Anda di halaman 1dari 32

BAB I STUDI KASUS PERTAMBANGAN EMAS 1.

1 PT Freeport Indonesia Operasi pertambangan PTFI didasarkan pada Kontrak Karya dengan Pemerintah Indonesia pada tahun 1991 dengan wilayah Kontrak Karya (Gabungan daerah Kontrak Karya A dan daerah Proyek Kontrak Karya) yang memanjang dari punggung pegunungan Jayawijaya di bagian utara (dekat dengan Puncak Jaya dan Carstenz Glacier) sampai ke laut Arafura di bagian selatan. Wilayah Kontrak Karya tersebut terletak berdekatan dengan Taman Nasional Lorentz di bagian timurnya yang terdaftar di UNESCO sebagai salah satu warisan dunia. Luas wilayah kontrak karya adalah sekitar 292.900 hektar yang di dalamnya juga mencakup kota Timika (ibukota Kabupaten Mimika), dan beberapa pemukiman dan desa baik di dataran tinggi maupundataran rendah. Kegiatan eksplorasi yang telah dilakukan sejak ditandatanganinya kontrak karya pertama tahun 1967 telah menemukan cadangan tembaga yang juga mengandung emas dan perak yang potensial untuk ditambang. Produksi bijih dimulai pada tahun 1972 dengan kapasitas produksi sebesar 7.500 ton/hari. Biji hasil penambangan diolah sehingga menghasilkan konsentrat yang selanjutnya dialirkan melalui jaringan pipa ke areal pelabuhan sejauh kurang lebih 115 km ke arah pantai selatan. Metode penambangan yang diterapkan adalah metode tambang terbuka dan tambang bawah tanah. Pada tahun 1988 ditemukan badan bijih Grasberg yang merupakan salah satu badan bijih tembaga, emas dan perak terbesar di dunia. Tambang terbuka Grasberg mulai berproduksi pada tahun 1990 dan akan beroperasi sampai tahun 2015. Tambang bawah tanah yang sedang beroperasi saat ini adalah tambang DOZ (Deep Ore Zone) dan Big Gossan. Beberapa tambang bawah tanah, seperti Deep MLZ, Grasberg Block Cave dan Kucing Liar sedang dalam tahap

pengembangan dan nantinya akan menjadi pusat produksi bijih utama PTFI di masa depan.Kegiatan eksplorasi terus berlanjut dengan tujuan untuk terus memperluas cadangan. Untuk menunjang kegiatan pertambangan yang berskala dunia, PTFI telah membangun berbagai sarana dan prasarana, baik yang langsung maupun tidak langsung menunjang operasi pertambangan. Penambangan Hingga tahun 1987, jumlah bijih yang diproduksi dan diolah di pabrik pengolahan rata-rata adalah 16.400 ton per hari dengan jumlah cadangan bijih sebesar 100 juta ton. Pada tahun 1988 cebakan tembaga, emas dan perak Grasberg,yang merupakan salah satu badan bijih tembaga, emas dan perak terbesar di dunia,ditemukan. Saat ini jumlah produksi bijih rata-rata mencapai 230.000 ton per hari dengan jumlah cadangan bijih terbukti (proven) dan terkira (probable) mencapai sekitar 2,6 milyar ton. Sesuai dengan kondisi cebakan tembaga emas, sistem penambangan yang diterapkan saat ini adalah tambang terbuka (open pit) di Grasberg dan tambang bawah tanah di DOZ dan Big Gossan. Metode penambangan di DOZ, yang juga telah diterapkan di tambang GBT dan IOZ serta akan diterapkan di Grasberg Block Cave, Deep MLZ dan Kucing Liar adalah metode block cave. Sementara cebakan di Big Gossan ditambang dengan metode stope & fill mengingat bentuk dari cebakan serta keberadaan pabrik pengolahan di permukaan. Sejak tahun 1988 produksi bijih yang diolah dari waktu ke waktu meningkat secara tajam. Pada tahun 2010 produksi bijih dari tambang Grasberg rata-rata mencapai 145.529 ton/hari dan dari tambang DOZ rata-rata mencapai 80.367 ton/hari, sehingga produksi bijih total rata-rata mencapai 225.896 ton/hari. Pada tahun 2011 direncanakan jumlah bijih rata-rata yang akan ditambang di tambang terbuka

Grasberg mencapai 154.070 ton/hari dan di tambang bawah tanah sebesar 81.485 ton/hari sehingga total mencapai rata-rata 235.555 ton/hari. Kapasitas pengolahan bijih maksimum yang telah mendapat ijin dari pemerintah adalah sebesar 300.000 ton/ hari. Secara keseluruhan pada tahun 2011 operasi tambang terbuka Grasberg akan memproduksi 54,37 juta ton bijih dan 181,74 juta ton batuan penutup (waste rock)atau nisbah batuan penutup dan bijih (waste/ore atau strip ratio) sebesar 3,34 Direncanakan operasi penambangan di tambang terbuka Grasberg akan berakhir pada tahun 2016 dan selanjutnya produksi bijih akan sepenuhnya dihasilkan dari tambang bawah tanah. Saat ini operasi penambangan bawah tanah dilakukan di tambang DOZ (Deep Ore Zone). Berbagai fasilitas untuk menunjang peningkatan produksi dari tambang bawah tanah (Common Infrastructure CIP) telah dan sedang dibangun. Proyek pengembangan tambang bawah tanah yang sedang dilakukan adalah: Tambang Big Gossan yang sudah mulai berproduksi pada tahun 2011 dan akan mencapai kapasitas produksi puncak pada tahun 2012 Tambang Deep Mill Level Zone (Deep MLZ) yang akan mencapai puncak produksi pada tahun 2021 Tambang Grasberg Block Cave yang akan mencapai puncak produksi pada tahun 2022 Gambaran strategi rencana jangka panjang produksi bijih PTFI dapat dilihat pada Gambar 7.1.

