Anda di halaman 1dari 10

OBESITAS

A. Definisi Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik. Secara fisiologis, obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adiposa sehingga dapat mengganggu kesehatan (Sugondo, 2009). Obesitas merupakan peningkatan total lemak tubuh, yaitu apabila ditemukan kelebihan berat badan >20% pada pria dan >25% pada wanita karena lemak (Ganong, 2003). Obesitas berhubungan erat dengan distribusi lemak tubuh. Tipe obesitas menurut pola distribusi lemak tubuh dapat dibedakan menjadi obesitas tubuh bagian atas (upper body obesity) dan obesitas tubuh bagian bawah (lower body obesity). Obesitas tubuh bagian atas merupakan dominansi penimbunan lemak tubuh di trunkal . Terdapat beberapa kompartemen jaringan lemak pada trunkal, yaitu trunkal subkutaneus yang merupakan kompartemen paling umum, intraperitoneal (abdominal), dan retroperitoneal. Obesitas tubuh bagian atas lebih banyak didapatkan pada pria, oleh karena itu tipe obesitas ini lebih dikenal sebagai android obesity. Tipe obesitas ini berhubungan lebih kuat dengan diabetes, hipertensi, dan penyakit kardiovaskuler daripada obesitas tubuh bagian bawah. Obesitas tubuh bagian bawah merupakan suatu keadaan tingginya akumulasi lemak tubuh pada regio gluteofemoral. Tipe obesitas ini lebih banyak terjadi pada wanita sehingga sering disebut gynoid obesity. Tipe obesitas ini berhubungan erat dengan gangguan menstruasi pada wanita (Sugondo, 2009). B. Prevalensi Obesitas adalah suatu masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius di seluruh dunia karena berperan dalam meningkatnya morbiditas dan mortalitas. Prevalensi obesitas berbeda-beda di setiap negara, mulai dari 7% di Perancis sampai 32,8% di Brazil.. Prevalensi obesitas meningkat di setiap negara. Sebagai contoh, di Amerika Serikat prevalensi meningkat dari 12% pada tahun 1991 menjadi 17,8% pada tahun 1998. Obesitas meningkat di setiap negara, pada setiap jenis kelamin, dan pada semua kelompok usia, ras, dan tingkat pendidikan (Gibney et al. , 2005). Riset Kesehatan Dasar (2010) mendapatkan prevalensi obesitas pada perempuan lebih yaitu sebesar 15,5% dibandingkan prevalensi obesitas pada laki-laki yaitu sebesar 7,8%.

Beberapa faktor yang mungkin berkaitan dengan tingginya persentase obesitas pada responden perempuan, antara lain adalah: (1) Konsumsi makanan berlemak yang mungkin lebih sering dibandingkan dengan laki-laki; (2) Aktivitas olahraga yang jarang dilakukan; (3) Status perkawinan, dimana perempuan yang sudah menikah cenderung mengalami pertambahan berat badan di kemudian hari (4) Pemakaian alat kontasepsi hormonal seperti: susuk, pil, dan suntikan dapat menimbulkan efek samping bertambahnya berat badan serta penggunaan alat kontrasepsi hormonal. Prevalensi obesitas berhubungan dengan urbanisasi dan mudahnya mendapatkan makanan serta banyaknya jumlah makanan yang tersedia. Urbanisasi dan perubahan status ekonomi yang terjadi di negara-negara yang sedang berkembang berdampak pada peningkatan prevalensi obesitas pada negara-negara ini termasuk Indonesia (Sugondo, 2009). Insidensi obesitas di negara-negara berkembang makin meningkat, sehingga saat ini banyaknya orang yang obesitas di dunia hampir sama jumlahnya dengan yang menderita karena kelaparan. Beban finansial, resiko kesehatan dan dampak pada kualitas hidup berhubungan dengan epidemi tersebut sehingga memerlukan pemahaman mendalam tentang mekanisme molekular yang mengatur berat badan untuk kemudian dapat mengidentifikasi cara-cara menanganinya (Sugondo, 2009). C. Patofisiologi Obesitas terjadi karena adanya kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Gangguan keseimbangan energi ini dapat disebabkan oleh faktor eksogen (obesitas primer) sebagai akibat nutrisional (90%) dan faktor endogen (obesitas sekunder) akibat adanya kelainan hormonal, sindrom atau defek genetik (meliputi 10%). Pengaturan keseimbangan energi diperankan oleh hipotalamus melalui 3 proses fisiologis,

