Anda di halaman 1dari 8

Identifikasi dan Karakterisasi Limbah B3

Bab 3

IDENTIFIKASI DAN KARAKTERISASI LIMBAH B3

3.1 PENDAHULUAN

Proses awal pengelolaan limbah B3 adalah mengidentifikasi limbah yang tergolong


sebagai berbahaya dan beracun. Identifikasi ini penting artinya apabila dikaitkan dengan
aspek legal yang akan mengikat setiap penghasil limbah untuk mematuhinya. Seperti
telah dibahas dalam topik sebelumnya, begitu sebuah limbah berkatagori limbah B3,
maka limbah tersebut penanganannya harus mengikuti peraturan yang ada, yaitu
menganut konsep cradle-to-grave.

Salah satu proses identifikasi adalah karakterisasi, yang akan dapat menjawab apakah
suatu limbah tergolong dalam kelompok limbah B3, atau mengapa sebuah limbah
dimasukkan dalam katagori limbah B3. Lebih jauh, dengan mekanisme ini dapat
ditentukan apakah sebuah limbah dikeluarkan dalam kelompok limbah B3 (delisting).
PP85/99 mengenal kemungkinan delisting untuk limbah tertentu.

Parameter yang digunakan dalam uji laboratorium membutuhkan batasan-batasan yang


jelas agar tidak menimbulkan silang pendapat yang berkepanjangan. Disamping itu,
kemampuan laboratorium penganalisa yang tersedia di Indonesia perlu mendapat
pertimbangan agar peraturan tersebut dapat diimplementasikan. Batasan-batasan
tersebut biasanya didasarkan atas penelitian-penelitian, yang diformalkan dalam bentuk
peraturan yang harus diikuti oleh fihak terkait.

Tata cara identifikasi limbah B3 yang diatur oleh PP 18/99 jo PP85/99 dapat dikatakan
mirip dengan tata cara yang dianut oleh Amerika Serikat, yaitu yang diatur dalam
Resources Conservation Recovery Act (RCRA).

3.2 KLASIFIKASI BAHAN KIMIA BERBAHAYA

Selain karakter akibat penyakit infeksi, maka sumber limbah B3 versi PP18/99
sebetulnya adalah berasal dari bahan kimia. Secara tradisional, terdapat 7 kelas bahan
kimia berbahaya, yaitu :
a. Bahan yang mudah terbakar (flammable material) : bahan yang terbakar dengan
mudah dan cepat bila dipaparkan pada sumber nyala, misalnya pelarut (solvent)
seperti benzene, ethanol, debu aluminum, gas hidrogen.
b. Materi yang spontan terbakar (spontaneously ignitable) : padat atau cair yang dapat
menyala secara spontan tanpa sumber nyala, misalnya karena perubahan panas,
tekanan, atau kegiatan lain. Contoh fosfor putih.
c. Peledak (explosive) : materi kimia ini dapat meledak, biasanya karena adanya
kejutan, panas, atau mekanisme lainnya. Contoh materi ini misalnya dinamit dan
trinitrotoluene (TNT).
d. Pengoksidasi (oxidizer) : Materi yang menghasilkan oksigen, baik dalam kondisi
biasa atau bila terpapar dengan panas. Contohnya adalah amonium nitrat dan
benzoyl peroksida.
e. Bahan korosif : padat atau cair seperti asam kuat atau basa kuat, yang dapat
membakar dan merusak jaringan kulit bila berkontak dengannya.
f. Bahan toksik : racun yang dalam dosis kecil dapat membunuh atau mengganggu
kesehatan, seperti karbon monoksida dan hidrogen sianida.
g. Bahan radioaktif : dicirikan dengan transformasi yang berlangsung dalam inti atom

Pengelolaan Limbah B3-2008 III-1


Identifikasi dan Karakterisasi Limbah B3

3.3 BATASAN LIMBAH BERBAHAYA

Mendefinisikan kapan sebuah limbah disebut berbahaya merupakan suatu hal yang sulit
dan akan tetap mengundang perdebatan. Oleh karenanya setiap negara akan
mempunyai cara tersendiri untuk menentukannya. Andaikata definisi limbah B3 telah
disepakati dan diputuskan dalam bentuk peraturan yang mengikat, misalnya
berdasarkan sejumlah karakteristik yang terdefinisikan secara jelas, masih akan muncul
lagi pertanyaan lain misalnya :
– Berapa ambang batas timbulan limbah yang berkarakter berbahaya : 1 mg, 1 gr atau
1 kg ?
– Berapa ambang batas konsentrasi limbah yang terkatagorikan berbahaya : 1 %, 100
ppm, 10 mg/L ?
– Sifat limbah yang dapat dikatagorikan berbahaya : apakah merupakan kombinasi
dari toksisitas dan sifat-sifat lain yang akan mempengaruhi mahluk hidup ?

