Solusi Perubahan Sistem Pembelajaran Pada Program Akselerasi di Indonesia
Oleh: Akbar Prasetyo Utomo Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan tentang perlunya memberikan pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi dan kecerdasan istimewa. Hal ini dilakukan supaya potensi yang dimiliki peserta didik dapat berkembang secara optimal. Upaya pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa telah dilakukan sejak tahun 1974 dalam bentuk kebijakan atau program. Hasil penelitian yang mendukung kebijakan tersebut yaitu penelitian Hawardi (dalam Balitbang 2007) tentang program percepatan belajar terhadap 20 SMA unggulan di 16 propinsi di Indonesia yang menyimpulkan bahwa program ini tidak cukup memberikan dampak positif kepada peserta didik berbakat untuk mengembangkan potensi intelektual yang tinggi. Salah satu faktor penyebabnya adalah data yang menunjukkan 25,3% peserta didik SMA unggulan hanya mempunyai kecerdasan umum yang berfungsi pada taraf di bawah rata-rata dan hanya 9,7% yang tergolong anak memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Berdasarkan hasil tersebut, Direktorat pembinaan SLB melakukan serangkaian diskusi dan workshop yang melibatkan para psikolog, pendidik, dan pengelola program akselerasi untuk menyusun naskah tentang penatalaksanaan psikologi untuk pendidikan bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa khusus dalam bidang akademik. Hal ini dilakukan agar aspek psikologis peserta didik maupun tenaga pendidikan menjadi salah satu fokus layanan dalam pengelolaan pendidikan bagi peserta didik cerdas istimewa. Vialled & Carlton (dalam Balitbang, 2007) menjelaskan secara umum terdapat dua layanan pendidikan yang diberikan untuk anak cerdas istimewa, yaitu acceleration (percepatan) dan enrichment (pengayaan). Acceleration (percepatan) adalah suatu program atau aktivitas yang memungkinkan untuk menyelesaikan materi kurikulum lebih. Sedangkan enrichment (pengayaan) merupakan program yang memungkinkan perluasan dan pendalaman materi kurikulum secara umum. Adapun program akselerasi yang dilakukan dapat berupa beberapa cara, yaitu bentuk akselerasi seperti: (1) Early entrance; (2) Subject acceleration; (3) Curriculum compacting; (4) Telescoping; (5) Mentoring; (6) Advance placement; (7) Correspondence course. Namun selama ini sekolah yang memiliki program akselerasi di Indonesia lebih cenderung hanya menggunakan model telescoping. Model ini menekankan pada pemadatan kurikulum, yaitu dari 6 tahun menjadi 5 tahun untuk SD/MI atau 3 tahun menjadi 2 tahun untuk tingkat SMP/MTs/SMA/MA. Pendidikan untuk anak cerdas istimewa membutuhkan diferensiasi kurikulum yaitu dengan memberikan tugas dan kegiatan yang berbeda dari rata-rata anak seusianya sesuai dengan kebutuhan belajarnya. Diferensiasi kurikulum hendaknya dilakukan pada segenap elemen yang terdiri dari: materi, produk, dan lingkungan dengan melakukan penyesuaian kebutuhan belajar, diferensiasi kurikulum bagi peserta didik cerdas istimewa dapat dilakukan melalui tiga jalur: enrichment (pengayaan), extension (pendalaman), acceleration (percepatan) (Davis & Rimm, 1998). Dalam menerapkan pengayaan, pendalaman & percepatan pembelajaran, berarti memperkaya, memperluas, dan mengembangkan: pengetahuan, informasi, pemahaman, aplikasi dan integrasi, proses berpikir, strategi dan keterampilan, tampilan fisik, sikap terhadap pemikiran abstrak tingkat tinggi dan kinerja sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik (Davis & Rimm, 1998). Jadi pengayaan disini bukan dalam artian hanya sekedar memberikan materi lebih banyak daripada siswa reguler dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi kepada peserta didik, melainkan perlu dipertimbangkan kegiatan belajar yang berfokus pada beberapa hal: (1) Tugas- tugas yang bersifat menggunakan pola pikir divergen atau terbuka; (2) Peserta didik diberikan kesempatan untuk memilih kegiatan belajar; (3) Mencakup pengembangan keterampilan belajar (keterampilan mencatat, menulis, menghadapi ujian, mengelola waktu, dll.) dan keterampilan dalam berpikir (keterampilan berpkir analitis, kritis, kreatif, afektif); (4) Mengakomodasi