yaitu:pengendalian rasa lapar dan kenyang, mempengaruhi laju pengeluaran energi, dan regulasisekresi hormon (Gibney et al. , 2005). Obesitas terjadi bila asupan energi melebihi penggunaannya sebagai akibat perubahan genetik maupun lingkungan. Proses biokimiawi dalam tubuh menentukan rasa kenyang dan rasa lapar, termasuk pemilihan macam makanan, selera dan frekuensi makan seseorang. Kondisi dan aktivitas penyimpanan kelebihan energi di jaringan adiposit dikomunikasikan ke sistem saraf pusat melalui mediator leptin dan sinyal-sinyal lain (Davey, 2005). Proses dalam pengaturan penyimpanan energi ini terjadi melalui sinyal-sinyal eferen (yang berpusat di hipotalamus) setelah mendapatkan sinyal aferen dari perifer (jaringan adiposa, usus dan jaringan otot). Sinyal-sinyal tersebut bersifat anabolik (meningkatkan

rasalapar serta menurunkan pengeluaran energi) dan dapat pula bersifat katabolik (anoreksia,meningkatkan pengeluaran energi) dan dibagi menjadi 2 kategori, yaitu sinyal pendek dan sinyal panjang. Sinyal pendek mempengaruhi porsi makan dan waktu makan serta berhubungan dengan faktor distensi lambung dan peptida gastrointestinal, yang diperankan oleh kolesistokinin (CCK) sebagai stimulator dalam peningkatan rasa lapar. Sinyal panjang diperankan oleh fat-derived hormon leptin dan insulin yang mengatur penyimpanan dan keseimbangan energi (Ganong, 2003). Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka jaringan adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin dalam peredaran darah. Leptin kemudian merangsang anorexigenic center di hipotalamus agar menurunkan produksi Neuro Peptide Y(NPY), sehingga terjadi penurunan nafsu makan. Demikian pula sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar dari asupan energi, maka jaringan adiposa berkurang dan terjadirangsangan pada orexigenic center di hipotalamus yang menyebabkan peningkatan nafsu makan. Pada sebagian besar penderita obesitas terjadi resistensi leptin, sehingga tingginyakadar leptin tidak menyebabkan penurunan nafsu makan (Ganong, 2003). Patofisiologi dasar dari obesitas merupakan gangguan keseimbangan (imbalance) antara asupan (intake) dengan pengeluaran energi (energy expenditure). Asupan dipengaruhi oleh berbagai faktor dalam tubuh yang merupakan sistem yang komplek. Keseimbangan antara rasa lapar dan rasa kenyang menentukan asupan (intake nutrient) seseorang yang berujung pada status gizi seseorang. Karbohidrat merupakan sumber energi utama. Pembakaran menurun saat ketersediaan glukosa sebagai sumber energi utama cukup. Kelebihan karbohidrat akan dipergunakan untuk de novo lipogenesis (Harrison, 1999). Makanan yang mengandung karbohidrat dengan glycemic index (GI) tinggi menyebabkan resiko terjadinya postprandial hiperinsulinemia dan hiperglikemia. Hal tersebut beresiko meningkatkan penimbunan lemak tubuh dan peningkatan penggunaan karbohidrat sebagai sumber energi dengan resiko penurunan penggunaan dan pembakaran lemak (Harrison, 1999). D. Gambaran Klinik Obesitas dapat terjadi pada setiap umur dan gambaran klinis obesitas dapat bervariasi dari yang ringan sampai dengan yang berat sekali. Penimbunan lemak yang berlebihan dibawah diafragma dan di dalam dinding dada bisa menekan paru-paru, sehingga timbul gangguan pernafasan dan sesak nafas, meskipun penderita hanya melakukan aktivitas yang ringan. Gangguan pernafasan bisa terjadi pada saat tidur dan menyebabkan terhentinya

