Anda di halaman 1dari 5

Pendahuluan

Bagian 1

PENGANTAR PENGELOLAAN LIMBAH B3

1.1 LATAR BELAKANG

Masalah limbah menjadi perhatian serius dari masyarakat dan pemerintah Indonesia, khususnya
sejak dekade terakhir ini, terutama akibat perkembangan industri yang merupakan tulang
punggung peningkatan perekonomian Indonesia. Penanganan limbah merupakan suatu
keharusan guna terjaganya kesehatan manusia serta lingkungan pada umumnya. Namun
pengadaan dan pengoperasian sarana pengolah limbah ternyata masih dianggap memberatkan
bagi sebagian industri.

Keaneka ragaman jenis limbah akan tergantung pada aktivitas industri serta penghasil limbah
lainnya. Dimulai dari penggunaan bahan baku, pemilihan proses produksi, pemilihan jenis mesin
dan sebagainya, akan mempengaruhi karakter limbah yang tidak terlepas dari proses industri itu
sendiri. Sebagian dari limbah industri tersebut berkatagori hazardous waste.

Tetapi jenis limbah ini berasal pula dari kegiatan lain, seperti dari aktivitas pertanian (misalnya
penggunaan pestisida), kegiatan enersi (seperti limbah radioaktif PLTN), kegiatan kesehatan
(seperti limbah infectious dari rumah sakit) atau dari kegiatan rumah tangga (misalnya
penggunaan baterei merkuri). Sebagian besar jenis limbah yang dihasilkan, biasanya berasal dari
kegiatan industri.

Limbah berkatagori non-hazardous tidak perlu ditangani seketat limbah hazardous, walaupun
limbah tersebut berasal dari industri. Sesuai dengan PP18/99 jo PP 85/99, padanan kata untuk
Hazardous Waste yang digunakan di Indonesia adalah Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
dan disingkat menjadi Limbah B3.

1.2 PENGHASIL UTAMA LIMBAH BERBAHAYA

Survai di Amerika Serikat pada tahun 1981 mengungkapkan bahwa hampir 90 % dari limbah
berbahaya yang dikelola berasal dari kegiatan industri, 70 % diantaranya berasal dari industri
kimia dan petroleum. Lebih dari 90 % limbah yang berkatagori berbahaya, terutama karena sifat
korosifitasnya, merupakan limbah cair atau aquous liquid waste. Walaupun limbah itu berasal
dari kegiatan industri, namun tidak semua berkatagori Limbah B3.

Studi yang dilakukan oleh Dames & Moore untuk studi kelayakan pusat pengolah limbah
berbahaya di Cileungsi menghasilkan proyeksi total limbah berbahaya di daerah Jabotabek pada
tahun 1990 sebesar 1.984.626 ton (padat, cair dan gas). Survey limbah B3 yang berasal dari
industri-industri di Otorita Batam (1992) menyimpulkan bahwa limbah B3 (cair dan padat) dari
industri rata-rata di bawah 5 % dari total limbah industri yang dihasilkan

Revolusi industri dan penggunaan bahan kimia organik yang terus meningkat setelah perang
dunia ke 2, bukan saja mengakibatkan kenaikan timbulan limbah secara dramatis, namun pula
menimbulkan masalah toksisitas dari limbah tersebut. Penemuan minyak (petroleum) pada
pertengahan tahun 1880 menyebabkan meningkatnya produk kimia organik disertai limbahnya.
Masyarakat industri menghasilkan produk mulai dari gasoline, naphta ke kerosene. Setelah
berakhirnya Perang Dunia II, industri memfokuskan dirinya pada produksi plastik dan pestisida. Di
Amerika Serikat misalnya, timbulan limbah berbahaya pada tahun 1984 diprakirakan sekitar 300
juta ton. Dampak akibat limbah tersebut adalah kontaminasi sumber-sumber air, terganggunya
kesehataan masyarakat serta penurunan kualitas ekologi lingkungan.