Gambar 7.1. Strategi rencana jangka panjang produksi bijih PTFI Baik tambang terbuka Grasberg maupun tambang bawah tanah DOZ dilengkapi dengan fasilitas peremukan bijih (crusher) dan pengangkutan bijih hasil peremukan ke stockpile di pabrik pengolahan (mill). Stockpile Amole menampungbijih yang berasal dari tambang Grasberg sementara stockpile MLA menampungbijih dari tambang bawah tanah (DOZ). Pengolahan Bijih dan Pengelolaan Tailing Proses pemisahan konsentrat dan tailing dilakukan di pabrik pengolahan melalui metode flotasi yang merupakan proses pemisahan yang didasarkan pada sifat fisik yaitu sifat permukaan mineral. Terdapat 4 (empat) concentrator, yaitu concentrator #1, #2, #3 dan #4 yang dibangun secara bertahap untuk menunjang kapasitas penambangan dan cadangan. Aliran proses di pabrik pengolahan (concentrator) secara skematik dapat dilihat pada Gambar 7.2.

Gambar 7.2 Aliran Proses Pengolahan Secara Umum Bijih yang telah mengalami peremukan yang ditampung pada stockpile diumpankan ke Semi-Autogenous Grinding (SAG) mills dan ball mills untuk digerus hingga mencapai suatu ukuran fraksi yang memungkinkan proses pemisahan mineral perak, emas dan tembaga. Setelah proses penggerusan, bijih dalam bentuk lumpur (slurry) dialirkan ke serangkaian sel flotasi. Pada sel flotasi dilakukan penambahan reagen (collectors dan frothers) yang antara lain berfungsi untuk menstabilkan gelembung udara sehingga terjadi proses penempelan mineral berharga yang mengandung tembaga, emas dan perak sehingga terapung. Perolehan emas meningkat dengan penggunaan metode pemisahan gravitasi. Partikel batu yang tersisa akan mengendap membentuk tailing. Konsentrat yang diperoleh dari sel flotasi kemudian dialirkan kedalam thickener hingga mencapai kandungan padatan sekitar 65% dan dimasukkan ke dalam

temporary concentrate tanks. Selanjutnya konsentrat dipompa menuju ke lokasi pelabuhan sejauh kurang lebih 115 km melalui 3 jaringan pipa yang terdiri atas satu jaringan pipa berdiameter 5 inci dan dua jaringan pipa berdiameter 6 inci. Kapasitas pengangkutan konsentrat adalah sebesar 9600 ton/hari. Di lokasi pelabuhan, konsentrat dikeringkan atau dikurangi kadar airnya hingga tinggal 9% pada instalasi pengeringan (dewatering plant) yang sesuai untuk dikapalkan menuju pabrik peleburan (smelter) di Indonesia dan berbagai penjuru dunia. Tabel 2.1. menunjukkan data produksi bijih dan konsentrat per tahun selama kurun waktu tahun 2006 sampai tahun 2010. Tabel 2.1 Data Produksi Bijih dan Konsentrat Per Tahun 2006-2010

Tailing dialirkan ke thickener untuk memperoleh kembali air yang akan digunakan dalam pabrik pengolahan. Sekitar 50% air yang digunakan untuk proses pengolahan berasal dari air daur ulang tersebut. Underflow dari thickener dialirkan ke daerah pengendapan tailing melalui aliran sungai yang hulunya berasal dari lokasi pabrik pengolahan. Modified Ajkwa Deposition Area (ModADA) yang mencakup areal seluas 230 km2 adalah daerah pengelolaan tailing di daratan yang menerima aliran tailing dari

dataran tinggi melalui sungai Aghawagon dan Otomona. Batas bagian utara dari ModADA adalah jembatan Otomona sementara batas di bagian selatan adalah Kelapa Lima dan Pandan Lima. Pada tahun 2005 aliran sungai Ajkwa yang tadinya bergabung dengan aliran tailing dipisahkan dengan membangun tanggul barat baru. Saat ini daerah pengendapan tailing dibatasi oleh dua tanggul, yaitu tanggul barat baru dan tanggul timur. Dengan semakin banyaknya tailing yang mengendap, maka tinggi tanggul harus ditingkatkan untuk memenuhi kriteria freeboard atau tinggi minimal permukaan endapan tailing dengan permukaan tanggul. Oleh karena itu peningkatan tinggi tanggul secara terus menerus dilakukan menggunakan material galian (kerikil dan pasir) dari kuari yang berlokasi di bagian timur ModADA. Total jumlah material yang telah digunakan untuk konstruksi tanggul sampai tahun 2010 adalah 45,8 juta m3 terdiri atas 25,4 juta m3 pada tanggul barat, 19,5 juta m3pada tanggul timur, 0,79 juta m3untuk gabion groundsill di MA117 serta 2,70 juta m3 untuk pekerjaan lain (termasuk perbaikan jalan, dan keperluan pengembangan dan perawatan kuari). Fasilitas Penunjang Berbagai fasilitas penunjang penting antara lain: Sarana transportasi berupa jalan dari areal pelabuhan sampai ke tambang Grasberg, termasuk beberapa terowongan Fasilitas perumahan dan akomodasi bagi para pekerja, yang tersebar di Kuala Kencana, Tembagapura, Hidden Valley, Ridge camp Sarana pembangkit listrik yang terdiri atas satu Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menggunakan batubara dan beberapa Pembangkit/Generator Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dan jaringan transmisi listrik Sarana pergudangan dan fasilitas penyimpanan bahan bakar

Fasilitas perkantoran Fasilitas perbengkelan Rumah sakit, klinik pengobatan dan sekolah Laboratorium lingkungan yang lengkap dan terakreditasi Bandar udara (airport) Fasilitas bongkar muat kargo di laut lepas, penunjang logistik, dan pelayanan distribusi dan pergudangan kargo Fasilitas perbaikan dan perawatan di laut lepas Fasilitas penanganan limbah berbahaya dan tidak berbahaya

