Anda di halaman 1dari 26

BAB I TINJAUAN PUSTAKA

DEMAM

1.1. DEFINISI

International Union of Physiological Sciences Commission for Thermal Physiology mendefinisikan demam sebagai suatu keadaan peningkatan suhu inti, yang sering (tetapi tidak seharusnya) merupakan bagian dari respons pertahanan organisme multiselular (host) terhadap invasi mikroorganisme atau benda mati yang patogenik atau dianggap asing oleh host. El-Rahdi dan kawan-kawan mendefinisikan demam (pireksia) dari segi patofisiologis dan klinis. Secara patofisiologis demam adalah peningkatan thermoregulatory set point dari pusat hipotalamus yang diperantarai oleh interleukin 1 (IL-1). Sedangkan secara klinis demam adalah peningkatan suhu tubuh 1oC atau lebih besar di atas nilai rerata suhu normal di tempat pencatatan.Sebagai respons terhadap perubahan set point ini, terjadi proses aktif untuk mencapai set point yang baru. Hal ini dicapai secara fisiologis dengan meminimalkan pelepasan panas dan memproduksi panas. Suhu tubuh normal bervariasi sesuai irama suhu circardian (variasi diurnal). Suhu terendah dicapai pada pagi hari pukul 04.00 06.00 dan tertinggi pada awal malam hari pukul 16.00 18.00. Kurva demam biasanya juga mengikuti pola diurnal ini. Suhu tubuh juga dipengaruhi oleh faktor individu dan lingkungan, meliputi usia, jenis kelamin, aktivitas fisik dan suhu udara ambien. Oleh karena itu jelas bahwa tidak ada nilai tunggal untuk suhu tubuh normal. Hasil pengukuran suhu tubuh bervariasi tergantung pada tempat pengukuran (Tabel 1).

Tabel 1. Suhu normal pada tempat yang berbeda

Tempat pengukuran Aksila Sublingual Rektal

Jenis termometer Air raksa, elektronik Air raksa, elektronik Air raksa, elektronik

Rentang;

rerata Demam (oC) 37,4 37,6 38

suhu normal (oC) 34,7 37,3; 36,4 35,5 37,5; 36,6 36,6 37,9; 37

Telinga

Emisi infra merah

35,7 37,5; 36,6

37,6

Suhu rektal normal 0,27o 0,38oC (0,5o 0,7oF) lebih tinggi dari suhu oral. Suhu aksila kurang lebih 0,55oC (1oF) lebih rendah dari suhu oral.5 Untuk kepentingan klinis praktis, pasien dianggap demam bila suhu rektal mencapai 38oC, suhu oral 37,6oC, suhu aksila 37,4oC, atau suhu membran tympani mencapai 37,6oC.1 Hiperpireksia merupakan istilah pada demam yang digunakan bila suhu tubuh melampaui 41,1oC (106oF).5

1.2. POLA DEMAM

Interpretasi pola demam sulit karena berbagai alasan, di antaranya anak telah mendapat antipiretik sehingga mengubah pola, atau pengukuran suhu secara serial dilakukan di tempat yang berbeda. Akan tetapi bila pola demam dapat dikenali, walaupun tidak patognomonis untuk infeksi tertentu, informasi ini dapat menjadi petunjuk diagnosis yang berguna (Tabel 2.). Tabel 2. Pola demam yang ditemukan pada penyakit pediatrik

Pola demam Kontinyu Remitten Intermiten Hektik atau septik Quotidian Double quotidian

Penyakit Demam tifoid, malaria falciparum malignan Sebagian besar penyakit virus dan bakteri Malaria, limfoma, endokarditis Penyakit Kawasaki, infeksi pyogenik Malaria karena P.vivax Kala azar, arthritis gonococcal, juvenile rheumathoid arthritis, beberapa drug fever (contoh karbamazepin)

Relapsing atau periodik Demam rekuren

Malaria tertiana atau kuartana, brucellosis Familial Mediterranean fever

Penilaian pola demam meliputi tipe awitan (perlahan-lahan atau tiba-tiba), variasi derajat suhu selama periode 24 jam dan selama episode kesakitan, siklus demam, dan respons terapi.

Gambaran pola demam klasik meliputi: Demam kontinyu (Gambar 1.) atau sustained fever ditandai oleh peningkatan suhu tubuh yang menetap dengan fluktuasi maksimal 0,4oC selama periode 24 jam. Fluktuasi diurnal suhu normal biasanya tidak terjadi atau tidak signifikan.

Gambar 1. Pola demam pada demam tifoid (memperlihatkan bradikardi relatif)

Demam remiten ditandai oleh penurunan suhu tiap hari tetapi tidak mencapai normal dengan fluktuasi melebihi 0,5oC per 24 jam. Pola ini merupakan tipe demam yang paling sering ditemukan dalam praktek pediatri dan tidak spesifik untuk penyakit tertentu (Gambar 2.). Variasi diurnal biasanya terjadi, khususnya bila demam disebabkan oleh proses infeksi.

Gambar 2. Demam remiten

Pada demam intermiten suhu kembali normal setiap hari, umumnya pada pagi hari, dan puncaknya pada siang hari (Gambar 3.). Pola ini merupakan jenis demam terbanyak kedua yang ditemukan di praktek klinis.

Gambar 3. Demam intermiten Demam septik atau hektik terjadi saat demam remiten atau intermiten menunjukkan perbedaan antara puncak dan titik terendah suhu yang sangat besar. Demam quotidian, disebabkan oleh P. Vivax, ditandai dengan paroksisme demam yang terjadi setiap hari. Demam quotidian ganda (Gambar 4.)memiliki dua puncak dalam 12 jam (siklus 12 jam)

Gambar 4. Demam quotidian

Undulant fever menggambarkan peningkatan suhu secara perlahan dan menetap tinggi selama beberapa hari, kemudian secara perlahan turun menjadi normal. Demam lama (prolonged fever) menggambarkan satu penyakit dengan lama demam melebihi yang diharapkan untuk penyakitnya, contohnya > 10 hari untuk infeksi saluran nafas atas. Demam rekuren adalah demam yang timbul kembali dengan interval irregular pada satu penyakit yang melibatkan organ yang sama (contohnya traktus urinarius) atau sistem organ multipel. Demam bifasik menunjukkan satu penyakit dengan 2 episode demam yang berbeda (camelback fever pattern, atau saddleback fever). Poliomielitis merupakan contoh klasik dari pola demam ini. Gambaran bifasik juga khas untuk leptospirosis, demam dengue, demam kuning, Colorado tick fever, spirillary rat-bite fever (Spirillum minus), dan African hemorrhagic fever (Marburg, Ebola, dan demam Lassa).

