Anda di halaman 1dari 17

HUBUNGAN ANTARA OTITIS MEDIA EFUSI DAN ALERGI : PERANAN POTENSIAL DALAM PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID INTRANASAL Gideon Lack1,

Helen Caulfield2 & Martin Penagos1


1

Childrens Allergy Department, Kings College London, Guys and St Thomas

NHS Foundation Trust, London, UK; 2Department of Otolaryngology, Royal Free Hospital NHS Trust, London, UK.

Abstrak Kami meninjau bukti-bukti yang menghubungkan otitis media efusi (OME) dan atopi, dengan tujuan menjelaskan kemungkinan peran kortikosteroid intranasal pada pengobatan OME. Pada Agustus 2009, dalam database MEDLINE dilakukan pencarian penelitian dasar mengenai epidemiologi, patofisiologi dan pengobatan OME. Didapatkan beberapa pedoman klinis yang relevan. Interpretasi dari penelitian tentang OME dipersulit oleh variabel seperti definisi penyakit, populasi pasien, metodologi dan penilaian hasil, bersamaan dengan kemungkinan adanya resolusi spontan. Namun, terdapat bukti hubungan antara OME dan kondisi atopik termasuk rinitis alergi; prevalensi rinitis alergi pada pasien dengan OME kronik atau rekuren berkisar antara 24-89%. Prevalensi tersebut dapat menjadi alasan untuk disarankan pemberian pengobatan alergi pada penatalaksanaan OME. Sementara itu, penggunaan kortikosteroid intranasal jangka pendek sendiri dikombinasi dengan antibiotik telah menunjukkan hasil yang menguntungkan dalam beberapa penelitian. Untuk protokol pengobatan jangka panjang dan bagaimana hasilnya, maka dibutuhkan penelitian klinis yang kritis. Bukti mengenai hubungan epidemiologi dan patofisiologi antara alergi dan OME mendesak untuk dilakukannya penelitian tentang peran kortikosteroid intranasal pada manajemen OME, dengan hasil awal yang menjanjikan. Keuntungan mempertimbangkan pengobatan medis pada pasien dengan OME yang akan dilakukan pembedahan termasuk diantaranya adalah reduksi pada inflamasi akibat alergi dan terjadinya resolusi OME spontan pada pasien ini.

Otitis media efusi merupakan salah satu penyakit yang paling sering pada masa anak-anak, menyerang hingga 90% anak sebelum usia sekolah. Karena penyakit ini sering terjadi pada periode perkembangan bahasa, OME persisten mungkin berefek berbahaya pada perkembangan bicara dan bahasa. OME merupakan penyebab paling sering dari hearing loss yang didapat, dan alasan untuk operasi elektif pada anak. Strategi manajemen yang optimal untuk OME masih kontroversial, dan pemilihan pengobatan yang efektif masih terbatas. Bukti yang menerangkan tentang patofisiologi hubungan antara alergi dan OME, mendorong untuk diadakannya investigasi mengenai manfaat kortikosteroid intranasal dalam manajemen OME. Makalah ini akan mengulas tentang hubungan epidemilogi dan patofisiologi antara OME dan rinitis alergi dan menilai manfaat potensial dari kortikosteroid intranasal dalam penatalaksanaan OME berdasarkan penelitian terbaru.

Kata Kunci : rinitis alergi; telinga; otitis media efusi

Definisi OME Otitis media efusi ditandai dengan akumulasi cairan dalam telinga tengah di belakang membran timpani yang intak tanpa adanya gejala dan tanda infeksi akut. OME juga disebut sebagai otitis catarrhal, otitis media sekretori, otitis media nonsupuratif, otitis media mukoid, efusi telinga tengah dan yang populer glue ear. Penelitian mengenai OME merupakan penelitian yang kompleks dan sulit untuk diinterpretasi karena variabel definisi penyakit yang luas, populasi pasien, metodologi, dan penilaian hasil. Jika kita lihat riwayat OME, banyak kasus yang selflimited dan sembuh spontan. Dalam seting pelayanan primer, Williamson et al.,mengikuti studi kohort dari 856 anak-anak usia 5-8 tahun selama lebih dari 3 tahun. Mereka menemukan bahwa untuk menilai adanya efusi, sampel sebanyak 50 anak dengan timpanogram yang positif telah dianalisis sebanyak 3 kali berturut-turut. Lima puluh dua persen telinga dan 44% anak-anak menunjukkan bersih setelah 4

