Anda di halaman 1dari 22

PENDAHULUAN

Latar Belakang Indonesia adalah bangsa besar yang terdiri atas ratusan pulau, memiliki beragam etnis (suku), kebudayaan dan agama. Menurut Sumadi adanya keberagaman etnis (suku) tersebut, keberlangsungan dan perkembangannya memunculkan tradisi serta keyakinan religius yang unik sehingga lahir corak budaya berbeda antara satu sama lainnya. Keberagaman tersebut menjadikan sebuah kemajemukan budaya atau multibudaya yang dalam pandangan posmodernisme dikenal dengan istilah multikulturalisme. Kemajemukan tersebut merupakan kekayaan dan kekuatan yang sekaligus menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia. Tantangan itu sangat terasa terutama ketika bangsa Indonesia membutuhkan kebersamaan dan persatuan dalam menghadapi dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri (Ketetapan MPR, 2000). Kondisi dan situasi merupakan sebuah kewajaran sejauh perbedaan ini disadari dan diakui keberadaannya dan juga dihayati. Namun ketika perbedaan tersebut mengemuka dan kemudian menjadi sebuah ancaman untuk kerukunan hidup bermasyarakat, maka perbedaan tersebut akan menjadi sebuah masalah yang harus diselesaikan. Perubahan sosial yang terjadi pada masyarat Indonesia saat ini, merupakan sebuah faktor yang sangat memungkinkan untuk terjadinya ketidakseimbangan perbedaan tersebut, bahkan dapat pula menjadi sebuah konflik antar masyarakat. Walaupun sebenarnya secara laten konflik tersebut telah ada jauh sebelum era reformasi. Oleh karena itu, dengan masyarakat Indonesia yang multikultur, multi ras, multi etnis, dan multi agama, memiliki potensi besar untuk terjadinya konflik. Sebagaimana dijelaskan oleh Hermansyah et al (2008) bahwa hal tersebut dapat diukur atau dilihat dari beberapa konflik horisontal yang disertai dengan tindakantindakan kekerasan diseluruh wilayah Indonesia. Seperti konfik di Sampit yang melibatkan etnis lokal dengan etnis Madura, kasus Ambon, kasus Papua, kasus Poso dan masih banyak kasus yang lainnya.

Konflik-konflik tersebut di atas sering kali disebabkan oleh setiap golongan memiliki kecenderungan fanatik kepada golongannya sendiri dan menganggap rendah golongan lain, karena terbawa oleh kebudayaan, adat dan letak geografis. Oleh karena itu, hubungan antar warga dari berbagai golongan suku bangsa yang berlainan cenderung tegang, saling curiga dan mendasarkan pada stereotip etnis (Anonymous, 2010). Ketegangan antara suku bangsa di Indonesia sering terjadi dikarenakan oleh lingkungan dan sosial budaya yang berbeda. Begitu juga dengan perbedaan berbagai karakteristik, tidak

mengherankan jika kontak di antara mereka tidak akan mencapai sukses interpersonal dan kurang saling menghargai. Najwan (2009) menyatakan bahwa fenomena konflik dapat muncul dikarenakan adanya konflik nilai, konflik norma dan juga konflik kepentingan antar komunitas etnis, agama dan golongan dalam masyarakat. Selain itu, konflik yang terjadi juga dapat disebabkan sebagai akibat dari diskriminasi peraturan dan perlakuan pemerintah pusat terhadap masyarakat di daerah dengan mengabaikan, menghapuskan dan melemahkan nilai-nilai dan norma-norma hukum adat termasuk norma agama dan tradisi-tradisi masyarakat di daerah tersebut melalui dominasi dan pemberlakuan hukum negara. Pada tahun 2008 saja di Indonesia telah terjadi 1.136 konflik dan kekerasan yang meliputi konflik etnis/agama 28 insiden (2%), politik 180 insiden (16%), tawuran 240 insiden (21%), konflik antar aparat negara 15 insiden (1%), konflik perebutan sumberdaya alam 109 insiden (10%), Perebutan SDE 123 insiden (11%), penghakiman massa 338 insiden (30%), pengeroyokan 47 (4%), dan konflik yang lainnya 56 insiden (5%) (Saputra et al, 2009). Contoh kongkrit konflik sosial yang terjadi di Indonesia beberapa tahun terakhir ini menurut Suharli (2012) adalah: (1) Konflik sosial yang bernuansa saparatisme: terjadi di Aceh, Maluku dan Papua. (2) Konflik sosial yang bernuansa etnis: terjadi di Kalimantan Barat, Kalimantan Tenggah dan Ambon. (3) Konflik sosial bernuansa idiologi: isu paham Komunis dan paham radikal. (4) Konflik sosial bernuansa politis: konflik akibat kecurangan Pilkada, isu pemekaran wilayah yang berakibat penyerangan dan pengrusakan. (5) Konflik