Relapsing fever dan demam periodik: Demam periodik ditandai oleh episode demam berulang dengan interval regular atau irregular. Tiap episode diikuti satu sampai beberapa hari, beberapa minggu atau beberapa bulan suhu normal. Contoh yang dapat dilihat adalah malaria (istilah tertiana digunakan bila demam terjadi setiap hari ke-3, kuartana bila demam terjadi setiap hari ke-4) (Gambar 5.)dan brucellosis. 4

Gambar 5. Pola demam malaria

Relapsing fever adalah istilah yang biasa dipakai untuk demam rekuren yang disebabkan oleh sejumlah spesies Borrelia (Gambar 6.)dan ditularkan oleh kutu (louse-borne RF) atau tick (tick-borne RF).

Gambar 6. Pola demam Borreliosis (pola demam relapsing)

Penyakit ini ditandai oleh demam tinggi mendadak, yang berulang secara tiba-tiba berlangsung selama 3 6 hari, diikuti oleh periode bebas demam dengan durasi yang hampir sama. Suhu maksimal dapat mencapai 40,6oC pada tick-borne fever dan 39,5oC pada louseborne. Gejala penyerta meliputi myalgia, sakit kepala, nyeri perut, dan perubahan kesadaran. Resolusi tiap episode demam dapat disertai Jarish-Herxheimer reaction (JHR) selama beberapa jam (6 8 jam), yang umumnya mengikuti pengobatan antibiotik. Reaksi ini disebabkan oleh pelepasan endotoxin saat organisme dihancurkan oleh antibiotik. JHR sangat sering ditemukan setelah mengobati pasien syphillis. Reaksi ini lebih jarang terlihat pada kasus leptospirosis, Lyme disease, dan brucellosis. Gejala bervariasi dari demam ringan dan fatigue sampai reaksi anafilaktik full-blown. Contoh lain adalah rat-bite fever yang disebabkan oleh Spirillum minus dan Streptobacillus moniliformis. Riwayat gigitan tikus 1 10 minggu sebelum awitan gejala merupakan petunjuk diagnosis. Demam Pel-Ebstein (Gambar 7.), digambarkan oleh Pel dan Ebstein pada 1887, pada awalnya dipikirkan khas untuk limfoma Hodgkin (LH). Hanya sedikit pasien dengan penyakit 5

Hodgkin mengalami pola ini, tetapi bila ada, sugestif untuk LH. Pola terdiri dari episode rekuren dari demam yang berlangsung 3 10 hari, diikuti oleh periode afebril dalam durasi yang serupa. Penyebab jenis demam ini mungkin berhubungan dengan destruksi jaringan atau berhubungan dengan anemia hemolitik.

Gambar 7. Pola demam penyakit Hodgkin (pola Pel-Ebstein).

1.3. KLASIFIKASI DEMAM Klasifikasi demam diperlukan dalam melakukan pendekatan berbasis masalah.2 Untuk kepentingan diagnostik, demam dapat dibedakan atas akut, subakut, atau kronis, dan dengan atau tanpa localizing signs.7 Tabel 3. dan Tabel 4. memperlihatkan tiga kelompok utama demam yang ditemukan di praktek pediatrik beserta definisi istilah yang digunakan.1

Tabel 3. Tiga kelompok utama demam yang dijumpai pada praktek pediatrik

Klasifikasi Demam dengan localizing signs Demam signs Fever of unknown origin tanpa

Penyebab tersering

Lama

demam

pada umumnya <1 minggu

Infeksi saluran nafas atas

localizing Infeksi virus, infeksi saluran kemih Infeksi, arthritis juvenile idiopathic

<1minggu

>1 minggu

Tabel 4. Definisi istilah yang digunakan

Istilah Demam localization Demam tanpa localization

Definisi dengan Penyakit demam akut dengan fokus infeksi, yang dapat didiagnosis setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik Penyakit demam akut tanpa penyebab demam yang jelas setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik

Letargi

Kontak mata tidak ada atau buruk, tidak ada interaksi dengan pemeriksa atau orang tua, tidak tertarik dengan sekitarnya

Toxic appearance

Gejala klinis yang ditandai dengan letargi, perfusi buruk, cyanosis, hipo atau hiperventilasi

Infeksi bakteri serius

Menandakan

penyakit

yang

serius,

yang

dapat

mengancam jiwa. Contohnya adalah meningitis, sepsis, infeksi tulang dan sendi, enteritis, infeksi saluran kemih, pneumonia Bakteremia septikemia dan Bakteremia menunjukkan adanya bakteri dalam darah, dibuktikan dengan biakan darah yang positif, septikemia menunjukkan adanya invasi bakteri ke jaringan,

menyebabkan hipoperfusi jaringan dan disfungsi organ

Demam dengan localizing signs

Penyakit demam yang paling sering ditemukan pada praktek pediatrik berada pada kategori ini (Tabel 5.). Demam biasanya berlangsung singkat, baik karena mereda secara spontan atau karena pengobatan spesifik seperti pemberian antibiotik. Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik dan dipastikan dengan pemeriksaan sederhana seperti pemeriksaan foto rontgen dada.

Tabel 5. Penyebab utama demam karena penyakit localized signs

Kelompok

Penyakit

Infeksi saluran nafas ISPA virus, otitis media, tonsillitis, laryngitis, stomatitis atas Pulmonal Gastrointestinal Sistem saraf pusat Eksantem Kolagen Neoplasma Tropis herpetika Bronkiolitis, pneumonia Gastroenteritis, hepatitis, appendisitis Meningitis, encephalitis Campak, cacar air Rheumathoid arthritis, penyakit Kawasaki Leukemia, lymphoma Kala azar, cickle cell anemia

Demam tanpa localizing signs

Sekitar 20% dari keseluruhan episode demam menunjukkan tidak ditemukannya localizing signs pada saat terjadi. Penyebab tersering adalah infeksi virus, terutama terjadi selama beberapa tahun pertama kehidupan. Infeksi seperti ini harus dipikirkan hanya setelah menyingkirkan infeksi saluran kemih dan bakteremia. Tabel 6. menunjukan penyebab paling sering kelompok ini.1 Demam tanpa localizing signs umumnya memiliki awitan akut, berlangsung kurang dari 1 minggu, dan merupakan sebuah dilema diagnostik yang sering dihadapi oleh dokter anak dalam merawat anak berusia kurang dari 36 bulan.6

Tabel 6. Penyebab umum demam tanpa localizing signs

Penyebab Infeksi

Contoh Bakteremia/sepsis Sebagian (HH-6) Infeksi saluran kemih Malaria besar

Petunjuk diagnosis Tampak sakit, CRP tinggi, leukositosis virus Tampak baik, CRP normal, leukosit normal Dipstik urine Di daerah malaria idiopathic Pre-articular, ruam, splenomegali,