Dari beberapa literatur, terdapat beberapa karakteristik yang mendefinisikan sebuah


limbah menjadi berbahaya, yaitu seperti bersifat radioaktif, mudah terbakar, dapat
menyala dengan sendirinya, reaktif terhadap air, dapat meledak, menimbulkan gas
berbahaya, pengoksidasi, dapat mengkorosi, bersifat biokumulatif, karsinogen
(menimbulkan kanker), menimbulkan iritasi, mempunyai sifat mutagen, menimbulkan
penyakit infeksi, bersifat toksik akut, bersifat toksik kronis dan sebagainya.

Bila semua sifat-sifat itu yang digunakan dalam pendefisian limbah berbahaya maka
akan menyulitkan pelaksanaannya di lapangan. Perlu definisi yang lebih sederhana dan
aplikatif.

3.4 KARAKTERISASI LIMBAH B3

Untuk menentukan apakah limbahnya termasuk limbah B3 yang diatur oleh PP 18/99 jo
PP 85/99, maka terdapat 4 langkah utama yang perlu dilakukan oleh penghasil, yaitu
– Langkah 1 : mencocokkan jenis limbahnya dengan daftar dalam tabel-tabel Lampiran
I PP tersebut. Apabila terdapat dalam daftar, atau cocok dengan daftar, maka
limbahnya termasuk limbah B3 versi PP 18/99 jo PP 85/99
– Langkah 2 : bila tidak cocok, tidak berarti bahwa limbah tersebut bukan limbah B3.
Tahapan berikutnya adalah melakukan uji laboratorium terhadap karakter limbahnya,
yaitu (a) mudah meledak, (b) mudah terbakar, (c) bersifat reaktif, (d) beracun, (e)
menyebabkan infeksi, (f) bersifat korosi. Bila berkarakter seperti itu, maka limbah
tersebut termasuk limbah B3
– Langkah 3 : bila limbah tersebut tidak berkarakter seperti disebutkan, maka
dibutuhkan uji toksisitas akut untuk memperoleh nilai Lethal Doses Fifty (LD50).
Apabila LD50 tersebut lebih besar dari 50 mg/kg berat badan, maka terhadap limbah
yang mengandung salah satu zat pencemar pada lampiran III PP ini dilakukan
evaluasi sifat kronis
– Langkah 4 : bila lolos dari langkah di atas, maka dilakukan evaluasi lanjut sesuai
dengan Tabel III yaitu menganalisa apakah mengandung salah satu unsur seperti
tersebut dalam Tabel III. Bila mengandung salah satu unsur tersebut, maka limbah
tersebut diprakirakan berpotensi toksik kronis dan termasuk limbah B3. Guna
mengeluarkan dalam kriteria ini, maka penghasil harus membuktikan bahwa
limbahnya bukanlah bersifat kronis.

3.5 DAFTAR LIMBAH B3

Langkah pertama penentuan apakah sebuah limbah berkategori B3 versi PP 18/99 jo PP


85/99 adalah mencocokkannya dalam daftar Tabel I PP tersebut. Terdapat 3 tabel,
yaitu :

Pengelolaan Limbah B3-2008 III-2


Identifikasi dan Karakterisasi Limbah B3

Tabel 1 : Daftar limbah dari sumber spesifik. Merupakan daftar bahan kimia yang bila
menjadi limbah akan bersifat toksik akut atau kronis. Terdapat 43 jenis dengan kode
D1001a sampai D1005d, terdiri dari
– Kode D1001a s/d D1010a : kelompok pelarut berhalogen
– Kode D1001b s/d D1018b : kelompok pelarut non-halogen
– Kode D1001c s/d D1010c : kelompok asam – basa
– Kode D1001d s/d D1005d : kelompok lain-lain

