Anda di halaman 1dari 4

Ren Descartes

Sabtu, 13 Februari 2010 15:21 M. Najib Yuliantoro Pemikiran

: naskah ini ditulis setelah mengikuti kelas Metafisika, ampuan Dr. Joko Siswanto, pada paruh kedua tahun 2007. Descartes lahir di La Hayee, Touraine, pada 31 Maret 1596. Di usia 9 tahun ia belajar logika, filsafat, fisika, etika, dan matematika di La Fleche, sebelum kemudian belajar hukum di Universitas Poitiers sampai tahun 1616. Konon ia juga sempat belajar ilmu kedokteran di tempat yang sama. Selama dua tahun (1617-1619) hidup di Belanda, Descartes membangun korespodensi dengan pemikir-pemikir besar eropa, seperti Hobbes, Moore, dan Arnauld. Descartes meninggal pada Februari 1650 dengan meninggalkan karya-karya monumental, seperti Discours de La Methode (1637), Meditationes de Prima Philosophia (1641), Principia Philosophiae (1644), The passions of Soul, The World (tidak dipublikasikan), dan banyak lagi [1]. Dua karya pertama Descartes (Discourse dan Meditationes) banyak diminati para ilmuwan karena keduanya menuangkan gagasan Descartes tentang Cartesian Doubt (Metode Keraguan Descartes), yang sering disebut Cogito Descartes atau Cogito saja [2]. Semangant renaissancekebangkitan rasionalisme Yunaniwaktu itu tak mudah dilepaskan dari sosok Descartes yang dijuluki sebagai Bapak Modernisme. Melalui kecermelangan pemikirannya, zaman modern menemukan orientasi proyeksinya. Rasionalisme Descartes sedikit banyak membantu meretas kehadiran aliran-aliran khas modernisme, seperti individualisme, subyektifisme, materialisme, saintisme, dan positivisme. Dan salah satu titik pangkal pemikiran Descartes tertuang dalam argumentasinya tentang substansi yang hendak dibahas secara ringkas dalam tulisan ini. *** Awalnya Descartes digelisahkan oleh ketidakpastian pemikiran Skolastik dalam menghadapi hasil-hasil ilmu positif renaissance. Aliran yang mengaku merujuk pada pemikiran Aristotelian ini mengandaikan segala sesuatu dipengaruhi ketakhayulan dan cenderung spekulatif. Jelas klaim ini amat bertolak belakang dengan pemikiran Aristoteles. Pasalnya, filsafat Aristoteles bertolak dari prinsip pertama substansi konkretsebuah prinsip fundamental yang abadi bertentangan dengan prinsip filsafat "ide" Plato [3]. Descartes juga diresahkan oleh kepercayaan yang kuat kalangan gereja mengenai doktrin Anselmus bahwa dasar filasafat hanyalah iman, credo ut intelligam. [4] Kecemasan-kecemasan ini memantik Descartes untuk berikhtiar menemukan basis kebenaran yang rasional dan sistematis, tidak spekulatif, juga tidak sekedar yakin. Karena itu, ia memulai filsafatnya dengan terlebih dahulu meragukan segala sesuatu. Gejalagejala yang nampak, ia ragukan semua. Ia ragu terhadap apa yang ia tangkap melalui inderawi. Sampai akhirnya ia menemukan yang pasti; sesuatu yang sama sekali tidak ia ragukandan tidak bisa diragukanoleh (si)apapun, yaitu saya sedang ragu. Saya sedang ragu disebabkan karena saya berpikir. Saya berpikir merupakan suatu kebenaran karena tidak ada yang meragukan lagi. Saya berpikir adalah benar, karenanya pasti ada. Jika