PUO (persistent Juvenile pyrexia of arthritis

antinuclear factor tinggi, CRP tinggi 8

unknown origin) FUO Pasca vaksinasi Vaksinasi triple, campak Waktu demam terjadi berhubungan dengan waktu vaksinasi Drug fever Sebagian besar obat Riwayat eksklusi minum obat, diagnosis atau

Persistent Pyrexia of Unknown Origin (PUO)

Istilah ini biasanya digunakan bila demam tanpa localizing signs bertahan selama 1 minggu dimana dalam kurun waktu tersebut evaluasi di rumah sakit gagal mendeteksi penyebabnya. Persistent pyrexia of unknown origin, atau lebih dikenal sebagai fever of unknown origin (FUO) didefinisikan sebagai demam yang berlangsung selama minimal 3 minggu dan tidak ada kepastian diagnosis setelah investigasi 1 minggu di rumah sakit.1

MENINGITIS

2.1 DEFINISI Peradangan atau inflamasi pada selaput otak (meninges) termasuk dura, arachnoid dan pia mater yang melapisi otak dan medulla spinalis yang dapat diidentifikasi oleh peningkatan kadar leukosit dalam likuor cerebrospinal (LCS).1

2.2 ANATOMI 2.2.1 LAPISAN SELAPUT OTAK/ MENINGES Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya adalah pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi menjadi arachnoidea dan piamater. 2.2.2 LIQUOR CEREBROSPINALIS (LCS)

1. Fungsi Cairan ini mengontrol eksitabilitas otak dengan mengatur komposisi ion, membawa keluar metabolit-metabolit (otak tidak mempunyai pumbuluh limfe), dan

memberikan beberapa perlindungan terhadap perubahan-perubahan tekanan (volume venosus volume cairan cerebrospinal). 2. Komposisi dan Volume Cairan cerebrospinal jernih, tidak berwarna dan tidak berbau. Nilai normal rata-ratanya yang lebih penting diperlihatkan pada tabel.

Tabel 1. Nilai Normal Cairan Cerebrospinal

2.3 EPIDEMIOLOGI Faktor resiko utama untuk meningitis adalah respons imunologi terhadap patogen spesifik yang lemah terkait dengan umur muda. Resiko terbesar pada bayi (1 12 bulan); 95 % terjadi antara 1 bulan dan 5 tahun, tetapi meningitis dapat terjadi pada setiap umur. Resiko tambahan adalah kolonisasi baru dengan bakteri patogen, kontak erat dengan individu yang menderita penyakit invasif, perumahan padat penduduk, kemiskinan, ras kulit hitam, jenis kelamin lakilaki dan pada bayi yang tidak diberikan ASI pada umur 2 5 bulan. Cara penyebaran mungkin dari kontak orang ke orang melalui sekret atau tetesan saluran pernafasan.3 Meningitis Bakterial Angka kejadian meningitis bakterial secara keseluruhan belum diketahui dengan pasti. Insiden meningitis bakterial lebih banyak dijumpai pada laki laki dari pada perempuan dengan perbandingan 3 : 1. Sekitar 80 % dari seluruh kasus meningitis bakterial tearjadi pada anak anak dan 70 % dari jumlahb tersebut terjadi pada anak berusia 1 5 bulan.1 Meningitis Tuberkulosis Di seluruh dunia, tuberkulosis merupakan penyebab utama dari morbiditas dan kematian pada anak. Di Amerika Serikat, insidens tuberkulosis kurang dari 5% dari seluruh kasus meningitis 10

bakterial pada anak, namun penyakit ini mempunyai frekuensi yang lebih tinggi pada daerah dengan sanitasi yang buruk. Meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan di Indonesia karena morbiditas tuberkulosis anak masih tinggi. Angka kejadian jarang dibawah usia 3 bulan dan mulai meningkat dalam usia 5 tahun pertama, tertinggi pada usia 6 bulan sampai 2 tahun. Angka kematian berkisar antara 10-20%.4,5

2.4 ETIOLOGI Penyebab tersering dari meningitis adalah mikroorganisme seperti bakteri.

Mikroorganisme ini menginfeksi darah dan likuor serebrospinal Mikroorganisme yang sering menyebabkan meningitis berdasarkan usia : a. 0 3 bulan : Bakteri penyebab yang tersering seperti Streptococcus grup B, E.Coli, Listeria, bakteri usus selain E.Coli ( Klebsiella, Serratia spesies, Enterobacter), streptococcus lain, jamur, nontypeable H.influenza, dan bakteri anaerob b. 3 bulan 5 tahun Bakteri penyebab tersering meningitis pada grup usia ini belakangan seperti N.meningitidis dam S.Pneumoniae. Meningitis oleh karena Mycobacterium

Tuberculosis jarang, namun harus dipertimbangkan pada daerah dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi dan jika didapatkan anamnesis, gejala klinis, LCS dan laboratorium yang mendukung diagnosis Tuberkulosis c. 5 tahun dewasa Bakteri yang tersering menyebabkan meningitis pada grup usia ini seperti N.meningitidis dan S.pneumoniae. Mycoplasma pneumonia juga dapat menyebabkan meningitis yang berat dan meningoencephalitis pada grup usia ini.

2.5 PATOGENESIS Meningitis Bakterial 1 Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui : 1. Alian darah (hematogen) oleh karena infeksi di tempat lain seperti faringitis, tonsillitis, endokarditis, pneumonia, infeksi gigi. Pada keadaan ini sering didapatkan biakan kuman yang positif pada darah, yang sesuai dengan kuman yang ada dalam cairan otak. 2. Perluasan langsung dari infeksi (perkontinuitatum) yang disebabkan oleh infeksi dari sinus paranasalis, mastoid, abses otak, sinus cavernosus. 11

3. Implantasi langsung : trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, pungsi lumbal dan mielokel. 4. Meningitis pada neonates dapat terjadi oleh karena: Aspirasi cairan amnion yang terjadi pada saat bayi melalui jalan lahir atau oleh kuman-kuman yang normal ada pada jalan lahir Infeksi bakteri secara transplacental terutama Listeria. Sebagian besar infeksi susunan saraf pusat terjadi akibat penyebaran hematogen. Saluran napas merupakan port of entry utama bagi banyak penyebab meningitis purulenta. Proses terjadinya meningitis bakterial melalui jalur hematogen mempunyai tahap-tahap sebagai berikut : 1. Bakteri melekat pada sel epitel mukosa nasofaring (kolonisasi) 2. Bakteri menembus rintangan mukosa 3. Bakteri memperbanyak diri dalam aliran darah (menghindar dari sel fagosit dan aktivitas bakteriolitik) dan menimbulkan bakteriemia. 4. Bakteri masuk ke dalam cairan serebrospinal 5. Bakteri memperbanyak diri dalam cairan serebrospinal 6. Bakteri menimbulkan peradangan pada selaput otak (meningen) dan otak. Bakteri yang menimbulkan meningitis adalah bakteri yang mampu melampaui semua tahap dan masing-masing bakteri mempunyai mekanisme virulensi yang berbeda-beda, dan masing-masing mekanisme mempunyai peranan yang khusus pada satu atau lebih dari tahap-tahap tersebut. Terjadinya meningitis bacterial dipengaruhi oleh interaksi beberapa faktor, yaitu host yang rentan, bakteri penyebab dan lingkungan yang menunjang. Faktor Host Beberapa faktor host yang mempermudah terjadinya meningitis: 1. Telah dibuktikan bahwa laki-laki lebih sering menderita meningitis dibandingkan dengan wanita. Pada neonates sepsis menyebabkan meningitis, laki-laki dan wanita berbanding 1,7 : 1 2. Bayi dengan berat badan lahir rendah dan premature lebih mudah menderita meningitis disbanding bayi cukup bulan 3. Ketuban pecah dini, partus lama, manipulasi yang berlebihan selama kehamilan, adanya infeksi ibu pada akhir kehamilan mempermudah terjadinya sepsis dan meningitis

