Anda di halaman 1dari 8

Kitab Patahulrahman: Teks Saduran dengan Konsep Lokal

Priscila Fitriasih Limbong


University of Indonesia

Abstract:

Kitab Patahulrahman adalah teks saduran dari teks Fath al-Rahmān yang berbahasa Arab
dan berbentuk prosa. Teks Fath al-Rahmān merupakan teks keagamaan yang menjelaskan
konsep-konsep tasawuf. Kitab Patahulrahman merupakan teks saduran Fath al-Rahmān
yang ditulis dalam bentuk puisi Jawa (tembang).
Yang menarik dari teks saduran ini, yaitu teks Kitab Patahulrahman sudah
berbeda bentuk dari teks aslinya. Penulis teks ini melakukan transformasi bentuk dengan
memanfaatkan bentuk sastra lokal, yaitu tembang karena pembaca familiar dengan bentuk
ini.
Makalah ini akan membahas perubahan apa yang terdapat pada teks ini
dibandingkan dengan teks aslinya. Selain itu makalah ini akan menjelaskan konsep lokal
apa saja yang terdapat ada teks ini. Dengan demikian, pembaca dapat mengetahui kedua
hal tersebut dan dapat mengaitkannya dengan kewenangan seorang pengarang untuk
melakukan suatu perubahan pada teks apa pun tidak terkecuali pada teks keagamaan.

Kata kunci: konsep lokal, prosa, tembang, teks asli, teks saduran.

Pendahuluan
Suatu teks dapat bersifat dan berpotensi terbuka untuk perubahan karena
pembacaan dan penafsiran dari pembaca (resepsi pembaca). Dalam rangka resepsi itulah
perubahan suatu teks dapat dilihat dari berbagai bentuk misalnya dari suatu bentuk tradisi
lisan menjadi bentuk tradisi tertulis, dari bentuk puisi menjadi prosa dan sebaliknya, dari
bentuk prosa menjadi sebuah cerita yang dipentaskan, dan sebagainya. Contoh-contoh
itulah yang disebut sebagai peristiwa transformasi teks. Transformasi teks pada dasanya
adalah perubahan teks dari bentuk yang satu ke bentuk yang lainnya sebagai perwujudan
resepsi pembaca terhadap suatu teks (Teeuw, 1984). Selain bentuknya berubah, suatu teks
yang sudah mengalami tranformasi tersebut sering kali dimasuki unsur-unsur tertentu yang
diinginkan oleh penulisnya atau penyalinnya. Tentu saja penulis atau penyalin tersebut
mempunyai tujuan-tujuan tertentu dengan memasukkan unsur-unsur tambahan dalam
karyanya.
Berkaitan dengan hal di atas, pada makalah ini penulis akan membahas teks Kitab
Patahulrahman sebagai sebuah karya transformatif dan membahas unsur-unsur lokal apa
saja yang terdapat dalam teks tersebut. Selain itu, pada makalah ini akan dibahas pula
tujuan transformasi yang dilakukan pada teks ini dan penggunaan unsur lokal yang
terdapat dalam teks ini.
Teks Kitab Patahulrahman
Teks Kitab Patahulrahman berbentuk tembang yang terdiri atas tiga pupuh. Pupuh
yang pertama terdiri atas 23 bait, masing-masing bait terdiri atas 10 baris. Pupuh yang
kedua terdiri atas 33 bait, masing-masing bait terdiri atas 7 baris. Pupuh yang ketiga terdiri
atas 18 bait, masing-masing bait terdiri atas 9 baris.
Teks ini berkode naskah IOL Jav 83 (IO 3102) . Teks ini tersimpan di India Office
Library, London. Data tentang kode naskah dan lokasi penyimpanan naskah ini terdapat
dalam Indonesian Manuscripts in Great Britain: A Catalogue of Manuscripts in
Indonesia Languages in British Publik Collection (Ricklefts dan P. Voorhoeve, 1977:
70). Katalog ini memberikan informasi bahwa teks ini diterjemahkan dalam bahasa Jawa
dari teks Arab Fath al-Rahmān. Teks ini mengandung perkataan Muhammad Ali, Syekh
Juned, dan lain-lain. Teks ini memiliki informasi mengenai penanggalan, yaitu Jumadil
Akhir A.J 1663 (A.D 1738).
Teks Kitab Patahulrahman merupakan teks saduran dari kitab berbahasa Arab
yang berjudul Fath al-Rahmān karya Zakariyyā al-Anşārĩ. Teks Fath al-Rahmān ini
berbentuk prosa sepanjang 29 halaman dengan jumlah baris tiap halamannya 21 baris
(kecuali halaman terakhir 18 baris). Teks ini merupakan naskah yang membicarakan
konsep sufisme yang perlu diketahui oleh orang yang ingin mendekatkan diri pada Allah.
Konsep sufisme yang terdapat dalam teks Fath al-Rahmān ini adalah konsep maqamat,
fana, serta konsep syariat, tarikat, dan hakikat. Konsep-konsep tersebut pada dasarnya
ajaran bagi seseorang yang ingin mendekatkan diri pada Allah dengan berpedoman pada
Alquran dan Hadis.
Teks Fath al-Rahmān merupakan teks yang cukup popular dan diminati di
Indonesia pada abad ke-17 hingga abad ke-19. Bahkan, teks ini menjadi sumber rujukan
karangan para ulama sufi di Nusantara pada abad ke-17 hingga awal abad ke-19. Teks
Fath al-Rahmān yang terdata sampai saat ini berjumlah 12 teks dan tersebar di seluruh
dunia. Kedua belas teks ini ditulis dalam berbagai bahasa, antara lain Arab, Melayu, Jawa,
dan Bugis. Selain itu, kepopularan teks ini terbukti pula dari beragamnya bentuk penyajian
teks ini, yaitu berupa teks salinan, teks terjemahan, dan teks saduran.
Keragaman bentuk penyajian teks ini memperlihatkan variasi teks. Variasi ini
menunjukkan bahwa teks ini disalin dan dibaca oleh para pembacanya yang hidup dalam
tempat dan periode yang berbeda. Culler mengatakan, penyalin atau penulis naskah pada
umumnya tidak akan merasa puas apabila efek yang ditimbulkan oleh karya karya itu
kurang memuaskan (1980:116). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa variasi-variasi
teks itu adalah hasil usaha penyalin dalam mencari kesesuaian antara teks dengan situasi
dan kehidupan masyarakat pembacanya. Hal ini mungkin saja berlaku pula pada Kitab
Patahulrahman.

