Abstract
This article examines the phenomenon of the implementation of community empowerment program as
the Corporate Social Responsibility (CSR) activity, which is used as a strategy to control the supply
chain of raw materials. This paper prepared using qualitative research methods with field study at
Pangandaran District, West Java. The Pangandaran Tappers Community Empowerment Program has
been run by PT Ultrava since 2012 until 2014. The program is aimed to manage the brown sugar supply
chain problems in Pangandaran that caused by the tappers. For that purpose, Ultrava running the
govermentality agenda against all of the brown sugar supply chain actors in Pangandaran. The
govermentality agenda use the biopolitic and subjectivity process, to change the tappers became the
obedient subject to the will of Ultrava.
Abstrak
Artikel ini mengkaji fenomena pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat sebagai Corporate
Social Responsibility (CSR), yang digunakan sebagai strategi untuk mengendalikan rantai pasokan
bahan baku. Artikel ini disusun dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan studi lapangan
di Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Program Pemberdayaan Penderes Pangandaran telah dijalankan
oleh PT Ultrava sejak 2012 hingga 2014. Program ini bertujuan untuk mengelola masalah rantai pasokan
gula di Pangandaran yang disebabkan oleh penderes. Untuk itu, Ultrava menjalankan agenda
govermentality terhadap semua pelaku rantai pasokan gula di Pangandaran. Agenda govermentality
tersebut menggunakan proses biopolitic dan subjectivity, untuk mengubah penderes menjadi subyek
yang patuh kepada kehendak Ultrava.
1
GRI adalah pedoman laporan sustainability report bagi & planet), sebagai patokan dalam pengelompokan
perusahaan. GRI menggunakan tiga pilar sustainability, indikator kinerja perusahaan (Radyati 2008:40-41).
yang terkenal dengan triple bottom line (profit, people,
Volume 1 (2) Desember 2016 eISSN 2528-1569 pISSN 2528-2115
90
UMBARA : Indonesian Journal of Anthropology Effendi, Rahmad, Program….
pemberdayaan ini ditujukan pada pemasok Kontradiksi Internal Rantai Pasok Gula
bahan baku Kecap Bravo, yakni para penderes Kelapa Pangandaran Untuk Kecap Bravo
di wilayah Kab. Pangandaran yang berasal
dari rantai pasok PT Sentosa. Program ini Aktivitas produksi gula kelapa2 di wilayah
dikelola oleh Yayasan Bakti Ultrava (YBU) Pangandaran bermula sekitar tahun 1950-an.
dengan bantuan dari Gabungan Pengusaha Menurut pihak Gabungan Pengusaha Gula
Gula Kelapa (GPGK), Yayasan Citra Semesta Kelapa (GPGK), pada tahun 1950-an,
(YCS), Yayasan Fasilitasi Inklusi (YFI) dan aktivitas produksi gula kelapa bukanlah mata
Institusi Pemerintahan setempat. pencaharian bagi penduduk, melainkan
sekedar kegiatan selingan untuk memenuhi
Penelitian ini dilakukan di seluruh area kebutuhan gula rumah tangga. Pada awal
pelaksanaan program, dengan informan yang 1960-an, gula kelapa mulai menjadi komoditi
berasal dari para pihak terlibat, termasuk 10 yang diperdagangkan. Kemudian sejak pabrik
komuniti penderes jaringan PT Sentosa yang kecap mulai membeli gula kelapa di
tersebar dalam empat kecamatan yakni, Pangandaran pada tahun 1980-an, komoditas
Pangandaran, Sidamulih, Kalipucang dan itu menjadi semakin popular dan menjadi
Cimerak. sektor ekonomi penting bagi masyarakat dan
pemerintah.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode kualitatif dengan melakukan Pada tahap ini, produksi gula kelapa telah
pengamatan terlibat dan wawancara masuk dalam kategori industri rumahan
mendalam. Unit analisis penelitian ini adalah dengan ciri umum sebagai berikut ; (1)
program pemberdayaan penderes yang industri ekstraktif (memanfaatkan bahan baku
menjadi CSR Ultrava terhadap rantai pasok yang diambil langsung dari alam), (2) industri
PT Sentosa. Keterlibatan penulis dalam hulu (menghasilkan produk setengah jadi
program memberi peluang yang besar bagi sebagai bahan baku untuk industri lain), (3)
penulis untuk mengamati proses yang terjadi. industri tradisional (teknologi sederhana, ada
Namun pada saat yang sama, penulis harus di wilayah pedesaan dan akses pasar terbatas),
berjuang keras untuk memilah setiap (4) industri padat karya (lebih bergantung
informasi secara objektif agar tidak terjebak pada tenaga kerja dibanding modal), dan (5)
dengan bias penulis sebagai bagian dari industri kecil skala rumah tangga (hanya
program. melibatkan tenaga kerja antara 1-4 orang
saja).3
Untuk menjaga kerahasiaan para informan,
semua identitas pihak yang menjadi objek
kajian dan sumber informasi telah
disamarkan. Nama-nama perusahaan, merek,
program, dan lembaga yang dicantumkan
dalam tulisan ini hanya sekedar samaran dari
identitas asli.