Tabel 2 : Daftar limbah dari sumber spesifik. Merupakan daftar kegiatan industri yang
terbagi dalam 6 kolom, yaitu :
– Kolom 1 : kode limbah sebanyak 51 jenis, yaitu D201 s/d D251
– Kolom 2 : jenis indutri, seperti industrii pupuk, pestisida, petrokimia, cat, eksplorasi
dan produksi gas dan panas bumi, kilang minyak dan gas bumi, pertambangan,
rumah sakit, foto kopi, laundry dan dry cleaning, dsb
– Kolom 3 : Kode kegiatan industri seperti daftar SIC
– Kolom 4 : Sumber pencemaran, misalnya tangki penyimpanan, IPAL, dsb.
– Kolom 5 : Asal uraian limbah, misal sludge minyak, katalis bekas, dsb
– Kolom 6 : Pencemar utama, misal bahan organik, logam berat, dsb

Tabel 3 : Daftar limbah bahan kimia kadaluwarsa, tumpahan, sisa kemasan, buangan
produk non spesifikasi. Terdapat 178 jenis (D3001 s/d D3178).

3.6 LIMBAH MUDAH MELEDAK

Limbah mudah meledak adalah limbah yang pada suhu dan tekanan standar (25 oC,
760 mm Hg) dapat meledak atau melalui reaksi kimia atau fisika dapat menghasilkan
gas dengan suhu dan tekanan tinggi yang dengan cepat dapat merusak lingkungan
sekitarnya. Bahan kimia yang biasa dijumpai mempunyai sifat mudah meledak adalah
bahan peledak (explosive), yaitu bahan yang dapat meledak, biasanya karena adanya
kejutan (shock), panas, atau mekanisme lainnya, seperti dinamit dan trinitro toluene
(TNT).

RCRA tidak menggunakan sifat mudah meledak dalam penentuan limbah berbahayanya.
Sifat mudah meledak merupakan sifat yang salah satunya dijumpai pada bahan kimia
yang reaktif pada air. Bila air bereaksi dengan bahan tersebut akan dihasilkan "bahaya"
misalnya, yaitu menghasilkan api (flammable), ledakan (explosive), racun (toksik) dan
korosif. Proses yang menyebabkan air mendekomposisi suatu materi dikenal sebagai
hidrolisis, tetapi tidak selalu proses hidrolisis ini menghasilkan bahaya. Disamping itu
dikenal pula istilah hygroscopic, yaitu kemampuan bahan untuk menyerap air di udara,
seperti H2SO4 dan NaOH, sehingga bila bahan tersebut dibiarkan terbuka di udara
lembab, maka kontainernya lama kelamaan penuh. Beberapa bahan dikenal sebagai
pyrophoric, yaitu materi/bahan yang menyala secara spontan bila berada dalam
keadaan udara kering atau lembab atau pada temperatur < 54,5 °C.

Beberapa kelompok bahan tersebut adalah logam-logam alkali, senyawa-senyawa


organometalik, hidrida-hidrida metalik, boran, peroksida-peroksida metalik, karbida-
karbida dan fosfida-fosfida metalik, dsb

3.7 LIMBAH MUDAH TERBAKAR

Definisi Limbah mudah terbakar yang digunakan oleh PP 18/99 adalah :


– Limbah cair yang mengandung alkohol kurang dari 24% volume atau limbah dengan
titik nyala < 60 oC (140 oF) akan menyala apabila terjadi kontak dengan api,
percikan api atau sumber nyala lain pada tekanan 760 mmHg.
– Limbah yang berupa cairan, yang pada temperatur dan tekanan standar (25 oC, 760
mmHg) mudah menyebabkan kebakaran melalui gesekan, penyerapan uap air atau

Pengelolaan Limbah B3-2008 III-3


Identifikasi dan Karakterisasi Limbah B3

perubahan kimia secara spontan dan apabila terbakar dapat menyebabkan


kebakaran yang terus menerus.
– Merupakan limbah yang bertekanan yang mudah terbakar
– Merupakan limbah pengoksidasi
– Sifat mudah terbakar versi PP 18/99 jo PP 85/99 adalah mirip dengan versi RCRA
untuk limbah ignitable (kode I). Dalam kelompok ini termasuk pula bahan seperti :
– Gas terkompres yang ignitable sesuai dengan kriteria Department of Transportation
USA (USDOT),
– Oksidator seperti didefinisikan oleh USDOT.