bulan. Pada pemeriksaan bulan ke-8, 78% telinga dan 76% anak menunjukkan bersih. Setelah 1 tahun, hanya 6 telinga (9%) dan 5 anak (10%) dari 50 anak masih terdapat efusi. Dalam klinik ENT tersier, Tos et al. mengikuti 3 studi kohort dari anak-anak yang diperiksa menggunakan timpanometri dan otoskopi. Satu kohort dengan 150 anak diperiksa sebanyak 13 kali antara 2 hari setelah lahir dan 6 tahun, satu kohort lainnya dengan 373 anak diperiksa sebanyak 8 kali antara usia 4 dan 8 tahun. Insidensi OME pada anak usia pre-sekolah sebanyak 90% dari semua anak dan 80% dari semua telinga, dengan mempertimbangkan semua kohort secara bersamaan. Lima belas persen diantaranya merupakan OME episode singkat yang berlangsung selama 1-3 bulan dan 25% merupakan OME rekuren yang singkat. Tiga puluh lima persen anak-anak menderita OME yang berlangsung lama (3-9 bulan), 15% merupakan OME rekuren episode lama, dan 10% berdurasi selama 1-4 tahun. Resolusi spontan dari OME mungkin ditentukan oleh penyebab dan durasi efusi. Pembersihan sisa OME setelah otitis media akut cukup tinggi (hingga 75-90%) dalam waktu 3 bulan, sementara resolusi spontan dalam 3 bulan ditemukan pada 28% kasus OME yang baru yang tidak tahu berapa lama durasinya, dan resolusi spontan dalam 12 bulan ditemukan pada 31% kasus OME bilateral dengan durasi 3 bulan atau lebih. Tingkat resolusi spontan yang signifikan menekankan diperlukannya kontrol yang tepat dalam menentukan desain studi intervensi atau pengobatan OME. Otitis media efusi merupakan penyebab hearing loss paling sering pada anakanak. Anak yang menderita otitis media pada usia < 3 tahun memiliki risiko hearing loss lebih tinggi pada saat usia 6-10 tahun. Anak-anak dengan faktor sensori, fisik, kognitif atau kebiasaan tertentu (tabel 1) dapat lebih rendah toleransinya terhadap hearing loss atau masalah vestibular yang berhubungan dengan OME dan juga memiliki risiko lebih tinggi menderita masalah berbicara/ bahasa atau belajar.

Manajemen OME di Amerika Serikat menghabiskan biaya tahunan sebesar $4 juta, dengan biaya langsung dan biaya tidak langsung sebesar $1800 untuk setiap kasus pada sebanyak 2,2 juta kasus OME per tahunnya. Di Inggris dan Wales, biaya yang dihabiskan oleh National Health Service untuk operasi OME diperkirakan sebesar $47,8 juta.

Epidemiologi: OME dan atopi Frekuensi kejadian OME pada anak-anak TK di Inggris dilaporkan oleh peserta ALSPAC (Avon Longitudinal Study of Pregnancy and Childhood). Midgley et al, sampel secara acak dari anak-anak (10%, n = 1400) yang diuji pada usia 8, 12, 18, 25, 31, 37, 43, 49 dan 69 bulan. Jenis kelamin tidak berpengaruh, tetapi ada penurunan