12

4. Pada bayi adanya kekurangan maupun aktivitas bakterisidal dari leukosit, defisiensi beberapa komplemen serum, seperti C1, C3. C5, rendahnya properdin serum, rendahnya konsentrasi IgM dan IgA ( IgG dapat di transfer melalui plasenta pada bayi, tetapi IgA dan IgM sedikit atau sama sekali tidak di transfer melalui plasenta), akan mempermudah terjadinya infeksi atau meningitis pada neonates. Rendahnya IgM dan IgA berakibat kurangnya kemampuan bakterisidal terhadap bakteri gram negatif. 5. Defisiensi kongenital dari ketiga immunoglobulin ( gamma globulinemia atau dysgammaglobulinemia), kekurangan jaringan timus kongenital, kekurangan sel B dan T, asplenia kongenital mempermudah terjadinya meningitis 6. Keganasan seperti system RES, leukemia, multiple mieloma, penyakit Hodgkin menyebabkan penurunan produksi immunoglobulin sehingga mempermudah

terjadinya infeksi. 7. Pemberian antibiotik, radiasi dan imunosupresan juga mempermudah terjadinya infeksi 8. Malnutrisi Faktor Mikroorganisme Penyebab meningitis bakterial terdiri dari bermacam-macam bakteri. Mikroorganisme penyebab berhubungan erat dengan umur pasien. Pada periode neonatal bakteri penyebab utama adalah golongan enterobacter terutama Escherichia Coli disusul oleh bakteri lainnya seperti Streptococcus grup B, Streptococcus pneumonia, Staphylococuc sp dan Salmonella sp. Sedangkan pada bayi umur 2 bulan sampai 4 tahun yang terbanyak adalah Haemophillus influenza type B disusul oleh Streptococcus pneumonia dan Neisseria meningitides. Pada anak lebih besar dari 4 tahun yang terbanyak adalah Streptococcus pneumonia, Neisseria meningitides. Bakteri lain yang dapat menyebabkan meningitis bakterial adalah kuman batang gram negative seperti Proteus, Aerobacter, Enterobacter, Klebsiella Sp dan Seprata Sp. Faktor Lingkungan Kepadatan penduduk, kebersihan yang kurang, pendidikan rendah dan sosial ekonomi rendah memgang peranan penting untuk mempermudah terjadinya infeksi. Pada tempat penitipan bayi apabila terjadi infeksi lebih mudah terjadi penularan. Adanya vektor binatang seperti anjing, tikus, memungkinkan suatu leptospirosis. predisposisi, untuk terjadinya

13

Meningitis Tuberkulosis Meningitis tuberkulosis terjadi sebagai akibat komplikasi penyebaran tuberkulosis primer, biasanya dari paru. Terjadinya meningitis bukanlah karena terinfeksinya selaput otak langsung oleh penyebaran hematogen, melainkan biasanya sekunder melalui pembentukan tuberkel pada permukaan otak, sumsum tulang belakang atau vertebra yang kemudian pecah ke dalam rongga arachnoid (rich dan McCordeck). Kadang-kadang dapat juga terjadi perkontinuitatum dari mastoiditis atau spondilitis. Pada pemeriksaan histologis, meningitis tuberkulosa ternyata merupakan meningoensefalitis. Peradangan ditemukan sebagian besar pada dasar otak, terutama batang otak (brain stem) tempat terdapat eksudat dan tuberkel. Eksudat yang serofibrinosa dan gelatinosa dapat menimbulkan obstruksi pada sisterna basalis dan mengakibatkan hidrocephalus serta kelainan saraf pusat. Tampak juga kelainan pembuluh darah seperti Arteritis dan Phlebitis yang menimbulkan penyumbatan. Akibat penyumbatan ini terjadi infark otak yang kemudian mengakibatkan perlunakan otak.

2.6 PATOFISIOLOGI Meningitis Bakterial 1 Akhir akhir ini ditemukan konsep baru mengenai patofisiologi meningitis bakterial, yaitu suatu proses yang kompleks, komponen komponen bakteri dan mediator inflamasi berperan menimbulkan respons peradangan pada selaput otak (meningen) serta menyebabkan perubahan fisiologis dalam otak berupa peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan aliran darah otak, yang dapat mengakibatkan tinbulnya gejala sisa.

14

Gambar 5. Patofisiologi Molekuler Meningitis Bakterial 1 Meningitis Tuberkulosis 1 Meningitis tuberculosis pada umumnya sebagai penyebaran tuberculosis primer, dengan focus infeksi di tempat lain. Biasanya fokus infeksi primer di paru, namun Blockloch menemukan 22,8% dengan focus infeksi primer di abdomen, 2,1% di kelenja limfe leher dan 1,2% tidak ditemukan adanya fokus infeksi primer. Dari focus infeksi primer, basil masuk ke sirkulasi darah melalui duktus torasikus dan kelenjar limfe regional, dan dapat menimbulkan infeksi berat berupa tuberculosis milier atau hanya menimbulkan beberapa focus metastase yang biasanya tenang. Pendapat yang sekarang dapat diterima dikemukakan oleh Rich pada tahun 1951, yakni bahwa terjadinya meningitis tuberculosis adalah mula-mula terbentuk tuberkel di otak, selaupt otak atau medulla spinalis, akibat penyebaran basil secara hematogen selama infeksi primer atau selama perjalanan tuberculosis kronik (walaupun jarang). Kemudian timbul meningitis akibat terlepasnya basil dan antigennya dari tuberkel yang pecah karena rangsangan mungkin berupa trauma atau factor imunologis. Basil kemudia langsung masuk ke ruang subarachnoid atau ventrikel. Meningitis basalis yang terjadi akan menimbulkan 15

komplikasi neurologis, berupa paralisis saraf kranialis, infark karena penyumbatan arteria dan vena, serta hidrosefalus karena tersumbatnya aliran cairan cerebrospinal.. perlengketan yang sama dalam kanalis sentralis medulla spinalis akan menyebabkan spinal block dan paraplegia.