Sedang limbah ignitable yang tidak terdapat dalam daftar sebagai limbah berbahaya
oleh USEPA dimasukkan dalam limbah berbahaya berkode D001. Contoh limbah
kelompok ini antara lain ethylene dichlorate, distilasi petroleum, naphta, ethanol,
isopropanol, kerosene, spiritus, nitrat, chlorat, peroksida anorganik.

3.8 LIMBAH BERSIFAT REAKTIF

Limbah bersifat reaktif menurut PP 18/99 adalah :


– Limbah yang pada keadaan normal tidak stabil dan dapat menyebabkan perubahan
tanpa peledakan,
– Limbah yang dapat bereaksi dengan air, atau
– Limbah yang bila bercampur dengan air berpotensi menimbulkan ledakan, gas, uap
atau asap beracun dalam jumlah yang membahayakan, atau
Merupakan limbah sianida, sulfida, atau amoniak yang pada kondisi pH antara 2 dan
12,5 menghasilkan gas, uap, atau asap, atau
– Limbah yang pada temperatur dan tekanan standar (25 oC, 760 mmHg) mudah
meledak atau bereaksi, atau
– Limbah yang dapat menyebabkan terjadinya kebakaran karena melepaskan atau
menerima oksigen atau limbah organik peroksida yang tidak stabil pada temperatur
tinggi.

Versi PP tersebut adalah identik dengan versi RCRA (AS) untuk jenis limbah reaktif
(kode R). Definisi reaktif limbah sianida bila jumlah sianida (HCN)  250 mg/kg limbah,
sedang sulfida (H2S) bila mengandung 500 mg/kg limbah, termasuk mudah meledak bila
mengalami perubahan tekanan atau panas atau limbah yang dikatagorikan eksplosif
oleh DOT, atau campuran eksplosif yang mengandung garam-garam amonium dan
khlorat atau garam logam-asam dengan khlorat, nitroglycerin atau diethylene glycol
dinitrate. Contoh limbah kelompok ini adalah : acetyl chloride, peroksida organik, asam
chromic, sianida, hypochlorite, sulfida, asam picric, phosphor putih dan kuning, silver
azide, hexanite, butyl tetryl, dinitrophenol, nitrogen tri-iodida.

3.9 LIMBAH BERACUN

PP 18/99 mendefinisikan limbah beracun adalah limbah yang mengandung cemaran


yang bersifat racun bagi manusia, khususnya yang bersifat kronis, yang dapat
menyebakan kematian atau sakit yang serius apabila masuk ke dalam tubuh manusia
melaui pernafasan, kulit atau mulut. Penentuannya dilakukan melalui prosedur uji yang
dikenal sebagai uji pelindian Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP).
Lampiran II PP18/99 jo PP 85/99 merupakan baku mutu uji ini, yang berisi daftar 63
bahan kimia organik (volatil dan semi volatil) dan anorganik (non-volatil, dan umumnya
logam berat).
TCLP merupakan uji pelindian yang berlaku secara federal di Amerika Serikat, sesuai
dengan RCRA yang mengatur tentang hazardous waste management. Faktor-faktor
referensi yang digunakan dalam penentuan ambang toksisitas khronis yang diterapkan
dalam standar TCLP di Amerika Serikat adalah didasarkan atas penentuan resiko
keterpaparan air tanah, yaitu :

Pengelolaan Limbah B3-2008 III-4


Identifikasi dan Karakterisasi Limbah B3

– Risk-Specific Doses (RSDs) : senyawa karsinogenik yang diprakirakan menghasilkan


insiden terjadinya kanker. Digunakan nilai <= 10 –5, artinya : skenario probabilitas
terjadinya kanker adalah 1 dalam 100.000 orang
– Reference Doses (RfDs) : komponen non karsinogenik, yang didasarkan atas
estimasi dosis harian sebuah substansi yang tidak menimbulkan efek berlawanan.
Digunakan assumsi seorang dengan berat 70 Kg mengkonsumsi 2 Liter air
tercemar setiap harinya.
– Maximum Contaminant Levels (MCLs) air minum yang berlaku di Amerika Serikat
termasuk National Drinking Water Standard (DWS)