prevalensi OME dengan meningkatnya usia dan pengaruh musim. Pada musim dingin, proporsi timpanogram yang diklasifikasikan sebagai tipe bilateral B menurun dari 36,6% pada usia 8 bulan menjadi 14,1% pada usia 43 bulan dan 10,5% pada usia 61 bulan. Pemeriksaan yang dilakukan selama musim panas juga menunjukkan adanya pengaruh usia: proporsi anak yang diklasifikasikan sebagai bilateral A meningkat dari 40% pada usia 8 bulan menjadi 49% pada usia 43 bulan dan mencapai 58% pada usia 61 bulan. Persentase dari timpanogram bilateral B menurun dari 26% pada usia 8 bulan menjadi 12% pada usia 43 bulan dan 7% pada usia 61 bulan. Hubungan epidemiologis antara OME dan rinitis alergi telah ditunjukkan dalam banyak percobaan. Pada penelitian ini, prevalensi kejadian rinitis alergi di antara pasien dengan OME kronis atau rekuren lebih tinggi dari pada yang terlihat pada kelompok usia yang sama pada masyarakat umum, berkisar dari 24% hingga 89%, tergantung kriteria diagnostik dan kohort yang digunakan. Di antara 259 pasien anak (rata-rata berusia 6 tahun) yang didiagnosis dengan OME, 50% mempunyai komorbid rinitis alergi (ditentukan dengan memiliki 2 dari hal berikut: skin prick test positif, nasal eosinofilia, atau serum imunoglobulin IgE setelah dilakukan uji provokasi hidung). Pada penelitian silang , Alles and colleagues melaporkan bahwa 89% prevalensi rinitis alergi (ditentukan dengan dua gejala rinitis alergi, atau satu gejala dengan tes kuit positif atau adanya nasal eosinofilia) di antara 209 anak yang berusia 3-8 tahun, terlihat glue eardi klinik London. Di antara penemuan tersebut, 83% memiliki riwayat atopi pada keluarganya. Rinitis alergi dipertimbangkan sebagai faktor predisposisi terjadinya OME pada kelompok usia ini, dan penulis menyarankan bahwa memberikan pengobatan terhadap rinitis alergi juga dapat mencegah terjadinya OME. Pada penelitian lain yang melibatkan kelompok kontrol yang sehat, proporsi anak dengan rinitis alergi pada kelompok OME (28/172; rinitis alergi yang ditentukan dengan pemeriksaan medis dan tes kulit) secara signifikan lebih tinggi (p < 0,001) dari pada di kelompok kontrol (11/200; odds ratio 3,34, 95% confidence interval [CI] = 1,61-6.94).

Penelitian menggunakan kuesioner di antara 332 anak usia 5-6,5 tahun yang tidak diseleksi menunjukkan hubungan yang signifikan antara rinitis alergi dan OME berdasarkan pada tabulasi silang dari perbandingan gejala telinga dan hidung (p < 0,00001), membuat para peneliti menyarankan untuk memberikan pengobatan yang sesuai pada pasien dengan OME kronis dapat meningkatkan kualitas hidup, mengurangi penggunaan layanan kesehatan dan mungkin mengurangi kebutuhan pembedahan pada OME. Beberapa penelitian telah menemukan bahwa kejadian alergi pada sistem pernapasan dan alergen makanan yang diperantarai oleh IgE secara signifikan meningkat pada anak dengan OME. Dalam sebuah laporan oleh Nguyen et al, di antara 45 pasien yang menjalani penempatan tuba timpanostomi secara simultan untuk OME dan adenoidektomi pada hipertrofi adenoid, 11 (24%) menunjukkan atopi pada tes kulit. Begitu juga kejadian atopi dengan tes kulit adalah 24% diantara 59 pasien anak dengan OME persisten yang diterapi dengan antibiotik profilaksis dengan atau tampa INSs. Tes alergi kulit dilakukan pada anak dengan OME yang ikut serta dalam uji kontrol acak untuk mengevaluasi keberhasilan steroid sistemik menunjukkan hasil yang positif pada 51/122 pasien (41,8%). Dua puluh dua persen positif terhadap debu dan kutu rumah, 13,9% terhadap bulu kucing/anjing, 13,1% terhadap Alternarial Aspergillus mix, 10,7% terhadap rumput, 9,8% terhadap kecoa, dan 9% terhadap ragwed. Bukti juga menunjukkan adanya hubungan antara alergi makanan dengan OME. Pada 104 pasien yang tidak dipilih, usia 1,5-9 tahun dengan OME rekuren, 78% menunjukkan hasil yang positif terhadap 1 atau lebih alergen makanan pada tes kulit, tes IgE spesifik, dan tantangan makanan. Pengenalan kembali dari makanan yang dicurigai sebagai penyebab alergi mencetuskan rekuresi OME pada 94% (66/70) pada pasein selama lebih dari 16 minggu. Hubungan antara alergi susu sapi dan kejadian otitis media juga telah dilaporkan pada studi kohort dari 56 anak yang alergi terhadap susu sapi yang dibandingkan dengan 204 anak-anak kontrol.

