M. Yoesoef
Universitas Indonesia
Para orangtua mungkin menganggap kekurangan satu murid sebagai pertanda bagi
anak-naknya bahwa mereka memang sebaiknya didaftarkan pada para juragan saja.
Sedangkan aku dan agaknya juga anak-anak yang lain merasa amat pedih: pedih pada
orangtua kami yang tak mampu, pedih menyaksikan detik-detik terakhir sebuah sekolah
tua yang tutup justru pada hari pertama kami ingin sekolah, dan pedih pada niat kuat kami
untuk belajar tapi tinggal selangkah lagi harus terhenti hanya karena kekurangan satu
murid.... (hlm.5)
Paradoks yang lebih besar terlihat dari hidup miskin dan keras yang dijalani oleh
masyarakat Belitong justru di pulaunya sendiri yang kaya dengan bijih timah. Kekayaan
alam itu tidak dinikmati sepenuhnya oleh masyarakat Belitong, tetapi justru oleh para
pendatang yang kemudian membangun benteng sosial dengan masyarakat sekitar.
Tak disangsikan lagi, jika di-zoom out, kampung kami adalah kampung terkaya di
Indonesia. Inilah kampung tambang yang menghasilkan timah dengan harga segenggam
lebih mahal puluhan kali lipat dibandingkan segantang padi. Triliunan rupiah set tertanam
di sana, miliaran rupiah uang berputar sangat cepat seperti putaran mesin parut, dan
miliaran dolar devisa mengalir deras seperti kawanan tikus terpanggil pemain seruling ajaib
der Rattenfanger von Hameln. Namun jika di-zoom in, kekayaan itu terperangkap di satu
tempat, ia tertimbun di dalam batas tembok-tembok tinggi Gedong. (hlm. 49)
...Aku tahu beliau sedang gugup dan aku maklum bahwa tak mudah bagi seorang pria
berusia empat puluh tujuh tahun, seorang buruh tambang yang beranak banyak dan bergaji
kecil, untuk menyekolahkan anak laki-lakinya ke sekolah. Lebih mudah menyerahkannya
pada tauke pasar pagi untuk jadi tukang parut atau pada juragan untuk menjadi kuli kopra
agar dapat membantu ekonomi keluarga. Menyekolahkan anak berarti mengikatkan diri
pada biaya selama belasan tahun dan hal itu bukan perkara gampang bagi keluarga kami.
(hlm. 3)
Kami bertetangga dan kami adalah orang-orang Melayu Belitong dari sebuah komunitas
yang paling miskin di pulau itu. Adapun sekolah kami, SD Muhammadiyah, juga sekolah
kampung yang paling miskin di Belitong. Ada tiga alasan mengapa para orangtua
mendaftarkan anaknya di sini. Pertama, karena sekolah Muhammadiyah tidak menetapkan
iuran dalam bentuk apa pun, para orangtua hanya menyumbangkan sukarela semampu
mereka. Kedua, karena firasat, anak-anak mereka dianggap memiliki karakter yang mudah
disesatkan iblis sehingga sejak usia muda harus mendapat pendadaran Islam yang tangguh.
Ketiga, karena anaknya memang tak diterima di sekolah mana pun. (hlm.4)
Bab satu hingga tiga puluh merupakan sejumlah snapshot perjalanan para murid
itu di sekolah Muhammadiyah mulai dari SD hingga SMP. Sedangkan Bab 31 hingga 34
terjadi dua belas tahun kemudian sejak mereka lulus dari SMP Muhammadiyah Belitong.
Menarik untuk dibahas dari setiap bab dalam novel ini adalah pola pendeskripsian
tokoh, karakter, dan peristiwa yang menampilkan tautan pikiran pembaca pada berbagai
hal yang sebenarnya diketahui secara umum, diketahui oleh pembaca yang memang
mengerti suatu disiplin ilmu tertentu. Pola ini menjadi sangat dominan dan boleh
dikatakan merupakan pencapaian artistik Andrea Hirata. Berikut beberapa cuplikan
mengenai hal itu.
Tautan pikiran yang menggenapi imajinasi pembaca terlihat pada contoh
mengenai tokoh berikut.
(1) Ayahnya, yang seperti orang Bushman itu, sekarang menganggap keputusan
menyekolahkan Lintang adalah keputusan yang tepat, paling tidak ia senang melihat
semangat anaknya menggelegak. (hlm.95)
(2) Seperti kebanyakan ras Mongoloid, tulang pipinya tidak menonjol, tapi bidang
wajahnya, bangun bahunya, jenjang lehernya, potongan rambutnya, dan jatuh dagunya
yang elegan menciptakan keseluruhan kesan dirinya benar-benar mirip Michelle Yeoh,
bintang film Malaysia yang cantik itu. (hlm. 211)
(3) Mereka, kaum borjuis ini, bersemayam di kawasan eksklusif yang disebut Gedong.
