Anda di halaman 1dari 3

Hypokalemia karena penurunan intak kalium Kaerena kemampuan ginjal untuk melakukan penurunan ekskresi kalium sampai kadar

520meq/L maka dibutuhkan penurunan intak kalium untuk menjadikan kondisi hypokalemia. Intak kalium yang rendah seringkali disalah artikan dengan kehilangan kalium yang meningkat. Manifestasi klinis hypokalemia Hypokalemia dapat menyebabkan kerusakan organ yang luas, sebagaian besar pasien asimtomatik hingga kadar kalsium turun dibawah 3meq/L. Efek cardiovascular paling terlihat jelas diantaranya adalah dengan kelainan ECG seperti aritmia, penurunan kontraktilitas jantung, dan tekanan darah yang tidak setabil hingga disfungsi autonom. Hypokalemia kronis juga dilaporkan dapat menyebabkan vibrosis myocard. Manifestasi ECG terutama dikarenakan adanya penundaan repolarisasi ventrikel, dengan bentuk ECG adalah pendataran dan inversi gelombang T, peningkatan gelombang U, depresi segmen ST, peningkatan amplitude gelombang P, dan interval PR memanjang. Peningkatan automatisitas sel myocard dan penundaan repolarisasi menyababkan aritmia atrium dan ventrikel. Efek neuromuscular hypokalemia diantaranya kelemahan otot, ileus, kram otot, tetanus, dan rhabdomiolisis. Hypokalemia yang diinduksi diuretic biasanya sering dihubungkan dengan alkalosis metabolic, karena ginjal menyerap natrium sebagai kompensasi dari penurunan volume Intra vascular dan dengan adanya hypocloremia yang diinduksi diuretic maka bikarbonat diabsorbsi. Pada akhirnya ini menyebabkan hypokalemia dan asidosis metabolic hypocloremik. Gangguan ginjal biasanya ( disebabkan oleh resistensi ADH yang menyebabkan poliuria ) dan peningkatan produksi ammonia yang menyebabkan gangguan asidivikasi urin. Peningkatan produksi ammonia merupakan sebuah kompensasi intra seluler sebagai akibat hilangnya kalium. Alkalosis metabolic bersama dengan peningkatan produksi ammonia dapat memicu ensepalopaty pada pasien dengan gangguan penyakit hati berat. Hypokalemia kronis juga berhubungan dengan vibrosis ginjal (nefropati tubulointersisial). Therapy hypokalemia Therapy hypokalemia tergantung pada tingkat keparahan pada organ yang rusak, perubahan ECG yang significan seperti perubahan segmen ST dan aritmia membutuhkan monitoring ECG yang berkelanjutan, terutama selama terapi penggantian kalium intravena. Terapi digogsin memacu jantung untuk mengubah consentrasi ion kalium, kekuatan otot harus dinilai secara periodik pada pasien yang lemah. Terapi oral dengan menggunakan cairan kalium klorida secara umum paling aman penggantian deficit kalium biasanya membutuhkan waktu beberapa hari. Terapi intra vena kalium klorida biasanya disiapkan pada pasien dengan resiko manifestasi kardiak yang serius