sosial bernuansa ekonomi: konflik antar kelompok nelayan di selat Madura, antar kelompok preman, antar kelompok pengemudi, antar kelompok Pedagang. (6) Konflik sosial lainnya: konflik antar anak sekolah dan mahasiswa. (7) Konflik bernuansa solidaritas liar: tawuran antar wilayah, antar supporter sepak bola. (8) Konflik sosial isu agama atau aliran kepercayaan: isu berkaitan dengan aliran Akhmaddiyah, isu aliran sesat. (9) Konflik isu kebijakan pemerintah: Bahan Bakar Minyak (BBM), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Liquefied Petroleum Gas (LPG). Dari perspektif antropologi, konflik merupakan fenomena sosial yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, terlebih lagi dalam masyarakat yang berbentuk multi budaya. Selain itu, konflik adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan bersama. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah bagaimana konflik itu dikendalikan dan diselesaikan secara damai dan bijaksana, agar tidak menimbulkan dis-integrasi sosial dalam kehidupan masyarakat (Najwan, 2009). Selain itu, untuk meminimalisasi semua konflik yang tersebut di atas, maka sangat perlu dilakukan pembenahan kepada Sumber Daya Manusianya. Artinya harus dilakukan pembentukan karakter kebinekaan kepada generasi penerus bangsa ini, yang salah satunya dapat dilakukan melalui Galeri PhotoCliping Voices sebagai pendidikan karakter kebinekaan.

Perumusan Masalah 1. Apakah Galeri Photo-Cliping Voices dapat digunakan sebagai pendidikan karakter untuk mencetak generasi penerus bangsa yang memiliki jiwa kebinekaan? 2. Apakah Galeri Photo-Cliping Voices dapat digunakan sebagai media pengakuan dan pemersatu keberagaman masyarakat di dalam masyarakat multikultur? 3. Bagaimanakah teknik implementasi Galeri Photo-Cliping Voices dalam rangka menjadi pendidikan karakter dan media pengakuan dan pemersatu masyarakat multikultur?

Tujuan 1. Mengetahui potensi Galeri Photo-Cliping Voices sebagai pendidikan karakter untuk mencetak generasi penerus bangsa yang memiliki jiwa kebinekaan. 2. Mengetahui potensi Galeri Photo-Cliping Voices sebagai media pengakuan dan pemersatu keberagaman masyarakat di dalam masyarakat multikultur. 3. Mengetahui dan memahami teknik implementasi Galeri Photo-Cliping Voices sebagai pendidikan karakter dan media pengakuan dan pemersatu masyarakat multikultur yang tepat. Manfaat 1. Praktisi Pendidikan (Guru) Memberikan informasi dan juga gagasan yang logis untuk menerapkan pendidikan karakter, terutama untuk meningkatkan kepedulian, pemahaman dan kecintaan siswa terhadap kebinekaan bangsa Indonesia. Agar para praktisi pendidikan dapat menerapkan dan minimal dapat mengarahkan anak didiknya untuk dapat memahami, menghormati, menjaga, dan yang paling penting adalah mengakui adanya perbedaan yang di dalam masyarakat yang harus benar-benar dipahami dan dihargai. 2. Masyarakat Memberikan pandangan, pemahaman serta informasi tentang cara alternatif untuk menjaga kerukunan di dalam perbedaan masyarakat dengan langsung menyentuh sumber daya manusia yaitu generasi muda penerus bangsa melalui bidang pendidikan, agar masyarakat secara serentak untuk ikut serta berperan aktif membimbing dan mengarahkan anak-anaknya untuk saling menghargai, memahami, menghormati, menjaga, dan yang paling penting adalah mengakui adanya perbedaan yang di dalam masyarakat. 3. Pemerintah Memberikan gagasan yang logis dan solusi yang tepat guna untuk meminimalisasi konflik di Indonesia serta menjaga kerukunan di dalam masyarakay yang multikultur dengan melalui pendidikan karakter untuk menyiapkan generasi muda penerus bangsa yang memiliki karakter kebinekaan.