2
Gula kelapa adalah salah satu bahan pemanis pangan. kemudian dituang ke dalam cetakan bambu, kayu atau
Gula kelapa diolah dari nira kelapa (Cocos Nucifera plastik, dan disimpan hingga dingin dan keras. Adonan
Lin), yaitu cairan bening dari dalam mayang kelapa yang sudah mengeras itulah yang dikenal sebagai gula
yang ditoreh. Nira hasil sadapan kemudian dimasak kelapa.
3
dalam wajan besi dengan suhu di atas 100 derajat Pengklasifikasian tersebut menggunakan kategori
Celcius hingga mengental seperti adonan kenyal dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian No.
berwarna cokelat kemerahan. Adonan tersebut 19/M/I/1986.
Volume 1 (2) Desember 2016 eISSN 2528-1569 pISSN 2528-2115
92
UMBARA : Indonesian Journal of Anthropology Effendi, Rahmad, Program….
Proses menderes Penderes dan istrinya sejak bulan Januari 2010 s/d bulan Maret
mayang kelapa menyaring nira sebelum 2011, total omzet gula kelapa adalah sebesar
masuk katel
18.621,33 Ton, atau sekitar 332.5 ton/minggu
(PT Sentosa 2011). Dari jumlah itu PT Sentosa
menguasai setidaknya 41.5% dari total suplai
gula kelapa untuk Kecap Bravo.
Setidaknya ada empat pabrik kecap skala Dalam sistem internal PT Sentosa (yang juga
nasional yang membeli gula kelapa ke terjadi di bandar lainnya), ikatan bisnis dengan
Pangandaran. Namun pabrik kecap Bravo pengepul dan penderes umumnya
milik Ultrava adalah pembeli utama gula menggunakan asas ikatan hutang-piutang.
kelapa Pangandaran. Pada tahun 2011-2012, Sistem ini cukup umum dalam usaha gula
jumlah pasokan yang diterima pabrik Kecap kelapa di pulau Jawa. PT Sentosa menyebut
Bravo dari wilayah Pangandaran mencapai relasi itu sebagai sistem kemitraan. Sementara
600 ton/minggu, atau sekitar 75% dari total di Sukabumi sistem ini dikenal dengan istilah
produksi gula kelapa di Pangandaran. Borsom.4 Dalam sistem ini ini, awalnya PT
Pembelian sebesar itu menempatkan pabrik Sentosa memberi pinjaman uang pada
Kecap Bravo sebagai pembeli utama gula pengepul yang digunakan untuk memancing
kelapa Pangandaran. Bandar gula yang penderes. Pinjaman ini biasanya berupa
menjadi pemasok utama Kecap Bravo adalah pinjaman modal awal untuk membangun unit
PT Sentosa. Dari pembukuan PT Sentosa produksi gula kelapa, yakni untuk membiayai
keperluan produksi seperti dapur, tungku,
4
Dalam sistem Borsom produsen gula (kelapa) memberikan hutang sebagai pengikat agar pengrajin
meminjam uang dan kemudian terikat hutang dengan atau pengepul yang diberi hutang tersebut memberikan
patron mereka. Para produsen itu kemudian diharuskan pasokan gula secara rutin (Widyaningrum dkk
menjual gula pada patron mereka (Secretariat 2003:56).