Patofisiologi OME dan Rinitis Alergi Etiologi dari OME bersifat multifaktorial; dapat berhubungan dengan infeksi derajat rendah, gangguan klirens karena gangguan fungsi tuba eusthacius (Eustachian tube atau ET), reaksi inflamasi lokal, dan mungkin juga karena atopi (2, 23). Data yang didapatkan dari beberapa penelitian pada hewan menunjukkan hubungan antara inflamasi alergi pada hidung dan disfungsi tuba eusthacius. Sebagai contoh, pada tes provokasi alergen polen intranasal secara signifikan mengganggu fungsi tuba eusthacius pada 23 anak monyet Rhesus yang tersensitisasi secara pasif (24), di mana histamin memprovokasi gangguan klirens dan fungsi tuba eusthacius yang dipengaruhi oleh tekanan pada mencit (25). Sebuah tes provokasi alergen nasal pada mencit menyebabkan tuba eusthacius mengalami inflamasi, tekanan negatif, dan hambatan klirens mukosiliar yang dapat berkurang dengan pengobatan

oligonukleotida imunomodulator (26). Penelitian serupa telah dilakukan pada beberapa penelitian klinis. OConnor dan rekan- rekan melaporkan adanya tekanan negatif pada telinga tengah setelah tes provokasi allergen nasal pada subjek dengan rinitis alergi dan menghipotesiskan adanya keterlibatan imunologik dan mekanisme mekanik (27). Disfungsi tuba eusthacius berkembang selama musim alergi pada 60% anak-anak dengan rinitis alergi musiman dan berhubungan dengan gejala keparahan rinitis alergi tapi tidak berpengaruh pada terjadinya OME (28). Tes provokasi histamin intranasal di antara kelompok anak dengan OME, mereka yang memiliki alergi nasal mengalami disfungsi tuba eusthacius yang signifikan lebih besar dibandingkan mereka yang tidak memiliki alergi (17).

Gambar 1. (a) Diagram saluran pernapasan atas yang menunjukkan adanya hubungan anatomi tuba eusthacius dengan nasofaring dan telinga tengah untuk menjelaskan kemungkinan yang terjadi pada telinga tengah akibat kelainan alergi nasofaring (29). Diambil dari J Allergy Clin Immunol, Vol 82, Fireman P. Otitis media and nasal disease: a role for allergy, halaman 917-26, Copyright 1988, dengan ijin dari Elsevier, (b) Gambaran dari efusi pada telinga tengah atau glue ear, sebuah kondisi yang dikarakteristikkan dengan adanya cairan (efusi) dalam ruangan telinga tengah. Keadaan ini paling sering menyebabkan gangguan pendengaran dan menjadi alasan untuk bedah elektif pada anak. Diambil dengan ijin dari Freemantle et al. (14).

Karena letak tuba eusthacius bersebelahan dengan nasofaring (lihat gambar 1), kelainan alergi seperti rinitis alergi dapat menyebabkan inflamasi dan oedema di daerah tersebut (menyebabkan obstruksi tuba eusthacius) begitu juga dengan mukosa

nasal, misalnya, melalui mediator inflamasi yang diinduksi oleh alergen (histamin, leukotrien,dan prostaglandin) dilepaskan sel mast mukosa dan sel-sel inflamasi lainnya (16, 23, 29). Selain itu, telah dihipotesiskan bahwa pengurangan ukuran lumen pada tuba eusthacius yang mengalami inflamasi dapat mengganggu fungsi mukosiliar, yang dapat menghambat klirens dari efusi telinga tengah infektif akut yang dapat menyebabkan terjadinya OME berulang (16). Beberapa penelitian menganalisis mukosa telinga tengah dan efusi pada pasien atopi dengan OME yang menunjukkan komposisi mediator inflamasi pada OMA mirip dengan respon alergi tipe 1 fase akhir yang dapat dilihat pada area lain dari saluran pernapasan, seperti AR, sinusitis kronis, dan asma (4-7). Sebagai contoh, dalam penelitian Nguyen et al. telah menyebutkan sebelumnya, efusi telinga tengah dari pasien atopi dengan OME menunjukkan kadar yang tinggi dari eosinofil, limfosit-T, dan interleukin (IL)-4 sel-sel mRNA+ secara signifikan (p<0,01) dan kadar yang rendah dari neutrofil dan interferon (IFN)- sel-sel mRNA + secara signifikan (p<0,01) dibandingkan dengan pasien non-atopi dengan OME (4). Serupa dengan Sobol dan rekan-rekan yang melaporkan persentase yang lebih tinggi dari eosinofil dan limfosit-T serta persentase yang lebih tinggi darisel yang mengekspresikan IL-4 dan IL-5, di antara pasien OME atopi dan non-atopi (n=18) (6). Penelitian ini menunjukkan kecenderungan inflamasi Th2 pada efusi telinga tengah dari individu atopi, sehingga tidak dapat disimpulkan bahwa inflamasi alergi merupakan penyebab dari OME.