Ketika awal dimulainya kegiatan pertambangan PTFI di Papua (sebelumnya Irian Jaya) pada 1972, tingkat produksi bijih adalah 7.500 ton/hari dan populasi pekerja di Tembagapura kurang dari 1.000 orang. Pada awalnya tidak terdapat pemukiman asli dekat dengan daerah Timika. Saat ini, PTFI dan kontraktornya memiliki populasi pekerja mencapai 21.000 orang yang bermukim di Tembagapura, Kuala Kencana dan sekitarnya. Jumlah penduduk diTimika dan sekitarnya dilaporkan mencapai sekitar 150.000 orang. Perkembangan skala operasi pertambangan yang signifikan terutama sejak dikembangkannya tambang terbuka Grasberg mengakibatkan semakin rumitnya persoalan manajemen di berbagai aspek.Pada tahun 1993 manajemen PTFI membuat keputusan strategis untuk lebih fokus pada inti bisnisnya yaitupenambangan dan pengolahan bijih dan mengurangi beban pengelolaan berbagai kegiatan penunjang. Selanjutnya PTFI melakukan divestasi berbagai aset dari berbagai pelayanan penunjang seperti penerbangan, operasi pembangkit listrik, logistik, kelautan, operasi peralatan konstruksi, kesehatan, perumahan dan katering. Fasilitas-fasilitas tersebut saat ini berada dibawah kepemilikan dan pengelolaan dari perusahaan swasta yang terpisah dari PTFI. Semua perusahaan swastatersebut terikat kontrak dengan PTFI dan memiliki

kewajiban untuk mematuhi semua kebijakan lingkungan PTFI dan tentu juga peraturan perundangundangan dan hukum Indonesia. Pengelolaan Air Asam Batuan Acid rock drainage (ARD) merupakan masalah lingkungan yang penting untuk penambangan bijih yang mengandung sulfida seperti Grasberg. Baik overburden maupun tailing dikelola untuk mencegah atau mengumpulkan dan mengolahARD. Upaya pencegahan pembentukan air asam tambang di tambang Grasberg dilakukan dengan mengidentifikasi berbagai tipe batuan berdasarkan karakteristik geokimianya. Karakterisasi batuan didasarkan pada kemampuan batuan untuk membangkitkan asam atau untuk menetralkan asam berdasarkan uji statik seperti Net Acid Generation (NAG), Maximum Potential of Acidity (MPA) dan Acid Neutralizing Capacity (ANC). Terdapat 7 (tujuh) tipe batuan pada batuan penutup (overburden) di tambang Grasberg, yaitu : Tipe 1 (hijau) dolomite) Tipe 2 (hijau) Tipe 3 (biru) Tipe 4 (biru) Tipe 5 (merah) Tipe 6 (merah) Tipe 7 (hitam) : Batuan bukan pembentuk asam : Batuan pembentuk asam dengan kapasitas rendah : Batuan pembentuk asam dengan kapasitas menengah : Batuan pembentuk asam dengan kapasitas cukup tinggi : Batuan pembentuk asam dengan kapasitas tinggi : Batuan pembentuk asam dengan kapasitas sangat tinggi : Batuan yang dapat menetralkan asam (limestone dan

Pada dasarnya proses pengolahan bijih dengan cara flotasi dilakukan pada kondisi basa. Untuk mendapatkan kondisi tersebut ditambahkan kapur pada saat awal dari proses pengolahan. Pengendalian potensi pembentukan air asam tambang pada tailing dilakukan dengan memonitor rasio antara ANC dan MPA pada aliran tailing, baik pada saat keluar dari pabrik pengolahan maupun pada saat memasuki tempat pengendapan ModADA. ANC/MPA minimal yang dijadikan acuan yang dapat mencegah pembentukan air asam tambang adalah 1,5 (kapasitas netralisasi 50% lebih besar dari kapasitas pembentukan asam). Data pengelolaan air asam tambang maupun geokimia tailing dari tahun 2008 hingga 2010 dapat dilihat pada Tabel 7.2. Tabel 2.2 Pengelolaan Air Asam Tambang Tahun 2008-2010

Pengelolaan Limbah Sebagian besar sarana-prasarana yang digunakan dalam pengelolaan limbah di PTFI adalah berinduk pada group Water, Sewage & Waste (WSW) di bawah Facilities Management (FM) Department. Gambar 2.3 dan Gambar 2.4 menggambarkan pembagian limbah yang dihasilkan di PTFI. Grup WSW mengoperasikan 3 buah landfill, 1 buah leachate treatmen plant (LTP), 10 buah sewage treatment plants (STP), 2 pallet shredder, dan area penyimpanan (storage) limbah B3, serta 10 unit water supply plants (WSP). Kualitas Air Pemantauan kualitas air di wilayah kerja PTFI dillakukan pada areal yang luas, yang mencakup dataran tinggi maupun dataran rendah. Secara umum persebaran titiktitik pemantauan pada tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 2.5. Pemantauan kandungan logam terlarut dan parameter standar lainnya seperti pH dan TSS (Total Suspended Solid) dilakukan di semua lokasi pemantauan air sungai di dataran tinggi dan dataran rendah. Pemantauan di daerah muara dilakukan pada titik pemantauan EM270 (daerah muara Ajkwa yang dipengaruhi tailing secara langsung) dan titik pemantauan EM430 (daerah Muara Minajerwi yang tidak dipengaruhi oleh tailing sejak awal 1997).

Tabel 2.3 Persebaran Titik-Titik Pemantauan Pada Tahun 2010

BAB IV DAMPAK LINGKUNGAN PERTAMBANGAN EMAS Kegiatan penambangan emas memiliki dampak negatif yang tidak sedikit terhadap lingkungan. Secara umum, kegiatan penambangan emas ini dapat dibagi menjadi dua jenis berdasarkan skala kegiatannya, yaitu skala besar dan skala kecil 4.1 Pembuangan Tailing Melalui Sungai PT Freeport Indonesia (PT-FI) adalah perusahaan tambang tembaga-emas yang melakukan kegiatan penambangannya di Papua Barat. Tambang PT-FI menghasilkan dan membuang 200.000 ton tailing per hari (lebih dari 80 juta ton per tahun) (Earthworks and MiningWatch Canada, 2012). Tambang ini diperkirakan akan menghasilkan tailing lebih dari 3 milyar ton sebelum tambang ditutup. Tailing tersebut mengandung tembaga, arsen, kadmium, dan selenium dalam konsentrasi tinggi (Earthworks and MiningWatch Canada, 2012). Namun demikian, PT-FI tidak menggunakan sianida maupun merkuri pada proses pengolahannya. Reagen flotasi yang digunakan dalam proses flotasi untuk memisahkan konsentrat dari bijih mengalami penguapan dengan cepat dan tidak dapat dideteksi bahkan pada jarak dekat dari pabrik pengolahan. PT-FI memanfaatkan sebuah daerah aliran sungai untuk mengalirkan tailing menuju daerah peruntukan dikawasan dataran rendah dan pesisir yang dinamakan Daerah Pengendapan Modifikasi. Daerah pengendapan tersebut adalah bagian dari bantaran banjir sungai yang saat ini mencakup luas sekitar 235 km2, yang merupakan sistem yang direkayasa dan dikelola bagi pengendapan dan pengendalian tailing. Akan tetapi, tailing tersebut telah mengubur 166 km2 hutan produktif dan wetland, dan beberapa jenis ikan telah punah (Earthworks and MiningWatch Canada, 2012). Tailing ini juga

mengontaminasi estuari dan Laut Arafura dan kemungkinan juga Taman Nasional Lorentz, yang merupakan area warisan dunia (World Heritage site).

