Anda di halaman 1dari 27

PRESENTASI KASUS BESAR

SINDROMA NEFROTIK

Pembimbing: dr. Akhmad Heppy Oktavianto, Sp. PD

Disusun oleh : Karina Adistiarini G4A013054

SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEDOKTERAN PURWOKERTO 2013 1

LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

SINDROMA NEFROTIK

Disusun Oleh : Karina Adistiarini G4A013054

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Telah disetujui dan dipresentasikan Pada tanggal : 2013

Dokter Pembimbing :

dr. Akhmad Heppy Oktavianto, Sp. PD NIP.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Sindroma nefrotik bukan merupakan suatu penyakit. Istilah sindrom nefrotik dipakai oleh Calvin dan Goldberg, pada suatu sindrom yang ditandai dengan proteinuria berat, hypoalbuminemia, edema, hiperkolesterolemia, dan fungsi renal yang normal. Istilah sindrom nefrotik kemudian digunakan untuk menggantikan istilah terdahulu yang menunjukan keadaan klinik dan laboratorik tanpa menunjukan suatu penyakit yang mendasarinya (Alatas, 2004). Sampai pertengahan abad ke 20 morbiditas sindrom nefrotik pada anak masih tinggi yaitu melebihi 50%. Dengan ditemukannya obat-obat sulfonamid dan penicilin tahun 1940an, dan dipakainya obat adrenokortokotropik (ACTH) serta koertikosterid pada tahun 1950, mortalitas penyakit ini mencapai 67%. Dan kebanyakan mortalitas ini disebabkan oleh komplikasi peritonitis dan sepsis. Pada dekade berikutnya mortalitas turun sampai 40%, dan turun lagi menjadi 35%. Dengan pemakaian ACTH atau kortison pada awal 1950 untuk mengatasi edema dan mengurangi kerentanan terhadap infeksi, angka kematian turun mencapai 20%. Pasien sindrom nefrotik yang selamat dari infeksi sebelum era sulfonamid umumnya kematian pada periode ini disebabkan oleh gagal ginjal kronik (Alatas, 2004). Umumnya nefrotik sindrom disebabkan oleh adanya kelainan pada glomerulus yang dapat dikategorikan dalam bentuk primer atau sekunder. Istilah sindrom nefrotik primer dapat disamakan dengan sindrom nefrotik idiopatik dikarenakan etiologi keduanya sama termasuk manisfestasi klinis serta histopatologinya. Dalam refrat ini selanjutnya pembahasan mengenai maisfestasi klinik, diagnosis dan penatalaksanaan akan dititk beratkan pada sindrom nefrotik primer. Terutama sub kategori minimal change nephrotic syndrome (MCNS), fokal segmental glomerosclerosis (FSGS) serta membrano proloferatif glomerulonephritis (MPGN). B. Tujuan Tujuan umum pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui definisi, epidemiologi, faktor risiko, patologi dan fisiologi, gejala klinis, penegakkan diagnosis, terapi maupun komplikasi dari sindrom nefrotik

BAB II LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA Nama Umur Jenis kelamin Status perkawinan Suku bangsa Agama Pekerjaan Alamat Tanggal masuk Autoanamnesis Alloanamnesis B. SUBJEKTIF 1. Keluhan Utama Sesak 2. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke IGD RSMS karena sesak, selain sesak pasien juga mengeluhkan perutnya membesar, nyeri pinggang, nyeri perut, dan tidak bisa tidur malam. Selain itu pasien juga mengeluhkan badan teras lemas., pasien akan semakin sesak jka tidur terlentang dan bekerja, pasien sudah sering berobat ke RS majenang untu meringankan keluhannya,namun belu kunjung membaik. Keluhan tersebut dirasakan semakin hari semakin memberat sehingga pasien di rawat di bangsal RSMS. Pasien pernah di rawat di RSUD Majenang 2 tahun yang lalu karena seluruh badannya bengkak, bengkak di mulai dari kedua kelopak mata dan menyebar keseluruh tubuh, setelah dirawat di rumah sakit keadaan pasien membaik dan pulang. Pada 7 hari sebelum di rawat di rumah sakit margono pasien mengeluhkan gejala yang sama yaitu seluruh badan bengkak dan sesak setelah melahirkan putranya yang keempat. : Ny. LN : 27 tahun : Perempuan : menikah : Sunda : Islam : Ibu RT : Majenang : 28 November 2013 : 3 Desember 2013 : 3 Desember 2013