Mereka seperti orang-orang kulit putih di wilayah selatan Amerika pada tahun 70-an.
(hlm. 42)
(4) Sepadan dengan kebun gantung yang memesona di pelataran Babylon, sebuah taman
kesayangan Tiran Nebukadnezzar III untuk memuja Dewa Marduk, Gedong adalah
land mark Belitong.
Meskipun perasaannya telah luluh lantak pada usia sangat muda, tapi ia selalu positif dan
berjiwa seluas langit. Mengingat masa lalunya yang pilu, aku kagum pada kepribadian dan
daya hidupnya. (hlm. 33)
Arai menyerahkan karung-karung tadi pada Mak Cik. Beliau terkaget-kaget. Lalu aku
tertegun mendengar rencana Arai: dengan bahan-bahan itu dimintanya Mak Cik membuat
kue dan kami yang akan menjualnya.
“Mulai sekarang, Mak Cik akan punya penghasilan!” seru Arai bersemangat.
Mata Mak Cik berkaca-kaca. Seribu terima kasih seolah tak’kan cukup baginya.
Tubuhku yang dari tadi kaku karena tegang mengantisipasi rencana Arai kini
pelan-pelan merosot sehingga aku terduduk di balik daun pintu. Aku menunduk dan
memeluk lututku yang tertekuk. Aku merasa malu pada diriku sendiri. Bibirku bergetar
menahan rasa haru pada putihnya hati Arai. Air mataku mengalir pelan. Sungguh tak
sedikit pun kuduga Arai merencanakan sesuatu yang sangat mulia untuk Mak Cik. Sebuah
rencana yang akan kudukung habis-habisan. (hlm. 51)
Kisah pedih dialami juga oleh Jimbron yang bermuara pada peristiwa dengan
ayahnya sebagaimana terlihat pada cuplikan berikut.
Dulu bicaranya normal seperti anak-anak lainnya. Jimbron adalah anak tertua dari tiga
bersaudara. Ia memiliki dua adik kembar perempuan. Ibunya wafat ketika Jimbron kelas
empat SD. Jimbron sangat dekat dan sangat tergantung pada ayahnya. Ayahnya adalah
orientasi hidupnya. Suatu hari, belum empat puluh hari ibunya wafat, Jimbron bepergian
naik sepeda dibonceng ayahnya, masih berkendara ayahnya terkena serangan jantung.
Konon Jimbron pontang-panting dengan sepeda itu membawa ayahnya ke Puskesmas. Ia
berusaha sekuat tenaga, panik, dan jatuh bangun terseok-seok membonceng ayahnya yang
sesak napas sambil kesusahan memeganginya. Sampai di Puskesmas Jimbron [...]
kehabisan napas dan pucat pasi ketakutan. Ia kalut, tak sanggup menjelaskan situasinya
pada orang-orang [...] Beberapa menit di Puskesmas ayahnya meninggal. Sejak itu
Jimbron gagap. (hlm. 61)
Namun, tak seindah cerita romansa Sungai Seine, muara [muara Sungai Manggar, MYS]
itu adalah muara air mata. Beberapa tahun lalu sebuah keluarga Melayu berkebun di pulau
kecil tak jauh dari muara. Dalam perjalanan pulang, perahu mereka terbalik. Dua hari
kemudian orang melihat sosok-sosok mengambang pelan, lekat satu sama lain, mengikuti
anak Sungai Manggar. Sang Ayah, dengan kedua tangannya, memeluk, merengkuh,
menggenggam seluruh anggota keluarganya. Istrinya dan ketiga anaknya semua berada
dalam dekapannya. Ia ingin menyelamatkan semuanya. Sebuah upaya yang sia-sia. Tapi
anak tertuanya, Laksmi, selamat. Gadis kecil itu tak sadarkan diri, tersangkut di akar-akar
bakau. Sejak itu semenanjung tempat keluarga itu ditemukan dinamakan orang
Semenanjung Ayah [...] sejak kematian keluarganya, kehidupan seolah terenggut dari
Laksmi. Ia dirundung murung setiap hari [...] Dan selama bertahun-tahun itu pula, tak
pernah lagi—tak pernah walau hanya sekali—orang melihat Laksmi tersenyum. (hlm.
77-78)