Gambar 4.1 Lokasi Tambang PT Freeport Indonesia (Sumber: Earthworks and MiningWatch Canada, 2012)

Sistem yang berlaku saat ini yang memanfaatkan aliran sungai untuk mengalirkan tailing dari daerah pegunungan yang tinggi menuju lokasi pengendapan di daerah dataran rendah juga memungkinkan aliran air permukaan dengan kandungan alami alkali yang tinggi untuk bercampur dengan tailing pada aliran sungai, sehingga terjadi meningkatkan daya penyangga (buffering) dan mengurangi potensi pembentukan asam, yang menjadi pertimbangan lingkungan yang cukup berarti. Akan tetapi tumpukan batuan limbah (waste rock dumps) masih ada yang menimbulkan air asam batuan (acid rock drainage) yang berpotensi merusak danau dan hutan (Earthworks and MiningWatch Canada, 2012).

Gambar 4.2 Aliran Sungai Ajkwa (sumber: PT Freeport Indonesia, 2006)

4.2 Pembuangan Tailing melalui laut dalam Sejak tahun 2000, tambang tembaga-emas Batu Hijau di Pulau Sumbawa telah membuang tailing ke Teluk Senunu (Samudra Hindia) melalui jalur pipa sepanjang 3.4 km offshore ke kedalaman 120 meter (Earthworks and MiningWatch Canada, 2012). Tambang ini dioperasikan oleh US Newmont Mining Corp (PT Newmont Nusa Tenggara). Dampak yang ditimbulkan akibat pembuangan tailing ke laut, antara lain: 1. Penumpukan tailing di area terumbu karang apabila terjadi kerusakan pipa (setelah 13 bulan beroperasi, terdapat jalur pipa yang rusak); 2. Penurunan populasi ikan karena pencemaran air antara tahun 2006 2010 akibat dari pembuangan lebih dari 40 juta ton tailing ke laut setiap tahun oleh PT Newmont Nusa Tenggara (WALHI dalam Earthworks and MiningWatch Canada, 2012). Karena adanya kepedulian akan kemungkinan terjadinya kontaminasi, beberapa kelompok masyarakat melakukan protes ke perusahaan tersebut dan meminta kompensasi pencemaran dan pemerintah daerah telah meletakkan peraturan yang lebih ketat mengenai dumping. Pada bulan Mei 2011, pemerintah lokal Sumbawa Barat meminta kepada pemerintah Indonesia untuk tidak memperbarui izin pembuangan tailing ke laut tersebut. Akan tetapi, pemerintah Indonesia telah menyetujui izin dengan beberapa kondisi, dimana sekarang telah banyak menuai banyak protes dari berbagai kalangan masyarakat.

Gambar 4.3 Lokasi Tambang PT Newmont Nusa Tenggara (Sumber: Earthworks and MiningWatch Canada, 2012)

Tambang ini juga dikritik karena adanya tumpahan tailing dari pipa di tanah, merusak hutan hujan khususnya area pelestarian burung, mencari izin untuk memperluas tambang dan tumpukan batuan limbah (waste rock pile) lebih dari 70 hektar ke dalam hutan lindung dan area kunci keanekaragaman hayati, serta dinilai telah gagal melaporkan kesalahan pit dan biaya pembersihan untuk pemilik saham, dan adanya eksplorasi dan rencana ekspansi ke Elang/Dodo Rinti (Sumber: Earthworks and MiningWatch Canada, 2012). 4.3 Kegiatan Penambangan Emas Skala Kecil Di Indonesia, dalam lima tahun terakhir telah terjadi peningkatan dua kali lipat dari jumlah hotspot ASGM (Artisanal Small-scale Gold Mining) atau sektor pertambangan rakyat. Area pertambangan emas yang ada umumnya terletak di tanah milik pribadi yang dikelola oleh sebuah kelompok penambang, maupun masyarakat umum. Di tahun 2010, terdapat sekitar 900 hotspot, yang mencakup sekitar 250.000 penambang, termasuk di dalam jumlah tersebut adalah para perempuan dan anakanak kecil di bawah umur (Bali Fokus, 2012). Sekitar 1.000.000 populasi menggantungkan keberlangsungan kehidupan mereka dari perputaran ekonomi bisnis tambang emas yang eksploitatif ini (Ismawati, 2010). Dari berbagai literatur diperkirakan tiap petambang dalam sehari dapat menghasilkan sekitar 10 gram emas (Bali Fokus, 2012). Menurut laporan dari Bali Fokus (2012), penambang, pekerja gelundung/tromol dan masyarakat di sekitar dan di hilir kegiatan pemrosesan emas adalah kelompok yang paling dirugikan. Penambang dan pekerja emas hanya mendapat upah harian dan tidak dapat jaminan kesehatan. Kalau sakit atau melemah akibat keracunan merkuri, atau meninggal akibat runtuhan dan longsor saat menggali, mereka dikembalikan langsung ke kampungnya. Anak-anak dan perempuan usia produktif merupakan kelompok yang rawan. Pencemaran merkuri melalui udara, tanah dan

air menutup akses dan hak-hak masyarakat untuk hidup di lingkungan yang sehat dan berkelanjutan. Banyak lahan pertanian, hutan dan perikanan yang terlantar dan tercemar akibat kegiatan penambangan emas skala kecil yang meraja lela.