TELAAH PUSTAKA

Konflik yang Terjadi di Indonesia Konflik adalah segala bentuk interaksi yang bersifat oposisi atau yang bersifat antagonistik (Alexander, 2005). Sedangkan menurut Mitchell (1981) dalam Suharno (2006) konflik dapat diartikan sebagai hubungan antar dua pihak atau lebih (individu maupun kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Pengertian ini harus dibedakan dengan kekerasan, yaitu sesuatu yang meliputi tindakan, perkataan, sikap atau berbagai struktur dan sistem yang mengakibatkan kerusakan secara fisik, mental, sosial dan lingkungan dan atau menghalangi seseorang meraih potensinya secara penuh. Konflik sering kali terjadi karena adanya perbedaan, kesenjangan dan kelangkaan kekuasaan, kelangkaan posisi sosial, dan juga perbedaan penilaian. Perspektif konflik tersebut umumnya didasarkan pada beberapa pemikiran, seperti: (1) masyarakat terdiri dari kelompok yang berbeda-beda, (2) terdapat perbedaan terhadap suatu hal yang dianggap benar/baik dan salah, (3) adanya pertentangan oleh kelompok-kelompok sosial (Alexander, 2005). Konflik-konflik tersebut seringkali akan menjadi konflik sosial karena sudah mencakup wilayah sosial. Konflik sosial itu sendiri menurut Robbins (1991) merupakan suatu proses yang dimulai tatkala suatu pihak merasa ada pihak lain yang memberikan pengaruh negatif, atau saat kepentingannya memberikan pengaruh negatif terhadap pihak lain. Sepanjang sejarah Indonesia telah terjadi begitu banyak konflik sosial. Bahkan negara ini meraih kemerdekaanpun melalui berbagai konflik yang sangat lama dan panjang. Pada tahun 2008 saja di Indonesia telah terjadi 1.136 konflik dan kekerasan yang meliputi konflik etnis/agama, politik, tawuran hingga konflik antar aparat negara (Saputra et al, 2009). Berikut ini beberapa konflik yang telah terjadi di Indonesia.

1. Konflik berdasarkan Etnis Konflik bernuansa etnis ini merupakan konflik yang sudah sering terjadi di Indonesia bahkan di dunia internasional. Salah satu contoh konflik etnis yang terjadi di Indonesia adalah yang terjadi di Kalimantan Barat. Setidaknya ada 3 insiden konflik etnis disana yang meliputi: (1) tahun 1967 etnis Dayak melakukan ethnic cleansing terhadap sekelompok masyarakat Cina. (2) tahun 1997 etnis Dayak melakukan ethnic cleansing terhadap etnis Madura. (3) tahun 1999 etnis Dayak melakukan ethnic cleansing terhadap etnis Madura (Abas, 2008). Dan apabila di cermati lebih jauh lagi masih banyak konflik-konflik yang bernuansa Agama di Indonesia. 2. Konflik berdasarkan Agama Konflik keagamaan yang berujung kepada kekerasan di Indonesia mulai tahun 1990 2008 telah terjadi pada 20 provinsi, dari total 33 provinsi di Indonesia (Fauzi et al, 2009). Tabel 1. Persebaran Insiden Konflik Keagamaan (1990 2008)

Sumber: Fauzi et al, 2009 Salah satu contoh konflik keagaman yang terjadi adalah bentrok yang terjadi di Maluku Tenggah pada tahun 2008 yang memusnahkan 67 rumah warga (Anonymous, 2008).

3. Konflik Berdasarkan Politik Konflik bernuansa politik ini pun sangat sering terjadi di Indonesia apalagi saat menjelang Pemilu. Sebagaimana menurut LSI (2008) bahwa pemilu yang diadakan di Kalimantan Baran, Sulawesi Selatan, dan Bangka Belitung mengalami kerusuhan. Dan sebenarnya hampir disemua derah seringkali terjadi konflik yang semacam ini.

Pendidikan Untuk Membangun Karakter Persoalan karakter bangsa kini menjadi sorotan tajam masyarakat. Sorotan itu mengenai berbagai aspek kehidupan, yang tertuang dalam berbagai tulisan di media cetak, wawancara, dialog, dan gelar wicara di media elektronik. Selain di media massa, para pemuka masyarakat, para ahli, para pengamat pendidikan dan pengamat sosial berbicara mengenai persoalan karakter bangsa di berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan, perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif, dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat di media massa, seminar, dan di berbagai kesempatan (Kementrian Pendidikan Nasional, 2010). Berbagai alternatif penyelesaian diajukan seperti peraturan, undangundang, peningkatan upaya pelaksanaan dan penerapan hukum yang lebih kuat. sedangkan alternatif lain yang banyak dikemukakan untuk mengatasi, paling tidak mengurangi, masalah budaya dan karakter bangsa yang dibicarakan itu adalah pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif karena pendidikan membangun generasi baru bangsa yang lebih baik (Kementrian Pendidikan Nasional, 2010). Pengertian Karakter Karakter itu sendiri adalah watak/tabiat/pembawaan/kebiasaan (Partanto & Barry, 1994). Secara lebih luas, Kementrian Pendidikan Nasional (2010) menjelaskan karakter merupakan kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai

landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Karakter seorang individu terbentuk sejak dia kecil karena pengaruh genetik dan lingkungan sekitar. Proses pembentukan karakter, baik disadari maupun tidak, akan mempengaruhi cara individu tersebut memandang diri dan lingkungannya dan akan tercermin dalam perilakunya sehari-hari (Chrisiana, 2005). Sedangkan menurut Budimansyah, et al. (2010) menjelaskan bahwa karakter itu dapat didefinisikan sebagai nilai-nilai kebajikan (tahu nilai kebajikan, mau berbuat baik, dan nyata berkehidupan baik) yang tertanam dalam diri dan terjawantahkan dalam perilaku. Lickona dalam Budimansyah, et al. (2010) menyatakan bahwa secara substantif terdapat tiga unjuk perilaku (operatives values, values in action) yang satu sama lain saling berkaitan, yakni moral knowing, moral feeling, and moral behavior. Sedangkan karakter yang baik atau good charakter terdiri atas proses psikologis knowing the good, desiring the good, and doing the good habit of the mind, habit of the heart, and habit of action. Menumbuhkan Karakter Karakter secara koheren memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan. Secara psikologis, karakter individu dimaknai sebagai hasil keterpaduan empat bagian, yakni olah hati, olah pikir, olah raga, dan perpaduan olah rasa dan karsa (Budimansyah, et al., 2010). Kementrian Pendidikan Nasional (2011)

menjelaskan bahwa: 1. Olah hati berkenaan dengan perasaan sikap dan keyakinan atau keimanan menghasilkan karakter jujur dan bertanggung jawab. 2. Olah pikir berkenaan dengan proses nalar guna mencari dan menggunakan pengetahuan secara kritis, kreatif, dan inovatif menghasilkan pribadi cerdas.

3. Olah raga berkenaan dengan proses persepsi, kesiapan, peniruan, manipulasi, dan penciptaan aktivitas baru disertai sportivitas menghasilkan karakter tangguh. 4. Olah rasa dan karsa berkenaan dengan kemauan yang tercermin dalam kepedulian. Dengan demikian, terdapat enam karakter utama dari seorang individu, yakni jujur dan bertanggung jawab, cerdas, kreatif, tangguh, dan peduli. Pengertian Pendidikan Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik. Pendidikan juga suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan, yang ditandai oleh pewarisan budaya dan karakter yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa (Kementrian Pendidikan Nasional, 2010). Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan tidak dapat lepas dari kehidupan. Dengan pendidikan, dapat memajukan kebudayaan dan mengankat derajat bangsa di mata dunia internasional. Pendidikan akan terasa gersang apabila tidak berhasil mencetak sumber daya manusia yang berkualitas baik dari segi spiritual, intelegensi dan skill (Susilo, 2007). Secara filosofis Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara, menyatakan bahwa pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin dan karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita. Hakikat, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional tersebut menyiratkan bahwa melalui pendidikan hendak diwujudkan peserta didik yang secara utuh memiliki berbagai kecerdasan, baik kecerdasan spiritual, emosional, sosial, intelektual, maupun kecerdasan kinestetika. Oleh karena itu, pendidikan nasional mempunyai misi mulia (mission sacre) terhadap individu peserta didik. Salah satu misi mulianya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa (Budimansyah, et al., 2010).

Pendidikan Karakter Pembangunan karakter yang merupakan upaya perwujudan amanat Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan yang berkembang saat ini. Oleh karena itu, Pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional. Semangat itu secara implisit ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2015, di mana pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah pancasila (Kementrian Pendidikan Nasional, 2011). Lebih jauh Kementrian Pendidikan Nasional (2011) menjelaskan bahwa pendidikan karakterpun sebenarnya telah tertuang dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional UUSPN). Pendidikan karakter disebutkan sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Atas dasar itu, pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Tetapi lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor). Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan bukan hanya