Pada perawatan terkahir ini pasien masih mengeluhkan sesak dan adanya bengkak, yang dirasa belum berkurang dan memilih untuk pulang atas permintaan sendiri. 3. Riwayat Penyakit Dahulu a. Riwayat keluhan serupa b. Riwayat mondok c. Riwayat darah tinggi d. Riwayat kencing manis e. Riwayat penyakit jantung f. Riwayat alergi 4. Riwayat Penyakit Keluarga a. b. c. d. e. f. 5. Riwayat keluhan serupa Riwayat mondok Riwayat darah tinggi Riwayat kencing manis Riwayat penyakit jantung Riwayat alergi : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : memiliki riwayat sindroma nefrotik : diakui dengan keluhan yang sama : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi a. Community Pasien tinggal di pedesaan. Hubungan antara pasien dengan anggota keluarga yang lain, tetangga dan keluarga dekat baik. Pasien telah menikah mempunyai 2 anak dan riwayat terminasi 2 kali. Occupational Pasien bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga b. Personal habit Pasien mengaku makan 3 kali sehari dengan menu nasi, sayur, kadang disertai lauk-pauk, buah-buahan. c. Biaya pengobatan Pasien berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi sedang. Sumber pembiayaan kesehatan ditanggung sendiri.

C. OBJEKTIF 1. Pemeriksaan Fisik a. Keadaan Umum b. Kesadaran c. BB d. TB e. IMT f. Vital sign - Tekanan Darah : 190/140 mmHg - Nadi - RR - Suhu d. Status Generalis 1) Kepala Bentuk Rambut : mesochepal, simetris : warna hitam, tidak mudah dicabut, : 90x/menit : 15x/menit : 36,5oC :tampak sakit sedang : compos mentis, GCS = 15 E4M6V5 : sekitar 75 kg : 155 cm : 31, 22

distribusi merata, tidak rontok Nyeri tekan : (-)

2) Mata Palpebra Konjungtiva Sclera Pupil : edema (-/-) : anemis (+/+) : ikterik (-/-) :reflek cahaya (+/+) normal,

isokor/isokor 3mm/3mm 3) Telinga otore (-/-) simetris nyeri tekan (-/-)

4) Hidung nafas cuping hidung (-/-) discharge (-/-)

5) Mulut bibir sianosis (+) bibir kering (-)

6) Leher Trakhea Kelenjar lymphoid Kelenjar thyroid JVP : deviasi trakhea (+) kanan : tidak membesar, nyeri (-) : tidak membesar : 5 + 2 cm H2O

7) Dada a) Paru - Inspeksi : bentuk dada simetris ketinggalan gerak (-),

retraksi (-), jejas (-) - Palpasi : vocal fremitus kanansama kiri dan kanan, tidak

ketinggalan gerak - Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru

- Auskultasi : Apex : SD Vesikuler +/+ basal : SD Vesikuler +/+ Ronkhi basah halus : +/+ Ronkhi basah kasar : -/Wheezing -/-

b) Jantung - Inspeksi : ictus cordis nampak pada SIC V 2 jari medial LMC sinistra - Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V jari medial LMC sinistra,tidak kuat angkat - Perkusi : Batas jantung kanan atas : SIC II LMCD Batas jantung kiri atas : SIC II LMCS

Batas jantung kanan bawah : SIC IV LMCD Batas jantung kiri bawah : SIC V 2 jarimedial LMCS

- Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallop (-) 8) Abdomen Inspeksi Auskultasi Perkusi Palpasi (+) 9) Hepar 10) Lien 11) Ekstrimitas Superior : deformitas (-), akral hangat (+/+), edema (+/+), : sulit dinilai : sulit dinilai : cembung : bising usus (+) normal . : redup, tes pekak sisi (+), pekak beralih (+) : tegang, nyeri tekan epigastrium (+), undulasi

reflek fisiologis (+/+) reflek patologis (-/-) Inferior : deformitas (-), akral hangat (+/+), edema

(+/+),reflek fisiologis (+/+) reflek patologis (-/-) 2. Pemeriksaan penunjang a. Laboratorium darah lengkap tanggal 28 November 2013 (dilakukan di RSMS) Hb Leukosit Hematokrit Eritrosit Trombosit MCV : 8,5 gr/dl : 9080/l : 25 % : 2,8 juta/l : 179.000/l : 88,6 fL L H L L N N Normal : 11,5 13,5 gr/dl Normal : 4.500 14.500/l Normal : 35 % - 45 % Normal : 4,0 - 5,2 juta/l Normal: 150.000 - 450.000/l Normal : 79 - 99 fL 9

MCH MCHC RDW MPV Hitung Jenis Eosinofil Basofil Batang Segmen Limfosit Monosit Kimia klinik Globulin

: 30,2 pg : 34,1 gr/dl : 14,1 % : 9,0 fLN

N N N

Normal : 27 - 31 pg N Normal : 33 37gr/dl

Normal : 11,5 - 14.5 %

Normal : 7,2 - 11,1 fL Normal : 2 4 % Normal : 0 1 % Normal : 2 5 % Normal : 40 70% Normal : 25 - 40% Normal : 2 8 %

