalam hal penceritaan, di bagian akhir Andrea mengubah sudut pandang


penceritaan dari Ikal ke Syahdan. Tentu perubahan sudut pandang itu memberi sebuah
sentuhan kepada pembaca bahwa sepanjang buku ini, pembaca mendengar ocehan Ikal,
lalu bagaimana dengan Ikal sendiri? Bagian akhir ini menutup dengan sebuah pertanyaan
apa sebenarnya yang terjadi dengan Ikal di Jawa. Gambaran yang diterima pembaca
hanya dari sikap ibunya Ikal yang mengacu pada sebuah foto Ikal berpakaian gaya gotik
(punk). Dari bagian itu juga terlihat bagaimana satu per satu anak-anak SD
Muhammadiyah itu menemukan jalan hidupnya.
Sang Pemimpi, novel kedua Andrea Hirata ini dibuka dengan sebuah “pelarian”
menghindari kejaran seorang guru bernama Pak Mustar. Sebuah suspence khas film laga
yang memancing keingintahuan penonton untuk lebih menyimak lagi peristiwa apa
selanjutnya. Cara membuka kisah seperti ini setidaknya menjadi pilihan jitu Andrea. Di
mata para muridnya—setidaknya bagi ketiga kawanan Ikal, Arai, dan Jimbron—Pak
Mustar adalah sosok Westerling nan kejam.
Keberadaan SMA Negeri di kota pelabuhan kecil Magai, Pulau Belitong, menjadi
sebuah keistimewaan yang tak terhingga bagi masyarakat di kawasan itu. Anak-anak
tidak perlu lagi pergi sepanjang 120 km ke Tanjung Pandan untuk menuntut ilmu di
sekolah menengah. Lahirnya sekolah itu tidak terlepas dari peranan Pak Mustar yang
bengis di mata para muridnya itu.
Sang Pemimpi menjadi sebuah petualangan tiga pemuda belia yang mengerahkan
semua potensi kemudaannya untuk memuaskan kenakalan khas anak-anak yang belum
dewasa. Andrea menyuguhkan dari mana berasal dan bagaimana mereka membangun
mimpi dengan kejenakaan di samping kisah pilu dan percintaan khas remaja.
Sama halnya dengan Laskar Pelangi, pada Sang Pemimpi pun bergerak dalam
koridor dunia sekolah (pendidikan) bagi anak-anak pulau Belitong yang miskin. Nada
keceriaan masa SMA ditampilkan Andrea dengan segar seolah menyirnakan persoalan
hidup yang mengangkangi sebagian besar hari-hari mereka di Magai. Kepedihan yang
dihadapi Arai, misalnya, tidak menjadikannya seorang pemuda yang pemurung,
sebaliknya ia tumbuh menjadi orang yang memiliki keluasan hati dan berjiwa sosial
tinggi.

Meskipun perasaannya telah luluh lantak pada usia sangat muda, tapi ia selalu positif dan
berjiwa seluas langit. Mengingat masa lalunya yang pilu, aku kagum pada kepribadian dan
daya hidupnya. (hlm. 33)

Arai menyerahkan karung-karung tadi pada Mak Cik. Beliau terkaget-kaget. Lalu aku
tertegun mendengar rencana Arai: dengan bahan-bahan itu dimintanya Mak Cik membuat
kue dan kami yang akan menjualnya.
“Mulai sekarang, Mak Cik akan punya penghasilan!” seru Arai bersemangat.
Mata Mak Cik berkaca-kaca. Seribu terima kasih seolah tak’kan cukup baginya.
Tubuhku yang dari tadi kaku karena tegang mengantisipasi rencana Arai kini
pelan-pelan merosot sehingga aku terduduk di balik daun pintu. Aku menunduk dan
memeluk lututku yang tertekuk. Aku merasa malu pada diriku sendiri. Bibirku bergetar
menahan rasa haru pada putihnya hati Arai. Air mataku mengalir pelan. Sungguh tak
sedikit pun kuduga Arai merencanakan sesuatu yang sangat mulia untuk Mak Cik. Sebuah
rencana yang akan kudukung habis-habisan. (hlm. 51)

Kisah pedih dialami juga oleh Jimbron yang bermuara pada peristiwa dengan
ayahnya sebagaimana terlihat pada cuplikan berikut.
Dulu bicaranya normal seperti anak-anak lainnya. Jimbron adalah anak tertua dari tiga
bersaudara. Ia memiliki dua adik kembar perempuan. Ibunya wafat ketika Jimbron kelas
empat SD. Jimbron sangat dekat dan sangat tergantung pada ayahnya. Ayahnya adalah
orientasi hidupnya. Suatu hari, belum empat puluh hari ibunya wafat, Jimbron bepergian
naik sepeda dibonceng ayahnya, masih berkendara ayahnya terkena serangan jantung.
Konon Jimbron pontang-panting dengan sepeda itu membawa ayahnya ke Puskesmas. Ia
berusaha sekuat tenaga, panik, dan jatuh bangun terseok-seok membonceng ayahnya yang
sesak napas sambil kesusahan memeganginya. Sampai di Puskesmas Jimbron [...]
kehabisan napas dan pucat pasi ketakutan. Ia kalut, tak sanggup menjelaskan situasinya
pada orang-orang [...] Beberapa menit di Puskesmas ayahnya meninggal. Sejak itu
Jimbron gagap. (hlm. 61)