3.10 UJI PELINDIAN TCLP

TCLP merupakan salah satu uji pelindian yang digunakan di Amerika Serikat, yang
terpadu dengan baku mutunya. Beberapa negara telah mengadopsi TCLP ini, namun
tetap mengacu pada baku mutu yang digunakan di USA. Bila sebuah komponen tidak
dijumpai nilai baku mutunya dalam standar Amerika Serikat, maka dimasukkan baku
mutu baru, tentunya dengan pertimbangan yang matang. Beberapa negara bagian di
Australia misalnya, memasukkan baku mutu Cu dan Zn ke dalam TCLP yang digunakan,
karena tidak dijumpai pada baku mutu TCLP Amerika Serikat.

Uji ini pada dasarnya menyimulasi kemungkinan terburuk terjadinya pelindian limbah
yang ditangani dengan landfilling, bersasaran untuk menentukan mobilitas pencemar
organik/anorganik yang berada pada limbah cair, padat, dan multi-fase. Metode ini pada
pelaksanaanya membedakan limbah berdasarkan volatilitasnya :
– Limbah non-volatil : menggunakan botol ekstraksi
– Limbah volatil : menggunakan Zero-Head Space Exctractor (ZHE)

Secara garis besar langkah pengujian adalah sebagai berikut : limbah dilarutkan dalam
20 kali beratnya dengan asam asetat . Kemudian selama 18 jam diekstraksi dengan
pengadukan end-over-end pada 30 rpm. Setelah selesai, cairan dipisahkan dari
padatannya dengan filtrasi. Cairan kemudian dianalisis sesuai dengan kebutuhan. Nilai
konsentrasi yang diperoleh dibandingkan dengan daftar dalam Tabel II PP85/99.

3.11 LIMBAH PENYEBAB INFEKSI

Limbah yang menyebabkan infeksi adalah limbah yang dapat mengandung penyakit
menular, misalnya bagian tubuh manusia yang diamputasi, cairan tubuh manusia yang
terkena infeksi, limbah laboratorium dan sebagainya. Sumber utama limbah ini adalah
dari kegiatan medis.

Amerika Serikat mengatur limbah penyebab infeksi ini di luar RCRA. Sedang Indonesia
memasukkan bersama limbah kimia lainnya. Definisi yang pasti tentang jenis limbah ini
belum diatur, sehingga menyulitkan dalam penentuannya. Penyakit menular dapat
ditularkan dengan berbagai cara, seperti melaui media air ( seperti tifus dan diare),
melalui udara (seperti flu) dan melalui kulit seperti penyakit kulit umumnya. Yang
tampaknya diatur oleh PP tersebut adalah limbah medis yang menularkan penyakit
serius, yaitu :
– Limbah benda tajam: dapat terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh, bahan
mikrobiologi, bahan beracun, atau radioaktif. Potensi untuk menularkan penyakit bila
berasal dari pengobatan pasien berpenyakit menular
– Limbah infectious : berkaitan dengan pasien yang memerlukan isolasi penyakit
menular (perawatan intensif) seperti (a) limbah laboratorium yang berkaitan dengan
pemeriksaan mikrobiologi dari poliklinik dan ruang perawatan/isolasi penyakit
menular, (b) jaringan tubuh : organ / anggota badan, darah dan cairan tubuh yang
dihasilkan pada saat pembedahan atau autopsi, dan (c) human blood (darah
manusia) dan body fluids (cairan tubuh)

Pengelolaan Limbah B3-2008 III-5


Identifikasi dan Karakterisasi Limbah B3

– Limbah sitotoksik : bahan yang mungkin terkontaminasi obat sitotoksik selama


peracikan, pengangkutan atau tindakan terapi lainnya.