Gambar 4.4 Penambangan Emas Skala Kecil (Sumber: Squidoo, 2012)

Proses penggilingan yang dilakukan bersamaan dengan proses amalgamasi menyebabkan proses pencucian merkuri dalam ampas terbawa masuk sungai. Di dalam air, merkuri dapat berubah menjadi senyawa organik metil merkuri atau fenil merkuri akibat proses dekomposisi oleh bakteri. Selanjutnya senyawa organik tersebut akan terserap oleh jasad renik dan masuk dalam rantai makanan sehingga terjadi akumulasi dan biomagnifikasi dalam tubuh hewan air seperti ikan dan kerang pada akhirnya berpotensi memasuki tubuh manusia melalui makanan yang dikonsumsi. Di sisi lain, pembeli dan pedagang emas serta pedagang merkuri diuntungkan oleh tingginya harga emas di pasar. Pertemuan negosiasi merkuri keempat yang baru usai di Uruguay, menghasilkan kesepakatan yang akan melegitimasi pencemaran merkuri di tambang emas skala kecil. UNEP, negara-negara Amerika Latin, beberapa negara Afrika dan para pedagang emas dan merkuri berdalih bahwa kegiatan tambang emas skala kecil merupakan contoh nyata Green Economy yang harus didukung termasuk melalui pasokan merkuri. Kebijakan ini dinilai merupakan

kebijakan yang salah kaprah karena merkuri adalah logam berat yang sangat berbahaya, terutama apabila sudah memasuki rantai makanan dan memapari makhluk hidup sehingga terjadi bioakumulasi. Penyakit Minamata di Jepang merupakan salah satu contoh pengalaman buruk akibat tidak terkelolanya merkuri dengan baik. Para pendukung merkuri harus bertanggung jawab atas pembersihan lahan yang terkontaminasi dan memberi jaminan kesehatan jangka panjang pada penambang dan masyarakat. Dalam setiap gram emas yang dihasilkan, terdapat sekitar 1-3 gram merkuri yang terlepas ke lingkungan dari proses amalgamasi konsentrat (Telmer, 2007). Namun demikian praktek yang familiar dilakukan adalah Whole Ore Amalgamation (WOA) yang melepaskan merkuri lebih banyak ke udara, sampai mencapai 20-50 gram merkuri per gram emas (Telmer, 2007). Pengenalan penggunaan retort dan fume hood di sektor pertambangan emas rakyat telah dilakukan oleh beberapa organisasi. Namun demikian, intervensi teknis ini harus digabungkan dengan insentif ekonomi dan kerangka peraturan yang komprehensif agar dapat berjalan lebih efektif. Beberapa penelitian yang dilakukan di Jambi pada 1977, Kalimantan Barat (2000), Sulawesi Utara (2002), Jawa Barat (2003) dan Palu, Sulawesi Tengah (2008, 2010) mengungkapkan konsentrasi merkuri yang cukup tinggi di sungai, tanah dan ikan, menimbulkan pengaruh negatif terhadap kesehatan masyarakat dan khususnya para penambang (Bali Fokus, 2012). Di Sulawesi Utara, diestimasikan sebanyak 200 ton merkuri digunakan setiap tahun untuk mendapatkan emas dari pertambangan illegal (Kambey dkk, 2001). Dalam penambangan emas rakyat dilakukan di Sulawesi Utara, emas dipisahkan dari bijih dengan menggunakan merkuri, yang membentuk amalgam dengan emas. Semua proses dilakukan dengan tingkat pengetahuan teknis dan keterampilan yang rendah, tidak ada regulasi, dan dengan mengabaikan keselamatan, kesehatan manusia dan lingkungan. Menurut penelitian Kambeydkk (2001), ikan yang berasal

dari lokasi pertambangan illegal mengandung 30 kali lipat lebih banyak kandungan merkuri daripada ikan yang berada di lokasi control. Kandungan merkuri dalam jaringan ikan mengandung tingkat merkuri 4 kali lebih tinggi daripada yang direkomendasikan oleh WHO (World Health Organization) untuk pembatasan konsumsi, dan seringkali 2 kali lipat lebih tinggi untuk total pembatasan pada konsumsi ikan. Metil merkuri yang merupakan salah satu bentuk merkuri organik yang berbahaya karena dapat memapari manusia secara langsung. Apabila ikan yang memiliki kandungan metil-merkuri yang tinggi dikonsumsi, kandungan merkuri tersebut dapat terakumulasi dalam ASI (Air Susu Ibu) dan merupakan sumber paparan terhadap balita dan anak. Berdasarkan penelitian Bose-OReilly dkk (2008), 14 dari 46 sampel ASI mengandung merkuri melebihi 4 g/l dimana US-EPA (United States Environmental Protection Agency) merekomendasikan dosis referensi sebesar 0.3 g inorganik merkuri/kg berat badan/hari [United States Environmental Protection Agency, 1997. Volume V: Health Effects of Mercury and Mercury Compounds. Study Report EPA-452/R-97-007: US EPA]. Dua puluh dua dari 46 anak yang tinggal di daerah pertambangan memiliki serapan total merkuri terhitung lebih tinggi, yaitu paling tinggi adalah 127 g lebih besar dari nilai yang direkomendasikan dari maksimum serapan (uptake) merkuri inorganik (BoseOReilly dkk, 2008). Penelitian lain di Tatelu (Sulawesi Utara) dan Galangan (Katingan, Kalimantan Tengah) juga menunjukkan adanya konsentrasi merkuri yang tinggi di dalam ikan (Castilhos dkk, 2006). Di Tatelu, 154 spesimen ikan dari 10 spesies air tawar dan 5 spesies ikan laut dianalisis. Konsentrasi rata-rata merkuri total dalam otot ikan air tawar dari daerah ini adalah 0,58 0,44 g / g, dengan lebih dari 45% ikan memiliki tingkat Hg di atas pedoman WHO untuk konsumsi manusia dari 0,5 g / g. Di Galangan, di mana 263 spesimen ikan dari 25 spesies dikumpulkan, merkuri total