AsiaDHRRA 1998:65). Pada prinsipya pengepul
Volume 1 (2) Desember 2016 eISSN 2528-1569 pISSN 2528-2115
93
UMBARA : Indonesian Journal of Anthropology Effendi, Rahmad, Program….
katel, alat deres, bahan bakar, dan biaya sewa rendah oleh masyarakat, 2) menanggung
pohon kelapa. Bagi para penderes yang risiko kerja yang tinggi, 3) berhadapan dengan
kemudian tertarik dan akhirnya meminjam pengaruh alam yang tidak pasti, 4) tuntutan
uang kepada pengepul, maka secara otomatis waktu kerja yang lama, 5) mengeluarkan biaya
akan tercatat menjadi anggota pengepul produksi yang cukup besar, 6) menerima
tersebut. Ikatan hutang itu sulit dilepas oleh harga gula yang tidak stabil, 7) menerima
penderes, meskipun sudah melunasi, mereka pendapatan yang juga tidak stabil, 8) terikat
biasanya berhutang kembali, dan lebih sering hutang pada pengepul, 9) menerima tekanan
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah dari Ultrava lewat PT Sentosa dan ranting-
tangganya. rantingnya untuk menjalankan standar-standar
operasional tertentu, dan 10) tidak memiliki
Pelestarian sistem hutang ini merupakan jaminan sosial jika mengalami kecelakaan
sebuah hubungan yang eksploitatif. Penderes kerja.
harus menerima bahwa sepanjang hutang
masih ada, mereka harus tetap menyetor pada Berbagai kesulitan hidup itu menjadi faktor
pengepul yang dihutangi. Sementara, pemicu yang membuat penderes kecewa atas
pengepul menetapkan bahwa adanya hutang apa yang mereka dapatkan dari kemitraan
menjadi legitimasi untuk menurunkan harga dengan pengepul dan PT Sentosa. Di tengah
beli gula kelapa penderes di bawah harga kehidupan mereka yang sulit, kemitraan
pasar, atau mereka menetapkan bunga yang dengan pihak PT Sentosa tidak memberi
mahal. Pada beberapa kasus, berdasarkan perbaikan yang berarti bagi mereka,
ikatan hutang, pengepul bahkan bisa sebaliknya malah memberikan beban
menjadikan penderes sebagai pekerja baginya. tambahan. Dalam menghadapi berbagai
Di satu sisi, pengepul mendapatkan gula tekanan dalam hubungan kemitraan itu,
dengan harga murah, di sisi lain mendapatkan muncul resistensi penderes. Bentuk resistensi
para penderes yang bekerja untuknya tanpa paling umum dari para penderes adalah
digaji. Relasi antara penderes dan pengepul dengan mengabaikan berbagai standar
adalah relasi produksi yang paling dasar dalam kualitas gula yang diminta. Bentuk berikutnya
usaha gula kelapa, dan bersifat eksploitatif. adalah dengan ‘nyeleweng” ke pengepul yang
membeli gula lebih mahal, yang bisa jadi di
Akibat eksploitasi yang terjadi di dalam rantai luar jaringan PT Sentosa. Resistensi lainnya
pasok gula kelapa, penderes pada akhirnya adalah sabotase bahan baku dan kualitas gula.
menjadi korban dalam proses penghisapan itu. Dalam aksi ini, “oknum pelaku” biasanya
Sebab itulah nasib para penderes tak sejalan memproduksi “gula kelapa oplosan,” dengan
dengan manisnya bisnis gula kelapa yang mencampurkan bahan-bahan lain seperti ubi
dinikmati oleh para pengusaha dan ke dalam adonan gula.