3.12 LIMBAH KOROSIF

Definisi limbah korosif versi PP18/99 adalah :


– Limbah yang menyebabkan iritasi (terbakar) pada kulit
– Limbah yang menyebabkan proses pengkaratan pada lempeng baja, melalui coupon
test (SAE 1020) dengan laju korosi > 6,35 mm/tahun pada temperatur uji 55 oC.
– Limbah yang mempunyai pH lebih kecil dari 2 atau lebih besar dari 12,5

Seperti halnya Indonesia, Amerika Serikat mendefinisikan limbah korosif (kode C)


sebagai berikut :
– Limbah berair (aqueous) dengan pH ≤ 2 (asam) atau ≥ 12,5 (basa)
– Cairan yang mengkorosi baja dengan laju sebesar  6,35 mm per tahun pada baja
atau aluminium sesuai dengan standar National Association of Corrosion Engineers
– Bila diuji terhadap kelinci albino, maka struktur jaringan di lokasi kontak mengalamai
kerusakan dan tidak pulih dengan pemaparan 4 jam atau kurang.

Limbah korosif yang tidak termasuk dalam daftar sebagai limbah berbahaya, oleh
USEPA dikelompokkan ke dalam limbah berbahaya berkode D002. Contoh limbah
kelompok ini adalah asam asetat, asam nitrit, amonium hidroksida, asam khromat, asam
perchloric, asam hidrorbromic, asam phosphoric, asam hidrochloric, asam sulfuric, asam
hidrofloric, natrium hidroksida, kalium hidroksida

3.13 TOKSISITAS AKUT DAN KRONIS

Terdapat berbagai cara agar sebuah bahan masuk ke dalam tubuh manusia; yang paling
penting adalah melalui : mulut, kulit dan pernafasan. Bila sebuah substansi bersifat
toksik, dia dapat merusak jaringan di lokasi kontaknya (efek lokal) atau berpengaruh
negatif dengan jalan lain (efek sistemis), misalnya akan dapat merusak ginjal atau pusat
sistem syaraf. Pengaruh racun dapat diklasifikasikan terhadap waktu yang dibutuhkan
sampai terjadinya penyakit atau gangguan, yaitu :
– Bersifat akut (acute) : kerusakan yang terjadi biasanya dengan pemaparan singkat,
seperti terhisapnya gas HCl beberapa detik akan menyebabkan kerusakan langsung
pada paru-paru. Bisa saja keterpaparan ini terjadi secara berulang- ulang sampai
menimbulkan kerusakan.
– Bersifat kronis (chronic) : gejala sakit muncul sedikit demi sedikit dalam waktu yang
lama setelah pemaparan pertama, misalnya timbulnya kanker
– Bersifat latent : gejala sakit yang baru berkembang setelah masa inkubasi terlampaui,
misalnya benzene akan mengakibatkan aplastic anemia setelah 10 tahun sejak
pertama kali pemaparan.

Dalam toksikologi, biasanya untuk melihat pengaruh suatu substansi pada manusia,
dilakukan percobaan melalui binatang, kemudian hasilnya di ekstrapolasi pada manusia.
Cara ini biasanya cocok untuk toksik yang akut. Untuk toksik yang kronis atau laten,
percobaan melalui binatang tidak selalu relevan karena faal manusia dan binatang tidak
selalu sama.

Toksisitas Akut – LD50

Uji toksikologi Lethal dose fifty (LD50) digunakan oleh Indonesia untuk menguji lebih
lanjut apakah sebuah limbah berkatagori B3. Uji ini biasa digunakan dalam bidang kimia
dan obat-obatan untuk menentukan apakah sebuah bahan bersifat akut. Uji LD50 adalah
penentuan dosis akut (gr bahan per kg binatang uji) yang dapat menyebabkan kematian

Pengelolaan Limbah B3-2008 III-6


Identifikasi dan Karakterisasi Limbah B3

50% dari populasi binatang uji. Batasan yang digunakan oleh PP18/99 jo PP85/99
adalah 50 mgr/kg.

Selain uji LD50, kuantifikasi toksisitas akut untuk media yang berbeda antara lain
adalah :
– Lethal concentration-50 (LC50) : konsentrasi substansi, dalam satuan mg per liter
larutan, yang dapat mematikan 50 % binatang percobaan.
– Threshold limit value (TLV) : limit teratas dari sebuah konsentrasi toksin yang tidak
menimbulkan pengaruh kesehatan pada manusia yang terpapar secara rutin, dengan
satuan ppm (gas) atau mg/m3 (asap udara).
– Immediately dangerous to life and health (IDLH) : merupakan konsentrasi maksimum
suatu substansi yang memungkinkan manusia menghindar dalam 30 menit tanpa
masalah pada kesehatannya.
– Time weighted average threshold limit value (TWA-TLV) : konsentrasi rata-rata di
ruang kerja yang dapat diterima oleh sebagian besar pekerja selama 40 jam per
minggu atau 8 jam per hari tanpa menimbulkan gangguan

Namun uji-uji tersebut tidak digunakan dalam penentuan karakteristik limbah berbahaya
versi PP18/99 jo PP 85/99.

