Anda di halaman 1dari 16

UMBARA : Indonesian Journal of Anthropology Effendi, Rahmad, Program….

Program Pemberdayaan Sebagai Aktivitas Corporate Social Responsibility


Studi Kasus Pemberdayaan Penderes di Pangandaran
Rahmad Efendi
Komunitas Antronesia
rahmad.efendi@hotmail.co.id

Abstract

This article examines the phenomenon of the implementation of community empowerment program as
the Corporate Social Responsibility (CSR) activity, which is used as a strategy to control the supply
chain of raw materials. This paper prepared using qualitative research methods with field study at
Pangandaran District, West Java. The Pangandaran Tappers Community Empowerment Program has
been run by PT Ultrava since 2012 until 2014. The program is aimed to manage the brown sugar supply
chain problems in Pangandaran that caused by the tappers. For that purpose, Ultrava running the
govermentality agenda against all of the brown sugar supply chain actors in Pangandaran. The
govermentality agenda use the biopolitic and subjectivity process, to change the tappers became the
obedient subject to the will of Ultrava.

Keywords : CSR, Empowerment, Govermentality

Abstrak

Artikel ini mengkaji fenomena pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat sebagai Corporate
Social Responsibility (CSR), yang digunakan sebagai strategi untuk mengendalikan rantai pasokan
bahan baku. Artikel ini disusun dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan studi lapangan
di Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Program Pemberdayaan Penderes Pangandaran telah dijalankan
oleh PT Ultrava sejak 2012 hingga 2014. Program ini bertujuan untuk mengelola masalah rantai pasokan
gula di Pangandaran yang disebabkan oleh penderes. Untuk itu, Ultrava menjalankan agenda
govermentality terhadap semua pelaku rantai pasokan gula di Pangandaran. Agenda govermentality
tersebut menggunakan proses biopolitic dan subjectivity, untuk mengubah penderes menjadi subyek
yang patuh kepada kehendak Ultrava.

Kata Kunci – CSR, Pemberdayaan, Kepengaturan


Pendahuluan malah menjadikan CSR sebagai suatu strategi
bisnis baru. Menurut Sukada dkk (2007),
Corporate Social Responsibility (CSR) pada pergeseran itu berawal dari munculnya
awalnya muncul sebagai tuntutan terhadap gagasan bussines sustainability yang melihat
perusahaan untuk bertanggungjawab atas keberlangsungan bisnis tak hanya bergantung
aktivitas mereka yang menimbulkan dampak pada efisiensi pemanfaatan sumber daya
negatif terhadap masyarakat dan lingkungan. dalam mengakumulasi laba, namun juga
Namun dalam perkembangan berikutnya, alih- bergantung pada upaya meningkatkan kualitas
alih dilihat sebagai beban moral, korporasi sosial, ekonomi, budaya masyarakat, dan
Volume 1 (2) Desember 2016 eISSN 2528-1569 pISSN 2528-2115
89
UMBARA : Indonesian Journal of Anthropology Effendi, Rahmad, Program….