Pilihan terapi untuk OME Panduan untuk penatalaksanaan OME pada anak usia 1-3 tahun diterbitkan oleh the Agency for Health Care Policy and Research (sekarang the Agency for Healthcare Research and Quality [AHRQ]) pada tahun 1994 (8), diperbaharui pada tahun 2004 oleh sebuah komite yang mewakili the American Academy of

Pediatricians (AAP), the American Academy of Family Physicians (AAFP), the American Academy of Otolaryngology-Head & Neck Surgery (AAO-HNS), dan organisasi lain, untuk menginklusikan pasien usia 2 bulan sampai 12 tahun (3).

Pembedahan Berdasarkan panduan tahun 2004, persyaratan pasien yang menjalani terapi bedah berdasarkan kemampuan mendengarnya, gejala OME, risiko gangguan perkembangan, dan kemungkinan efusi dapat sembuh tanpa intervensi (3). Insersi tube timpanostomi merupakan prosedur bedah primer untuk OME (3). Penelitian menunjukkan bahwa tube dapat mengurangi tingkat efusi dan meningkatkan tingkat pendengaran rata-rata, terutama untuk jangka pendek (misalnya 6 bulan) (30-31). Peningkatan tingkat pendengaran menurun dari sekitar 9dB dalam 6 bulan menjadi 6 dB dalam 12 bulan menjadi 4dB dalam 2 tahun. Tube timpanostomi mengurangi sekitar 32% efusi selama tahun pertama setelah insersi. Namun, yang terpenting, tidak memiliki efek pada perkembangan bahasa maupun kognitif anak dengan OME kronik dan tuli (31). Keuntungan pendengaran jangka pendek dari insersi tube juga tidak dapat menyingkirkan potensi kerugian yang dapat terjadi (31). Pasien yang menjalani terapi bedah timpanostomi untuk OME kronik usia <3 tahun secara signifikan memiliki angka kejadian abnormalitas membran timpani yang lebih tinggi pada usia 5 tahun (32). Pada penelitian prospective randomized controlled trial, anak usia 2,5-7 tahun yang diterapi dengan tube memiliki >4 kali risiko abnormalitas TM 6-10 tahun kemudian dibandingkan dengan mereka yang hanya mendapatkan terapi medis (82% banding 19%). Resipien tube juga secara signifikan mengalami penurunan derajat pendengaran saat dilakukan follow-up (33).

Gambar 2. (a) Sel- sel inflamasi pada efusi telinga tengah pada anak atopi dan nonatopi yang menderita OME (5). Diambil dari J Allergy Clin Immunol, Vol 110, Sobol SE, Taha R, Schloss MD, Mazer BD, et al. TH2 cytokine expression in atopic children with titis media with efussion, Pages 125-30, Copyright 2002, dengan ijin dari Elsevier. (b) Ekspresi mRNA sitokin TH1 dan TH2 pada efusi telinga tengah pada anak atopi dan non-atopi yang menderita OME (5). Diambil dari J Allergy Clin Immunol, Vol 110, Sobol SE, Taha R, Schloss MD, Mazer BD, et al. TH2 cytokine expression in atopic children with otitis media efussion, Pages 125-30, Copyright 2002, dengan ijin dari Elsevier.

Pada anak-anak yang menderita OME pada 3 tahun pertama kehidupan, penundaan terapi bedah (dibandingkan dengan pemasangan tube) tidak berhubungan dengan defisit pendengaran pada usia 6 tahun (32) atau gangguan perkembangan saat follow-up pada usia 9-11 tahun (45). Oleh karena itu, pendekatan konservatif jika dibandingkan dengan pemasangan tube mungkin lebih aman dan menghasilkan outcome yang lebih baik. Panduan tahun 2004 merekomendasikan konservatif selama 3 bulan dari tanggal onset atau diagnosis dari OME pada anak yang tidak berisiko mengalami gangguan bicara, bahasa, dan belajar (3). Pada sebagian besar pasien OME, terapi konservatif dengan pilihan penanganan medis lebih cocok dari pada timpanostomi.