pernafasan untuk sementara waktu (tidur apneu), sehingga pada siang hari penderita sering merasa ngantuk (Sugondo, 2009) . Obesitas bisa menyebabkan berbagai masalah ortopedik, termasuk nyeri punggung bawah dan memperburuk osteoartritis (terutama di daerah pinggul, lutut dan pergelangan kaki) ; kadang sering ditemukan kelainan kulit. Seseorang yang menderita obesitas memiliki permukaan tubuh yang relatif lebih sempit dibandingkan dengan berat badannya, sehingga panas tubuh tidak dapat dibuang secara efisien dan mengeluarkan keringat yang lebih banyak. Sering ditemukan edema (pembengkakan akibat penimbunan sejumlah cairan) di daerah tungkai dan pergelangan kaki. Menurut Soedibyo (1986), gejala klinis pada individu yang mengalami obesitas adalah sebagai berikut: a. Pertumbuhan berjalan dengan cepat/pesat disertai adanya ketidakseimbangan antara peningkatan berat badan yang berlebihan dibandingkan dengan tinggi badannya. b. Jaringan lemak bawah kulit menebal sehingga tebal lipatan kulit lebih daripada yang normal dan kulit nampak lebih kencang. c. Kepala nampak relatif lebih kecil dibandingkan dengan tubuhnya atau dibandingkan dengan dadanya (pada bayi). d. Bentuk pipi lebih tembem, hidung, dan mulut tampak relatif lebih kecil, mungkin disertai dengan bentuk dagunya yang berganda (dagu ganda). e. Pada dada terjadi pembesaran payudara yang dapat meresahkan bila terjadi pada anak laki-laki. f. Perut membesar menyerupai bandul lonceng, dan kadang disertai garis-garis putih atau ungu (striae). g. Kelamin luar pada anak wanita tidak jelas ada kelainan, akan tetapi pada anak lakilaki tampak relatif kecil. h. Pubertas pada anak laki-laki terjadi lebih awal dan akibatnya pertumbuhan kerangka lebih cepat berakhir sehingga tingginya pada masa dewasa relatif lebih pendek. i. Lingkar lengan atas dan paha lebih besar daripada normal, tangan relatif lebih kecil dan jari-jari bentuknya meruncing. j. Dapat terjadi gangguan psikologis berupa : gangguan emosi, sukar bergaul, senang menyendiri dan sebagainya. k. Pada kegemukan yang berat mungkin terjadi gangguan paru-paru dan jantung yang disebut sindroma Pickwickian dengan gejala sesak napas, sianosis, pembesaran jantung, dan kadang-kadang penurunan kesadaran.

E. Penegakan Diagnosa Diagnosis obesitas biasanya tidak sulit. Orang dengan obesitas sering tidak mengakui kalau dirinya makan secara berlebihan. Namun, keadaan yang sebenarnya dapat dinilai dengan membuat tabel asupan makanan dan menentukan jumlah kalori yang masuk berdasarkan standar tabel tabel makanan (Harrison, 1999). Obesitas dapat dinilai dengan berbagai cara, metode yang lazim digunakan saat ini antara lain pengukuran IMT (Index Massa Tubuh), lingkar pinggang, serta perbandingan lingkar pinggang dan panggul. a. IMT (Indeks Massa Tubuh) Metode yang sering digunakan adalah dengan cara menghitung IMT, yaitu BB/TB2 dimana BB adalah berat badan dalam kilogram dan TB adalah tinggi badan dalam meter. Klasifikasi IMT dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Table 2.1 Klasifikasi IMT (International Diabetes Federation, 2005) Klasifikasi IMT BB kurang (underweight) Normal BB Lebih (overweight) Obesitas, kelas I Obesitas, kelas II Obesitas, kelas III b. Lingkar Pinggang IMT memiliki korelasi positif dengan total lemak tubuh, tetapi IMT bukan merupakan indikator terbaik untuk obesitas Selain IMT, metode lain untuk pengukuran antropometri tubuh adalah dengan cara mengukur lingkar pinggang. Parameter penentuan obesitas merupakan hal yang paling sulit dilakukan karena perbedaan cutt of point setiap etnis terhadap IMT maupun lingkar pinggang. Sehinggga IDF (Internasional Diabetes Federation) mengeluarkan kriteria ukuran lingkar pinggang berdasarkan etnis. Kg/m2 < 18,5 18,5-24,9 25,0-29,9 30,0-34,9 35,0-39,9 >40,0

Tabel 2.2 Kriteria ukuran pinggang berrdasarkan etnis


Negara/grup etnis Lingkar pinggang (cm) pada obesitas Pria >94, Wanita >80

Eropa
Asia Selatan Populasi China, Melayu, dan Asia-India Pria >90. Wanita >80 Pria >90, Wanita >80

China
Pria >85, Wanita >90

Jepang Amerika Tengah Sub-Sahara Afrika Afrika Tengah c. Rasio Lingkar Perut Pinggul Tabel 2.3 Rasio Lingkar Perut dan Pinggul Jenis Kelamin Ukuran RLPP Normal
Gunakan rekomendasi Asia Selatan hingga tersedia data spesifik Gunakan rekomendasi Eropa hingga tersedia data spesifik Gunakan rekomendasi Eropa hingga tersedia data spesifik