keberlanjutan lingkungan, untuk perusahaan bisa meminimalisir resiko-resiko


menghindarkan perusahaan dari berbagai tersebut.
macam potensi kerugian. Seperti yang
dipetakan oleh Blowfield & Frynas (2009:6), Setidaknya dapat ditemukan empat manfaat
saat ini CSR dimaknai sebagai suatu konsep program pemberdayaan terhadap pemasok.
besar yang memayungi; (a) tanggung jawab Pertama, dengan melaksanakan program
perusahaan terhadap dampak operasionalnya pemberdayaan, perusahaan memiliki
bagi masyarakat dan lingkungan alam; (b) kesempatan secara tidak langsung mendidik
perilaku bertanggung jawab dari perusahaan dan mengembangkan kapasitas para pemasok
dalam berbisnis dengan shareholder (pemilik untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas
saham) dan stakeholder (karyawan, pemasok, produksi. Upaya ini diharapkan menghasilkan
konsumen, dll); dan (c) kebutuhan bisnis komunitas pemasok yang mampu menjadi
untuk mengelola hubungan perusahaan mitra jangka panjang bagi perusahaan
dengan masyarakat luas, apakah untuk (Radyati 2008:48). Kedua, peningkatan
menjaga kepentingan bisnis maupun untuk produktivitas pemasok diharapkan
kebaikan bagi masyarakat. menghasilkan peningkatan kesejahteraan
hidup para pemasok. Sehingga bisa
Perhatian terhadap pengembangan kapasitas meningkatkan kepercayaan dan loyalitas
dan kesejahteraan para stakeholders, yakni pemasok terhadap perusahaan (Nursahid
pekerja, pemasok, komunitas di lingkungan 2008:100). Ketiga, program pemberdayaan
perusahaan, dan konsumen, telah menjadi bermanfaat untuk mengajak pemasok
prioritas penting dalam CSR. Upaya-upaya menjalankan aktivitas produksi yang menjaga
peningkatan kapasitas yang dilakukan kelestarian alam. Sehingga bisa bermanfaat
perusahaan mulai dari kegiatan charity, untuk menjaga kelangsungan sumber bahan
pelatihan hingga pemberdayaan komunitas baku produksi (Leimona & Fauzi 2008:8-9).
(community empowerment). Radyati Keempat, aspek pemberdayaan bernilai tinggi
(2008:31-32) melihat bahwa tenaga kerja dan dalam penilaian Global Reporting Initiative
pemasok merupakan stakeholder prioritas (GRI).1 Keberhasilan program pemberdayaan
untuk diberdayakan. Sebab, rantai pasok bisa membuat peringkat sustainablity perusahaan
memberikan risiko krusial bagi perusahaan, semakin baik, dan hal itu memberi arti pada
yakni risiko operasional, finansial, dan reputasi (Porter dan Kramer 2001 dalam
reputasi. Risiko operasional dari rantai pasok Radyati 2008:21).
terkait dengan kendala-kendala dalam proses
distribusi barang dan jasa. Masalah dalam Pemanfaatan CSR dalam pengelolaan rantai
operasional berasal dari sumber bahan baku, pasok pada akhirnya menunjukkan jargon
para produsen bahan baku, dan kondisi- “bahwa dalam kapitalisme, tidak ada makan
kondisi yang mempengaruhinya. Sementara siang gratis” juga berlaku dalam CSR.
itu risiko reputasi terkait dengan rusaknya Pemberdayaan pada pemasok bukanlah
nama baik perusahaan akibat masalah semata-mata niat baik tanpa motif.
operasional. Sebab itu, pelaksanaan Sebaliknya, terdapat beragam keuntungan
pemberdayaan terhadap pemasok menjadi yang diharapkan dari pelaksanaan
suatu keunggulan kompetitif dalam CSR. pemberdayaan itu untuk meningkatkan profit
Dengan memberdayakan para pemasok, perusahaan. Menurut Dolan & Rajak dalam

1
GRI adalah pedoman laporan sustainability report bagi & planet), sebagai patokan dalam pengelompokan
perusahaan. GRI menggunakan tiga pilar sustainability, indikator kinerja perusahaan (Radyati 2008:40-41).
yang terkenal dengan triple bottom line (profit, people,
Volume 1 (2) Desember 2016 eISSN 2528-1569 pISSN 2528-2115
90
UMBARA : Indonesian Journal of Anthropology Effendi, Rahmad, Program….

buku The Anthropology of Corporate Social kepengaturan bertujuan untuk mengarahkan