Medikamentosa

Karena asosiasi patofisiologis dari rinitis alergi dengan OME, pengobatan pada target alergi mungkin dapat membantu manajemen dari OME.

Antihistamin dan dekongestan Data dari studi hewan menyarankan bahwa antihistamin menyediakan pengobatan efektif pada disfungsi telinga dan tenggorokan serta OME.

Bagaimanapun, sebuah meta analisis dari 16 random kontrol trial mendemonstrasikan tidak ada keuntungan signifikan dari antihistamin, dekongestan, atau kombinasi antihistamin dengan dekongestan dibanding placebo untuk pengobatan OME. Konsekuensinya, antihistamin tidak direkomendasikan sebagai pedoman terapi OME.

Setelah 40 tahun, sedikitnya 16 random control trial telah menginvestigasi steroid sistemik (prednisone primer) sebagai pengobatan OME. Dalam waktu dekat telah menunjukkan keuntungan jangka pendek dibandingkan dengan pengobatan tanpa steroid. Usulan mekanisme untuk efek positif dari kortikosteroid pada OME termasuk penghambatan asam arakidonat dan inflamasi yang berhubungan dengan mediator inflamasi, penyusutan kelanjar limfe peritubal, peningkatan sekresi dari surfaktan telinga dan tenggorokan, dan reduksi dari viskositas cairan telinga tengah. Pada meta analisis dari enam percobaan klinis secara acak (N=264 anak), pemberian steroid oral untuk 7-14 hari (pada dosis antara 0,15 sampai 1,5 mg/kg per hari) meningkatkan rata-rata resolusi lengkap efusi. Pada review sistematik dari percobaan klinis acak dari steroid oral untuk OME oleh Butler dan koleganya, OR untuk OME setelah follow up jangka pendek ( 2 minggu) pada kombinasi data dari tiga percobaan pemeriksaan anak dengan pengobatan steroid oral ( dosis antara 0,151 mg/kg per hari) dibandingkan dengan kontrol yaiu 0,22 (95% CI =0,08-0,63). OR dipastikan dari data empat percobaan pemeriksaan anak dengan penobatan steroid oral ( dosis antara 1 mg/kg/hari dosis bertahap untuk 7 hari sampai dosis tunggal 6

mg/kg) ditambah antibiotik dibandingkan dengan kontrol yang ditambah antibiotik adalah 0,32 (95% CI=0,20-0,52). Review database dari Cochrane menghasilkan hasil yang sama, menunjukkan resolusi yang lebih cepat dari OME dalam jangka pendek ( 2 minggu) dengan steroid oral (dosis antara 0,15 mg/kg sehari-hari, dosis bertahap untuk 2 minggu hingga dosis tunggal 6 mg/kg) tunggal atau kombinasi dengan antibiotik. Perbaikan OME jangka panjang dengan steroid sistemik menjadi lebih sulit untuk didemonstrasikan, tetapi percobaan terkontrol double-blind secara acak mengidentifikasi sebuah keuntungan dengan kombinasi regimen amoxicillinprednison. Total dari 136 anak dengan OME sedikitnya durasi 2 bulan secara acak diberikan amoxicillin ditambah prednisone ditambah placebo untuk 14 hari. Dua bulan dari permulaan treatment, perbaikan lengkap atau sebagian pada OME timbul pada presentasi lebih tinggi pada pasien (80-90%) menerima antibiotik ditambah steroid oral (dosis bertahap untuk 2 minggu, dimulai dari 1 mg/kg/hari) dibandingkan dengan antibiotik tunggal, berdasarkan otoskopik, timpanometrik, dan perburukan perbedaan gap air-bone. Keuntungan terbesar diobservasi pada anak usia 4-10 tahun tanpa hipertrofi adenoid. Studi ini sulit diinterpretasikan secara kolektif karena variasi dari criteria masuk, durasi OME, desain, dan definisi point akhir, desain studi sub optimal seperti non-random, subeject dalam jumlah kecil, atau kontrol yang absen atau tidak lengkap, kurangnya evaluasi jangka panjang. Secara garis besar, studi ini menyarankan bahwa pembelajaran jangka pendek dari pengobatan dengan steroid oral dosis rendah, dengan atau tanpa antibiotik, meningkatkan OME dalam jangka pendek. Desain studi yang pantas mengenai efek jangka panjang sangat minim. Dosis tepat yang diperlukan tidak jelas, telah disarankan bahwa dosis yang lebih tinggi ( lebih besar dari 1 mg/kg/hari) mungkin diperlukan untuk anak atopi dengan OME. Perhatian mengenai keamanan steroid oral meliputi perubahan sikap, peningkatan nafsu makan, peningkatan berat badan dan supresi dari adrenal dan pertumbuhan. Review secara sistematik tidak menemukan efek serius atau

merugikan. Bagaimanapun hal itu jelas untuk menerima perbaikan jangka panjang strategi lain memerlukan pertimbangan.