Peristiwa yang mengakibatkan cacat bicara pada Jimbron—hal ini menambah


satu lagi kecacatan Jimbron--itu tidak membuat ia menjadi rendah diri, tetapi ia tumbuh
menjadi pribadi yang penuh perhatian dan ceria. Bahkan ia sangat bersimpati kepada
Laksmi karena merasa nasib mereka sama-sama memilukan, “Aku hanya ingin
membuatnya tersenyum...,” katanya berat.
Mengenai kepedihan tokoh Laksmi, Andrea menyuguhkan sebuah peristiwa
paling tragis dalam novelnya ini. Ketragisan itu bukan saja karena nasib dan derita yang
kemudian dialami tokoh ini tetapi juga dalam hal memparadokskan dua suasana (Sungai
Seine dan Sungai Manggar). Cuplikan berikut menjelaskan hal itu.

Namun, tak seindah cerita romansa Sungai Seine, muara [muara Sungai Manggar, MYS]
itu adalah muara air mata. Beberapa tahun lalu sebuah keluarga Melayu berkebun di pulau
kecil tak jauh dari muara. Dalam perjalanan pulang, perahu mereka terbalik. Dua hari
kemudian orang melihat sosok-sosok mengambang pelan, lekat satu sama lain, mengikuti
anak Sungai Manggar. Sang Ayah, dengan kedua tangannya, memeluk, merengkuh,
menggenggam seluruh anggota keluarganya. Istrinya dan ketiga anaknya semua berada
dalam dekapannya. Ia ingin menyelamatkan semuanya. Sebuah upaya yang sia-sia. Tapi
anak tertuanya, Laksmi, selamat. Gadis kecil itu tak sadarkan diri, tersangkut di akar-akar
bakau. Sejak itu semenanjung tempat keluarga itu ditemukan dinamakan orang
Semenanjung Ayah [...] sejak kematian keluarganya, kehidupan seolah terenggut dari
Laksmi. Ia dirundung murung setiap hari [...] Dan selama bertahun-tahun itu pula, tak
pernah lagi—tak pernah walau hanya sekali—orang melihat Laksmi tersenyum. (hlm.
77-78)

Dari keceriaan dan kenakalan ke kepedihan kemudian ke keharuan. Aransemen


ini menjadi lanjaran yang menguasai Sang Pemimpi. Keharuan yang paling dalam dari
sisi manusia adalah pertama manakala terjadi perpisahan dan pertemuan kembali dengan
orang-orang terdekat yang sudah lama tak berjumpa; kedua ketika seseorang dengan rela
hati memberikan miliknya yang berharga untuk melancarkan rencana sahabatnya; ketiga
manakala cita-cita (baca: mimpi) yang mustahil diraih ternyata menjadi realitas yang
harus disadari. Setidaknya, tiga bentuk keharuan itu yang akhirnya menyelimuti tiga
serangkai. Keharuan yang menghasilkan air mata bahagia.
Tokoh-tokoh dalam kedua novel ini adalah anak-anak sekolah yang berkutat
dengan realitas hidup yang miskin dan terbatas, tetapi mereka memiliki sumber inspirasi
yang kuat, yaitu guru mereka (Bu Mus, Pak Harfan, Pak Baia, Pak Mustar). Inspirasi dari
para guru itu menghalau kemiskinan dan keterbatasan yang ada dan membentuk
anak-anak tersebut menjadi mandiri. Kemandirian itu menjadi sarana untuk mencapai
apa yang dicita-citakan.
Kesinambungan yang dapat dicatat dari kedua novel ini, pertama adalah nasib PN
Timah yang akhirnya bangkrut yang melahirkan keresahan bagi masyarakat Belitong dan
Sawang yang selama ini menggantungkan periuk nasinya dari perusahaan itu harus
menerima nasib di-PHK. Kedua, keduanya merupakan kisah sukses dari beberapa tokoh
dalam hal mengikuti kata hatinya, baik dalam pencapaian jenjang pendidikan maupun
dalam hal percintaan. Ketiga, kedua novel ini mengandung sebuah semangat kaum muda
yang mencintai tanah kelahirannya, Belitong.***

Anda mungkin juga menyukai