: 1,0 % : 0,3 % : 1,0 % : 78,3 % : 11,3 % : 5,7 %

L N L H L N

Total protein : 4,67 g/dl Albumin Globulin SGOT SGPT Ureum Kreatinin GDS :1,77 g/dl : 2,90 g/dl : 27 U/L : 15 U/L : 28,9 mg/dl : 0,91 mg/dl : 69 mg/dl

L L N N L N L N H H L H

Normal : 6,4 - 8,2 g/dl Normal : 3,4-5 g/dl Normal :2,7 3,2g/dl Normal : 15 27 U/L Normal : 30 65 U/L Normal :14,98 38,52 mg/dl Normal : 0,6 - 1,0 mg/dl Normal : 200 mg/dl Normal : <200 Normal : <200 Normal : 40-60

Kolesterol total: 307 mg/dl Trigliserid HDL kol LDL kol Elektrolit Natrium Kalium Klorida Kalsium : 455 mg/dl : 25,6mg/dl : 380 mg/dl

: 137 mmol/L N : 2,6 mmol/L L : 111 mmol/L H : 7,5 mmol/L L

Normal : 136-145 mmol/L Normal :3,5-5,1 mmol/L Normal :98- 107 mmol/L Normal : 8,4-10,2 mmol/L

10

b. Laboratorium urin lengkap tanggal 2 Desember 2013 (dilakukan di RSMS) Fisis Warna Kejernihan Bau Kimia Berat Jenis pH Leukosit Nitrit Protein Glukosa Keton : 1.025 : 5,0 : 25 : negatif : 500 :N :N : 1.010 - 1.030 N : 4.6 7.8 N:N:N:N :N:N:N N:N:: kuning : keruh : khas N : kuning muda-kuning tua N : jernih N : khas

Urobilinogen : N Bilirubin Eritrosit Sedimen Eritrosit Leukosit Epitel :25-30 :2-4 : 3-5 N:::250

N:-

N:N:N:N:N:N:N:N:N:-

Silinder Hialin : Silinder Lilin : Granuler Halus: 0-1 Granuler Kasar: Kristal Bakteri Trikomonas Jamur :: +4 ::-

11

D. RESUME 1. Anamnesis a. b. c. Pasien datang dengan keluhan utama sesak Keluhan muntah tersebut dirasakan semakin memberat Keluhan dirasakan semakin memberat ketika pasien tidur terlentang dan bekerja d. Pasien juga mengaku mengeluhkan perutnya membesar, nyeri pinggang, nyeri perut, dan tidak bisa tidur malam serta badan teras lemas., e. f. g. Pasien mengaku sudah berobat di RS majenang 2 tahun terakhir Pasien mengaku sesaknya akhir-akhir ini dirasakan menganggu tidur. Pasien mengaku pernah mengalami keluhan yang serupa dan pernah mondok juga dengan keluhan yang sama. h. i. Pasien mengaku tinggal dirumah hanya dengan suami,dan ke 2 anaknya Pasien mengaku makan 3 kali sehari dengan menu nasi, sayur, kadang disertai lauk-pauk, buah-buahan. E.ASSESSMENT Diagnosis Klinis: Sindroma Nefrotik relaps

Diagnosis Banding : 1. Sindroma Nefrotik Relaps 2. Sindroma Nefrotik akut F. PLANNING 1. Diagnosis Kerja: Sindroma Nefrotik Relaps 2. Terapi a. Farmakologi IVFD RL 20 tpm Tranfusi Plasbumin 20 % 50cc 2 kolf Inj. Ranitidin 2 x 1 amp Inj. Methyil prednisolone 62,5/12jam Inj. Furosemid 2x2 A Simvastatin 10 mg 0-0-1 12

Amlodipin 10mg 1-0-0 Valsartan Rillus 1 x 1 Ceftriaxone 2x1 amp

b. Non Farmakologi 3. Bed rest dengan posisi duduk Diit tinggi protein rendah lemak rendah garam Makan sedikit tapi sering Pungsi ascites

Monitoring a. Keadaan umum dan kesadaran b. Tanda vital, berat badan c. Evaluasi darah lengkap, urin rutin,elektrolit dan kimia klinik d. Status ascites

4.