atau kelemahan otot. Tujuan terapi intravena adalah untuk mengamankan pasien dari bahaya dan tidak diperlukan untuk mengkoreksi keseluruhan deficit kalium. Terapi intravena periver tidak boleh melebihi 8meq/jam karena adanya efek iritatif pada vena perifer. Cairan yang mengandung dektrose sebaiknya dihindari karena menyebabkan hyperglikemi dan sekresi insulin dapat menurunkan kalium plasma lebih lanjut. Terapi intravena dengan dosis 10-20meq/jam membutuhkan kateter vena sentral dan monitoring ketat pada ECG. Terapi dengan dosis tinggi paling aman lewat karteter femoral, karena konsentrasi kalium yang sangat tinggi dapat terjadi dalam jantung pada karteter vena sentral yang standar. Terapi intravena tidak boleh melebihi 240meq/hari. Kalium klorit merupakan garam pilihan pada saat alkalosis metabolic karena dapat mengkoreksi defisit klorida. Kalium bikarbonat atau sejenisnya merupakan pilihan untuk pasien dengan asidosis metabolic. Kalium fosfat dapat digunakan sebagai alternative pada kasus hypopospatemia (ketoasidosis diabetic ). Pertimbangan anestesi Hypokalemia merupakan temuan kejadian yang sering terjadi pada preoperative, keputusan untuk melakukan bedah elektif sering didasarkan pada rendahnya batas kalium antara 3 dan 3,5 meq/L. keputusan sebaiknya juga didasarkan pada tingkat dimana hypokalemia berkembang sesuai dengan ada atau tidaknya disfungsi organ sekunder. Secara umum hypokalemia kronis ringan (3-3,5meq/L) tanpa perubahan pada ECG tidak terlalu meningkatkan resiko anestesi. Belakangan ini tidak dapat dilakukan pada pasien yang menerima digogsin, yang mungkin dapat beresiko tinggi mengalami keracunan digogsin dari hypokalemia, plasma kalium yang dibutuhkan datas 4meq/L. Management intra operativ membutuhkan monitoring ECG yang berkelanjutan. Kalium intravena sebaiknya diberikan jika terdapat atrial atau aritmia ventricular. Cairan intravena bebas gula sebaiknya digunakan dan hindari hyperventilasi untuk mencegah penurunan plasma kalium untuk lebih lanjut. Peningkatan sensitifitas terhadap agen pemblok neuromurcular dapat terjadi pada beberapa pasien. Dosis agen pemblok neuromuscular sebaiknya dikurangi 25-50% dan stimulator saraf sebaiknya digunakan untuk mengikuti/memantau derajat paralisis dan kekuatan pengembalian. HYPERKALEMIA Hyperkalemia terjadi jika kadar plasma kalium diartas 5,5meq/L. Hyperkalemia jarang terjadi pada individu normal karena kemampuan yang luar biasa dari ginjal untuk mengekskresi kalium. Jika intak kalium meningkat secara perlahan ginjal dapat mengekskresi kalium sebanyak 500meq/hari. System simpatis dan sekresi insulin juga memerankan peran penting dalam pencegahan peningkatan plasma kalium setelah pemasukan kalium. Hyperkalemia dapat terjadi dari 1). Pergeseran inter kompartemen ion kalium, 2). Penurunan ekresi kalium urin, 3). Peningkatan intak kalium. Pengukuran konsentrasi plasma kalium dapat meningkat jika sel darah

merah mengalami hemolisis pada specimen darah (kebanyakan terjadi karena penggunaan torniket yang terlal lama pada saat pengambilan darah). Pengeluaran invitro kalium dari sel darah putih pada specimen darah juga dapat mengaburkan hasil pada pengukuran kalium, jika leukosit lebih dari 70.000 x 109. Pengeluaran kalium yang sama dari platelet terjadi jika jumlah platelet lebih dari 1.000.000 x 109/L. Hyperkalemia karena perpindahan ekstra seluler dari kalium Perpindahan keluar kalium dari sel dapat terjadi pada pemberian suksinilcoline, asidosis, lisis sel pasca kemoterapi, hemolisis, rabdomiolisis, trauma jaringan berat, over dosis digitalis hyperosmolar, pemberian arginin hydroclorit, blockade beta2 adrenergik, dan selama episode paralilis periodic hyperkalemic. Peningkatan rata-rata kalium plasma 0,65meq/L, setelah pemberian suksinilkoline dapat memicu trauma otot berat dan rasa terbakar pada pasien dengan denervasi otot. Blockade beta 2 adenergik menggamabarkan peningkatan kalium plasma yang terjadi setelah aktivitas. Digitalis menghambat NaK ATPase pada membrane sel. Over dosis digitalis telas dilaporan menyebabkan hyperkaliemia pada beberapa pasien. Arginin hydroclorit yang digunakan untuk mengobati alkalosi metabolic dapat menyebabkan hyperlkalemia jika ion arginin kationik masuk kedalam sel dan ion Kalium keluar dari sel untuk menjaga netralitas elektrolit.

Anda mungkin juga menyukai