1.3 PERKEMBANGAN INDUSTRI

Sebelum krisis ekonomi 1997, negara-negara di wilayah Asia dan Pasifik secara keseluruhan
memperlihatkan pertumbuhan industri yang kuat bila dibandingkan dengan tempat-tempat lain di
dunia. Industrialisasi yang cepat telah menciptakan sebuah peluang baru untuk mendistribusikan

Pengelolaan Limbah B3-2008 I-1


Pendahuluan

hasil-hasil pembangunan dengan lebih efektif di negara-negara tersebut, sehingga dapat


mengurangi kemiskinan. Walaupun demikian, industrialisasi juga menimbulkan dampak secara
langsung, tidak hanya pada pusat-pusat industri dan daerah sekitarnya, tetapi juga pada tingkat
nasional, regional dan lingkungan secara global. Tingginya jumlah limbah industri yang dihasilkan
per unit hasil industri merupakan salah satu dari masalah-masalah utama yang ada.

Secara keseluruhan, sektor industri telah mengakibatkan beban pencemaran melalui peningkatan
kuantitas cemaran dalam jangka waktu pendek dan menengah. Dalam jangka panjang kuantitas
cemaran akan dapat ditekan jika terjadi perubahan yang drastis dengan adanya industri yang
lebih bersih lingkungan, atau jika kontribusi sektor industri itu sendiri menurun. Melalui perubahan
intensitas pencemaran terhadap hasil industri, yaitu berubahnya jumlah pencemaran yang
ditimbulkan per unit hasil industri. Bahan pencemar berbahaya dan beracun yang dihasilkan oleh
industri adalah seperti logam berat, sianida, pestisida, cat dan zat warna, minyak, pelarut, dan zat
kimia berbahaya lainnya. Timbulan logam-logam berat dari industri di wilayah Asia dan Pasifik
telah dinilai melebihi nilai batas ambang yang aman.

1.4 INDUSTRI DI INDONESIA

Pelepasan bahan berbahaya pada tahun 1990-an di Indonesia, Filipina, dan Thailand
diprakirakan telah meningkat menjadi sekitar empat, delapan, dan sepuluh kali lipat. Intensitas
atau perbandingan antara limbah bahan berbahaya yang ditimbulkan dengan unit hasil industri
secara mencolok juga meningkat, terutama di daerah industrialisasi yang berkembang dengan
cepat seperti di negara-negara ASEAN dan China.

Pada permulaan tahun 1970-an, lebih dari 85% hasil industri Indonesia berasal dari kegiatan
industri yang berlokasi di Pulau Jawa. Sekitar 55% dari pusat-pusat industri di Pulau Jawa
berlokasi di daerah perkotaan, yang kemudian naik menjadi 60% pada tahun 1990. Di empat kota
saja (Jakarta, Surabaya, Bandung dan Semarang) terdapat sekitar 36% dari total industri di Pulau
Jawa, yang setara dengan sekitar 27% dari seluruh hasil industri Indonesia. Perkembangan
industri disamping berdampak positif pada perkembangan ekonomi, juga menimbulkan dampak
negatif tidak hanya pada pusat-pusat industri dan daerah sekitarnya tetapi juga pada tingkat
nasional, regional dan lingkungan secara global.

Menurut World Bank ada 3 pola pertumbuhan industri yang perlu diperhatikan, yaitu :
– Kecepatan pertumbuhan sektor industri
– Distribusi spasial yang belum merata
– Pergeseran jenis industri

Sektor lain yang berpotensi dampak negatif pada lingkungan adalah kegiatan pertambangan -
perminyakan, kegiatan medis dan kegiatan pertanian.

1.5 BEBAN PENCEMARAN

Pada daerah perkotaan di Indonesia seperti di Jakarta, Surabaya, Bandung dan Semarang,
limbah penduduk dan industri telah menurunkan kualitas air sungai bagian hilir seperti Cisadane,
Ciliwung, Kali Surabaya, Kali Berantas dan Citarum. Pada tahun 1990 di pulau Jawa diprakirakan
70 % industri berlokasi di kawasan-kawasan perkotaan dan sekitarnya. Kegiatan industri sangat
berpotensi menghasilkan limbah B3, yang diprakirakan akan meningkat kurang dari 200.000 ton
pada tahun 1990 dan menjadi sekitar 1 juta ton pada tahun 2010.