dalam otot rata-rata 0,25 0,69 g / g, kurang dari 10% ikan dari Galangan melebihi pedoman WHO. Dengan menggunakan model single-kompartemen untuk memperkirakan tingkat merkuri dalam darah dan rambut dari dosis asupan harian, sebuah sub-wilayah di Galangan menunjukkan tingkat tertinggi, lebih tinggi dari batas atas pedoman untuk wanita hamil, tapi masih lebih rendah dari ambang batas yang berhubungan dengan efek klinis yang diamati (Castilhos dkk, 2006). Berdasarkan penelitian lain di sekitar daerah yang sama, yaitu Galangan, Kalimantan Tengah, dan Talawaan, Sulawesi Utara, paparan merkuri dari seluruh masyarakat tercermin dalam tingkat merkuri yang meningkat dalam urin, dan gejala kerusakan otak seperti gangguan ataksia, tremor dan gerakan. Di Sulawesi 55% dan di Kalimantan 62% dari amalgam-smeltertelah didiagnosis keracunan merkuri (sesuai dengan definisi UNIDO (Veiga dan Baker, 2004)) serta pengolah mineral dan masyarakat umum di daerah pertambangan juga teracuni untuk persentase yang tinggi (Bose-O'Reilly dkk, 2010). Sedimen laut dangkal dan terumbu karang karang dari Buyat-Ratototok distrik Sulawesi Utara, Indonesia, yang dipengaruhi oleh pembuangan tailing bawah laut dari industri pertambangan emas dan pertambangan skala kecil yang menggunakan merkuri amalgamasi. Kerangka terumbu menunjukkan konsentrasi silikon, mangan, besi, tembaga, kromium, kobalt, antimon, dan talium berbeda sesuai dengan kedekatan dengan sumber, tetapi konsentrasi arsenik di karang tidak berbeda nyata antara situs (Edinger dkk, 2008). Selain paparan merkuri terhadap manusia dari makanan, pencemaran merkuri juga dapat disebabkan oleh merkuri yang terdispersi di udara (atmosfer). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kono dkk (2012), level merkuri di atmosfer diestimasi dengan menggunakan pakis epifit asli (native epiphytic fern) Asplenium nidus complex (A. nidus) sebagai biomonitor, yang mengestimasi persebaran merkuri di atmosfer yang dilepaskan selama penambangan. Berdasarkan penelitian

ini, konsentrasi merkuri di A. nidus lebih tinggi di desa yang dekat dengan penambangan (5.4 103 1,6 103 ng g-1) dibandingkan di lokasi kontrol (70 30 ng g-1). Distribusi merkuri di A. nidus mirip dengan yang di atmosfer, sebuah hubungan yang signifikan diamati antara konsentrasi merkuri di udara dan di A. nidus (r = 0,895, P <0,001, n = 14). Penelitian terakhir yang dilakukan di Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, dan sekitarnya, mengungkapkan tingginya kandungan merkuri di udara, antara 20 ng/m3 sampai dengan 40.000 ng/m3 menimbulkan ancaman serius terhadap kesehatan penduduk yang bertempat tinggal di wilayah hilir (Serikawa, 2011). Kandungan merkuri dalam perairan dan sedimen di beberapa wilayah pertambangan emas rakyat dilaporkan berkisar antara 0,6 ppm sampai dengan 4 ppm, lebih tinggi 600-3000 dari standar WHO (0,001 ppm) (Mappiratu, 2010 dalam Bali Fokus, 2012).

4.4 Degradasi Kualitas Tanah Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ahyani (2011) di Bombana, Sulawesi Tenggara menunjukkan tingkat kerusakan tanah di lokasi penambangan emas mengalami tingkat kerusakan berat dan menimbulkan dampak fisik lingkungan seperti degradasi tanah. Hilangnya unsur hara yang dibutuhkan oleh pertumbuhan tanaman, berkurangnya debit air permukaan, tingginya lalu lintas kendaraan membuat mudah rusaknya jalan, polusi udara, dan dampak sosial ekonomi. Dampak sosial ekonomi, banyaknya masyarakat beralih profesi dari petani menjadi penambang emas,dan banyaknya pendatang yang ikut menambang sehingga dapat menimbulkan konflik, adanya ketakutan sebagian masyarakat karena penambangan emas yang berpotensi terjadinya erosi.

4.5 Pencemaran Sianida dari Tailing pertambangan Emas Bahan beracun lainnya timbul dari proses ekstraksi (penyulingan), seperti yang dilakukan untuk memisahkan emas dari bijih. Untuk dapat melakukan itu, digunakan teknik Cyanida Heap Leaching atau penyucian gundukan. Bijih yang mengandung emas di hancurkan, ditimbun, dan disiram dengan larutan sianida, dan menghasilkan tetesan yang mengandung emas. Hasil yang didapat berupa larutan emas sianida yang terkumpul didasar tumpukan, dan dipompa menuju kilang. Di kilang tersebut, emas dan sianida terpisah secara kimiawi, kemudian sianida disimpan kembali di bak penampungan. Setiap kali mendapatkan gundukan bijih emas yang baru, dilakukan penyucian selama berbulan-bulan. Dengan masa kontrak dan skala aktivitas pertambangan yang biasanya mencapai beberapa dekade, maka pencemaran sianida di sekitar lokasi pertambangan sudah pasti terjadi.Sianida sebesar satu butir beras saja dapat berakibat buruk bagi manusia, sedangkan 1 mikro gram konsentrat sianida per liter air, dapat berakibat buruk bagi ikan. Tindakan-tindakan yang terkait dengan rehabilitasi lahan, pembersihan lahan yang terkontaminasi dan biomonitoring di kawasan pertambangan emas rakyat tidak terlalu banyak diketahui dan tidak mendapat perhatian para pemangku kepentingan. Namun realita di lapangan, dengan berbagai alasan dan kemudahan menggunakan merkuri, penambang skala kecil sering melakukan praktik risiko tinggi, yaitu amalgamasi terbuka, pembuangan tailing sembarang dan pencampuran sianida-merkuri, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Pada Global Mercury Project yang dimulai pada 2002, keputusan menempuh jalur instrumen berkekuatan hukum pada 2009, serta Kemitraan ASGM (ASGM Partnership) UNEP yang bertujuan mengurangi 50% merkuri di ASGM pada tahun 2017. Kemitraan diharapkan membantu negara berkembang menghadapi realita tentang merkuri di ASGM: tersebar, tak terorganisir dan pendekatan peraturan