10

aspek pengetahuan yang baik (moral knowing), akan tetapi juga merasakan dengan baik (moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action). Pendidikan karakter menekankan pada habit atau kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan dan dilakukan (Kementrian Pendidikan Nasional, 2011). Pendidikan karakter merupakan berbagai usaha yang dilakukan oleh para personil sekolah, bahkan yang dilakukan bersama-sama dengan orang tua dan anggota masyarakat, untuk membantu anak-anak dan remaja agar menjadi atau memiliki sifat peduli, berpendirian, dan bertanggung jawab (Wangid, 2010). Proses implementasi pendidikan karakter didasarkan pada totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, psikomotorik) dan fungsi totalitas sosiokultural dalam konteks interaksi dalam keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat (Kementrian Pendidikan Nasional, 2011). Nilai-Nilai Pembentukan Karakter Satuan pendidikan sebenarnya selama ini sudah mengembangkan dan melaksanakan nilai-nilai pembentuk karakter melalui program operasional satuan pendidikan masing-masing. Hal ini merupakan prakondisi pendidikan karakter pada satuan pendidikan yang untuk selanjutnya pada saat ini diperkuat dengan 18 nilai hasil kajian empirik Pusat Kurikulum. Nilai prakondisi (the existing values) yang dimaksud antara lain takwa, bersih, rapih, nyaman, dan santun (Kementrian Pendidikan Nasional, 2011). Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, dan (18) Tanggung Jawab (Kementrian Pendidikan Nasional, 2011).

11

METODE PENULISAN

Sifat Penulisan Karya tulis ini bersifat memaparkan tentang kondisi dari suatu permasalahan kerukunan di dalam masyarakat yang multikultur di Indonesia yaitu konflik-konflik sosial yang sering kali terjadi di dalam masyarakat. Serta menawarkan solusi alternatif penenganan permasalahan tersebut dengan menggunakan Galeri Photo-Cliping Voices sebagai pendidikan karakter untuk mencetak generasi penerus bangsa yang mencintai, mau menjaga, menghargai, menghormati dan mengakui adanya keberagaman di dalam masyarakat yang multikultur di Indonesia.

Metode Pengumpulan Data Penulisan karya tulis ini adalah dengan menggunakan metode pengumpulan data yang berupa studi pustaka melalui beberapa sumber di bawah ini: 1. Jurnal-jurnal penelitian 2. Buku-buku referensi 3. Makalah dan karya ilmiah 4. Internet Penulisan karya tulis ilmiah ini menggunakan dua metode, yaitu: 1. Metode memaparkan data serta fakta yang ada, sehingga data-data yang ada dapat dikorelasikan. 2. Metode yang berupa proses analisis dengan penyampaian argumen melalui berfikir logis dan sistematis.

12

Kerangka Berfikir kekayaan kekuatan Solidaritas liar Separatisme Konflik etnis KONFLIK Konflik agama dan ideologi Konflik politis Kebijakan pemerintah Pendidikan Karakter sejak Dini yang berkelanjutan
Solusi / dapat diatasi dengan

Masyarakat Multikultur Berbagai SARA di Indonesia

tantangan

Perubahan social, fanatik golongan, perbedaan karakter kelompok

GALERI PHOTO CLIPING VOICES

Gambar 1. Kerangka Beripiki Penulisan

13

ANALISIS DAN SINTESIS

Masyarakat Multikultur dan Konflik Sosial Suatu realitas yang tak terbantahkan, bahwa tidak satu negara pun di dunia yang memiliki identitas nasional yang tunggal. Tidak ada negara yang dihuni hanya oleh satu suku bangsa. Negara mana pun di dunia sekarang selalu didukung oleh pluralitas penduduk dari segi etnis. Implikasi dari pluralitas etnis ini adalah lahirnya pluralitas dalam aspek lain, seperti budaya, bahasa, agama, bahkan kelas sosial dalam satu negara (Imron, 2006). Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau yang tersebar di Nusantara, memiliki ratusan etnis, budaya, agama, ras, bahasa bahkan kelas sosial. Hal tersebutlah yang menyebabkan Indonesia menjadi negara yang memiliki masyarakat multikultur. Menurut Imron (2006) karakteristik pluralitas Indonesia tersebut merupakan kompleksitasnya di dalam hal etnis dan agama. Di Indonesia terdapat tidak hanya puluhan etnis, melainkan ratusan etnis dengan bahasa dan budayanya masing-masing yang satu dengan lainnya berbeda. Selain itu, berbagai etnis itu pada umumnya menganut agama masing-masing yang satu dengan lainnya berbeda. Karena itu, semboyan Bhinneka Tunggal Ika terasa sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia yang demikian majemuk dan heterogen. Kemajemukan tersebut merupakan potensi budaya yang dapat

mencerminkan jati diri bangsa. Secara historis, kemajemukan tersebut telah dapat menjadi salah satu unsur yang menentukan dalam pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, kemajemukan juga menjadi modal budaya (cultural capital) dan kekuatan budaya (cultural power) yang menggerakkan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi dari sisi lain, kemajemukan tersebut menurut Najwa (2009) juga berpotensi untuk menimbulkan konflik yang dapat mengancam integrasi bangsa. Hal serupa juga dinyatakan di dalam Ketetapan MPR (2000) bahwa kemajemukan tersebut merupakan kekayaan dan kekuatan yang sekaligus menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia. Tantangan itu sangat terasa terutama ketika bangsa Indonesia membutuhkan kebersamaan