saya berpikir menjadi ada, maka kesimpulannya saya berpikir, maka saya ada. Cogito ergo sum. [5] Descartes menyebut keraguan itu sebagai keraguan metodis universal [6]. Maksud kata keraguan disini bukan dalam arti kebingungan yang tak berkesudahan, melainkan mempertanyakan kembali kinerja akal budi. Keraguan dipraktekkan sebagai tahap awal menuju kepastian, menjaring yang benar dari yang salah, dan meretas jalan kepastian dari kemungkinan. Keraguan disebut juga sebagai metodis karena keraguan adalah cara penalaran mengungkap kebenaran secara reflektif-radikal-filosofis. Perjalanan menuju kebenaran ini mesti direntang tanpa batas sampai keraguan itu membatasi diri dengan menemukan kepastian yang benar-benar pasti dan pasti benar. Karenanya, keraguan metodis, kata Descartes, mesti bersifat universal. *** Proses penemuan dasar filsafat Descartes amat berkaitan erat dengan tiga hal mendasar [7]. Pertama, persoalan pencarian kepastian melalui ide yang jelas dan terpilahdisini Descartes menolak basis filsafat yang bersifat kemungkinan atau spekulatif. Kedua, Descartes ingin meletakkan dasar filsafatnya bertolak dari diri subyek. Baginya, hanya subyek yang memiliki kesadaran tentang dirinya sendirimetode cogito atau imanentisme Descartes (aku yang secara langsung mengenal diriku sendiri) [8]. Ketiga, Descartes hendak memberikan basis intelektual bagi eksistensi Tuhan sebagai titik tolak seluruh kebenaran, pengetahuan, dan pemahaman. Proses rumit epistemik ini telah menggiring Descartes berkelindan menemukan basis filsafatnya secara otentik, sekaligus meruntuhkan puing-puing dasar filsafat yang bergema kuat pada waktu itu. Metode cogito menuntun Descartes menemukan dasar pemikirannya tentang hakikat (ontologis) segala sesuatu yang ia kemukakan melalui tiga titik dasar: substansi, atribut, dan modus. Pertama, substansi adalah apa yang ada sedemikian rupa [9], sehingga keber-ada-annya tidak memerlukan sesuatu yang lain. Substansi model ini, oleh Descartes, disebut sebagai substansi absolut, dan hanya satu, yaitu Tuhan sebagai causa sui atau penyebab bagi dirinya sendiri yang sempurna adanya. Descartes juga mengandaikan substansi lain, yang ia sebut sebagai substansi relatif atau substaintia creata (substansi buatan). Macamnya ada dua, yaitu substansi jiwa/rohbersifat bebas, aktif dan mentaldan substansi materi/bendawibersifat fisis dan berjalan menurut hukum-hukum fisika. Eksistensi substansi ini semata-mata tergantung bantuan substansi absolut. Oleh karenanya, pengertian substansi relatif tidak dapat disamakan dengan pengertian substansi absolut. Setiap substansi, kata Descartes, memiliki atribut atau sifat asasi, dimana sifat asasi ini mutlak ada dan tidak dapat ditiadakan. Ada-nya sifat asasi ini hanya dapat diketahui secara jelas melalui sifat-sifat yang lain. Jika kita lansir dalam substansi bendawi/materi, maka atribut yang kita temukan berupa keluasan (extentio atau res extensa). Dan jika kita telisik dalam substansi roh/jiwa, maka atribut substansi berupa pemikiran (cogitation atau res cogitans) [10]. Melalui dua atribut substansi ini, demikian Descartes, maka substansi absolut dapat dikenal oleh akal budi manusia. [11] Selain atribut, substansi masih mempunyai suatu enstitas lagi, yang Descartes sebut sebagai modus (jamak modi) [12]. Modus adalah sifat substansi yang dapat berubah, plural dan