2.7

MANIFESTASI KLINIS

Meningitis Bakterial 1 Tidak ada satupun gambaran klinis yang patognomonik untuk meningitis bakterial. Tanda dan manifestasi klinis meningitis bakterial begitu luas sehingga sering didapatkan pada anakanak baik yang terkena meningitis ataupun tidak. Tanda dan gambaran klinis sangat bervariasi tergantung umur pasien, lama sakit di rumah sebelum diagnosis dan respon tubuh terhadap infeksi. Meningitis pada bayi baru lahir dan prematur sangat sulit didiagnosis, gambaran klinis sangat kabur dan tidak khas. Demam pada meningitis bayi baru lahir hanya terjadi pada dari jumlah kasus. Biasanya pasien tampak lemas dan malas, tidak mau makan, muntahmuntah, kesadaran menurun, ubun-ubun besar tegang dan membonjol, leher lemas, respirasi tidak teratur, kadang-kadang disertai ikterus kalau sepsis. Secara umum apabila didapatkan sepsis pada bayi baru lahir kita harus mencurigai adanya meningitis. Bayi berumur 3 bulan 2 tahun jarang memberi gambaran klasik meningitis. Biasanya manifestasi yang timbul hanya berupa demam, muntah, gelisah, kejang berulang, kadang-kadang didapatkan pula high pitch cry (pada bayi). Tanda fisik yang tampak jelas adalah ubun-ubun tegang dan membonjol, sedangkan tanda Kernig dan Brudzinsky sulit di evaluasi. Oleh karena insidens meningitis pada umur ini sangat tinggi, maka adanya infeksi susuan saraf pusat perlu dicurigai pada anak dengan demam terus menerus yang tidak dapat diterangkan penyebabnya. Pada anak besar dan dewasa meningitis kadang-kadang memberikan gambaran klasik. Gejala biasanya dimulai dengan demam, menggigil, muntah dan nyeri kepala. Kadangkadang gejala pertama adalah kejang, gelisah, gangguan tingkah laku. Penurunan kesadaran seperti delirium, stupor, koma dapat juga terjadi. Tanda klinis yang biasa didapatkan adalah kaku kuduk, tanda Brudzinski dan Kernig. Nyeri kepala timbul akibat inflamasi pembuluh darah meningen, sering disertai fotofobia dan hiperestesi, kaku kuduk disertai rigiditas spinal disebabkan karena iritasi meningen serta radiks spinalis. Kelainan saraf otak disebabkan oleh inflamasi lokal pada perineurium, juga karena terganggunya suplai vaskular ke saraf. Saraf saraf kranial VI, VII, dan IV adalah yang paling sering terkena. Tanda serebri fokal biasanya sekunder karena nekrosis kortikal atau 16

vaskulitis oklusif, paling sering karena trombosis vena kortikal. Vaskulitis serebral menyebabkan kejang dan hemiparesis.1 Manifestasi Klinis yang dapat timbul adalah:4 1. Gejala infeksi akut. a. Lethargy. b. Irritabilitas. c. Demam ringan. d. Muntah. e. Anoreksia. f. Sakit kepala (pada anak yang lebih besar). g. Petechia dan Herpes Labialis (untuk infeksi Pneumococcus). 2. Gejala tekanan intrakranial yang meninggi. a. Muntah. b. Nyeri kepala (pada anak yang lebih besar). c. Moaning cry /Tangisan merintih (pada neonatus) d. Penurunan kesadaran, dari apatis sampai koma. e. Kejang, dapat terjadi secara umum, fokal atau twitching. f. Bulging fontanel /ubun-ubun besar yang menonjol dan tegang. g. Gejala kelainan serebral yang lain, mis. Hemiparesis, Paralisis, Strabismus. h. Crack pot sign. i. Pernafasan Cheyne Stokes. j. Hipertensi dan Choked disc papila N. optikus (pada anak yang lebih besar). 3. Gejala ransangan meningeal. a. Kaku kuduk positif. b. Kernig, Brudzinsky I dan II positif. Pada anak besar sebelum gejala di atas terjadi, sering terdapat keluhan sakit di daerah leher dan punggung. Meningitis Tuberkulosis 4,5 Secara klinis kadang-kadang belum terdapat gejala meningitis nyata walaupun selaput otak sudah terkena. Hal demikian terdapat apda tuberlukosis miliaris sehingga pada penyebaran miliar sebaiknya dilakukan pungsi lumbal walaupun gejala meningitis belum tampak. 1. Stadium prodromal Gejala biasanya didahului oleh stadium prodromal berupa iritasi selaput otal. Meningitis biasanya mulai perlahan-lahan tanpa panas atau hanya terdapat kenaikan suhu 17

ringan, jarang terjadi akut dengan panas tinggi. Sering di jumpai anak mudah terangsang (iritabel) atau anak menjadi apatis dan tidurnya sering terganggu. Anak besar dapat mengeluh nyeri kepala. Malaise, snoreksia, obstipasi, mual dan muntah juga sering ditemukan. Belum tampak manifestasi kelainan neurologis. 2. Stadium transisi Stadium prodromal disusul dengan stadium transisi dengan adanya kejang. Gejala diatas menjadi lebih berat dan muncul gejala meningeal, kaku kuduk dimana seluruh tubuh mulai menjadi kaku dan opistotonus. Refleks tendon menjadi lebih tinggi, ubunubun menonjol dan umumnya juga terdapat kelumpuhan urat saraf mata sehingga timbul gejala strabismus dan nistagmus. Sering tuberkel terdapat di koroid. Suhu tubuh menjadi lebih tinggi dan kesadaran lebih menurun hingga timbul stupor. Kejang, defisit neurologis fokal, paresis nervus kranial dan gerakan involunter (tremor, koreoatetosis,

hemibalismus). 3. Stadium terminal Stadium terminal berupa kelumpuhan kelumpuhan, koma menjadi lebih dalam, pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali. Nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur, kadang-kadang menjadi pernafasan Cheyne-Stokes (cepat dan dalam). Hiperpireksia timbul dan anak meninggal tanpa kesadarannya pulih kembali Tiga stadium diatas biasanya tidak mempunyai batas yang jelas antara satu dengan yang lainnya, namun jika tidak diobati umumnya berlangsung 3 minggu sebelum anak meninggal.

2.8

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Meningitis bakterial 5 Darah perifer lengkap dan kultur darah. Pemeriksaan gula darah dan elektrolit jika ada indikasi. Pungsi lumbal sangat penting untuk menegakkan diagnosis dan menentukan etiologi : Didapatkan cairan keruh atau opalesens dengan Nonne (-)/(+) dan Pandy (+)/(++). Jumlah sel 100-10.000/m3 dengan hitung jenis predominan polimorfonuklear, protein 200-500 mg/dl, glukosa <40 mg/dl. Pada stadium dini jumlah sel dapat normal dengan predominan limfosit. Apabila telah mendapat antibiotik sebelumnya, gambaran LCS dapat tidak spesifik.