Prognosis Ad vitam Ad fungsionam Ad sanationam : dubia ad bonam : dubia ad bonam : dubia ad bonam

13

BAB II PEMBAHASAN Diagnosia kerja pasien (Ny. L) adalah Sindroma Nefrotik Relaps. Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Alasan mendiagnois pasien dengan sindroma nefrotik relaps adalah : Anamnesis a. Pasien datang dengan keluhan utama sesak b. Keluhan muntah tersebut dirasakan semakin memberat c. Keluhan dirasakan semakin memberat ketika pasien tidur terlentang dan bekerja d. Pasien juga mengaku mengeluhkan perutnya membesar, nyeri pinggang, nyeri perut, dan tidak bisa tidur malam serta badan teras lemas., e. Pasien mengaku sudah berobat di RS majenang 2 tahun terakhir f. Pasien mengaku sesaknya akhir-akhir ini dirasakan menganggu tidur. g. Pasien mengaku pernah mengalami keluhan yang serupa dan pernah mondok juga dengan keluhan yang sama. h. Pasien mengaku tinggal dirumah hanya dengan suami,dan ke 2 anaknya i. Pasien mengaku makan 3 kali sehari dengan menu nasi, sayur, kadang disertai lauk-pauk, buah-buahan. j. Pada pemeriksaan fisik ditemukan rhonki basal halus pada kedua lapang paru dan Abdomen ,Inspeksi ditemukan cembung, bising usus normal, redup, tes pekak sisi pekak beralih, pada perkusi, tegang, nyeri tekan epigastrium, undulasi, pada palpasi. k. Pada pemeriksaan laboratorium darah lengkap didapatkan penurunan Hb, penurunan Ht, penurunan eritrosit, penurunan eosinofil,penurunan batang, peningkatan segmen, penurunan limfosit, peningkatan monosit, penurunan total protein, penurunan SGPT, peningkatn LDL, peningkatan kolesterol dan trigliserida. Pada pemeriksaan urin lengkap didapatkan urin keruh, proteinuria, hematuria, dan bakteri pada urin. Pengobatan yang diberikan kepada pasien berupa medikamentosa dan nonmedikamentosa. Non medikamentosa adalah pasien disuruh bed rest dengan posisi duduk, menghindari makanan tinggi garam, rendah lemak dan tinggi protein. 14

Penatalaksanaan medikamentosa infus RL untuk rehidrasi cairan, injeksi ceftriaxone pada pasien ini untuk mengobati infeksi saluran kemihnya, injeksi ranitidine untuk menekan sekresi asam lambung, injeksi methyl prednison digunakan untuk menekan sistem imunnya karena penyakit pasien bersifat autoimun, transfusi albumin untuk mengatasi hipoalbumin dan mengurangi edema, furosemide sebagai balance cairan dan mengurangi penimbunan cairan di dalam tubuh, simvastatin untuk menurunkan kadar lemak pada pasien, amlodipin dan valsartan untuk mengurangi tensinya .

15

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

Dispepsia A. Definisi Istilah sindrom nefrotik dipakai oleh Calvin dan Goldberg, pada suatu sindrom yang ditandai dengan proteinuria berat, hypoalbuminemia, edema, hiperkolesterolemia, dan fungsi renal yang normal. Istilah sindrom nefrotik kemudian digunakan untuk menggantikan istilah terdahulu yang menunjukan keadaan klinik dan laboratorik tanpa menunjukan suatu penyakit yang mendasarinya ( Alatas, 2004). B. Epidemiologi Secara keseluruhan prevalensi nefrotik syndrome pada anak berkisar 2-5 kasus per 100.000 anak. Prevalensi rata-rata secara komulatif berkisar15,5/100.000. Sindrom nefrotik primer merupakan 90% dari sindrom nefrotik pada anak sisanya merupakan sindrom nefrotik sekunder. Prevalensi sindrom nefrotik primer berkisar 16 per 100.000 anak. Prevalensi di indonesia sekitar 6 per 100.000 anak dibawah 14 tahun. Rasio antara laki-laki dan perempuan berkisar 2:1. dan dua pertiga kasus terjadi pada anak dibawah 5 tahun (Alatas, 2004). Di amerika insidens nefrotik sindrom dilaporkan 2-7 kasus pada anak per 100.000 anak per tahun. Pada dewasa biasanya menderita glomerulopaty yang bersifat sekunder dari penyakit sistemik yang dideritanya, dan jarang merupakan sindrom nefrotik primer atau idiopatik (Agraharkar, 2004). Pada pasien sindrom nefrotik angka mortalitas berhubungan langsung dengan proses penyakit primernya, tapi bagaimanapun sekali menderita sindrom nefrotik, prognosisnya kurang baik karena: 1. sindrom nefrotik meningkatkan insiden terjadinya gagal ginjal dan komplikasi sekunder (trombosis, hiperlipidemia, hypoalbuminemia). 2. pengobatan berkaitan dengan kondisi; peningkatan insidens infeksi karena pemakaian steroid, dan dyscaria darah karena obat imunosupresif lain (Agraharkar, 2004). Sindrom nefrotik 15 kali lebih sering pada anak dibanding dewasa, dan kebanyakan kasus nefrotik sindrom primer pada anak merupakan penyakit lesi 16