14

dan persatuan dalam menghadapi dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Konflik antar budaya di dalam kemajemukan tersebut menurut Najwan (2009) dapat menimbulkan pertikaian antar etnis, antar penganut agama, ras maupun antar golongan yang bersifat sangat sensitif dan rapuh terhadap suatu keadaan yang menjurus ke arah dis-integrasi bangsa. Fenomena ini dapat terjadi, apabila konflik tersebut tidak dikendalikan dan diselesaikan secara arif dan bijaksana oleh pemerintah bersama seluruh komponen anak bangsa. Telah banyak konflik yang terjadi di Indonesia, hal tersebut dapat dilihat dari catatan sejarah bahwa di Kalimantan Barat khususnya telah terjadi konflik mulai tahun 1950 tepatnya di Samalantan Kabupaten Sambas (1950 1977), Terap-Toho Kabupaten Pontianak (1969), Bodok Kabupaten Sanggau (1976), sungai Pinyuh Kabupaten Pontianak (1978), Siadoreng Samalantan Kabupaten Sambas (1979), Sungai Ambawang Kabupaten Pontianak (1983), Kotamadya Pontianak (1993), Tumbang Titi Kabupaten Ketapang (1994), Sanggau Ledo Kabupaten Sambas (1996/1997), dan di Siantan Tengah, Kotamadya Pontianak (1997) (Tiras, 1997; Hermansyah et al, 2008). Selain yang tersebut di atas, masih banyak lagi konflik-konflik yang terjadi di wilayah Indonesia. Sejak berakhirnya Orde Baru pada tahun 1998 konflik di Indonesia semakin menjadi-jadi. Beberapa konflik besar yang telah terjadi seperti konflik di Kalimantan Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Aceh, dan Papua. Konflik tersebut bukan hanya menyebabkan kerugian materi, tetapi juga kerugian jiwa. Tercatat hingga tahun 2001 saja, jumlah korban jiwa akibat konflik sebanyak 11.160 jiwa (Saputra et al, 2009) Saputra et al (2009) lebih jauh menjelaskan bahwa pada tahun 2008 saja di Indonesia telah terjadi 1.136 konflik dan kekerasan yang meliputi konflik etnis/agama 28 insiden (2%), politik 180 insiden (16%), tawuran 240 insiden (21%), konflik antar aparat negara 15 insiden (1%), konflik perebutan sumberdaya alam 109 insiden (10%), Perebutan SDE 123 insiden (11%), penghakiman massa 338 insiden (30%), pengeroyokan 47 (4%), dan konflik yang lainnya 56 insiden (5%).

15

Tabel 2. Jumlah Konflik Kekerasan Komunal di Seluruh Provinsi di Indonesia tahun 2008

Sumber: Saputra et al, 2009 Apabila dilihat dari data yang tersaji di atas, maka hal tersebut menunjukkkan bahwa konflik di Indonesia penyebabnya adalah sangat beragam mulai dari yang bernuansa etnis, agama, politik, SDA, SDE, tawurah hingga antar aparat negara. Menurut Saputra et al (2009) konflik etnis/agama memang hanya 2% yaitu tergolong ke dalam angka yang kecil. Namun, konflik ini cukup berbahaya karena cenderung meningkat pada bulan-bulan tertentu dan kembali meningkat pada akhir tahun. Sebagaimana tampak pada gambar di bawah ini:

Gambar 2. Grafik Konflik Etnis/Agama tahun 2008 di Indonesia

16

Meminimalisasi Konflik Sosial Melalui Galeri Photo-Cliping Voices Serta Relevansinya sebagai Media Pembelajaran Karakter dan Media pengakuan dan Pemersatu Masyarakat Multikultur Keanekaragaman kebudayaan Indonesia yang didukung oleh 931 etnis, 600-an bahasa daerah dan ribuan aspirasi kultural (Mulyana, 2005; Sumadi), maka dalam proses interaksi sebagai bagian dari negara kesatuan antar etnis tersebut diperlukan sebuah toleransi yang tinggi terhadap keberadaan kebudayaan satu etnis dengan etnis yang lainnya dalam kerangka nasionalisme kebangsaan, sebuah ideologi transetnis yang menjadi cita-cita bersama. Toleransi inilah yang nantinya bermuara pada konsep adaptasi budaya sebagai sebuah out put yang bijaksana dan bebas konflik. Galeri Photo-Cliping Voices Sebagai Pendidikan Karakter Selama ini isu konflik sosial masyarakat terutama di Indonesia telah menjadi pembahasan yang panjang dan telah menyita perhatian banyak pihak. Beberapa penyelesaian untuk mengatasi konflik-konflik sosial ini telah banyak dilakukan, mulai dari perundingan, diproses lewat hukum hingga diselesaikan lewat multikulturalisme. Salah satu wacana penting mengenai multikulturalisme adalah pendidikan multikultural sebagai strategi jangka panjang meskipun konsep ini mengundang banyak kontroversi pendapat. Salah satu kritiknya adalah bahwa pendidikan multikultural itu bersifat memecah-belah karena pengakuan terhadap hakikat hidup setiap kebudayaan akan melahirkan bentuk-bentuk yang khas pendidikan multikultural yang belum tentu berujung pada kepentingan integrasi kebudayaan secara nasional. Pendidikan mulkultural ini belum tentu sejalan dengan terpeliharanya nasionalisme (Watson, 2000; Purwanto). Pada dasarnya dengan cara langsung menyentuh kepada Sumber Daya Manusianya merupakan cara yang sangat tepat untuk menyelesaikan segala bentuk konflik sosial yang ada di dalam masyarakat multikultur, dan melalui pendidikan yang paling tepat untuk hal ini. Namun perlu adanya pengayoman menyeluruh untuk keberagaman masyarakat yang ada dan tidak memisah-

17

misahkan budaya satu dengan yang lain atau bahkan etnis satu dengan yang lainnya. Sebagaimana dijelaskan oleh Sumadi bahwa sangat perlu kejelian melihat bagaimana reaksi dan kreasi masyarakat dalam kemajemukan budaya, sehingga persinggungan budaya etnis ini tidak mengarah pada bentuk konflik etnis, tetapi menuju sebuah peleburan yang berbentuk adaptasi dan mencegah disharmoni dalam hubungan antaretnis. Pemahaman estetika kultural dalam hal ini menjadi sangat penting. Atas dasar hal tersebut di atas sangat diperlukan sebuah bentuk pendidikan yang dapat menanamkan pemahaman untuk saling menghargai kemajemukan yang ada. Terlebih lagi untuk menyiapkan generasi penerus bangsa yang mampu menjaga, menghargai menghormati dan mengakui adanya perbedaan yang hidup secara bersama dan bersatu di dalam unsur kehidupan bermasyarakat. Untuk itulah Galeri Photo-Cliping Voices hadir untuk membentuk karakter penerus bangsa ini menjadi berwawasan kebinekaan. Teknik implementasi Galeri Photo-Cliping Voices di dalam dunia pendidikan tidak dimasukkan ke dalam proses pembelajaran, tetapi dilakukan diluar kegiatan belajar mengajar. Secara garis besar adalah sebagai berikut: 1. Dalam Implementasinya, setiap kelas akan dibentuk pengurus Galeri PhotoCliping Voices yang berfungsi untuk mengatur, mengoordinir teman-temannya di dalam kelas, dan dibimbing oleh satu guru pembimbing. 2. Semua siswa dibentuk kelompok (jumlah sesuai dengan kesepakatan kelas) dan masing-masing kelompok diharuskan untuk mencari informasi apapun tentang kemajemukan masyarakat Indonesia, konflik-konflik sosial, hingga

keharmonisan yang telah terjadi di masyarakat Indonesia. 3. Dalam rangka mencari informasi tersebut, siswa harus benar-benar memperoleh data yang lengkap dan diuraikan secara fakta yang disusun baik dalam bentuk foto maupun kliping yang menceritan suatu keadaan (photocliping voices). 4. Foto maupun Kliping tersebut akan dibuat di dalam ukuran yang besar minimal ukuran kertas A3 dan akan dilakukan pameran serta presentasi di dalam galeri.

18

5. Galeri itu sendiri berfungsi untuk menghimpun semua kreasi siswa yang telah dibuat. 6. Dalam pembuatan photo-cliping voices tidak ada aturan yang pasti karena memang untuk memberikan wadah kepada semua siswa mengembangkan kreatifitasnya. Dan yang paling penting adalah pesan yang disampaikan dapat bersifat komunikatif dan menarik. 7. Dan setiap satu semester akan diadakan kompetisi photo-cliping voices yang terbaik. Hal ini ditujukan agar semua siswa dapat memberikan karya terbaiknya dan memiliki karakter mampu bersaing secara berkualitas dan baik/benar. 8. Masing-masing siswa bertanggung jawab penuh terhadap informasi yang dibuat dan diberikan di dalam Photo-cliping Voices tersebut. 9. Setiap minggunya siswa tersebut akan memperoleh pemahan materi dari guruguru pembimbing tentang kebinekaan di Indonesia dan semua yang berkaitan tentang dinamika masyarakat di Indonesia.