18

Pada kasus berat, pungsi lumbal sebaiknya ditunda dan tetap diberikan pemberian antibiotik empirik (penundaan 2-3 hari tidak mengubah nilai diagnostik kecuali identifikasi kuman, itupun jika antibiotiknya senstitif)

Jika memang kuat dugaan kearah meningitis, meskipun terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial, pungsi lumbal masih dapat dilakukan asalkan berhati-hati. Pemakaian jarum spinal dapat meminimalkan komplikasi terjadinya herniasi.

Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal hanya jika ditemukan tanda dan gejala peningkatan tekanan intracranial oleh karena lesi desak ruang.

Pemeriksaan CT-Scan dengan kontras atau MRI kepala (pada kasus berat atau curiga ada komplikasi seperti empiema subdural, hidrosefalus dan abses otak)

Pada pemeriksaan elektroensefalografi dapat ditemukan perlambatan umum.

Meningitis Tuberkulosis 5 Pemeriksaan meliputi darah perifer lengkap, laju endap darah, dan gula darah. Leukosit darah tepi sering meningkat (10.000-20.000 sel/mm3). Sering ditemukan hiponatremia dan hipokloremia karena sekresi antidiuretik hormon yang tidak adekuat. Pungsi lumbal : Liquor serebrospinal (LCS) jernih, cloudy atau xantokrom Jumalh sel meningkat antara 10-250 sel/mm3 dan jarang melebihi 500 sel/mm3. Hitung jenis predominan sel limfosit walaupun pada stadium awal dapat dominan polimorfonuklear. Protein meningkat di atas 100 mg/dl sedangkan glukosa menurun dibawah 35 mg/dl, rasio glukosa LCS dan darah dibawah normal Pemeriksaan BTA (basil tahan asam) dan kultur M.Tbc tetap dilakukan. Jika hasil pemeriksaan LCS yang pertama meragukan, pungsi lumbal ulangan dapat memperkuat diagnosis dengan interval 2 minggu. Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan Latex particle agglutination dapat mendeteksi kuman Mycobacterium di cairan serebrospinal (bila memungkinkan). Pemeriksaan pencitraan CT-Scan atau MRI kepala dengan kontras dapat menunjukkan lesi parenkim pada daerah basal otak, infark, tuberkuloma, maupun hidrosefalus. 19

Foto rontgen dada dapat menunjukkan gambaran penyakit Tuberkulosis. Uji Tuberkulin dapat mendukung diagnosis Elektroensefalografi (EEG) dikerjakan jika memungkinkan dapat menunjukkan perlambatan gelombang irama dasar.9

2.9

DIAGNOSIS

Meningitis Bakterial Diagnosis meningitis bakterial tidak dapat dibuat hanya dengan melihat gejala dan tanda saja. Manifestasi klinis seperti demam, sakit kepala, muntah, kaku kuduk dan adanya tanda rangsang meningeal kemungkinan dapat pula terjadi pada meningismus, meningitis TBC dan meningitis aseptic. Hampir semua penulis mengatakan bahwa diagnosis pasti meningitis hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan cairan serebrospinalis melalui pungsi lumbal. Oleh Karena itu setiap pasien dengan kecurigaan meningitis harus dilakukan pungsi lumbal.1 Umumnya cairan serebrospinal berwarna opalesen sampai keruh, tetapi pada stadium dini dapat diperoleh cairan yang jernih. Reaksi Nonne dan Pandy umumnya didapatkan positif kuat. Jumlah sel umumnya ribuan per milimeter kubik cairan yang sebagian besar terdiri dari sel polimorphonuclear (PMN). Pada stadium dini didapatkan jumlah sel hanya ratusan permilimeter kubik dengan hitung jenis lebih banyak limfosit daripada segmen. Oleh karena itu pada keadaan sedemikian, pungsi lumbal perlu diulangi keesokan harinya untuk menegakkan diagnosis yang pasti. Keadaan seperti ini juga ditemukan pada stadium penyembuhan meningitis purulenta. Kadar protein dalam CSS meninggi. Kadar gula menurun tetapi tidak serendah pada meningitis tuberkulosa. Kadar klorida kadang-kadang merendah.4 Meningitis Tuberkulosis Diagnosis dapat ditentukan atas dasar gambaran klinis serta yang terpenting ialah gambaran CSS. Diagnosis pasti hanya dapat dibuat bila ditemukan kuman tuberkulosis dalam CSS. Uji tuberkulin yang positif, kelainan radiologis yang tampak pada foto roentgen thorak dan terdapatnya sumber infeksi dalam keluarga hanya dapat menyokong diagnosis. Uji tuberkulin pada Meningitis tuberkulosis sering negatif karena reaksi anergi (false-negative), terutama dalam stadium terminalis

2.10

DIAGNOSIS BANDING Abses otak

20

Encephalitis

2.11

KOMPLIKASI

Komplikasi dini : Syok septik, termasuk DIC Koma Kejang (30-40% pada anak) Edema serebri Septic arthritis Efusi pericardial Anemia hemolitik

Komplikasi lanjut :

Gangguan pendengaran samapi tuli Disfungsi saraf kranial Kejang multipel Paralisis fokal Efusi subdural Hidrocephalus Defisit intelektual Ataksia Buta Waterhouse-Friderichsen syndrome Gangren periferal

2.12

TATA LAKSANA

Meningitis bakterial Pemberian terapi dilakukan secepatnya saat diagnosis mengarah ke meningitis. Idealnya kultur darah dan likuor cerebrospinal (LCS) harus diperoleh sebelum antibiotik yang diberikan. 6 Peningkatan tekanan intrakranial sekunder akibat edema serebral jarang pada bayi. Monitor kadar gas darah dengan ketat untuk memastikan oksigenasi yang memadai dan stabilitasmetabolisme.6 Pada bayi dan anak-anak, Manajemen meningitis bakteri mencakup terapi antibiotik dan terapi suportif. Terapi cairan dan elektrolit dilakukan dengan memantau pasien dengan 21