pemerintah. Pada akhirnya, profesi penderes
itu sendiri bukanlah sesuatu yang diharapkan Pabrik Kecap Bravo pernah menolak puluhan
bagi masyarakat di Pangandaran. Menjadi ton kiriman gula dari PT Sentosa, hanya
penderes adalah sebuah kecelakaan, sebuah karena menemukan beberapa kilogram gula
pilihan terakhir bagi mereka yang tidak punya oplosan dalam kiriman tersebut. Tentu saja
harapan lagi untuk mendapatkan sumber mata kerugian yang ditanggung PT Sentosa akibat
pencaharian yang lain. Setidaknya ada 10 kejadian itu cukup besar. PT Sentosa
bentuk kesulitan hidup sebagai penderes yang merespon gula oplosan ini dengan
menjadi alasan mengapa pekerjaan menderes pengontrolan sumber gula dan penurunan
bukanlah profesi yang diinginkan oleh harga beli. Pihak PT Sentosa mulai dengan
penduduk Pangandaran. Yakni : 1) dipandang menandai beberapa wilayah yang terindikasi
Volume 1 (2) Desember 2016 eISSN 2528-1569 pISSN 2528-2115
94
UMBARA : Indonesian Journal of Anthropology Effendi, Rahmad, Program….
sering menjadi pemasok gula oplosan. produksi lama menjadi pelayan dalam proses
Adapun pelakunya akan mendapat ganjaran akumulasi kapital.
hukuman sosial (/di-blacklist oleh ranting/ PT
Sentosa) dan hukum pidana. Setelah itu, PT Ultrava menjadi pusat gravitasi dalam usaha
Sentosa akan menurunkan harga beli gula gula kelapa di Pangandaran. Keputusan
kelapa pada pengepul. Penurunan harga beli Ultrava bisa mempengaruhi kondisi gula
bisa mencapai Rp 300,-/kg. Pihak PT Sentosa kelapa di Pangandaran. Kehadirannya
beralasan bahwa penurunan harga itu untuk menciptakan ketergantungan bagi banyak
menutupi kerugian dari biaya transportasi gula pihak, baik penderes, pengepul maupun
kelapa yang ditolak pabrik Kecap Bravo. bandar. Pada titik inilah bekerja apa yang
dijelaskan Marx (dalam Sherman 2015a),
suatu kekuasaan dominasi ekonomi kelas
kapitalis, yakni kekuasaan yang dimiliki
sebagai konsekuensi penguasaan terhadap
kapital. Dari kekuasaan jenis inilah
bersumbernya legitimasi Ultrava menjalankan
berbagai agenda kepengaturan terhadap rantai
pasok gula kelapa di Pangandaran.
meminta para pemasok bahan baku pertanian (fertilizer). (4) Kebersihan dan kesehatan
mengadopsi praktek keberlanjutan di lahan produksi gula (clean & healthy). (5)
mereka. Pada tahun 2011 Ultrava Keselamatan kerja (safety prosedur). (6)
menugaskan Yayasan Bakti Ultrava (YBU) Sekolah lapangan penderes (farmer field
untuk menerapkan USAM di rantai pasok gula school) (YBU 2012).
kelapa Pangandaran.
YBU menugaskan dua LSM untuk
Kecap Bravo merupakan salah satu produk menjalankan program ini, yakni Yayasan
Ultrava yang menjadi sasaran dari penerapan Citra Semesta (YCS) dan Yayasan Fasilitasi
USAM. Sumber bahan baku Kecap Bravo Inklusi (YFI). Masing-masing LSM memiliki
bergantung penuh dari sumber daya pertanian, penekanan program yang berbeda. Program
yakni kedelai hitam dan gula kelapa. Sebab YCS lebih banyak berupa penyaluran bantuan
itu, Kecap Bravo mendapat prioritas dalam baik berupa dana, barang, perlengkapan, atau
pelaksanaan USAM. Dalam roadmap fasilitas lainnya. Semua itu bertujuan untuk
penerapan USAM, pada tahun 2012-2015 membujuk para penderes. Sementara YFI
dilakukan Program Pemberdayaan terhadap bertugas meningkatkan kapasitas para
pemasok bahan baku Kecap Bravo, yakni penderes, terkait kesadarannya akan produksi
petani kedelai hitam di Yogyakarta, Jawa gula kelapa yang berkualitas dan
Tengah dan Jawa Timur5 dan penderes gula pemeliharaan tanaman kelapa sadapan.