minimal. Prevalensi penyakit lesi minimal berkurang secara proprosional sesuai dengan umur onset terjadinya penyakit. Fokal segmental glomerosclerosis (FSGS) merupakan sub kategori nefrotik sindrom kedua tersering pada anak dan frekuensi kejadiannya cenderung meningkat. Membrano proloferatif glomerulonephritis (MPGN) merupakan sub kategori sindrom nefrotik yang biasanya terjadi pada anak yang lebih besar dan adolescent. Kurang lebih 1 % dari sindrom nefrotik pada anak dan adolescent dan kelainan ini dihubungkan dengan hepatitis dan penyakit virus lain (Agraharkar, 2004). C. Etiologi Penyebab sindroma nefrotik : Nefrotik sindrom dapat bersifat primer, sebagai bagian dari penyakit sistemik, atau sekunder karena beberapa penyebab. Penyebab primer diantaranya: 1. post infeksi 2. Colagen vaskular disease (SLE, rheumatoid arthritis, polyarteritis nodosa) 3. Henoch-Schnlein purpura 4. Hereditary nephritis 5. Sickle cell disease 6. Diabetes melitus 7. Amyloidosis 8. Malignancy (leukemia, lymphoma, Wilms tumar, pheochromocytoma) 9. Toxin (sengatan lebah, racun ular) 10. obat-obatan (probenecid, fenoprofen, catopril, lithium, wafarin, penicilamine, mercury, gold, trimethadione, para metadione, AINS) ( Berham, 2000). 11. Penggunaan Heroin Penyebab sekunder berhubungan dengan keadaan post infeksi mencakup : 1. Group A beta-hemolytic streptococcus 2. syphilis 3. Malaria 4. Tuberkulosis 5. infeksi virus (varicella, hepatitisB, HIV tipe1, infeksi mononukleosis) Kebanyakan (90%) anak yang menderita sindrom nefrotik mempunyai beberapa bentuk sindrom nefrotik idiopatik, diantaranya ; penyakit lesi minimal 17

sekitar 85%, proliferasi mesangium 5%, dan sklerosis setempat 10%. Pada 10% anak sisanya menderita nefrosis. Sindrom nefrotik sebagian besar diperantarai oleh beberapa bentuk glomerulonefritis dan yang tersering adalah membranosa dan membranoproliferatif ( Berham, 2000). D. Patofisiologi Patofisiologi Proteinuria merupakan gejala utama sindrom nefrotik, proteinuria yang terjadi lebih berat dibandingkan proteinuria pada penyakit ginjal yang lain. Jumlah protein dalam urin dapat mencapi 40mg/jam/ m2 luas permukaan tubuh (1gr/ m2/hari) atau 2-3,5gram/ 24 jam. Proteinuria yang terjadi disebabkan perubahan selektifitas terhadap protein dan perubahan pada filter glomerulus. Perubahan selektifitas terhadap protein dan perubahan filtrasi glomerulus begantung pada tipe kelainan glomerulus. Tetapi secara garis besar dapat diterangkan bahwa, pada orang normal filtrasi plasma protein berat molekul rendah bermuatan negatif pada membran basal glomerulus normalnya dipertahankan oleh muatan negatif barier filtrasi. Muatan negatif tersebut terdiri dari molekul proteoglikan heparan sulfat. Pada orang dengan nefrotik sindrom, konsentrasi heparan sulfat mucopoly sakarida pada membrana basal sangat rendah. Sehingga banyak protein dapat melewati barier. Selain itu terjadi pula terjadi perubahan ukuran celah (pori-pori) pada sawar sehingga protein muatan netral dapat melalui barier. Pada Sindrom Nefrotik terjadi hipoproteinemia terutama albumin, hal ini disebabkan oleh meningkatnya eksresi albumin dalam urin dan meningkatnya degradasi dalam tubulus renal yang melebihi daya sintesis hati. Gangguan protein lainnya didalam plasma adalah menurunnya -1 globulin. Sedangkan -2globulin, -globulin dan fibrinogen meningkat secara relatif atau absolut. -2globulin meningkat disebabkan oleh retensi selektif protein dengan berat molekul tinggi oleh ginjal sedangkan laju sintesisnya relatif normal. Ada 2 teori mengenai patofisiologi edema pada sindrom nefrotik; teori underfilled dan teori overfille. Pada teori underfill di jelaskan pembentukan edema terjadi karena menurunnya albumin (hipoalbuninemia), akibat kehilangan protein melalui urin. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan 18

tekanan onkotik plasma, yang memungkinkan transudasi cairan dari ruang inervaskular keruangan intersisial. Penurunan volume intravakular