Laki-laki

<0.90

Perempuan

<0.85

F. Diagnosa Banding Pada orang dewasa, sindroma Cushing dapat menyebabkan obesitas sekunder tetapi diagnosis keadaan ini biasanya ditunjukkan oleh pola distribusi lemak tubuh dan gambaran kliniknya. Penyakit endokrin lainnya seperti hipotiroidisme, hipogonadisme dan jenis-jenis tumor yang mensekresikan insulin seringkali muncul sebagai diagnosis banding obesitas tetapi bukan merupakan permasalahan diagnostik yang terjadi. Penyakit kongenital yang menyebabkan obesitas adalah sindrom Prader-Willy, Laurence-Moon Biedl dan Alstrom juga dapat dikenali dan tampak terjadi di awal kehidupan. Kadang-kadang penyakit hipotalamus seperti kraniofaringoma dapat menyebabkan obesitas akuisita. Pemerikasaan terhadap sistem

saraf pusat tidak diperlukan pada obesitas bila tidak terdapat gejala yang mencurigakan seperti nyeri kepala, gangguan visual, vomitus atau perubahan endokrin (Harrison, 1999). G. Penanganan Penatalaksanaan obesitas dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu pengobatan dasar dan pengobatan terhadap komplikasinya (Hermawan, 1999). a. Pengobatan Dasar 1. Diet Dianjurkan diet dengan rendah kalori tetapi cukup gizi, ialah 15 20 kalori/kg.bb.,dengan komposisi 20% protein, 65% karbohidrat dan 15% lemak, komposisi tersebut mirip dengan komposisi diet B1 dari Askandar. Diet yang tak lazim misalnya diet hanya dengan protein saja (tiger diet), diet tidak makan nasi sama sekali, pada saat sekarang ini tidak sesuai lagi. 2. Olah Raga. Di samping mempercepat metabolisme, juga dapat membuatkondisi tubuh lebih segar dan dapat menambah estetika. Olahraga dimaksudkan agar jumlah kalori yang dikeluarkan tubuh lebih banyak daripada jumlah kalori yang masuk. Dengan olah raga yang baik akan terjadi peningkatan metabolisme. 3. Obat-obatan Obat-obatan yang banyak digunakan untuk obesitas terdiri dari obat penahan nafsu makan di antaranya alah golongan amfetamin, obat yang

meningkatkan/mempercepat metabolisme tubuh misalnya preparat tiroid, obat pemacu keluarnya cairan tubuh misalnya diuretika; pencahar. Namun obat-obat tersebut bila digunakan dalam jangka panjang akan menyebabkan efek samping sangat merugikan tubuh. Oleh karena itu penggunaannya sebaiknya disertai kontrol ketat. 4. Pembedahan. Operasi jejuno-ileal by-pass dilakukan memotong sebagian usus halus yang menyerap makanan, tetapi resikonya cukup besar sehingga hal tersebut harus dilakukan dengan indikasi yang cukup kuat, yaitu apabila obesitas tak dapat diobati dengan tindakan konservatif Operasi pengambilan jaringan lemak (adipektomi), lebih cenderung bersifat estetika.

H. Komplikasi Beberapa komplikasi yang timbul akibat obesitas antara lain (Davey, 2005) : 1. Hipertensi Penelitian tahun 1959 menunjukkan adanya hubungan langsung antara hipertensi dengan berat badan yang berlebihan; penelitian Framingham juga menemukan adanya kenaikan tekanan darah pada dewasa muda yang mempunyai berat badan lebih, namun masih banyak diperlukan informasi untuk menjelaskannya. Selain itu beberapa penelitian epidemiologi telah membuktikan pula adanya hubungan yang linier antara obesitas dan hipertensi; hubungan kausalnya belum dapat diketahui dengan pasti, namun dalam pengamatan selanjutnya apabila penderita obesitas diturunkan berat badannya maka tekanan darahnya akan turun pula. Oleh karena itu timbul beberapa teori yang dikemukakan mengenai adanya hubungan tersebut, diantaranya yaitu : a. Mekanisme hemodinamik Peningkatan volume sekuncup, volume darah dan peningkatan tahanan perifer memegang peranan penting dalam terjadinya hipertensi pada obesitas. b. Aktivitas saraf simpatis Penderita wanita obesitas yang diturunkan berat badannya ternyata terjadi juga penurunan tekanan darah dan denyut jantung serta pada pemeriksaan urinenya terdapat peningkatan sisa-sisa metabolisme katekolamin yaitu 4-hidroksi 3-metoksi mandelikasid sehingga timbul pendapat bahwa peningkatan katekolamin merupakan akibat dari aktivitas saraf simpatis yang meningkat. c. Endokrin Pada penderita obesitas didapatkan adanya peningkatan kadar insulin dan aldosteron dalam plasma. Aldosteron akan mengurangi ekskresi Na dalam glomeruli, begitu juga insulin pada percobaan binatang dengan jelas mengurangi pula sekresi Na dalam glomeruli; dalam beberapa hal keadaan ini diperkirakan juga terjadi pada manusia, sehingga adanya peningkatan insulin dan aldosteron akan menyebabkan retensi Na dalam darah yang mengakibatkan terjadinya peningkatan volume darah yang menyebabkan hipertensi. 2. Diabetes Melittus Obesitas ternyata juga mempengaruhi metabolisme tubuh manusia; yang sangat menyolok dan sering terjadi adalah hubungan langsung antara obesitas dengan diabetes melitus. Pada obesitas kemungkinan terkena diabetes melitus 2,9 kali lebih sering bila dibandingkan yang tidak obesitas. Dikemukakan pula bahwa penderita obesitas sering