kelapa di Pangandaran, Jawa Barat.6 Sesuai
roadmap, pada tahun 2012 YBU mulai Dalam menjalankan perannya, kedua LSM
memperkenalkan standar USAM pada kerap menghadapi pertentangan antara
penderes di Pangandaran. Kemudian pada idealisme mereka tentang pemberdayaan
tahun 2013 mulai melakukan uji coba dengan kepentingan pragmatis pihak Ultrava.
penerapan. Selanjutnya pada tahun 2014 Misalnya dalam kasus YCS, pada tahap awal
melakukan verifikasi tingkat keberhasilan pelaksanaan program, YCS melakukan
penerapan. Di tahun 2015, penerapan USAM asesment terhadap para penderes dan
dilakukan secara merata di seluruh rantai menemukan masalah utama para penderes
pasok gula kelapa di Pangandaran. terkait dengan “persoalan harga gula kelapa
yang tidak stabil; produksi gula yang
USAM merupakan aktivitas CSR Ultrava menurun; penderes malas memupuk karena
yang menggunakan manajemen rantai pasok harga pupuk mahal, ditambah pohon kelapa
dan pemberdayaan secara bersamaan. Untuk bukan milik mereka; masalah resiko menderes
itu, YBU mengembangkan program yang berat; serta masalah kurangnya perhatian
Pemberdayaan Penderes Pangandaran tahun dari pihak-pihak terkait terhadap kesulitan
2012-2015 dalam enam bidang berikut, yaitu: hidup para penderes.” Akan tetapi, meskipun
(1) Pengembangan kelompok (community sudah mendapatkan sudut pandang penderes,
organizing). (2) Pembibitan dan penanaman persoalan-persoalan di tingkat penderes
bibit kelapa (replanting). (3) Pembuatan kemudian hanya dibaca sebatas
pupuk dan pemeliharaan pohon sadapan keterkaitannya dengan USAM. Program
5 6
Program manajemen rantai pasok juga dijalankan di Wilayah Pangandaran dipilih karena jumlah pasokan
komoditas kedelai hitam. Program itu memberikan gula kelapa yang mencapai 75% dari total kebutuhan
peningkatan kapasitas pengetahuan dan keterampilan untuk produksi Kecap Brasa. Selain itu, menurut
pada kelompok tani binaan agar bisa menciptakan dan penanggung jawab supply chain gula kelapa Ultrava,
memelihara varietas kedelai hitam unggulan. cita rasa gula kelapa Pangandaran yang khas turut
membentuk cita rasa Kecap Brasa, sehingga tidak bisa
dipisahkan dari bahan baku Bravo.
Volume 1 (2) Desember 2016 eISSN 2528-1569 pISSN 2528-2115
96
UMBARA : Indonesian Journal of Anthropology Effendi, Rahmad, Program….
Efek dari dari program seperti itu, sejalan Ultrava melaksanakan kegiatan CSR-nya
dengan penjelasan Nursahid (2008), yakni sebagai warga Negara Indonesia, sebagai
pada akhirnya bermanfaat untuk wujud kepatuhan terhadap nilai-nilai sosial
meningkatkan kepercayaan dan loyalitas yang berlaku umum, yakni saling membantu
pemasok terhadap Ultrava. Sehingga juga dan berbagi dengan sesama warga, dalam hal
memenuhi apa yang dikatakan Leimona & ini adalah para stakeholder-nya, termasuk
Fauzi (2007), bahwa hubungan baik dengan para penderes di Pangandaran.
pemasok dapat menjaga kelangsungan bahan
baku, dalam hal ini lewat pemberdayaan Sementara itu, redistribusi adalah pertukaran
penderes, Ultrava bisa mengatasi persoalan vertikal, yang bekerja dalam suatu organisasi
stabilitas dan kualitas pasokan gula kelapa sosial yang memiliki struktur patronase,
Pangandaran untuk pabrik Kecap Bravo. bahwa ada kewajiban anggota mengumpulkan
Keberhasilan dalam manajemen pemasok, sumberdaya ke patron, lalu patron membagi
dengan kesediaan penderes menjaga sumber kembali ke anggota melalui mekanisme
bahan baku sesuai dengan standar, pada tertentu. Dalam kerangka redistribusi, CSR
akhirnya membuat program pemberdayaan menjadi mekanisme dari perusahaan untuk
Ultrava itu menambah peringkat sustainablity memberi reward pada stakeholder utamanya,
dan reputasi Ultrava di mata dunia bisnis. yakni para pekerja, pemasok, dan konsumen
yang telah menyuplai laba bagi perusahaan.