kurang efektif karena sebagian besar aktivitas adalah ilegal. Beberapa upaya yang dapat dilakukan antara lain pembatasan cadangan, formalisasi penambang kecil, pengembangan model transisi yang sukses, serta dukungan teknis maupun finansial untuk alih teknologi, dan replikasi. 4.6 Metode Pengelolaan Lingkungan Pertambangan Emas 4.6.1 Pengelolaan Air Asam Batuan Acid rock drainage (ARD) merupakan masalah yang penting dalam penambangan bijih yang mengandung sulfide, dalam hal ini pertambangan emas. Baik overburden maupun tailing yang dihasilkan harus dikelola untuk mencegah / mengumpulkan atau mengolah ARD. Upaya pencegahan pembentukan air asam tambang ini adalah dengan melakukan identifikasi berbagai tipe batuan berdasarkan karakteristik geokimia batuannya. Karakteristik batuan ini didasarkan pada kemampuan batua untuk membangkitkan asana tau untuk menetralkan asam yang diperoleh dari hasil uji statik diantaranya Net Acid Generating (NAG), Maximum Potential Acid (MPA, nilai teoritis yang didapat dari perhitungan total sulfur) dan Acid Neutralizing Capacity (ANC) 4.6.2 Pengelolaan Limbah Pertambangan merupakan salah satu usaha yang cukup menghasilkan banyak limbah. Limbah merupakan semua buangan yang dihasilkan oleh aktivitas manusia dan hewan yang berbentuk padat, lumpur (sludge), cair maupun gas yang dibuang karena tidak dibutuhkan atau tidak diinginkan lagi. Walaupun dianggap sudah tidak berguna dan tidak dikehendaki, namun bahan tersebut kadang-kadang masih dapat dimanfaatkan kembali dan dijadikan bahan baku.

Limbah dapat digolongkan menjadi beberapa kategori berdasarkan sifat bahayanya yaitu : 4.6.2.1 Limbah Non B3 dan Domestik Limbah domestik merupakan limbah yang dihasilkan dari aktifitas primer seharihari. Limbah ini dapat ditemukan dalam bentuk cair maupun padat. Limbah domestic cair dapat berasal dari kegiatan rumah tangga sehari-hari seperti kegiatan mencuci pakaian dan makanan, mandi, kakus dan kegiatan rumah tangga lain yang menggunakan air. Sedangkan limbah domestik padat dapat ditemukan dalam bentuk sampah domestik. Untuk menangani limbah domestik yang bersifat cair maka diperlukan pusat pengolah air buangan ( waste water ). Pengolahan limbah cair yang biasa digunakan dalam pengolahan limbah cair ini seperti activated sludge process, oxidation ditch, tricking filter serta wetland. Selain pengolahan limbah cair, perlu dilakukan monitoring secara rutin untuk infuen-effluent secara konsisten sehingga memenuhi baku mutu pada titik-titik compliance. Dalam pengolahan limbah domestik padat, hendaknya dilakukan reduksi sampah dengan menggalakkan program 3R, untuk pengolahan limbah padat ini dikirim ke landfill yang dilengkapi dengan sumur-sumur pantau sehingga dapat dipantau tingkat pencemaran landfill terhadap air tanah area landfill. 4.6.2.2 Limbah B3

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999, B3 didefinisikan sebagai Bahan yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain. Limbah B3 merupakan sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan/atau

jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain. Berdasarkan karakteristiknya limbah B3 diidentifikasikan sebagai bersifat toksik. Limbah B3 dapat ditangani dengan melakukan penanganan onsite dan off site. On Site treatment merupakan Penanganan atau pengolahan limbah padat atau lumpur B-3 dilaksanakan di dalam unit kegiatan industri. Teknologi pengolahan setempat (on-site) dilaksanakan dengan menggunakan salah satu atau beberapa jenis teknologi berikut: Limbah lumpur B-3: perlakuan lumpur & chemical conditioning Incineration (metode thermal) solidification (stabilisasi) Penanganan limbah padat atau lumpur B-3 Disposal (land fill dan injection well) Untuk melaksanakan pengolahan limbah B3 secara on site maka perlu diketahui Jenis dan karakteristik limbah padat yang akan diolah harus diketahui secara pasti, agar dapat ditentukan teknologi pengolahannya yang tepat dan antisipasi terhadap jenis limbah di masa mendatang. Selain itu perlu diketahui jumlah limbah yang dihasilkan sehingga dapat diketahui biaya yang akan dikeluarkan jika dilakukan pengelolaan dalam waktu mendatang. Sedangkan Off-site treatment merupakan penanganan atau pengolahan limbah padat atau lumpur B-3 dilaksanakan oleh pihak ketiga di pusat pengolahan limbah industri. bahan yang mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, infeksius, korosif, dan

Pengolahan oleh pihak ketiga (off-site) dilaksanakan dengan menggunakan sekaligus beberapa teknologi-teknologi seperti pada on-site treatment. Adapun beberapa ketentuan yang harus dipenuhi bagi penghasil limbah B3 : 1) Wajib mengolah limbah B3 atau menyerahkannya kepada Pengolah. 2) Tenpat penyimpanan sesuai dengan persyaratan. 3) Melaporkan kegiatan yang dilakukan. 4) Dapat menjadi pengumpul, pengangkut, pemanfaat atau pengolah bila memenuhi persyaratan. 5) Mengisi dokumen limbah B3. 6) Memiliki sistem tanggap darurat. Limbah B3 pertambangan berasal dari kegiatan penunjang pertambangan seperti bengkel perawatan, stasion pengisian bahan bakar, aktivitas lubricating, dan lainlain. Semua limbah B3 pertambangan disalurkan ke penampung limbah B3 yang berlisensi.

4.6.3 Kualitas Air Dalam kegiatan pertambangan, salah satu aspek yang dapat terganggu adalah kualitas air. Air yang terperngaruh/ impacted dapat mengandung logam terlarut, solid yang tersuspensi, dll. Agar kualitas air lingkungan sekitar pertambangan tidak terganggu, maka perlu dilakukan usaha pengolahan air tambang sehingga effluent yang keluar dari tambang masih memenuhi baku mutu yang ditetapkan oleh lembaga yang bersangkutan. Pemantauan kandungan logam terlarut, pH dan TSS (Total Suspended Solis) di lakukan pada lokasi pemantauan yang telah ditentukan dan sering kali disebut

sebagai titik penaatan (compliance point). Titik penaatan ini diletakan pada outletoutlet air tambang ke lingkungan, selain itu kualitas air sungai juga tetap dipantau pada beberapa titik pantau. 4.6.4 Kualitas Udara Kegiatan pertambangan termasuk kegiatan yang menjadi salah satu sumber pencemar udara yaitu setiap kegiatan yang mengeluarkan bahan pencemar ke udara yang menyebabkan udara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Pencemaran udara dapat didefinisikan sebagai kondisi atmosfer yang terdiri atas senyawa-senyawa dengan konsentrasi tinggi diatas kondisi udara ambient normal, sehingga menimbulkan dampak negatif bagi manusia, hewan, vegetasi, maupun benda lainnya. Pencemar udara terdiri dari : 1) Pencemar primer Merupakan pencemar yang datang langsung dari sumber. Contoh : partikulat, NOx, CO, SO2, dll. 2) Pencemar sekunder Merupakan pencemar yang terbentuk oleh interaksi kimiawi antara pencemar primer dan senyawa-senyawa penyusun atmosfer alamiah. Contoh : NO2, OzonO3, Asam sulfat dan Asam Nitrat. Pertambangan sebagai kegiatan yang menjadi salah satu sumber pencemaran udara dari sumber antropogenik tentunya memiliki tanggung jawab dalam memelihara kualitas udara.