Intranasal corticosteroid (INSs) INSs memiliki absorbsi sistemik terbatas, obat ini memberikan keuntungan aman melebihi kortikosteroid oral dan akan diharapkan untuk menggunakan efek antiinflamasinya secara local pada hidung, nasofaring, telinga, dan tenggorokan. Potensial keuntungan lebih jauh bahwa INSs memiliki profil keamanan yang lebih tinggi dan bisa digunakan dalam waktu lebih lama (3-12 bulan). Ini memiliki keuntungan potensial dalam menjamin outcome jangka panjang yang lebih baik. Enam INSs yang diterima untuk digunakan pada anak yaitu : mometasone furoate, fluticasone proprionate, fluticasone furoate, beclomethasone diproprionate,

triamcinolone acetonide, dan flunisolide. Di antara ini, mometasone furoate, fluticasone furoate, dan triamcinolone acetonide dapat digunakan untuk anak usia 2 tahun. Semua agen ini telah diterima untuk pengobatan rhinitis alergi tetapi tidak untuk OME. Menurut pedoman tahun 2004, penelitian tunggal dari pengobatan kombinasi INSs dengan antibiotik dibanding intervensi bedah dapat dipertimbangkan sebagai pilihan jangka pendek pada anak dengan OME, yang orang tuanya menunjukkan keengganan pada tindakan bedah. Rekomendasi ini berdasarkan pada double-blind, placebo-controlled study di mana Tracy et al membandingkan efek profilaksis antibiotik tunggal atau kombinasi dengan beclomethasone intranasal atau placebo pada tekanan telinga tengah, pemeriksaan otoskopik, dan skor symptom pada 61 anak (umur 3-11 tahun) dengan efusi telinga tengah yang peristen ( durasi 3 bulan). Pada studi ini, anak-anak diacak dalam tiga grup pengobatan : (i) antibiotik profilaksis, (ii) antibiotik profilaksis ditambah beclomethasone intranasal, (iii) antibiotik profilaksis ditambah placebo intranasal untuk 12 minggu. Subjek pada kelompok antibiotik ditambah beclomethasone mengalami peningkatan tajam di tekanan telinga tengah dan pemeriksaan otoskopik dibanding antibiotik tunggal atau kelompok placebo

selama 8 minggu. Pada minggu ke-12 hanya pengobatan

kombinasi yang

menunjukkan peningkatan signifikan pada tekanan telinga bilateral (reduksi dari 31% tekanan timpani). Sebagai tambahan, resolusi symptom lebih besar secara signifikan pada minggu ke -12 dengan antibiotik ditambah beclomethasone dibanding antibiotic tunggal. Tidak ada perbedaan outcome antara subjek alergi dan non alergi.

Penelitian klinis penggunaan INSs dalam pengobatan OME Selama terapi alergi tidak direkomendasikan untuk diberikan sebagai monoterapi dalam manajemen OME, maka mandaat pemberian INSs sebagai terapi OME juga diragukan keefektifannya. Sebuah penelitian yang menggunakan beclomethasone dipropionat spray yang diberikan melalui hidung pada 25 orang pasien anak dengan OME kronik selama 5 minggu tanpa kombinasi antibiotik dilaporkan memberikan angka kesembuhan 48% (40% sembuh total dan 8% sembuh parsial). Dalam penelitian lain yang membandingkan penggunaan placebo dengan beclomethasone 400 ug yang diberikan dua kali sehari pada 70 pasien anak dengan usia 4-14 tahun, tidak menunjukkan perbaikan yang lebih baik antara keduanya. Hal itu dilihat dari hasil timpanometri, audiometri dan otomikroskopinya. Namun, anak- anak yang ikut dalam penelitian ini hanya dipilih berdasarkan keadaan klinisnya tanpa mempertimbangkan durasi dan kronisitas dari OME yang dideritanya. Sehingga dapat saja terjadi resolusi spontan pada beberapa anak yang sedang diteliti. Baru-baru ini, beclomethasone menunjukkan perbaikan dan menurunkan angka kebutuhan dari timpanostomi pada pasien OME yang diberi terapi INSs selama lebih dari 1 tahun. Laporan dari Cochrane yang terdahulu menunjukkan efikasi yang sama antara penggunaan steroid peroral dengan intranasal pada penderita OME. Laporan tersebut