Penghalusan Dominasi Ekonomi Dalam Dalam skema ini dapat dibaca bagaimana CSR
Rantai Pasok Gula Kelapa Pangandaran tersebut sebagai bentuk apresiasi atas
kontribusi penderes pada Ultrava, dalam kata
Dalam Pengantar Antropologi Ekonomi lain, tak ubahnya seperti politik etis yang
(2002), Sairin dkk menjelaskan bagaimana dilakukan kolonial terhadap negeri
para antropolog penganut ekonomi subtantif jajahannya.
berupaya mengungkap nilai-nilai dasar yang
tetap bertahan dari aktivitas ekonomi, baik di Seperti yang dijelaskan sebelumnya, dominasi
masyarakat tradisional maupun modern. Nilai- Ultrava terhadap rantai pasok gula kelapa
nilai itu melekat dalam sistem pertukaran yang Pangandaran sangat kuat, dan menimbulkan
berupa resiprositas dan redistribusi, yang eksploitasi berlapis dengan korban akhir
dimanifestasikan dalam bentuk hadiah untuk adalah para penderes. Hal itu menimbulkan
menjadi pengikat dalam suatu kontrak sosial perlawanan dari penderes, yakni berupa gula
tertentu. Kerangka ekonomi subtantif itu juga oplosan dan penyelewengan pasokan yang
bekerja dalam pelaksanaan CSR. Seperti yang mengganggu stabilitas pasokan untuk Kecap
ditemukan Dolan & Rajak (2016), meski Bravo. CSR kemudian dilakukan sebagai
merupakan suatu aktivitas ekonomi di penghalusan dominasi ekonomi untuk
masyarakat modern, CSR pada dasarnya meredam kemarahan penderes sekaligus
berpijak pada nilai resiprositas dan redistribusi memperkuat pengaruh terhadap mereka. Pada
yang bersifat tradisional. akhirnya, baik dalam skema resiprositas
maupun redistribusi, CSR merupakan gift dari
Resiprositas merupakan pertukaran horizontal Ultrava pada penderes, yang ujungnya
yang dilakukan antara orang-perorang dalam mempertegas kontrak sosial antara Ultrava
rangka saling tolong menolong memenuhi dan penderes.
kebutuhan hidup. Dalam kerangka
resiprositas, CSR menempatkan perusahaan
sebagai warga negara dalam berhadapan
dengan masyarakat dan stakeholder-nya.
Volume 1 (2) Desember 2016 eISSN 2528-1569 pISSN 2528-2115
98
UMBARA : Indonesian Journal of Anthropology Effendi, Rahmad, Program….
7
Istilah eufimisme ini berasal dari Pierre Bourdieu adalah juga bentuk eksploitasi manusia atas manusia,
(1977 dalam Scott 2000:403), istilah ini memiliki jika eksploitasi kasar secara terang-terangan tidak
makna bahwa eksploitasi secara lembut dan terselubung mungkin dilaksanakan.
Volume 1 (2) Desember 2016 eISSN 2528-1569 pISSN 2528-2115
99
UMBARA : Indonesian Journal of Anthropology Effendi, Rahmad, Program….
persoalan penderes, dan memiliki solusi atas Ultrava untuk menjaga keberlangsungan
persoalan tersebut. Posisi itulah yang produksi gula kelapa yang berkualitas. Selain
kemudian digunakan sebagai alat legitimasi itu, kapasitas seperti itu juga dibutuhkan
untuk menjalankan pemberdayaan terhadap Ultrava untuk menuju pendisiplinan
penderes. selanjutnya, yakni pada komunitas penderes
yang lebih besar.