Akibat yang dapat terjadi jika pencemaran udara tetap dibiarkan dan kualitas udara diabaikan adalah sebagai berikut : 1) Long distance transport 2) Hujan Asam 3) Smog Fotokimia 4) Penipisan lapisan Ozon 5) Urban Heat Pengendalian pencemaran udara dapat dilakukan dengan menggunakan alat pengendali pencemaran udara yang dipasang pada sumber-sumber pencemaran udara, contoh : pabrik pengeringan konsentrat, pabrik pengolahan, dll. Biasanya alat yang digunakan adalah electrostatic presipitator. Pemantauan kualitas udara juga harus dilakukan di seluruh areal tambang dengan jangka waktu yang berkala.

4.6.5 Reklamasi Reklamasi menggambarkan suatu proses dimana permukaan lahan dikembalikan kepada beberapa bentuk yang menguntungkan dan mengikuti kaidah-kaidah ekologis yang memacu terjadinya recovery. Tujuan utama reklamasi adalah menstabilkan permukaan lahan, menjamin keamanan publiki, perbaikan estetika, dan biasanya mengembalikan lahan, dalam konteks regional, kepada tujuan-tujuan yang bermanfaat.

Menurut Kleinman (1996) kegiatan reklamasi lahan pasca tambang yang paling penting adalah : 1. Penanaman makanan ternak, yang ditujuan untuk habitat ternak atau hewan liar yang sebelumnya telah ada 2. Pengendalian erosi tanah Penanaman tanaman makanan ternak, seperti rumput-rumputan dan leguminosa, dapat berfungsi untuk mengendalikan erosi maupun stabilisasi tanah buangan. Lahan terbuka dapat menyebabkan meningkatnya aliran permukaan (run off) yang dapat menurunkan kualitas permukaan air tanah, dan nilai estetika. Pada kondisi ini biasanya diikuti dengan menurunnya kesuburan tanah, rendahnya kelembaban tanah serta tingginya suhu permukaan tanah. oleh karena itu, langkah awal yang harus dilakukan pada reklamasi adalah dengan menanam tanaman penutup (cover crop) oleh tanaman makanan ternak. Sebelum lahan pasca tambang siap ditanami, terdapat suatu proses penutupan lubang bekas penambangan agar tidak terbentuk air asam tambang. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengendalikan potensi pembentukan air asam tambang adalah dengan menempatkan material-material pembentuk asam secara selektif dan pembebasan sulfida overburden dari oksigen, sehingga menghambat oksidasi pirit. Efektifnya pengendalian air asam tambang ini merupakan dasar bagi programprogram reklamasi selanjutnya, baik untuk tujuan pertanian, peternakan, kehutanan maupun rekreasi. Revegetasi merupakan bagian dari program reklamasi lahan tambang. Dalam pelaksanaannya revegetasi lahan tambang sering kali mengalami kesulitan akibat sifat-sifat fisik dan kimia tanahnya. Tidak adanya tanak pucuk merupakan gambaran yang umum terjadi pada lahan tambang. Kondisi tersebut diperburuk oleh lapisan

permukaan lahan yang berbatu sehingga mempersulit perkembangan vegetasi akibat rendahnya laju infiltrasi dan retensi air. Dalam proses revegetasi di lahan pasca penambangan, jenis tanaman yang sesuai dan didukung oleh beberapa variabel ekologis, seperti : 1) kapasitasnya dalam menstabilkan tanah, 2) meningkatkan bahan organik tanah, dan 3) penyediaan hara tanah. Pada tahap awal revegetasi, tanaman makanan ternak merupakan jenis tanaman yang disarankan untuk ditanam, tanaman ini diharapkan dapat memperbaiki hara dan kandungan bahan organik. Jenis tanaman yang dipilih adalah rumput-rumputan yang dapat menghasilkan biomassa tanaman dalam jumlah yang besar, adaptif terhadap pertumbuhan awal maupun pertumbuhan kembali (regrowth) setelah mengalami pemotongan atau penggembalaan. Rumput-rumputan mampu mengendalikan erosi, sementara yang tergolong dalam famili leguminosae dapat memberikan kontribusi nitrogen melalui fiksasi nitrogen dari udara. Teknik yang dapat dilakukan dalam mempercepat proses penutupan lahan tambang oleh tanaman makanan ternak yaitu melalui : 1. Drill seeding Drill seeding serupakan metode menanam benih tanaman makanan ternak dengan kedalamam tanam sesuai dengan anjuran.

Gambar 4.5 Proses Drill Seeding 2. Hydroseeding Hydroseeding merupakan metode penanaman benih tanaman makanan ternak di atas permukaan tanah dalam suatu campuran air dan slurry,metode ini banyak digunakan pada lahan pertambangan.

Gambar 4.6 Hydroseeding di Lokasi Tambang 3. Broadcast seeding Broadcast seeding merupakan metode penebaran benih dengan sistem siklom seeder, bisa dengan tangan atau dengan alat seed dribbles, atau dengan pesawat terbang.

Gambar 4.7 Broadcast seeding Dengan Tangan Cara yang efektif untuk memadukan antara kondisi tanah, spesies, dan pemanfaatan lahan pasca penambangan adalah dengan memilih dan menempatkan lapisan permukaan tanah yang dapat membuat tanah yang cocok dengan vegetasi sesuai peruntukanya. Jika kondisi tersebut telah tercipta maka lahan pasca tambang dengan kualitas tanah yang diperlukan untuk pertumbuhan dan produktivitas spesies tanaman yang pada gilirannya akan memperbaiki sifat-sifat tanah pasca penambangan.

Anda mungkin juga menyukai