memeriksa tanda-tanda vital dan status neurologis dan balans cairan, menetapkan jenis yang dan volume cairan, risiko edema otak dapat diminimalkan. Anak harus menerima cairan cukup untuk menjaga tekanan darah sistolik pada sekitar 80 mm Hg, output urin 500 mL/m2/hari, dan perfusi jaringan yang memadai. Bila anak dalam status konvulsivus diberikan diazepam 0,2-0,5 mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan, apabila kejang belum berhenti pemberian diazepam dapat diulang dengan dosis dan cara yang sama. Apabila kejang berhenti dilanjutkan dengan pemberian fenobarbital dengan dosis awal 10-20mg/kgBB IM, 24 jam kemudian diberikan dosis rumatan 4-5mg/kgBB/hari. Apabila dengan diazepam intravena 2 kali berturut-turut kejang belum berhenti dapat diberikan fenitoin dengan dosis 10-20mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan dengan kecepatan dalam 1 menit jangan melebihi 50 mg atau 1mg/kgBB/menit. Dosis selanjutnya 5mg/kgBB/hari diberikan 12-24 jam kemudian. Bila tidak tersedia diazepam, dapat digunakan langsung phenobarbital dengan dosis awal dan selanjutnya dosis maintenance.1 Terapi antibiotik1 Penggunaan antibiotik terdiri dari 2 fase, yaitu fase pertama sebelum hasil biakan dan uji sensitivitas. Pada fase ini pemberian antibiotic secara empirik yaitu : Ampisilin 200 300 mg /kgBB/hari dibagi dalam 6 dosis dan kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis pda neonatus 50 mg/kgBB/hari. Pada bayi dan anak pengobatan dilakukan selama 10 14 hari, dan neonatus selama 21 hari. Pemberian antibiotik menurut IDSA 2004 guidelines for management of bacterial meningitis adalah sebagai berikut :6

N meningitidis : penisilin, kloramfenikol, seftriakson selama 7 hari H influenzae : ampisilin, kloramfenikol, seftriakson, sefotaksim selama 7 hari S pneumoniae : penisilin, kloramfenikol, seftriakson, vankomisin selama 10-14 hari Bacil aerob Gram negatif : sefotaksim, septazidim, seftriakson selam 21 hari

Terapi Deksametason1 Studi eksperimen mendapatkan bahwa pada hewan dengan meningitis bakterial yang menggunakan deksametason menunjukkan perbaikan proses inflamasi, penurunan edema serebral dan tekanan intrakranial dan lebih sedikit didapatkan kerusakan otak.8 Dexametason diberikan dengan dosis 0,6 mg/kgBB/hari selama 4 hari.

22

Meningitis Tuberkulosis 4 Berdasarkan rekomendasi American Academic of Pediatrics 1994 diberikan 4 macam obat selama 2 bulan dilanjutkan dengan pemberian INH dan Rifampisin selama 10 bulan. Dasar pengobatan meningitis tuberkulosis adalah pemberian kombinasi obat antituberkulosa ditambah dengan kortikosteroid, pengobatan simptomatik bila terdapat kejang, koreksi dehidrasi akibat masukan makanan yang kurang atau muntah-muntah dan fisioterapi. Dosis obat anti-tuberkulosis (OAT) adalah sebagai berikut: 1. Isoniazid (INH) 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 300 mg/hari. 2. Rifampisin 10-20 mg/kgBB/hari dengan maksimum dosis 600 mg/hari. 3. Pirazinamid 20-40 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 2000 mg/hari. 4. Etambutol 15-25 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 2500 mg/hari. 5. Prednison 1-2 mg/kgBB/hari selama 2-3 minggu dilanjutkan dengan tappering off untuk menghindari terjadinya rebound phenomenon.

2.13

PENCEGAHAN

Meningitis Bakterial Melakukan imunisasi yang direkomendasikan tepat waktu dan sesuai jadwal merupakan pencegahan terbaik. Menjalani kebiasaan hidup sehat, seperti istirahat yang cukup, tidak kontak langsung dengan penderita lain juga dapat membantu. Meningitis Tuberkulosis Vaksiniasi BCG memberikan efek proteksi (hampir 64%) terhadap meningitis TB. Peningkatan berat badan dibandingkan umur berhubungan dengan penurunan resiko dari penyakit ini.

2.14

PROGNOSIS

Meningitis bakterial Prognosis pasien meningitis bakterial tergantung dari banyak faktor, antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. Umur pasien Jenis mikroorganisme Berat ringannya infeksi Lamanya sakit sebelum mendapat pengobatan Kepekaan bakteri terhadap antibiotic yang diberikan

23

Makin muda umur pasien makin jelek prognosisnya; pada bayi baru lahir yang menderita meningitis angka kematian masih tinggi. Infeksi yang disebabkan bakteri yang resisten terhadap antibiotik bersifat fatal. Dengan deteksi bakteri penyebab yang baik pengobatan antibiotik yang adekuat dan pengobatan suportif yang baik angka kematian dan kecacatan dapat diturunkan. Walaupun kematian dan kecacatan yang disebabkan oleh bakteri gram negatif masih sulit diturunkan, tetapi meningitis yang disebabkan oleh bakteri-bakteri seperti H.influenzae, pneumokok dan meningokok angka kematian dapat diturunkan dari 50-60% menjadi 20-25%. Insidens sequele Meningitis bakterialis 9-38%, karena itu pemeriksaan uji pendengaran harus segera dikerjakan setelah pulang, selain pemeriksaan klinis neurologis. Pemeriksaan penunjang lain disesuaikan dengan temuan klinis pada saat itu.1,9 Meningitis Tuberkulosis 4 Sebelum ditemukannya obat-obat anti-tuberkulosis, mortalitas meningitis tuberkulosis hampir 100%. Dengan obat-obat anti-tuberkulosis, mortalitas dapat diturunkan walaupun masih tinggi yaitu berkisar antara 10-20% kasus. Penyembuhan sempurna dapat juga terlihat. Gejala sisa masih tinggi pada anak yang selamat dari penyakit ini, terutama bila datang berobat dalam stadium lanjut. Gejala sisa yang sering didapati adalah gangguan fungsi mata dan pendengaran. Dapat pula dijumpai hemiparesis, retardasi mental dan kejang. Keterlibatan hipothalamus dan sisterna basalis dapat menyebabkan gejala endokrin. Saat permulaan pengobatan umumnya menentukan hasil pengobatan.

24

DAFTAR PUSTAKA
1. Saharso D, dkk. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Dalam : Soetomenggolo TS, Ismael S, penyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: BP IDAI; 1999. h. 40-6, 339-71 2. Sitorus MS. Sistem Ventrikel dan Liquor Cerebrospinal. Available from : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3546/1/anatomi-mega2.pdf. 20 Januari 2013 3. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Jakarta: Bagian Kesehatan Anak FKUI; 1985. h.558-65, 628-9. 4. Pudjiadi AH,dkk. Ed. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jilid 1. Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. h. 189-96. 5. Pusponegoro HD, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2004 : 200 208. 6. Muller ML, dkk. Pediatric Bacterial Meningitis. May 11th, 2011. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/961497-overview. Diakses 20 Januari 2013. 7. Anonymous. Meningitis.
th

Diakses

Centers

for

Disease

Control

and

Prevention.