Menurut analisa Bank Dunia (1994), di Indonesia akan terjadi pergeseran komposisi industri
secara sektoral, yaitu industri proses akan tumbuh lebih lambat dibanding industri perakitan.
Dalam hal ini, industri proses dinilai lebih intensif terhadap pencemaran. Dilaporkan pula oleh
Bank Dunia bahwa intensitas pencemaran dari limbah berbahaya ternyata cenderung meningkat
sejak tahun 1970, yang ditandai dengan meningkatnya cemaran-cemaran toksik dan logam-
logam bioakumulatif. Bila strategi pengembangan industri tidak berubah seperti periode tersebut,
kontribusi pulau Jawa terhadap cemaran-cemaran toksik akan cenderung stabil, yaitu sekitar 2/3
dari total cemaran di Indonesia. Lebih dari 75 % diantaranya merupakan cemaran-cemaran
logam yang bioakumulatif, dan 85 % diantaranya akan terkonsentrasi di daerah perkotaan.
Secara keseluruhan, kontribusi industri terhadap pencemaran akan menurun, yaitu dari 70 %

Pengelolaan Limbah B3-2008 I-2


Pendahuluan

pada saat ini menjadi 60 % pada tahun 2020, namun beban cemarannya secara absolut akan
meningkat sekitar 10 kali.

1.6 KASUS MINAMATA

Kasus Minamata terkenal di dunia bila membicarakan masalah kaitan industri, limbah dan
kesehatan masyarakat, yang terungkap setelah sekitar 600 ton merkuri, yang digunakan sebagai
katalis dalam proses sebuah industri pupuk kimia di Minamata dibuang secara bertahap selama
45 tahun sejak tahun 1932. Merkuri didapat di alam, merupakan logam yang termasuk logam
berat, dan banyak digunakan sebagai katalis. Mikroorganisme dalam air akan mengkonversi
logam ini menjadi methylmercure, dengan prakiraan 70 - 100 tahun akan persistan di alam.

Sinyal pertama kasus ini datang pada tahun 1950, yaitu sejumlah ikan mati tanpa diketahui
sebabnya, dilanjutkan dengan penyakit aneh pada kucing. Antara tahun 1953 - 1956 gejala yang
dikenal sebagai "kucing menari" ditemui pula pada manusia, khususnya anak-anak. Beberapa
diantaranya meninggal dunia. Tetapi sampai saat itu tidak seorangpun yang tahu penyebab
gejala tersebut. Tahun 1976 sekitar 120 penduduk Minamata meninggal karena keracunan
merkuri dan 800 orang menderita sakit. Tahun 1978 ditemukan bahwa sekitar 1500 penduduk
yang diperiksa ternyata diketahui keracunan merkuri.

Akhirnya pembuangan merkuri dari pabrik tersebut dihentikan dengan ditutupnya pabrik tersebut,
dan pemerintah menyatakan bahwa pabrik tersebut adalah penanggung jawab penyakit yang
berjangkit di Minamata. Pada tahun 1979 dua pimpinannya, yang pada saat itu telah berumur 77
tahun dan 68 tahun, dihukum masing-masing 2 tahun dan 3 tahun penjara. Disamping itu, korban
kasus ini menerima santunan yang dibebankan pada industri tersebut.

1.7 KASUS LOVE CANAL

Dengan dibangunnya pembangkit listrik tenaga air di Niagara Falls pada tahun 1890, maka
industri menjadi berkembang pesat di daerah tersebut. Niagara Falls menjadi pusat industri,
khususnya industri kimia, yang juga menghasilkan produk samping seperti khlor dalam jumlah
besar. Pengembangan penelitian menghasilkan alternatif pemanfaatan produk samping ini
menjadi bahan organik berkhlor seperti plastik, pestisida dan lainnya, dengan bahan utama
minyak bumi. Belum seorangpun yang menyadari bahwa keuntungan dari pestisida seperti DDT,
endrin atau dari bahan organik berklor lainnya akan mendatangkan masalah bagi lingkungan di
kemudian hari.