Strategi kedua, untuk kebutuhan pengelolaan
rantai pasok, YBU mengembangkan strategi Jika kita melihat makna disiplin yang dibahas
asesment pemahaman konteks lokal. Asesment oleh Foucault (1977), maka kita akan
merupakan tahap yang disebut oleh Li sebagai menemui hakikatnya sebagai teknik
teknikalisasi permasalahan, yakni upaya pemantauan, pengawasan dan pengendalian
mencari serangkaian diagnosa, resep dan diri yang dilakukan oleh individu pada dirinya
teknik untuk memperbaiki kekurangan yang sendiri. Bisa dikatakan, hal seperti inilah yang
ditemukan dalam problematisasi masalah. terjadi pada para penderes. USAM, sebagai
Sayangnya, asesment itu sudah disesuaikan rejim pengetahuan dari Ultrava, telah berhasil
berdasarkan apa yang menjadi persoalan menjadi kebenaran bagi penderes. Padahal
dalam upaya penerapan USAM. Sementara sebelumnya para penderes binaan ini tidak
itu, persoalan-persoalan yang ditemukan di peduli, bahkan cenderung melawan berbagai
lapangan terkait dengan tuntutan penderes standar produksi yang ditetapkan Ultrava.
tidak diakomodir. Gejala itu menunjukkan apa Namun setelah USAM itu ditransmisikan
yang disebut Li sebagai hakikat dari praktik lewat program pemberdayaan, dan didukung
teknikalisasi masalah, yakni penegas dengan pengakuan terhadap status sosial
kepakaran, melucuti aspek-aspek politis dan sebagai binaan Ultrava, rejim pengetahuan
menegaskan status quo (Li 2012:13-17). tersebut akhirnya diterima oleh para penderes
Praktik teknikalisasi masalah itu telah dan akhirnya menentukan tingkah laku
melucuti aspek-aspek politis dari persoalan pengaturan-diri sendiri yang penderes lakukan
yang menyebabkan kesulitan hidup penderes, terkait aktivitas produksi gula kelapa.
yakni hubungan eksploitatif dalam rantai
pasok. Sebab itu, pada saat teknikalisasi Atas fenomena itu, kita bisa melihat apa yang
masalah itu bersifat anti-politik, maka dilakukan Ultrava dalam program
program pemberdayaan penderes itu pemberdayaan di Pangandaran dalam konteks
sesungguhnya dilaksanakan untuk yang disebut Foucault sebagai reproduksi
mempertahankan status quo Ultrava dan PT manusia untuk reproduksi kapital. Kondisi ini
Sentosa. sejalan dengan yang dikatakan Mulyanto
(2012:188) dan Sherman (2015a), bahwa telah
Strategi ketiga, Ultrava menggunakan terjadi pendisiplinan tenaga-kerja manusia
program pemberdayaan sebagai pendisiplinan melalui pendidikan (dalam bentuk
terhadap rantai pasoknya. Lewat GPGK, YBU pemberdayaan), untuk menghasilkan tubuh
bisa mengorganisir penderes di Pangandaran yang patuh yang berguna dalam rangka
dalam satu wadah, sehingga lebih mudah pengelolaan subyek buruh di bawah sistem
untuk diakses. Dengan akses tersebut, Ultrava kapitalisme. Dalam situasi ini penderes telah
mengenalkan tentang “aturan main” bagi didisiplinkan melalui pemberdayaan untuk
penderes. Sebagai hasil dari berbagai teknik menjadi rantai pasok yang patuh pada USAM.
pendisiplinan itu, yang paling penting bagi
Ultrava adalah peningkatan kapasitas
penderes. Ketersediaan penderes dengan
kapasitas sesuai USAM dibutuhkan oleh
Volume 1 (2) Desember 2016 eISSN 2528-1569 pISSN 2528-2115
100
UMBARA : Indonesian Journal of Anthropology Effendi, Rahmad, Program….
antitesis dari kondisi itu. CSR saat ini telah pelaksanaan program pemberdayaan sebagai
memanfaatkan kekuatan subtantif dari relasi CSR terhadap pemasok yang dilakukan oleh
ekonomi, yakni kenyataan bahwa aktivitas beberapa perusahaan, terutama pada kasus
ekonomi tidak berdiri sendiri, namun Ultrava. Alih-alih memberikan pemberdayaan
dipengaruhi oleh kondisi relasi sosial antara yang membebaskan para produsen dari
aktor-aktor yang terlibat di dalamnya, eksploitasi dalam rantai pasok, tujuan
sebaliknya relasi ekonomi juga memberi pemberdayaan itu telah dibelokkan oleh
dampak terhadap relasi sosial para aktor yang kepentingan perusahaan, yang
terlibat di dalamnya. CSR menjadi salah satu menggunakannya untuk menciptakan sumber
aktivitas ekonomi modern yang menggunakan daya manusia terdidik yang patuh.
nilai-nilai tradisional, yakni dengan
menjadikan sistem resiprositas dan Dari fenomena tersebut, sesungguhnya telah
redistribusi sebagai strategi untuk terjadi distorsi besar dari idealisme
mengendalikan rantai pasok bahan baku pemberdayaan saat dimanfaatkan perusahaan
industri. sebagai kegiatan CSR. Merupakan sebuah
ironi, dari tujuan awalnya sebagai
Penutup : Pemberdayaan Sebagai Aktivitas pembebasan dari jerat kapitalisme,
CSR, Sebuah Tantangan Bagi Sarjana pemberdayaan malah menjadi alat penjerat
Antropologi yang digunakan kapitalisme untuk
menciptakan subjek buruh yang patuh.
Paulo Freire pernah menegaskan bahwa Kondisi itulah yang pada akhirnya menjadi
pemberdayaan adalah “metode pendidikan “jebakan betmen” bagi para sarjana
dewasa non-formal yang didesain untuk antropologi yang menjadi praktisi
membuat petani dan pekerja sadar mengenai pemberdayaan yang masih berpijak pada
dalam cara seperti apa mereka dieksploitasi idealisme pemberdayaan. Suatu kondisi yang
oleh sistem feudal-kapitalis, dan bagaimana membuat para sarjana antropologi terjebak
potensi mereka memberdayakan diri sendiri dalam situasi yang dulu juga pernah dialami
lewat aktivitas berkelompok (African Rights para pendahulunya, yakni menjadi bagian dari
1995:29 dalam James 1999:15).” proses penjajahan.
Kemudian menurut Singh & Titi, sejatinya Kondisi ini perlu dilihat sebagai tantangan
penerapan gagasan pemberdayaan digunakan bagi dunia pendidikan untuk meninjau
untuk “…memungkinkan orang-orang kembali kuliah pemberdayaan masyarakat
memahami realitas dari lingkungan mereka yang diajarkan pada mahasiswa. Dari distorsi
(sosial, politik, ekonomi, ekologi dan yang terjadi, pembelajaran tentang prinsip-
kultural)… dan mengambil langkah prinsip ideal pemberdayaan ala Jim Ife (2008),
perubahan untuk meningkatkan situasi atau teknik-teknik community development
tersebut. Pemberdayan melengkapi orang- dari Philips & Pittman (2015) rupanya belum
orang dengan kapasitas, …untuk merasakan cukup membekali para sarjana menghadapi
sebagai penguasa atas cara berfikir dan cara dominasi kepentingan para kapitalis yang
pandang mereka atas dunia, untuk menjadikan program pemberdayaan dan CSR
mewujudkan harapan-harapan atas kehidupan sebagai alat penghisapan. Sebab itu, kampus
yang baik (Singh & Titi 1995:13-19 dalam perlu memberi pembelajaran yang lebih kritis
James 1999:18-19).” untuk membekali mahasiswa
mempertahankan idealisme pemberdayaan
Akan tetapi, misi ideal dari pemberdayaan itu saat bekerja dalam program CSR.
sepertinya jauh panggang dari api saat melihat
Volume 1 (2) Desember 2016 eISSN 2528-1569 pISSN 2528-2115
102
UMBARA : Indonesian Journal of Anthropology Effendi, Rahmad, Program….