Penentuan Kronis

Langkah terakhir dalam identifikasi limbah B3 di Indonesia adalah penentuan apakah


limbah tersebut berpotensi menghasilkan toksisitas kronis. Langkah ini sangat
kontroversial, dan terkesan berlebihan. Praktis bila dilakukan uji ini, setiap limbah yang
diuji akan sulit untuk lolos. Limbah yang akan diuji komponennya dicocokkan dengan
Lampiran III PP85/99 yang berisi 491 jenis bahan kimia yang dianggap berpotensi
menimbulkan toksisitas kronis, setelah mempertimbangkan beberapa faktor, seperti :
– Sifat racun alami yang dipaparkan oleh zat cemaran
– Konsentrasi zat cemaran
– Potensi migrasi di lingkungan
– Sifat persistensi limbah dan turunannya
– Potensi cemaran untuk menjadi tidak berbahaya
– Tingkat cemaran dan turunananya untuk menjadi biokumulatif
– Jenis limbah yang tidak dikelola dan berpotensi mencemari
– Besaran limbah tersebut dalam skala regional atau skala nasional
– Dampak kesehatan dan kerusakan lingkungan pada lokasi yang tidak memenuhi
syarat, dsb

Dapat dipastikan bahwa limbah yang akan diuji akan mengandung salah satu unsur
tersebut, karena sebagian unsur-unsur tersebut mudah dijumpai di alam. Disamping itu,
kriteria yang digunakan akan mengakibatkan multi tafsir dan sulit dikuantitatifkan. Faktor-
faktor tersebut tampaknya merupakan komponen dalam Environmental Risk
Assessment (ERA) yang membutuhkan studi tersendiri.

3.14 DAFTAR LIMBAH DELISTING

PP 18/99 jo PP85/99 memasukkan daftar limbah yang dapat dinyatakan sebagai limbah
B3 bila setelah melalui uji karakteristik dan uji toksikologi seperti telah diuraikan dalam
halaman-halaman sebelumnya, terbukti berkatagori limbah B3. Daftar limbah tersebut
tercantum dalam Lampiran I Tabel 2, yaitu :
– Kode D220 : berasal dari kegiatan eksplorasi dan produksi minyak, gas dan panas
bumi. Sumber pencemaran dari eksplorasi dan produksi, pemeliharaan fasilitas
produksi dan penyimpanan, IPAL, tangki penyimpanan. Limbahnya berupa slop
minyak, drilling mud, sludge minyak, karbon aktif dan absorban, sludge IPAL, cutting
pemboran, residu dasar tangki.

Pengelolaan Limbah B3-2008 III-7


Identifikasi dan Karakterisasi Limbah B3

– Kode D221 : berasal dari kegiatan kilang minyak dan gas bumi. Sumber pencemaran
dari proses pengolahan, IPAL, unit dissolved air flotation, pembersih heat exchanger,
tangki penyimpanan. Limbahnya berupa sludge minyak, katalis bekas, karbon aktif
bekas, sludge IPAL, filter bekas, residu dasar tangki, limbah laboratorium, limbah
PCB
– Kode D222 : berasal dari kegiatan pertambangan, dengan sumber pencemaran dari
kegiatan pertambangan yang berpotensi menghasilkan limbah B3 seperti
penambangan tembaga, emas, batubara, timah. Limbahnya berupa sludge
pertambangan terkontaminasi logam berat, flotasi sludge tailing, pelarut bekas,
limbah laboratorium, limbah PCB.
– Kode D223 : berasal dari kegiatan PLTU yang menggunakan bahan bakar batubara.
Sumber pencemaran berasal dari pembakaran batubara untuk pembangkit listrik.
Dengan limbah yang berupa fly ash, bottom ash, limbah PCB.

Pengelolaan Limbah B3-2008 III-8

Anda mungkin juga menyukai