Pengurugan limbah kimia berbahaya di Love Canal dimulai tahun 1930-an, sesuai peraturan yang
berlaku pada saat itu. Sampai tahun 1947 daerah tersebut menjadi lahan pengurugan beragam
jenis limbah terutama dari industri sampai tahun 1952. Daerah tersebut kemudian dijadikan
permukiman penduduk. Dampak negatif limbah yang diurug mulai muncul tahun 1958 dan
berlanjut sampai tahun 1976, dengan munculnya kasus-kasus di permukiman tersebut.

Biaya implementasi sebuah program pengontrolan dan penyediaan sarana sebetulnya akan lebih
kecil dibandingkan dengan upaya pemulihan lahan yang tidak dikelola secara baik.

1.8 PRODUK BAHAN KIMIA

Penggunaan kimia dalam kebudayaan manusia sudah dimulai sejak zaman dahulu. Kimia
merupakan salah satu ilmu pengetahuan alam, yang berkaitan dengan komposisi materi,
termasuk juga perubahan yang terjadi di dalamnya, baik secara alamiah maupun sintetis.
Senyawa-senyawa kimia sintetis inilah yang banyak dihasilkan oleh peradaban modern, namun
materi ini pulalah yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan yang berbahaya. Dengan
mengetahui komposisi dan memahami bagaimana perubahan terjadi, manusia dapat mengontrol
dan memanfaatkannya untuk kesejahteraan manusia.

Penggunaan bahan-bahan kimia di dunia telah berkembang pesat, yang sebagian besar
merupakan bahan berbahaya. Ini ditunjukkan oleh hampir 11 juta jenis bahan kimia telah
diidentifikasi pada tahun 1995, baik yang terdapat di alam maupun yang dibuat oleh manusia,
dan hampir setiap tahun 1.000 jenis bahan kimia baru masuk ke perdagangan. Bahan kimia yang
telah digunakan dan diperdagangkan secara umum sekitar 63.000 jenis, 50.000 jenis diantaranya

Pengelolaan Limbah B3-2008 I-3


Pendahuluan

digunakan sehari-hari, 1.500 jenis merupakan bahan aktif pestisida, sekitar 4.000 jenis sebagai
bahan aktif obat-obatan, dan 2.500 jenis digunakan sebagai bahan tambahan makanan. Dari
sekian banyak bahan kimia tersebut, baru beberapa ratus jenis saja yang telah dievaluasi
dampaknya tehadap kesehatan dan lingkungan.

Perdagangan bahan kimia dunia pada tahun 1991 mencapai nilai 1,2 M US$, 40% berkaitan
dengan petrokimia. Pemakaian bahan kimia di Indonesia (1991) sekitar 0,46% dari nilai
perdagangan dunia.

1.9 PENGARUH PADA KESEHATAN

Di negara industri, sampai tahun 1800-an sebagian besar bahan yang digunakan di rumah dan
industri adalah bahan alamiah yang mudah terurai. Dari tahun 1930-an sampai tahun 1950-an,
ahli-ahli kimia mulai mengembangkan bahan baru berbasis minyak bumi dengan sifat-sifat yang
lebih baik, salah satunya adalah penemuan organik berhalogen, yaitu penambahan halogen pada
minyak bumi. Bahan organik berhalogen ternyata lebih efektif dibanding destilat minyak bumi,
disamping mempunyai sifat yang lebih baik, seperti tidak mudah terbakar. Pestisida berhalogen
misalnya, dijumpai mempunyai sifat yang lebih baik untuk mengontrol insek, jamur atau tanaman
pengganggu. Namun kenyataannya, sebagian besar bahan tersebut, adalah sangat persisten di
alam, dan berbahaya bagi kesehatan manusia.