disimpulkan berdasarkan dua penelitian yang telah dilakukan pada tahun 1982 dan 1988. Baru- baru ini, dilakukan sebuah penelitian yang melibatkan 122 anak dengan rentang usia 3-15 tahun, dengan hipertrofi adenoid dengan atau tanpa OME yang sedang menunggu dilakukannya adenoidectomy ataupun pemasangan ventilasi tuba. Kemudian anak- anak tersebut dibagi menjadi dua kelompok. Salah satunya diberi terapi Mometasone Furoate Nasal Spray (MFNS) 100 ug/ hari selama 6 minggu sedangkan kelompok lainnya tidak mendapatkan pengobatan apa-apa. Hasilnya,

kelompok pasien yang diberi terapi MFNS selama 6 minggu menunjukkan resolusi OME yang signifikan dibandingkan kelompok pasien yang tidak mendapatkan terapi apa-apa (n=29; 42,2% vs. 14,5%; p<0,001). Didapatkan juga penurunan ukuran dari adenoid yang signifikan pada kelompok yang diberi terapi MFNS dibandingkan kelompok plasebo (p<0,001), yang berkorelasi dengan perbaikan gejala obstruksi yang signifikan. Perbaikan tersebut dilihat dari ratio adenoid/koana (A/C ratio). Setlah 12 bulan, dilakukan follow up terhadap pasien- pasien tersebut. Kemudian didapatkan hasil, dari 28 pasien yang menunda operasi karena perbaikan setelah mendapat terapi MFNS, hanya satu pasien yang tetap harus melakukan operasi karena peningkatan A/C ratio dan perburukan gejala. Dari 14 pasien yang mengalami resolusi OME oleh terapi INS, hanya 2 pasien yang mengalami rekurensi. Sebuah penelitian yang membandingkan terapi MFNS dengan plasebo di United Kingdom telah dipublikasikan. Penelitian tersebut melibatkan 76 pasien anak dengan rentang usia 4-11 tahun dengan OME. Secara acak, pasien- pasien tersebut dibagi dua kelompok, kelompok pertama di beri terapi MFNS 50ug perhari selama 3 bulan sedangkan kelompok kedua diberi plasebo. Hasil utama yang harapkan adalah proporsi pasien yang sembuh dari OME bilateral yang diassess berdasarkan kriteria timpanometri pada bulan pertama. Hasil selanjutnya dilihat pada bulan ke 3 dan ke9. Pada bulan pertama, 41% dari kelompok MFNS dan 45% dari kelompok plasebo sembuh. Pada bulan ketiga, 58% dari kelompok MFNS dan 52% dari kelompok

plasebo sembuh. Pada bulan ke 9, 56% dari kelompok MFNS

dan 65% dari

kelompok plasebo sembuh. Tidak didaptkan perbedaan yang signifikan.

Kesimpulan dan Pertimbangan Kedepan Otitis media dengan efusi masih menyisakan masalah dalam pemilihan terapi yang efektif. Inflamasi dan disfungsi pada tuba euschaius memegang peranan penting dalam etiologi dari OME. Bukti- bukti epidemiologik dan patofisiologik yang

menyatakan keterlibatan OME dengan alergi, menjadikan alasan dilakukannya penelitian tentang terapi INSs pada OME dengan hasil yang menjanjikan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa penundaan tindakan operasi adalah pilihan yang lebih aman. Penundaan tersebut memberikan kesempatan yang lebih besar untuk diberikannya terapi INSs pada OME. Pemberian prednisolon per-oral menunjukkan manfaat jangka pendek terhadap OME, tetapi belum ada penelitian yang meneliti tentang manfaat jangka panjangnya. Tingginya prevalensi dari OME ringan pada masyarakat dan cepatnya resolusi spontan membuat sulit dilakukannya penelitian intervensi pada OME dalam jangka waktu yang lama, namun penelitian tentang hal tersebut masih sangat dibutuhkan.

Anda mungkin juga menyukai