Trasformasi dan Unsur Lokal dalam Kitab Patahulrahman

1. Transformasi Bentuk
Pada bagian pendahuluan telah disebutkan bahwa teks ini merupakan teks
saduran dari kitab berbahasa Arab dan berbentuk prosa yang berjudul Fath al-Rahmān.
Kepopuleran teks ini di Nusantara menyebabkan salah seorang penulis di Jawa menyadur
teks ini dan menyajikannya dalam bentuk tembang.
Pemanfaatan bentuk tembang sebagai usaha transformasi bentuk dari teks yang
disadur terlihat pada bagian awal teks ini. Pada bait pertama pupuh pertama teks ini,
penulis menyebutkan secara eksplisit usahanya tersebut. Hal ini dapat dilihat dari kutipan
di bawah ini:

Pupuh I

Purwaning wangsit akarya gĕnding


Duk ingsun lagi aneng pakundran
Kumawi tan wruh basane
Tan wruh ing tindak-tanduk
Nĕmbangakĕn Kitab Arabi
Kitab Patahulrahman
Rinakit ing tĕmbang
Pinupuhan dandanggula
Muga-mugatuka sihe ing Yang Widi
Ing dunya ing akerat (bait ke-1)

Terjemahannya:

Pada mulanya memperoleh petunjuk untuk membuat gending/tembang


Ketika aku sedang di pakundran
Terpaksa menulis meskipun tidak paham bahasanya
Tidak paham pula tata cara
Untuk menembangkan kitab berbahasa Arab
Yaitu Kitab Patahulrahman
Yang tersusun dengan kata-kata
Dan menggunakan pupuh/metrum dandanggula
Semoga mendapat restu dari Yang Widi

Penyajian teks Kitab Patahulrahman dalam bentuk tembang ini diperkirakan


sebagai usaha penulis agar masyarakat Jawa sebagai target pembaca teks ini dapat
menerima uraian yang terkandung dalam teks ini dengan mudah. Digunakannya bentuk ini
disebabkan karya sastra Jawa berbentuk tembang sangat familiar pada masyarakat Jawa
dan pada saat teks ini ditulis (1738 M) bentuk ini mencapai puncak kepopularannya pada
masyarakat Jawa. Bisa dikatakan penulis teks ini menggunakan bentuk sastra lokal sebagai
upaya menarik minat pembaca untuk membaca tulisannya. Hal ini perlu dilakukan karena
penulis menganggap isi teks ini memiliki kandungan yang penting untuk diketahui. Dengan
demikian, penulis memanfaatkan tembang sebagai salah satu bentuk karya sastra Jawa
untuk menyampaikan gagasannya.
2. Unsur Lokal dalam Kitab Patahulrahman
Teks Fath al-Rahmān sebagai teks saduran Kitab Patahulrahman merupakan teks
keagamaan. Dengan demikian, teks ini dapat dikatakan sebagai teks sakral. Pada umumnya
teks sakral disalin tanpa perubahan oleh penyalinnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari
salah tafsir maupun penyimpangan ajaran atau unsur-unsur keagamaan yang dikandungya.
Akan tetapi, situasi di atas tidak berlaku pada penulisan teks Kitab Patahulrahman.
Penulis teks ini bukan saja mengubah bentuk teks dari prosa ke puisi (tembang) tetapi juga
memasukkan unsur-unsur yang tidak terdapat dalam teks yang disadurnya.
Unsur-unsur lokal yang digunakan penulis teks ini yang tidak terdapat dalam teks
aslinya adalah penggantian kata sebutan Allah menjadi Yang Agung, Pangeran, Yang Widi
(pengaruh agama Hindu), Yang Sukma, Yang Maha Luhur, Yang Wisesa, dan Yang
Manon. Di dalam teks Fath al-Rahmān Zakariyyā al-Anşārĩ secara konsisten menyebutkan
nama Allah.
Penggunaan unsur lokal sebagai pengganti sebutan nama Allah ini dapat dilihat dari
kutipan berikut.

