Anda di halaman 1dari 3

Empat Tweet Tentang Filsafat

Oleh Muhajir MA

I
Filsafat hadir untuk melawan dogmatisme, suatu sikap yang memegang teguh
keyakinannya sebagai kebenaran mutlak dan tak perlu dipertanyakan lagi.
Dogmatisme membuat pikiran semakin tertutup dan tak ada toleransi untuk
keyakinan lain yang dianggap berbeda.

Seorang yang berfilsafat seharusnya tak terjebak dalam dogmatisme seperti itu.
Sebab ia terlatih untuk bersikap kritis. Bahkan filsafat memandang agama seharusnya
dipahami secara rasional, dan tak hanya meyakininya sebagai ajaran yang turun
menurun diwariskan secara dogmatis tanpa pertanyaan dan interupsi. Keyakinan
yang dihasilkan dari pencarian filosofis pasti adalah keyakinan yang dibangun melalui
fondasi pengetahuan yang kokoh dan mendalam.

Jika kamu merasa bahwa Tuhan itu benar-benar ada, maka carilah Tuhan di dalam
pikiranmu. Berfilsafatlah. Pikiran memiliki kekuatan maha dasyat yang sanggup
membawamu ke sebuah realitas metafisik yang tak bisa ditundukkan oleh sains.
Ketika di ujung jalan kamu mendapati bahwa ateismelah yang benar. Silakan
mempertanggungjawabkan keyakinan itu.

Tapi ingat, tak sedikit orang-orang yang berfilsafat justru semakin menguatkan
keimanannya terhadap ajaran agama yang ia peluk. Filsafat mengajari kita untuk
menghargai perbedaan pendapat. Meski harus saling menyangksikan pendapat satu
sama lain, silang pendapat tersebut dilakukan melalui jalan dialog: argumen lawan
argumen, bukan dengan jalan kekerasan.

Saat kamu telah asyik berfilsafat, jangan sekali-kali menjadi manusia yang merasa
tahu segalanya. Berarti Anda gagal berfilsafat. Sebab, seharusnya semakin kita
berfilsafat, semakin kita tidak pernah puas dengan apa yang telah kita ketahui.
Selalulah merasa "tak tahu apa-apa" agar pikiranmu terus bekerja mencari tahu
hakikat kehidupan, secara terus menerus, tanpa henti, sampai maut menjemputmu.

Untuk itulah, orang-orang yang berfilsafat selalu ingin tahu, selalu ingin belajar,
sebab ia memahami bahwa dunia yang kita huni menyimpan sejuta misteri yang
belum terpecahkan. Bahkan pengetahuan kita hari ini kelak akan kembali diperiksa
ulang, membuang yang telah usang dan kembali mencari yang baru. Walhasil, jangan
takut berfilsafat, agar kamu kritis, bijak, dan tercerahkan.
II
Saat hoaks dan fitnah bertebaran di mana-mana, saat kedangkalan informasi
menekuk akal sehat jutaan manusia Indonesia, di sinilah pentingnya belajar filsafat.
Filsafat akan membuat kita semakin berhati-hati dalam menyaring dan menjustifikasi
nilai kebenaran suatu informasi. Sebab filsafat mengajak kita untuk bersikap kritis
terhadap suatu hal.

Dengan melatih sikap kritis, filsafat akan sekaligus melatih akal sehat kita untuk
selalu bertanya dan merefleksikan secara rasional suatu kabar yang mengerubingi
pikiran kita, agar bisa dibedah sampai ke akar-akarnya, guna menjernihkan
pemahaman kita terhadap suatu hal.

Pada fase selanjutnya, filsafat akan membuat kita terbiasa untuk mandiri dalam
bernalar.  Kita akhirnya punya benteng rasionalitas yang kukuh, yang membuat kita
tak mudah untuk membenarkan segala informasi sebelum ia diperiksa secara
reflektif, kritis dan "radikal". Sebab benteng rasionalitas kita terlalu kukuh untuk
diindoktrinasi.

Akhir kata, dengan belajar filsafat, informasi-informasi sesat akhirnya tak bermakna
apa-apa, sebelum ia melewati benteng rasionalitas kita, sebelum ia dikeroyok oleh
pertanyaan dan pernyataan filosofis kita.

III
Jangankan filsafat sudah mati. Bahkan sains, agama, maupun sastra dan seni (jika
keduanya dianggap sebagai cara manusia menghampiri kebenaran) juga sudah mati
jika kita menyetujui tak ada lagi fondasi, kepastian, ikhwal yang esensial, berakhirnya
narasi besar (meminjam istilah Loytard) dan tak relevannya lagi metafisika kehadiran
(meminjam istilah Derrida).

Tapi apakah dunia yang kita huni memang seperti itu? Apakah yang absolut tak bisa
lagi direngkuh, apakah tak ada lagi fondasi yang bisa jadi pegangan bagi manusia
untuk mencari kepastian? Bahkan ketika kita hendak berdebat soal pertanyaan-
pertanyaan ini, kita akhirnya harus berfilsafat lagi.

IV
Membela filsafat dan agama dari para pendukung fanatik sains bukan berarti anti-
sains. Orang-orang yang waras pasti mahfum jika sains sangat berguna bagi
kehidupan manusia. Malah secara praktis-pragmatis sains lebih berguna dari filsafat
dan agama. Harus kita akui itu.

Saya pun mengakui sains (natural sains dan sosial sains) sejenis pengetahuan terbaik
manusia untuk menyibak misteri realitas empiris. Hanya orang-orang bodoh yang
ingin menggunakan filsafat dan agama untuk menjawab pertanyaan "bagaimana
mengobati penyakit jantung". Anda butuh dokter untuk menyelesaikan problem
penyakit jantungmu.

Hanya saja para pendukung fanatik sains semakin lama semakin menggemaskan.
Fanatismenya sudah semakin keras kepala, sama batunya dengan fanatisme
beragama. Saat ini mereka mencoba untuk mengeliminasi aparatus pengetahuan lain
hanya untuk meneggakkan sains sebagai satu-satunya cara manusia memahami
semesta.

Segampang itu kah semesta yang kompleks dan multidimensi ini (yang tak hanya
berciri materi namun juga metafisis dan spiritual)  dipahami hanya dengan sains,
apalagi hanya mengandalkan metodologi ilmu pasti?

Pertanyaan itu pasti akan menghasilkan perdebatan yang tak berkesudahan. Kecuali
kita dengan rendah hati mengakui setiap jenis pengetahuan memiliki cara tersendiri
dalam memahami semesta, berdasarkan pada bidang dan cakupan wilayahnya
masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai