Anda di halaman 1dari 6

REKONSTRUKSI TRADISI

(Studi terhadap Tradisi Berpindah Kampung pada Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar di Sukabumi Selatan, Jawa Barat)

Oleh : Rahmad Efendi*


*

Mahasiswa Jurusan Antropologi FISIP Unpad, Jalan Raya Jatinangor-Sumedang, Km 21, Jawa Barat, Indonesia

Tak ada yang abadi di dunia ini selain perubahan. Kehidupan yang terus berjalan selalu menjalani proses perubahan sepanjang lintasan masa. Termasuk di dalamnya perubahan dalam aspek religi, sistem pengetahuan dan teknologi, bahasa, organisasi sosial, sistem mata pencaharian serta sistem kesenian yang secara keseluruhan disebut Koentjaraningrat (1990) sebagai suatu konsep yang bernama kebudayaan. Marvin Harris (1979) menerangkan perkembangan kebudayaan melalui pendekatan material yang kemudian disebutnya sebagai materialisme kebudayaan. Cara pandangnya mengungkapkan munculnya watak budaya yang dapat

menerangkan bagaimana sebuah masyarakat berevolusi dan beradaptasi terhadap kondisi lingkungan. Ia menemukan bahwa alasan-alasan materialismelah yang mendasari berkembangnya sebuah budaya di masyarakat. Dari hasil risetnya, Harris menyimpulkan kebudayaan sebagai hasil bentukan dari alam lingkungan tempat kebudayaan itu tumbuh. Harris menjelaskan bagaimana terjadinya proses evolusi budaya pada suatu masyarakat dipengaruhi oleh faktor infrastruktur (determinis lingkungan) terhadap aspek bio-psikologis manusia. Respon dari determinis lingkungan ini memunculkan perubahan sistem hidup manusia yang diatur dalam struktur dalam bentuk organisasi sosial untuk mengatur tata cara kehidupan manusia. Kemudian struktur dibenarkan oleh suprastruktur (sistem pengetahuan/keyakinan/ideologi) guna memperkuat legalitas struktur di masyarakat.

Berdasarkan alur tersebut, pandangan Harris menekankan bagaimana kebudayaan tumbuh dipengaruhi oleh faktor infrastruktur yakni determinis lingkungan. Sistem pengetahuan disebut Harris masuk dalam kategori suprastruktur. Oleh karena itu, berbagai pengetahuan lokal yang mentradisi pada berbagai kebudayaan merupakan produk dari interaksi masyarakat dan lingkungan tempat tinggalnya. Salah satu contohnya masyarakat yang masih melestarikan pengetahuan lokalnya dapat dilihat pada masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar yang berada di Sukabumi Selatan, Jawa Barat. Salah satu pengetahuan lokal yang menarik dari masyarakat Ciptagelar adalah tradisi berpindah Kampung Gede. Menurut Abah Ugi selaku sesepuh girang (pimpinan) masyarakat Ciptagelar, tradisi berpindah kampung telah belasan kali dilakukan masyarakat Ciptagelar sejak berdirinya 600-an tahun silam. Mengenai tradisi perpindahan tersebut, Adimiharja (1992), menjelaskan hingga tahun 1983 masyarakat Ciptagelar telah menjalani 13 kali perpindahan Kampung Gede. Ditambah dengan perpindahan terakhir di tahun 2001, maka saat ini total sudah 14 kali perpindahan. Dalam kepercayaan Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar, secara tradisi, perpindahan terjadi berdasarkan wangsit yang diterima sesepuh girang . Wangsit yang diterima sesepuh girang merupakan pertanda dari leluhur terkait dengan suatu

kepercayaan mereka yang disebut Uga. Uga mengungkapkan bahwa suatu waktu, sejalan dengan janji karuhun, kasepuhan akan pindah suatu tempat yang makmur yang mereka sebut dengan lebak cawene yang berarti lembah perawan(Adimiharja, 1992). Cerita inilah yang masih diyakini oleh sebagian besar masyarakat Ciptagelar, sehingga mereka menjadi tunduk dan taat ketika wangsit berpindah diterima oleh sesepuh girang. Akan tetapi, dalam sudut pandang lain, menurut beberapa baris kolot (tokoh masyarakat) tradisi berpindah merupakan upaya peyelamatan tatanan adat dari perubahan yang sedang terjadi di dalam masyarakat baik karena pengaruh internal maupun pengaruh tekanan dunia luar. Masyarakat yang terus berkembang menyebabkan beragam hal baru muncul. Pada masyarakat yang terus berkembang

seperti itu, kondisi sudah tidak kondisif lagi, karena itu perpindahan adalah suatu mekanisme yang dilakukan agar tatanan adat tetap terjaga. Beberapa baris kolot menjelaskan kondisi Kampung Gede sebelum berpindah sangat tertekan oleh faktor kepadatan penduduk. Adat waris yang memberikan waris tanah pada semua anak menyebabkan semakin berkurangnya jatah lahan tiap keluarga. Lahan yang menyempit secara otomatis menurunkan tingkat pendapatan masyarakat. kemudian berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Atas dasar itulah, tradisi berpindah ini dilakukan untuk menghindari penurunan kualitas hidup masyarakat Ciptagelar, karena akan berimbas pada stabilitas tatanan adat istiadat. Membiarkan masalah tersebut berlanjut sama artinya membiarkan terancamnya keberlangsungan tatanan adat Kasepuhan Ciptagelar, karena dengan kondisi seperti itu kontrol kaum elit kasepuhan terhadap masyarakat akan semakin lemah dan nantinya bisa berujung pada penurunan pelaksanaan nilai dan norma adat. Untuk mengatasinya, langkah tepat yang diambil oleh pimpinan Ciptagelar adalah berpindah mencari tempat baru yang lebih lapang dan subur. Sehingga kepemimpinan kembali stabil dan adat istiadat dapat kembali berjalan seperti biasa. Dalam perspektif materialisme budaya, tradisi berpindah ini erat kaitannya dengan upaya pengendalian tekanan populasi sebagai bentuk adaptasi masyarakat kasepuhan untuk mempertahankan eksistensinya. Hal tersebut terkait dengan daya dukung lingkungan mereka yang terus menurun akibat semakin banyaknya penduduk. Daya dukung lingkungan dimaksudkan sebagai total maksimum populasi manusia yang dapat didukung oleh suatu lingkungan tertentu secara tak terbatas tanpa mengakibatkan degradasi lingkungan (Iskandar, 2009). Teori tersebut menunjukkan jika populasi tumbuh lebih cepat dari kemampuan bumi dan lingkungan untuk memperbaiki sumber daya maka kemampuan bumi akan terlampaui dan berimbas pada kualitas hidup manusia yang rendah. Untuk mengatasinya diperlukan mekanisme solutif, dan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar memilih mekanisme berpindah tempat sebagai solusinya.

Secara kultural, tradisi berpindah menjadi solusi yang cukup berhasil, karena terbukti hingga saat ini Masyarakat Ciptagelar masih mampu menunjukkan eksistensi masyarakat dan kebudayaannya. Akan tetapi di saat yang sama, tradisi berpindah itu sendiri sedang terancam keberlanjutannya. Hal tersebut disebabkan karena wilayah perpindahan tidak ada lagi. Banyaknya hak kepemilikan dan pengelolaan lahan di kawasan ekosistem Halimun membuat ruang gerak bagi perpindahan Masyarakat Ciptagelar menjadi semakin terbatas. Akan menjadi sulit bagi Masyarakat Ciptagelar untuk melanjutkan tradisinya, karena wilayah Gunung Halimun telah masuk dalam zonasi hutan primer yang dilindungi dan wilayah tersebut juga masuk dalam area kelola Perum Perhutani unit III Jawa Barat dan wilayah Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) (Hanafi, 2004). Pihak Pemerintah dan korporasi tentu tidak ingin wilayah hutan yang penting bagi mereka terancam akan digarap masyarakat Ciptagelar, sedangkan Masyarakat Ciptagelar akan bingung jika nanti pindah lagi akan kemana arahnya karena sebagian besar lahan sudah dikuasai orang. Artinya masalah penguasaan wilayah halimun oleh berbagai pihak, secara tidak langsung telah melemahkan eksistensi dari pewarisan tradisi utama yang dimiliki Masyarakat Ciptagelar. Besar kemungkinan tradisi berpindah akan hilang dari kehidupan masyarakat Ciptagelar di masa depan. Permasalahannya, jika tradisi berpindah tidak berjalan lagi, bagaimanakah cara masyarakat Ciptagelar mengatasi tekanan penduduk yang akan terjadi di kemudian hari ? Masalah ini tentunya akan membawa pengaruh besar terhadap cara hidup Masyarakat Ciptagelar nantinya. Hal itulah yang kemudian akan merubah segala cara hidup lama mereka yang telah mentradisi, seperti pola tanam padi, sistem teknologi, organisasi sosial dan lainnya. Jika perubahan berjalan ke arah yang lebih baik, maka terjadilah apa yang disebut Harris dan White sebagai proses evolusi sosial, yakni perubahan sosial budaya yang bersifat dinamis karena adaptif terhadap kondisi lingkungan. Akan tetapi jika perubahan malah memperburuk keadaan masyarakat, maka terjadilah perubahan maladaptif yang disebut Gertz menuju kondisi involutif dan jurang kepunahan.

Hal tersebut jika tidak ditindaklanjuti dengan bijaksana, tentu akan mempengaruhi keberlanjutan adat istiadat Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Oleh karena itu penting adanya semacam refleksi bagi masyarakat Ciptagelar dalam upaya penyesuaian terhadap masalah yang mereka hadapi ini. Atas dasar itulah penulis berpendapat tradisi berpindah sebagai fungsi pengendalian populasi sangat penting bagi keberlangsungan tatanan adat masyarakat Ciptagelar. Karena itu perlu adanya langkah yang tepat untuk mencari win-win solution dari persoalan itu. Secara teoeritis, sesuai dengan saran Malthus (1789, dalam Gunawan, 2010), jika masyarakat Ciptagelar mau bertindak preventif, maka sebaiknya diupayakan pengendalian jumlah kelahiran bayi yang ketat, agar pertumbuhan penduduk menjadi rendah bahkan nol. Sehingga masyarakat Ciptagelar tetap bisa bertahan meski tidak dapat berpindah ke tempat yang lain. Kemudian merujuk pendapat Boserup (1965, dalam Gunawan, 2010), perlu upaya adaptasi menyangkut pengembangan teknologi dan organisasi sosial-ekonomi yang mampu meningkatkan produksi pertanian mereka yang sebaiknya dikembangkan dari sistem nilai yang mereka punya, sehingga menuju arah evolusi teknologi. Boserup berpendapat akan kemampuan manusia untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan dengan pengembangan teknologi. Masyarakat Ciptagelar pasti mampu mengembangkan sistem teknologi dan organisasi sosialekonomi yang mampu menyokong hidup mereka tanpa merubah ataupun meninggalkan nilai tradisi yang sudah mereka pegang sejak lama. Pihak pemerintah dan korporasi juga harus memikirkan keberlanjutan hidup masyarakat Ciptagelar. Upaya-upaya pembangunan yang dilakukan pemerintah sebaiknya menghindarkan pola top down intervention , karena hal tersebut mengakibatkan pergesaran nilai dan pengetahuan lokal milik masyarakat kasepuhan Ciptagelar secara ekstrem. Lebih baik pemerintah menawarkan pembangunan yang bersumber dari kebijakan dan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat Ciptagelar sendiri. Agar ke depannya sistem pengetahuan mereka dapat tetap terjaga dan semakin berdaya guna sebagai fungsi adaptasi dengan kondisi lingkungannya. Tentu lebih bijak jika semua pihak yang berkepentingan saling bekerjasama untuk menghasilkan kesepakatan dan tindakan bersama. Sehingga dapat menjamin

keberlanjutan fungsi kawasan ekosistem Halimun beserta keberlanjutan masyarakat Ciptagelar yang ada di dalamnya.

Daftar Pustaka

Adimihardja, Kusnaka.(1992).Kasepuhan yang tumbuh di atas yang luruh : Pengelolaan lingkungan secara tradisional di kawasan Gunung Halimun Jawa Barat. Bandung : Tarsito. Gunawan, Budhi. (2010). Land Degradation, society, and Watershed management. Materi Kuliah. Sumedang : Jurusan Antropologi Fisip Unpad. Hanafi, Imam, dkk. (2004). Nyoreang Alam Ka Tukang Nyawang Anu Bakal Datang: Penelusuran Pergulatan di Kawasan Halimun, Jawa BaratBanten. Bogor : RMI. Harris, Marvin. (1979). Cultural Materialism : The Struggle for a science of Culture. New York: Random House. Iskandar, Johan. (2009). Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan. Bandung: Program Studi Magsiter Ilmu Lingkungan Universitas Padjadjaran. Koentjaraningrat. (1990). Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: UI Press.

Anda mungkin juga menyukai