Pupuh I

Lawan malih pangandika nabi


kang sinung rahmat kalawan salam
ikilah pangandikane
utawi wong atudu(h)
kabecikan kadya kang kardi
ganjaraning Pangeran
ing wong kang atudu(h)
iyeku amal jariya
kang lumaku atudu(h) kalawanilmi
kang sĕpi saking riya (bait ke-4)

Terjemahannya:

Ada lagi sabda nabi (Muhammad?)


yang diberi rahmat dan salam
sabdanya demikian
jika ada orang memberi petunjuk
tentang keutamaan seperti yang dilakukan
pahala Pangeran/Tuhan
kepada orang yang memberi petunjuk tersebut,
yaitu beramal jariyah (kebajikan)
yang memberikan petunjuk ilmu dan cara melaksanakannya
ialah yang menjauhkan diri dari sifat pamer (bait ke-4)

Nora tumĕka maring Yang Widi


yen tan wruha ing pinangkanira
yen wus wĕrung pinangkane
dadya wĕrung Yang Agung
dirinira ya iku napi
kalingan ing Yang Sukma
nabi Allah muwus
sapa wĕrung dirineka
den kawruhi nora jumĕnĕng pribadi
mangkya weruh ing Pangeran (bait ke-8)

Terjemahannya:

Tidak akan tiba di haribaan Yang Widi


jika tidak mengerti yang akan dituju
jika telah mengerti yang akan dituju
maka akan mengerti Yang Agung/Tuhan
diri pribadimu tidak dalam perpaduan
(karena) terintangi (dalam hubungannya) dengan Yang Sukma
nabi Allah (Muhammad?) bersabda,
barang siapa mengerti diri pribadimu sendiri
dan dipahami bahwa tidak ada berdiri secara pribadi
demikian itu (telah) mengerti tentang Pangeran/Tuhan (bait ke-8)

Angandika seh Juned Bakdadi


tatkalane sira sarta Allah
dadya kalingan dirine
dening Yang Mahaluhur
dadya napi dirine kadi
mulih kadya duk nora
kalindi (h) Yang Agung
dirine nora katingal
sampun lĕbur lir malam katrapan api
ing upamane ika (bait ke-15)

Terjemahannya:

Berkatalah seh Juned Bakdadi


dikala bersama dengan Allah
dirimu masih ada halangan
oleh Yang Maha Luhur/Tuhan
dirinya (dapat) menggapai keaadaan yang sebenarnya
kembali seperti ketika tidak ada halangan
terhalang oleh Yang Agung/Tuhan
dirinya tidak tampak
telah melebur bagai malam/lilin bahan membatik yang terbakar api
demikian itulah perumpamaan (bait ke-15)

Pupuh II

Ing awal lawan ing akir


jumĕnĕng lawan Yang Sukma
tan kĕna pisah anane
ing dunya tĕkeng akerat
anging kalawan Sukma
ing bareng ĕndi wong iku
tan pisah lan Yang Wisesa (bait ke-1)

Terjemahannya:

Pada awal dan akhir


(telah) bersatu dengan Tuhan
tidak boleh berpisah keberadaannya
di dunia hingga akhirat
hanya diri dengan Tuhan,
di mana orang yang ada
tidak berpisah dengan Yang Wisesa/Tuhan (bait ke-1)

Yen sampun sira wĕruhi


jumĕnĕng kalawan Sukma
maka ngalingi Yang Manon
saking dirinira ika
dadya sirna dirinya
kalingan dening Yang Agung
sirna lir kadi duk kuna (bait ke-2)

Terjemahannya:

Jika sudah kamu ketahui


perpaduan dengan Yang Sukma/Tuhan
yang menghalangi dengan Yang Manon/Tuhan
dari diri pribadimu itu
menjadi lenyaplah dirimu
karena terhalang Yang Agung/Tuhan
hilang seperti ketika masa lalu (bait ke-2)
Pupuh III