menyebabkan penurunan tekanan perfusi ginjal, sehingga terjadi pengaktifan sistem renin-angiotensin-aldosteron, yang merangasang reabsorbsi natrium ditubulus distal. Penurunan volume intravaskular juga merangsang pelepasan hormon antideuritik yang mempertinggi penyerapan air dalam duktus kolektivus. Karena tekanan onkotik kurang maka cairan dan natrium yang telah direabsorbsi masuk kembali ke ruang intersisial sehingga memperberat edema. Pada teori overfill dijelaskan retensi natrium dan air diakibatkan karena mekanisme intra renal primer dan tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer. Serta adanya agen dalam sirkulasi yang meningkatkan permeabilitas kapiler diseluruh tubuh serta ginjal. Retensi natrium primer akibat defek intra renal ini menyebabkan ekspansi cairan plasma dan cairan ekstraseluler. Edema yang terjadi diakibatkan overfilling cairan ke dalam ruang interstisial. Dengan teori underfill dapat diduga terjadi kenaikan renin plasma dan aldosteron sekunder terhadap adanya hipovolemia, tetapi hal tersebut tidak terdapat pada semua penderita Sindroma nefrotik. Sehingga teori overfill dapat di pakai untuk menerangkan terjadinya edema pada sindrom nefrotik dengan volume plama yang tinggi dan kadar renin, aldosteron menurun terhadap hipovolemia. Pada Sindroma nefrotik hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid meningkat. Paling tidak ada dua faktor yamg mungkin berperan yakni: (1) hipoproteinemia merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati termasuk lipoprotein. (2) katabolisme lemak menurun karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.

19

E. Manifestasi klinis Gejala awal dari sindroma nefrotik meliputi;menurunnya nafsu

makan, malaise, bengkak pada kelopak mata dan seluruh tubuh, nyeri perut, atropy dan urin berbusa. Abdomen mungkin membesar karena adanya akumulasi cairan di intraperitoneal (Asites), dan sesak napas dapat terjadi karena adanya cairan pada rongga pleura (efusi pleura) ataupun akibat tekanan abdominal yang meningkat akibat asites. Gejala lain yang mungkin terjadi adalah bengkak pada kaki, scrotum ataupun labia mayor. Pada keadaan asites berat dapat terjadi hernia umbilikasis dan prolaps ani ( Alatas, 2004). Seringkali cairan yang menyebabkan edema dipengaruhi oleh gravitasi sehingga bengkak dapat berpindah-pindah. Saat malam cairan terakumulasi di tubuh bagian atas seperti kelopak mata. Disaat siang hari cairan terakumulasi dibagian bawah tubuh seperti ankles, pada saat duduk atau berdiri. Tekanan darah umumnya tinggi dan tekanan darah dapat turun sekali saat berdiri (orthostatic hypotension), dan shock mungkin dapat terjadi. Produksi urin dapat menurun dan renal faillure dapat terjadi jika terjadi kebocoran cairan dari dalam pembuluh darah kejaringan sehingga suplai darah ke ginjal berkurang. Biasanya renal failure dengan kurangnya produksi urin terjadi tiba-tiba. Defisiensi zat gizi dapat terjadi karena hilangnya nutrien dalam urin serta anoreksia, dapat terjadi gagal tumbuh serta hilangnya kalsium tulang. Diare sering dialami oleh pasien dalam keadaan edema, keadaan ini rupanya bukan berkaitang dengan adanya infeksi, namun diduga penyebabnya adalah edema di mukosa usus. Hepatomegali dapat di temukan, hal ini dikaitkan dengan sinteis protein yang meningkat atau edema, atau keduanya. Kadang terdapat nyeri perut kuadran kanan atas akibat hepatomegali dan edema dinding perut ( Alatas, 2004).

20

F. Klasifikasi Subkategori atau klasifikasi nefrotik sindrom primer bedasarkan deskripsi histologi dan dihubungkan dengan patologi klinis kelainan yang sebelumnya telah diketahui.Tetapi bagaimanapun pengetahuan mengenai penyebab spesifik sindrom nefrotik sangat terbatas, varians nefrotik sindrom akan diketahui manifestasi klinisnya dengan memastikan proses histopatologinya. Tipe histopatologi juga menentukan dalam hal respon terapi, dan prognosis dari penyakit (Travis, 2005). Klasifikasi kelainan histopatologis glomerulus pada sindroma nefrotik yang digunakan sesuai dengan rekomendasi komisi internasional (1982). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakan dengan pemeriksaan mikroskop cahaya, ditambah dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan imunoflorosensi. Dibawah ini tabel klasifikasi glomerulus pada sindrom nefrotik primer sesuai laporan ISKDC (1970) dan Habib, kleinknecht (1971). Kelainan minimal (KM) Glomerulosklerosis (GS) Glomeruloskerosis fokal segmental (GSFS) Glomerulosklerosis fokal global (GSFG) Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD) Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif Glomerulonefritis kresentik (GNK) Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP) GNMP tipe I dengan deposit subendotelial GNMP tipe II dengan deposit intra membran GNMP tipe III dengan deposit transmembran/ subepitelial Glomerulopati membranosa (GM) Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