sebetulnya tidak mutlak ada dalam substansi. Artinya, modus ini diandaikan sebagai jejakjejakmeminjam istilah Derridaatau ciri-ciri yang menuntun kita menuju pengetahuan mengenai hakikat substansisekalipun, kata Descartes, akal hanya mampu menangkap atribut-atributnya saja [13]. Jika kita telusuri dalam substansi bendawi/materi, maka modus yang ditemukan seperti bentuk, besar, kecil, gerak, situasi, dan ciri-ciri lahiriyah lainnya. Dan jika kita teliti dalam substansi roh/jiwa, maka modus yang muncul berupa gagasan-gagasan individual yang dilakukan secara sadar seperti ide, pertimbangan, meragukan, memahami, membayangkan, berkehendak, merasa, berimajinasi, dan aktivitas kemampuan lainnya. Descartes mengandaikan roh/jiwa memiliki sifat asasi lebih cerdas dari sifat asasi bendawi/materi, karena secara a priori roh/jiwa membawa pengertian-pengertian tunggal tentang substansi roh dan bendawi serta mampu memilah-milah secara jelas (clear and distinctly atau self-evident) suatu gagasan atau idea tanpa terpengaruh oleh gagasan atau ideaidea yang lain [14]. Melalui sifat asasi roh/jiwa, pengertian yang terungkap bukan hanya substansi bendawi dan rohani saja, melainkan menjamah substansi pertama, yaitu substansi Tuhan yang tiada batasnya [15]. Disinilah letak perbedaan ontologi Descartes dengan pemikiran ontologi yang lain. Ia mengandaikan akal (rasio) mempunyai kemampuan menjangkau pengetahuan tentang segala hal, termasuk pengetahuan (substansi) Tuhan. Sekalipun yang mampu dijangkau sebetulnya, kata Descartes, hanyalah atribut substansi belaka [16]. Justru di titik inilah filsafat Dercartes menemukan kerapuhan fundamental ketika dipaksa membicarakan tentang hubungan eksistensi substansi jiwa dan badan. Pendapatnya bahwa substansi Tuhan adalah pemegang otoritas ataumeminjam istilah Pak Joksispenjamin eksistensi substansi jiwa dan substansi badan, makin memperjelas bahwa tidak sepenuhnya segala kebenaran selalu bermuara dari subyek yang sadar. Menurut kadarnya sendiri muncul banyak fakta bahwa manusia sering dihadapkan pada realitas (yang benar dan pasti) diluar jangkauannya sebagai subyek yang sadar. Dengan demikian akan kesulitan bagi kita mengemukakan secara pasti bagaimana sebenarnya hubungan antara jiwa dan badan terjadi. Descartes hanya menunjukkan akhir hubungan jiwa dan badan adalah membentuk manusia sempurna. Sementara, keduanya ia anggap sebagai res yang berbeda, terpisah, dan tidak terjalin hubungan yang serius. Maka, menjadi aneh ketika tiba-tiba Descartes membawa Tuhan yang berada diluar subyek sadar sebagai penjamin dari eksistensi jiwa dan badan yang berada di dalam subyek sadar. Barangkali berangkat dari kegamangan ini banyak orang menyangka pemikiran Descartes bernada dualistik (baca: dualisme Cartesian). Lepas dari sangkaan-sangkaan itu, satu hal yang mesti diakui bahwa gagasan Descartes berupa cogito ergo sum telah memprovokasi lahirnya modernisme, seraya membawa para ilmuwan dan filsuf keluar dari kemelut doktrin-doktrin filsafat Skolastik dan Gereja. Filsafatnya telah membantu menyulut manusia-manusia jaman sekarang berpikir rasional, sistematis, bahkan mengamsusikannya benar-benar pasti dan pasti benar. Sebuah gejala menuju pengabsolutan rasio sebagai logos, dan seringkali bersebarangan dengan iman maupun mitos. Referensi: [1] Joko Siswanto, Metafisika Substansi (tesis), 1995, Yogyakarta, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada [2] Ahmad Tafsir, 2004, Filsafat Umum, Bandung: Remaja Rosdakarya, hlm. 129

[3] Lihat op.cit. hlm. 64 [4] Lihat op.cit., hlm. 129 [5] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum...., hlm. 131. Istilah cogito sebenarnya oleh Descartes dimengerti dalam arti saya menyadari, bukan saya berpikir. Saya menyadari mengandung pengertian aku sebagai yang menyadari. Karenanya, kesadaran Descartes terhitung sebagai kesadaran individual, karena tidak melibatkan diluar subyek yang sadar. Lihat juga, Joko Siswanto, Metafisika... hlm. 60 [6] Joko Siswanto, Metafisika...., hlm. 59 [7] Ibid., hlm. 66-67 [8] Ibid., hlm. 60 [9] Pengertian ini dipetik dari Harun Hadiwijono, 2005, Sari Sejarah Filsafat 2, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 23. Menurut Joko Siswanto, substansi adalah hakikat kenyataan yang menopang segala gejala dan tidak berakar lagi dalam suatu lapisan kenyataan yang lebih mendalam. Di tempat berbeda, Joko Siswanto mengemukakan, substansi adalah sesuatu yang tidak memerlukan suatu yang lain untuk ada. Lihat, Joko Siswanto, Metafisika..., hlm. 67 & 68 [10] Harun Hadiwiyono, Sari Sejarah..., hlm. 23 [11] Joko Siswanto, Metafisika.hlm. 69 [12] Op.cit, hlm. 23 [13] Op.cit., hlm. 72 [14] Sebagaimana dikutip Siswanto dari karya Russel berjudul History of Western Philosophy, disebutkan all things that we conceive very clearly and very distinctly are true. Lihat Joko Siswanto, Metafisikahlm. 6 [15] Harun Hadiwiyono, Sari Sejarah, hlm. 23 [16] Joko Siswanto, Metafisika.hlm. 74

Anda mungkin juga menyukai