Dari karakterisasi limbah B3, terlihat bahwa pengaruhnya pada kesehatan dan keselamatan
manusia dapat dikelompokkan sebagai berikut :
– Dapat mencelakan manusia secara langsung dan bersifat segera bila terpapar : sifat mudah
meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif dan korosif.
– Dapat beracun (toksik) bagi manusia, baik dalam jangka pendek (akut) mapun dalam jangka
panjang (kronis).
– Dapat menimbulkan penyakit (menyebabkan infeksi). Umumnya jenis limbah ini berasal dari
kegiatan medis (rumah sakit).

Dari ketiga penggolongan tersebut, maka kelompok yang bersifat toksik, khususnya yang bersifat
kronis, yang perlu mendapat perhatian, karena pengaruhnya tidak langsung atau tidak tampak
setelah terpapar.

1.10 EKSPORT LIMBAH BERBAHAYA DARI NEGARA INDUSTRI

Masalah penanganan limbah berbahaya ini juga merupakan obyek dagang yang tidak terpuji,
misalnya pembuangan limbah berbahaya negara maju ke negara yang sedang berkembang,
sehingga biaya pengolahannya dapat ditekan.

Kegiatan perdagangan lintas batas limbah secara internasional, termasuk yang berselubung
sebagai bahan baku, telah dimulai sejak tahun 1980-an. Pada umumnya, pengiriman limbah
tersebut berasal dari negara industri menuju negara sedang berkembang. Pengiriman limbah
dari negara-negara industri maju ke negara-negara berkembang ini mula-mula dilakukan dengan
diam-diam dan tersembunyi. Kegiatan-kegiatan perdagangan limbah ini kemudian mendapat
perhatian negara Eropa yang tergabung dalam MEE. Konvensi Lome tahun 1989, antara negara-
negara MEE dengan 68 negara bekas jajahan koloninya di Afrika, Karibia dan Pasifik bersepakat
melarang kegiatan perdagangan ini.

Ekspor limbah B3 dan pembuangannya dari negara maju ke negara berkembang terus
meningkat, antara lain disebabkan karena :
– Negara-negara maju telah menerapkan berbagai peraturan untuk menanggapi pencemaran
dengan lebih ketat.
– Akibat ketatnya peraturan, biaya pengolahan limbah menjadi meningkat, dan dalam banyak
hal akan lebih murah bila dikirim ke negara lain (negara berkembang)
– Keuntungan devisa negara dari ekspor limbah juga akan berperan
– Meningkatnya dorongan untuk mendaur ulang limbah

1.11 PERDAGANGAN LIMBAH BERBAHAYA DI INDONESIA

Lintas batas limbah, yang dapat berkarakter berbahaya, masuk ke suatu negara kadang-kadang

Pengelolaan Limbah B3-2008 I-4


Pendahuluan

terselubung sebagai bahan baku misalnya sebagai plastik bekas, seperti yang tersiar melalui
mass media di Indonesia pada tahun 1992. Sebanyak 116 peti kemas limbah B3 seberat 1200
ton berasal dari pelabuhan Singapura, yang terselubung sebagai bahan baku, telah ditemukan di
pelabuhan Tanjung Priuk. Limbah yang sengaja diimpor oleh 18 importir nasional dinyatakan tak
bertuan oleh Kejaksaan Agung, dan disita oleh pemerintah karena tidak ada fihak importir yang
bersedia mengambilnya. Limbah tersebut ternyata tidak semuanya berasal dari Singapura, tetapi
antara lain berasal dari Belanda dan Jerman. Agaknya kegiatan tersebut sudah berlangsung lama
sebelumnya, dan akan terus berlanjut bila pemerintah tidak melakukan upaya pencegahannya.

Menurut Multinational Monitor, June 1992, dari 1 Februari sampai 31 Maret 1992 telah
dikapalkan sampah plastik dari Amerika Serikat sebanyak 52.227.368 pound dalam 749
pengapalan ke berbagai tujuan di Asia

Dalam hal masalah lintas batas limbah ini, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Basel, yang
berupaya mengatur ekspor dan impor serta pembuangan limbah B3 secara tidak syah melalui
Keputusan Presiden RI No.61/1993 tentang Pengesahan Convension on The Control of
Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal.

Pengelolaan Limbah B3-2008 I-5

Anda mungkin juga menyukai