Mulai dari dibentuknya pengurus Galeri Photo-Cliping Voices tersebut, sebenarnya telah mengajarkan pada siswa tentang nilai-nilai karakter diri seperti tanggung jawab, peduli sosial, komunikatif, dan jujur. Sedangkan siswa dikelompokkan bertujuan untuk membangun karakter komunikatif, mampu bekerjasama, saling tolong menolong dan menghargai serta menghormati. Saat siswa membuat photo-cliping voices pada dasarnya itu mengajarkan kepada mereka untuk dapat mempelajari semua bentuk dinamika masyarakat atau kemajemukan masyarakat Indonesia. Selain itu mengajarkan bagaimana mengembangkan kreativitas siswa untuk berkarya. Dilakukannya kompetisi photo-cliping voices diharapkan dapat menanamkan karakter kepada siswa untuk mampu bersaing secara berkualitas, jujur, dan mampu menghargai orang yang lebih unggul. Maka dengan adanya Galeri Photo-Cliping Voices ini tentunya dapat memberikan pemahaman tentang kemajemukan masyarakat dan membangun wawasan kebinekaan serta dapat menanamkan nilai-nilai karakter diri sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Kementrian Pendidikan Nasional (2011)

19

bahwa pelaksanaan pendidikan karakter teridentifikasi dari 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab. Galeri Photo-Cliping Voices Sebagai Media Pengakuan dan Pemersatu Masyarakat Multikultur Koflik seringkali terjadi karena adanya salah satu pihak merasakan adanya pengaruh negatif dari pihak lain. Begitu pula apabila salah satu pihak ingin memberikan pengaruh negatif kepada pihak yang lain. Hal tersebut pada dasarnya kembali kepada pemahaman masing-masing kelompok masyarakat, yaitu mampu memaknai keberagaman itu sebagai kekayaan yang dapat dibanggakan atau malah menjadi sebuah ancaman bagai kelompok lain. Oleh karena itu, sangat perlu dilakukan pembenahan dari tataran sumber daya manusianya agar memiliki wawasan kebinekaan yang diwujudkan dalam bentuk mau menghormati, menjaga dan mengakui adanya keberagaman tersebut. Hermansyah et al (2008) menjelaskan bahwa di dalam masyarakat yang plural dan multikultur, seyogyanya pengakuan terhadap etnis dan budaya dengan segala bentuk kearifannya, tidak terjebak pada absolutisme, mengakui relativisme, serta terbukannya ruang komunikasi dan dialog merupakan suatu keniscayaan. Bukan sebaliknya, ikatan premordialisme yang mengarah pada kuatnya kesadaran etnis menjadikan pemahaman akan keberadaan suatu etnis meniscayakan etnis yang lain. Dalam kondisi demikian, maka kesadaran etnis menjadi hal yang paling utama. Pengakuan tentang keberadaan bahkan identitas merupakan hal yang penting untuk dipahami dan dilakukan. Oleh karena itulah, dengan adanya Galeri Photo-Cliping Voices diharapkan mampu menjadi media untuk menanamkan pada generasi penerus bangsa untuk memiliki kemampuan menyikapi dan pemahaman

20

tentang pentingnya pengakuan terhadap kemajemukan masyarakat Indonesia. Maka dengan demikian persatuan masyarakat yang multikultur dapat tetap terjaga, terbingkai dalam satu semboyan bangsa yaitu Bhinneka Tunggal Ika dan dapat terimpelmentasikan dalam keberlangsungan kehidupan bermasyarakat.

21

SIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Galeri Photo-Cliping Voices berpotensi besar digunakan sebagai salah satu cara mengurangi konflik sosial di dalam kemajemukan bangsa, karena langsung memperbaiki dari sumber daya manusianya (SDM) yaitu generasi muda penerus bangsa dengan menanamkan karakter mampu memahami, menyikapi, menjaga, menghormati, toleransi dan mampu mengakui kemajemukan masyarakat Indonesia sehingga tetap terjaga kerukunan dan persatuan di dalam kelangsungan kehidupan bermasyarakat. 2. Galeri Photo-Cliping Voices ini secara spesifik diimplementasikan pada bidang pendidikan, dan menjadi pendidikan karakter yang berwawasan kebinekaan.

Saran dan Rekomendasi Dengan adanya Galeri Photo-Cliping Voices ini, diharapkan dapat menjadi pendidikan karakter bagi penerus bangsa agar memiliki wawasan dan pemahaman yang mendalam tentang kebinekaan serta media pengakuan serta pemersatu masyarakat multikultur. Dan diharapkan ada yang dapat menjadi sekolah percontohan untuk mengaplikasikan konsep Galeri Photo-Cliping Voices ini.

22

Anda mungkin juga menyukai