(Travis, 2005). G. Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium darah BUN, Kreatinin, Elektrolit (Na,K,Ca,Phospat), Hematologi

(Hb,Trombosit,Ht,Leukosit), Protein, Antibody (kehilangan protein dan immunoglobulin), dan profil lipid darah . 21

2. Pemeriksaan Urine Warna, PH, BJ, Kekeruhan, Volume, Glukosa, Protein, Sedimen, SDM, Keton, SDP, TKK/CCT. 3. Pemeriksaan EKG Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia, dan gangguan elektrolit (hipokalemia, hipokalsemia). 4. Pemeriksaan Radiologi Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde, Renal Aretriografi dan Venogrfi, CT Scan, MRI, Renal biopsi, Pemeriksaan Rontgen dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen. 5. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter proksimal kandung kemih

F. Penatalaksanaan 1. Terapeutik Obat yang digunakan dalam penatalaksan nefrotik sindrom mencakup kortikosteroid, levamisone, cyclosphospamid, dan cyclosporine. Respon terhadap pengobatan dengan kortikosteroid berhubungan dengan tipe histopatologi sindrom nefrotik. ISKDC melaporkan sekitar 91,8% pasien yang bererpon terhadap

kotikosteroid mempunyai kelainan minimal glomeruloneprithis, dibandingkan dengan 25% pasien yang tidak respon. Pada pasien yang tidak berespon terhadap kortikosteroid dan berusia dibawah 6 tahun, 50 % merupakan kelainan minimal glomerulonepritis. Dan pada usia lebuh dari 6 tahun hanya 3,6% yang mempunyai kelainan minimal glomerulonepritis. The Southwest Pediatric Nephrology Study Group melaporkan sekitar 63% pasien dengan diffuse membranous hypercellularity, dan 30% pasien dengan focal

glomeruralscerosis berespon terhadap kortikosteroid (Agraharkar, 2004). Pengobatan kortistreroid (prednison) dimulai dengan dosis 60 mg/m2/24jam (maksimum dosis 60 mg/ hari), dibagi menjadi tiga atau empat dosis. Waktu yang dibutuhkan untuk berespon dengan prednison sekitar 2 minggu, responnya ditetapkan pada saat urin bebas protein 3 hari berturut-turut. Jika pasien berlanjut menderita proteinuria (+2 atau lebih) setelah satu bulan 22

pemberian prednison dosis terbagi secara terus-menerus setiap hari, maka disebut resisten steroid dan terindikasi melakukan biopsi ginjal untuk menentukan penyebab penyakit yang tepat (Agraharkar, 2004). Lima hari setelah urin bebas protein (negatif, sedikit sekali atau +1 pada dipstick), dosis prednison diubah menjadi 60mg/m2 (maksimal 60mg) diberikan selang sehari sebagai dosis tunggal bersama dengan makan pagi. Setelah periode selang sehari tersebut, prednison dapat dihentikan secara mendadak. Setiap relaps nefrosis diobati dengan cara yang sama. Kekambuhan didefinisikan sebagai berulangnya edema dan bukan hanya proteinuria. Karena pada anak dengan keadaan ini menderita proteinuria intermiten yang menyembuh spontan. Sejumlah kecil pasien yang berespon terhadap terapi dosis terbagi setiap hari, akan mengalami kekambuhan segera setelah perubahan ke atau setelah penghentian terapi selang sehari, penderita demikian disebut tergantung steroid (Agraharkar, 2004). Bila ada kekambuhan berulang dan terutama jika anak menderita toksisitas steroid (muka cushingoid, hipertensi, gagal tumbuh) harus dipikirkan terapi imuno supresif lain. Siklofosfamid, Dosis siklofosfamid 3 mg/kg/24jam sebagai dosis tunggal, selama total pemberian 12 minggu (8 minggu
1

). Terapi

prednison tetap diteruskan selama pemberian siklosfosfamid. Selama terapi dengan siklofosfamid, leukosit harus dimonitor setiap minggu dan obatnya dihentikan jika jumlah leukosit menurun dibawah 5000/mm3. komplikasi lain berupa supresi sumsum tulang,hair loss, azoospremia, hemorrhagic cystitis, keganasan, mutasi dan infertilitas. Levamison, adalah imunosimultan dengan efek steroid-sparing yang lemah sehingga perlu penghentian terapi prednison. Dosis yang dipakai adalah 2,5 mg/kg selama 4-12 bulan. Efek samping jarang ditemukan, tetapi dilaporkan dapat terjadi neutropenia dan encelopathy. Obat ini tidak umum digunakan. Cyclosporin, adalah inhibitor fungsi limfosit T dan diindikasikan bila terjadi relaps setelah terapi dengan cyclosfosfamid. Cyclosporin lebih disukai digunakan pada anak laki-laki dalam masa pubertas yang 23

beresiko

menjadi

azoospermia

akibat

induksi

siklosfosfamid.