Updated: August 6 , 2009 Available from : http://www.cdc.gov/meningitis/about/ prevention.html. Diakses 20 Januari 2013 8. El-Radhi AS, Carroll J, Klein N, Abbas A. Fever. Dalam: El-Radhi SA, Carroll J, Klein N, penyunting. Clinical manual of fever in children. Edisi ke-9. Berlin: Springer-Verlag; 2009.h.1-24. 9. Fisher RG, Boyce TG. Fever and shock syndrome. Dalam: Fisher RG, Boyce TG, penyunting. Moffets Pediatric infectious diseases: A problem-oriented approach. Edisi ke-4. New York: Lippincott William & Wilkins; 2005.h.318-73. 10. El-Radhi AS, Barry W. Thermometry in paediatric practice. Arch Dis Child 2006;91:351-6. 11. Avner JR. Acute Fever. Pediatr Rev 2009;30:5-13. 12. Del Bene VE. Temperature. Dalam: Walker HK, Hall WD, Hurst JW, penyunting. Clinical methods: The history, physical, and laboratory examinations. Edisi ke-3. :Butterworths;1990.h.990-3. 13. Powel KR. Fever. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007.h. 25

14. Cunha BA. The clinical significance of fever patterns. Inf Dis Clin North Am 1996;10:33-44 15. Woodward TE. The fever patterns as a diagnosis aid. Dalam: Mackowick PA, penyunting. Fever: Basic mechanisms and management. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott-Raven;1997.h.215-36

26

Anda mungkin juga menyukai

  • Case Anak Nayla
    Case Anak Nayla
    Dokumen11 halaman
    Case Anak Nayla
    Zulfikar Chaeruddin
    Belum ada peringkat
  • Case 4
    Case 4
    Dokumen61 halaman
    Case 4
    Zulfikar Chaeruddin
    Belum ada peringkat
  • Gizi Buruk - Ined
    Gizi Buruk - Ined
    Dokumen46 halaman
    Gizi Buruk - Ined
    Bahrun
    Belum ada peringkat
  • Tumbuh Kembang 2010
    Tumbuh Kembang 2010
    Dokumen48 halaman
    Tumbuh Kembang 2010
    Priyanka Dyah Setiorini
    Belum ada peringkat
  • JR Tifani
    JR Tifani
    Dokumen15 halaman
    JR Tifani
    Zulfikar Chaeruddin
    Belum ada peringkat
  • Analisis Kasus
    Analisis Kasus
    Dokumen3 halaman
    Analisis Kasus
    Zulfikar Chaeruddin
    Belum ada peringkat
  • Cover Obesitas
    Cover Obesitas
    Dokumen1 halaman
    Cover Obesitas
    Zulfikar Chaeruddin
    Belum ada peringkat
  • Cover CASE
    Cover CASE
    Dokumen1 halaman
    Cover CASE
    Zulfikar Chaeruddin
    Belum ada peringkat
  • Absensi Anak
    Absensi Anak
    Dokumen11 halaman
    Absensi Anak
    Zulfikar Chaeruddin
    Belum ada peringkat
  • Gizi Buruk - Ined
    Gizi Buruk - Ined
    Dokumen46 halaman
    Gizi Buruk - Ined
    Bahrun
    Belum ada peringkat
  • Presentasi Kasus Omsk
    Presentasi Kasus Omsk
    Dokumen20 halaman
    Presentasi Kasus Omsk
    Ridwan Irwansyah Nurwidyanto
    Belum ada peringkat
  • Cover, Daftar Isi Dan Pengantar SIM Residensi
    Cover, Daftar Isi Dan Pengantar SIM Residensi
    Dokumen5 halaman
    Cover, Daftar Isi Dan Pengantar SIM Residensi
    Zulfikar Chaeruddin
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar Poliomyelitis
    Kata Pengantar Poliomyelitis
    Dokumen4 halaman
    Kata Pengantar Poliomyelitis
    Zulfikar Chaeruddin
    Belum ada peringkat
  • Sistem Saraf Otonom
    Sistem Saraf Otonom
    Dokumen16 halaman
    Sistem Saraf Otonom
    Zulfikar Chaeruddin
    Belum ada peringkat
  • Another Power Point !
    Another Power Point !
    Dokumen37 halaman
    Another Power Point !
    Zulfikar Chaeruddin
    Belum ada peringkat
  • Sel
    Sel
    Dokumen43 halaman
    Sel
    Zulfikar Chaeruddin
    Belum ada peringkat
  • Hubungan Obesitas Dengan Onkologi
    Hubungan Obesitas Dengan Onkologi
    Dokumen12 halaman
    Hubungan Obesitas Dengan Onkologi
    Zulfikar Chaeruddin
    Belum ada peringkat
  • Biodata Abk AMRI YAHYA
    Biodata Abk AMRI YAHYA
    Dokumen2 halaman
    Biodata Abk AMRI YAHYA
    Zulfikar Chaeruddin
    Belum ada peringkat
  • P.P Sist. Reproduksi
    P.P Sist. Reproduksi
    Dokumen21 halaman
    P.P Sist. Reproduksi
    Zulfikar Chaeruddin
    Belum ada peringkat
  • Sistim Reproduksi
    Sistim Reproduksi
    Dokumen31 halaman
    Sistim Reproduksi
    Zulfikar Chaeruddin
    Belum ada peringkat
  • PPGB 2005 Ratna Akbari Ganie
    PPGB 2005 Ratna Akbari Ganie
    Dokumen45 halaman
    PPGB 2005 Ratna Akbari Ganie
    Yenny Maharani
    Belum ada peringkat
  • Cover Case
    Cover Case
    Dokumen1 halaman
    Cover Case
    Zulfikar Chaeruddin
    Belum ada peringkat
  • Tugas K. BEDAH
    Tugas K. BEDAH
    Dokumen2 halaman
    Tugas K. BEDAH
    Zulfikar Chaeruddin
    Belum ada peringkat
  • Soal
    Soal
    Dokumen8 halaman
    Soal
    Zulfikar Chaeruddin
    Belum ada peringkat
  • Penyuluhan
    Penyuluhan
    Dokumen22 halaman
    Penyuluhan
    Zulfikar Chaeruddin
    Belum ada peringkat
  • Bab II VI
    Bab II VI
    Dokumen21 halaman
    Bab II VI
    Zulfikar Chaeruddin
    Belum ada peringkat
  • Viral Infection 1
    Viral Infection 1
    Dokumen34 halaman
    Viral Infection 1
    Zulfikar Chaeruddin
    Belum ada peringkat
  • Infeksi Virus 1
    Infeksi Virus 1
    Dokumen22 halaman
    Infeksi Virus 1
    Zulfikar Chaeruddin
    Belum ada peringkat
  • Infeksi Virus
    Infeksi Virus
    Dokumen5 halaman
    Infeksi Virus
    cynjes
    Belum ada peringkat