mengalami hiperglikemi tetapi dalam keadaan hiperinsulinisme; keadaan ini mungkin karena adanya resistensi insulin yang meningkat atau kurang pekanya reseptor insulin terhadap adanya hiperglikemi. Ada pula yang mengatakan bahwa pada penderita obese diabetik, kelainan dasarnya adalah gangguan keseimbangan kinetik sekresi insulin. Sekresi insulin terlambat sehingga kadar glukosa darah tidak dapat dikontrol secara teratur dan terdapat peningkatan sekresi insulin sehingga cenderung terjadi hiperinsulinisme yang disertai dengan peningkatan resistensi insulin. Kecuali itu, hiperglikemi dan hiperinsulinemi dapat pula disebabkan oleh karena kualitas insulin yang abnormal, adanya produk/ hormon yang bersifat antagonis terhadap insulin atau berkurangnya jumlah reseptor yang sensitif pada membran sel. 3. Gangguan Pernafasan Pada penderita obesitas terdapat timbunan lemak pada rongga dada dan rongga perutnya sehingga akan menyebabkan gangguan proses pernafasan. Oleh karena itu pada obesitas cenderung terjadi penurunan fungsi paru. Kelainan ini bila dalam keadaan berat dengan tanda-tanda somnolen dan hipoventilasi disebut dengan Pickwickian syndrome. Keadaan ini akan menghilang bila penderita menurunkan berat badannya. 4. Kelainan Sendi Setiap peningkatan berat badan lebih dari normal akan menimbulkan beban yang berlebihan pada sendi penyangga berat badan, dan ini cenderung menyebabkan trauma ringan tetapi terus-menerus dan akan berakhir menjadi osteoartritis (OA) baik primer ataupun sekunder Engel dalam penelitiannya atas populasi penduduk yang dibagi menjadi 4 grup, ternyata grup yang mempunyai berat badan berlebihan dengan umur makin tua cenderung lebih cepat menderita OA. Sendi yang terkena adalah sendi penyangga berat badan yaitu punggung, pangkal paha, lutut dan pergelangan kaki. I. Prognosis Penurunan berat badan memiliki efek yang menguntungkan terhadap komorbid obesitas. Bahkan, penurunan berat badan sebesar 5 sampai 10 % dari berat badan awal dapat mengakibatkan perbaikan kesehatan yang signifikan. Namun, kematian juga dapat terjadi pada orang dengan obesitas sentral yang berkaitan dengan komplikasi sindrom metabolik meliputi resistensi insulin, gangguan toleransi glukosa, abnormalitas trigliserida dan hemostasis, disfungsi endotel dan hipertensi yang kesemuanya secara sendiri-sendiri atau bersama-sama merupakan faktor resiko utama terjadinya aterosklerosis dengan manifestasi penyakit jantung koroner dan atau stroke (Sugondo, 2009).

DAFTAR PUSTAKA Davey, P. 2005. At A Glance : Medicine. Jakarta : Erlangga Medical Series. Ganong, W. F. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ganong. Edisi 22. Jakarta : EGC. Gibney, M.J., Margareth, B.M. and Kearney, J.M. 2005. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC. Harrison. 1999. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. EGC. Jakarta. Hermawan, A.G. 1999. Komplikasi Obesitas dan Usaha Penanggualngannya. Cermin Dunia Kedokteran (68) : 39-41. Sugondo, S. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Obesitas. Edisi V. Jakarta : Interna Publishing.

Nama : Adelya Suherlin NIM : 0907101010157

Anda mungkin juga menyukai