Tětěp ingkang dan lan sipat


Apěngal hakekat sami
……….(tidak terbaca)
Kang ingaran akyan sabit
Ing akyan karij lahir
Akyan ingkang subut iku
Nyata ing karijiyah
Lakune kang dalěm ilmi
Kalihipun lahire Yang Sukma Mulya (bait ke-3)

Terjemahannya:

Hakikat zat dan sifat itu tetap


Af’al hakikat sama
…………………..
Yang disebut akyan sabit
Di akyan karij itu lahir
Akyan yang subut
Tampak jelas dalam karijiyah
Jalannya dalam ilmu itu
Keduanya lahir menjadi Yang Sukma Mulya (bait ke-3)

Kutipan-kutipan di atas memperlihatkan bahwa penulis teks menggunakan nama


sebutan Allah seperti itu karena ingin mempertahankan tradisi penyebutan nama Allah
yang telah lama tertanam dalam masyarakat Jawa. Lagipula, penggantian nama sebutan
Allah dengan nama sebutan yang berasal dari unsur lokal Jawa tersebut tidak mengubah
esensi makna Allah. Selain itu, penulisan nama Allah dengan istilah-istilah Jawa tersebut
bertujuan untuk memudahkan pembaca memahami isi teks.
Selain penggunaan unsur lokal dalam hal penyebutan nama Allah, di dalam teks
Kitab Patahulrahman ini, penulis teks menampilkan unsur lokal Jawa dalam memberikan
perumpamaan dalam menjelaskan isi teks. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.

Angandika seh Juned Bakdadi


tatkalane sira sarta Allah
dadya kalingan dirine
dening Yang Mahaluhur
dadya napi dirine kadi
mulih kadya duk nora
kalindi (h) Yang Agung
dirine nora katingal
sampun lĕbur lir malam katrapan api
ing upamane ika (Pupuh I, bait ke-15)
Terjemahannya:

Berkatalah seh Juned Bakdadi


dikala bersama dengan Allah
dirimu masih ada halangan
oleh Yang Maha Luhur/Tuhan
dirinya (dapat) menggapai keadaan yang sebenarnya
kembali seperti ketika tidak ada halangan
terhalang oleh Yang Agung/Tuhan
dirinya tidak tampak
telah melebur bagai malam yang terbakar api
demikian itulah perumpamaan (Pupuh I, bait ke-15)

Di dalam teks aslinya perumpamaan dengan menggunakan kata malam tidak ada.
Penulis teks ini menggunakan malam sebagai perumpamaan bagi orang yang telah
menyatu dengan Allah karena malam merupakan sesuatu yang begitu dekat dengan
kehidupan masyarakat Jawa. Dengan digunakannya perumpamaan ini, masyarakat Jawa
sebagai target pembaca teks ini tidak merasa asing dengan uraian yag diberikan penulis.

Penutup
Penulis teks seringkali memanfaatkan sebuah karya yang popular pada masanya
sebagai sumber inspirasi bagi penciptaan teks baru. Teks baru hasil adaptasi karya yang
tengah popular di masyarakat tersebut dikreasikan menjadi sesuatu yang lain oleh penulis.
Kreasi penulis dapat terlihat dari unsur-unsur yang digunakannya dalam menciptakan
karya baru tersebut. Unsur-unsur yang dapat dimanfaatkan penulis untuk menciptakan
karya baru tersebut antara lain unsur lokal yang berlaku pada masyarakat tempat ia
mencipta atau masyarakat yang menjadi target pembacanya.
Pada Kitab Patahulrahman, penulis teks memanfaatkan unsur lokal berupa
tembang, penggunaan istilah-istilah Jawa sebagai pengganti nama Allah, dan
perumpamaan yang dekat dengan dunia Jawa. Unsur-unsur lokal ini dimanfaatkan dengan
tujuan untuk melestarikan suatu karya sastra dalam bentuk lain, mengenalkan suatu karya
sastra dalam bentuk yang mudah dipahami oleh pembaca, dan sebagai upaya untuk
mendekatkan karyanya pada masyarakat.
Jika melihat jenis teks yang diadaptasi merupakan teks keagamaan, saya
beranggapan bahwa perubahan yang dilakukan oleh penulis teks Kitab Patahultrahman ini
merupakan suatu bentuk kewenangan seorang pengarang. Pengarang dapat saja
melakukan suatu perubahan pada teks apapun tidak terkecuali pada teks keagamaan.
Tentu saja, perubahan tersebut bukan merupakan perubahan kandungan teks yang
bertentangan dengan kandungan teks aslinya.Jika dilihat secara positif, perubahan tersebut
di satu pihak dapat memperkaya khazanah sastra Nusantara.

Anda mungkin juga menyukai