Cyclosporin dapat bersifat nefrotoksik, dan dapat menyebabkan hisurtism, hipertensi dan hipertropi ginggiva. 2. Pengobatan supotif Dalam penanganan pasien sindrom nefrotik harus diperhatikan tidak saja pendekatan farmakologis terhadap penyakit glomerular yang mendasarinya. Tapi juga ditujukan terhadap pencegahan dan pengobatan sekuele yang menyertainya. Pengobatan suportif sangat penting bagi pasien yang tidak memberi respon terhadap pengobatan imunosupresif dan karena itu mudah mendapat komplikasi Sindrom nefrotik yang berkepanjangan. terapi dietetik a. masukan garam dibatasi 2gram/hari untuk mengurangi keseimbangan natrium yang positif b. diet tinggi kalori, protein dibatasi 2 gram/kgBB/hari. c. Diet vegetarian yang mengandung kedelai lebih efektif menurunkan hiperlipidemia. Pengobatan terhadap edema. Dengan pemberian diuretik tiazid ditambah dengan obat penahan kalium (spirinolakton, triamteren). Bila tidak ada respon dapat digunakan furesemid, asam etekrinat atau bumetamid. Dosis furosemid 25-1000mg/ hari dan paling sering dipakai karena toleransinya baik walau dengan dosis tinggi. Proteinuria dan hipoalbuminemia a. ACE inhibitor mempunyai efek antiproteinuria, efek bergantung pada dosis, lama pengobatan dan masukan natrium. Pengobatan ACE inhibitor dimulai dengan dosis rendah dan secara progresif ditingkatkan sampai dosis toleransi maksimal. b. Obat-obat anti inflamasi nonsteroid dapat menurunkan

protreinuia sampai 50%, efek ini disebabkan karena menurunnya permeabilitas kapiler terhadap protein, nenurunnya tekanan kapiler intraglomerural dan atau karena menurunnya luas permukaan filtrasi. Indometasin (150mg/hari) dan meklofenamat (200-300mg/hari) merupakan obat yang sering dipakai. 24

c. n-3 asam lemak takjenuh (polyunsaturated fatty acid) dapat mengurangi proteinuria sebanyak 30% tanpa efek samping yang berarti. Hiperlipidemia Pada saat ini penghambat HMG-CoA, seperti lovastatin, pravastatin dan simvastatin merupakan obat pilihan untuk mengobati hiperlipidemia pada sindrom nefrotik. Hiperkoagulabilitas: Pemakaian obat anti koaagulan terbatas pada keadaan terjadinya resiko tromboemboli seperti; tirah baring lama, pembedahan, saat dehidrasi, atau saat pemberian kortikosteroid iv dosis .

25

BAB IV KESIMPULAN

1. sindrom nefrotik yang ditandai dengan proteinuria berat, hypoalbuminemia, edema, hiperkolesterolemia, dan fungsi renal yang normal 2. Nefrotik sindrom dapat bersifat primer, sebagai bagian dari penyakit sistemik, atau sekunder karena beberapa penyebab 3. Gejala awal dari sindroma nefrotik meliputi;menurunnya nafsu makan,

malaise, bengkak pada kelopak mata dan seluruh tubuh, nyeri perut, atropy dan urin berbusa. 4. Pengobatan sindroma nefrotik sesuai dengan penyebabnya, prinsipnya adalah pengobatan didasarkan pada patogenesisnya serta lebih kearah mengurangi gejala/menghilangkan gejala. 5. Pronosis pasien nefrotik sindrom bervariasi bergantung tipe kelainan histopatologi. Prognosis untuk nefrotik sindrom kongenital adalah buruk Sedangkan prognosis untuk anak dengan kelainan minimal glomerulus sangat baik

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Agraharkar Mahendra, Nefrotik Syndrome. www.emedicine.com Last Update: september 2, 2004. 2. Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO : Sindrom Nefrotik, Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2004 3. Travis Luther, Nephrotic Syndrome. www.emedicine.com. Last Update: april14, 2005. 4. Nephrotic Syndrome, www.Merckmanual.com. 5. Behram, Kleigman, Arvin. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak. Ed 15. EGC Jakarta 2000 The Merck Manual Diagnosis and Therapy.

27

Anda mungkin juga menyukai