gaya belajar peserta didik; (5) Kegiatan belajar yang memungkinkan untuk mempelajari secara mendalam sesuai dengan minat peserta didik, menggunakan ranah kognitif tingkat tinggi, dan didasarkan pada model-model diferensiasi kurikulum. Dalam filsafat konstruktivisme, Suparno (1997) menjelaskan pembelajaran harus bersifat kontekstual dan memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengkonstruksikan sendiri pengetahuan dan pengalaman pembelajarannya. Atas dasar itu, pembelajaran yang baik harus dirancang berbasis konteks sosial sekolah, konteks peserta didik, serta konteks kompetensi yang dituju. Oleh Johnson (dalam Balitbang, 2007) dipertegas bahwa pembelajaran yang kontekstual harus dirancang sesuai dengan karakter peserta didik yang dihadapi memiliki keunggulan dalam isi maupun prosesnya. Peserta didik dengan kecerdasan istimewa yang mempunyai kelebihan dalam kecepatan menyelesaikan tugas, mempunyai tingkat keunggulan dalam abstraksi berpikir, sehingga diperlukan suatu rancangan pembelajaran yang lebih cepat dan unggul dalam tantangan berpikir (Renzulli, 2005). Persoalan yang kemudian muncul adalah terkait dengan pelayanan pembelajaran bagi peserta didik cerdas istimewa dan meningkatkan tantangan taraf berpikir yang cocok dengan peserta didik yang cerdas tersebut. Apakah mereka cukup dilayani dengan jalan percepatan belajar sebagaimana yang kini banyak terjadi di sekolah program akselerasi, atau guru harus mengambil inisiatif baru memberikan pelayanan yang istimewa. Mengingat peserta didik yang dihadapi adalah kelompok cerdas istimewa, maka isi materi pembelajaran harus lebih berbobot dan menantang dibanding dengan isi materi pelajaran yang standar bagi kelas reguler. Karenanya kegiatan pembelajaran dapat difungsikan sebagai sarana penguat menuju level berpikir tingkat tinggi melalui rekayasa model pembelajaran. Menurut Dave (dalam Balitbang, 2007) kegiatan pembelajaran yang menantang dan menghasilkan level berpikir tinggi, selalu melibatkan pemikiran dan pemecahan masalah. Model pembelajaran yang selalu mengandung kegiatan yang selalu bergerak dinamis dan selalu memberikan peluang bagi peserta didik diberi pengalaman pembelajaran melalui kombinasi observasi serta pemecahan masalah. Penetapan kegiatan pembelajaran bagi peserta didik cerdas istimewa menuntut kepada guru untuk memodifikasi kegiatan pembelajaran bagi peserta didik reguler ke corak kegiatan pembelajaran yang menuntut corak berpikir tingkat tinggi. Pola kegiatan pembelajaran berupa sistem pembelajaran berbasis masalah (Problem based learning) yang mengutamakan produk dan proyek supaya lebih digunakan dalam proses pembelajaran. Berdasarkan paparan di atas, maka seyogyanya pengajar pada peserta didik cerdas istimewa tidak hanya meningkatkan jumlah materi pembelajaran dengan menggunakan teknologi informasi dan telekomunikasi, melainkan juga harus meningkatkan bobot materi pelajaran dan bobot kegiatan pembelajaran, sebab tanpa itu sesungguhnya guru telah memberlakukan menu pembelajaran dengan materi yang tidak sesuai dengan karakter mereka yang berkemampuan diatas rata-rata peserta didik. Disinilah diperlukan guru yang berkedudukan sebagai agen pembelajaran yang profesional. Pembelajaran untuk peserta didik cerdas istimewa memerlukan bentuk pelaksanaan yang multi dimensi supaya potensi yang istimewa dapat dikembangkan. References : Balitbang Depdikbud. (2007). Penatalaksanaan Psikologi Program Akselerasi. Jakarta: Balitbang Depdikbud Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan. Davis, G. A. & Rimm, S. B. (1998). Teaching The Gifted and Talented Children. Boston: Allyn & Bacon. Feldhusen, J. F. (1994). Educating Teachers for Work with Talented Youth. In Nicholas Colangelo & Gary A. Davis (Eds.). Handbook of Gifted Education (2 nd ed.). Boston: Allyn & Bacon. Renzulli J. S. (2005). The Three Ring Comception of Giftedness: A Developmental Model for Promoting Creative Productivity, In. R. J. Sternberg & J. E. Davidson (Eds.) Conception of Giftedness. NewYork: Cambridge University Press. Suparno, P. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.