Responsibility (2016), kondisi seperti itulah masyarakat pada jalan yang yang
yang membuat CSR menjadi salah satu subjek melanggengkan dominasi para penguasa
yang semakin popular dalam literatur kapitalis (Li 2012:41).
antropologi dalam satu dekade terakhir. Dolan
& Rajak mengkaji CSR dengan penekanan Seperti yang diterangkan Dede Mulyanto
terkait persoalan moral ekonomi dunia (2012), kepentingan kapitalis dalam
industri. CSR dilihat sebagai relasi sosial kepengaturan merupakan ciri antropologis
antara perusahaan dengan para konsumen, dari kapitalisme, yakni kesadaran akan
produsen, dan stakeholder yang lebih luas, keberlanjutan usaha penghisapan nilai lebih
yang menjadi domain baru untuk menjalankan dengan cara-cara rasional dan berkelanjutan
kekuasaan perusahaan terhadap stakeholder (Mulyanto 2012:105). Pendisiplinan arus
tersebut. CSR dapat ditelaah sebagai suatu sirkulasi kapital harus diiringi oleh
hadiah (gift), kontrak sosial (social contract) pendisiplinan arus konsumsi tenaga-kerja
dan resiprositas (reciprocity) antara manusianya, karena reproduksi kapital
perusahaan sebagai dengan stakeholder-nya. tidaklah mungkin dilepaskan dari reproduksi
Di sisi lain CSR juga bisa dilihat sebagai manusia sebagai sumber daya produksi
redistribusi (redistribution) perusahaan (Foucault 1978:216-28, dalam Mulyanto
sebagai patron terhadap stakeholder-nya. 2012:188). Pendidikan adalah upaya yang
Semua itu dilakukan dalam rangka dilakukan untuk pendisiplinan itu.
menghaluskan sekaligus mempertegas Sebagaimana dulu politik etis kolonial yang
dominasi ekonomi perusahaan terhadap para mendidik bumiputra untuk bisa mengisi posisi
stakeholder. administratif sehingga mengurangi biaya
mendatangkan pekerja dari Eropa (Mulyanto
Dolan & Rajak juga menjelaskan bahwa 2012:165). Sehingga, kepengaturan
landasan moral ekonomi telah membuat merupakan alat menghasilkan tubuh yang
pelaksanaan CSR semakin dekat dalam patuh yang berguna dalam rangka pengelolaan
kegiatan pembangunan. Keterkaitan paling subyek buruh di bawah sistem kapitalisme
nyata terlihat dari maraknya pelaksanaan (Sherman 2015a).
program pemberdayaan komunitas sebagai
CSR. Salah satunya dalam bentuk Objek Kajian dan Metode Penelitian
pelaksanaan pemberdayaan sebagai CSR
terhadap pemasok. Dalam tren seperti itu, Tulisan ini mengkaji kasus pemanfaatan
CSR menjadi penghalus sekaligus penguat program pemberdayaan sebagai CSR terhadap
dominasi ekonomi perusahaan terhadap pemasok bahan baku. Penulis terlibat
stakeholder. Hal ini mengingatkan tentang langsung sebagai fasilitator dalam program ini
agenda kepengaturan yang melekat dalam selama satu setengah tahun, dari November
setiap program pembangunan. Seperti yang 2011 s/d Maret 2013. Selama terlibat dalam
diungkapkan oleh Tania Murray Li (2012), program ini, penulis menyadari bagaimana
kepengaturan merupakan upaya mengarahkan program tersebut disusun dan dikembangkan
perilaku manusia dengan serangkaian cara untuk kepentingan pengelolaan rantai pasok
yang telah dikalkulasi sedemikian rupa (Li alih-alih memberikan pemberdayaan yang
2012:9). Kepengaturan bekerja dengan membebaskan bagi para penderes.
mengarahkan minat dan membentuk
kebiasaan, cita-cita dan kepercayaan (David Kasus tersebut adalah Program Pemberdayaan
Scott 1995:202 dalam Li 2012:10).” Dalam Penderes Gula Kelapa sebagai aktivitas CSR
kaitannya dengan kepentingan kapitalisme, PT Ultrava di Pangandaran. Program
Volume 1 (2) Desember 2016 eISSN 2528-1569 pISSN 2528-2115
91
UMBARA : Indonesian Journal of Anthropology Effendi, Rahmad, Program….

pemberdayaan ini ditujukan pada pemasok Kontradiksi Internal Rantai Pasok Gula
bahan baku Kecap Bravo, yakni para penderes Kelapa Pangandaran Untuk Kecap Bravo
di wilayah Kab. Pangandaran yang berasal
dari rantai pasok PT Sentosa. Program ini Aktivitas produksi gula kelapa2 di wilayah
dikelola oleh Yayasan Bakti Ultrava (YBU) Pangandaran bermula sekitar tahun 1950-an.
dengan bantuan dari Gabungan Pengusaha Menurut pihak Gabungan Pengusaha Gula
Gula Kelapa (GPGK), Yayasan Citra Semesta Kelapa (GPGK), pada tahun 1950-an,
(YCS), Yayasan Fasilitasi Inklusi (YFI) dan aktivitas produksi gula kelapa bukanlah mata
Institusi Pemerintahan setempat. pencaharian bagi penduduk, melainkan
sekedar kegiatan selingan untuk memenuhi
Penelitian ini dilakukan di seluruh area kebutuhan gula rumah tangga. Pada awal
pelaksanaan program, dengan informan yang 1960-an, gula kelapa mulai menjadi komoditi
berasal dari para pihak terlibat, termasuk 10 yang diperdagangkan. Kemudian sejak pabrik
komuniti penderes jaringan PT Sentosa yang kecap mulai membeli gula kelapa di
tersebar dalam empat kecamatan yakni, Pangandaran pada tahun 1980-an, komoditas
Pangandaran, Sidamulih, Kalipucang dan itu menjadi semakin popular dan menjadi
Cimerak. sektor ekonomi penting bagi masyarakat dan
pemerintah.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode kualitatif dengan melakukan Pada tahap ini, produksi gula kelapa telah
pengamatan terlibat dan wawancara masuk dalam kategori industri rumahan
mendalam. Unit analisis penelitian ini adalah dengan ciri umum sebagai berikut ; (1)
program pemberdayaan penderes yang industri ekstraktif (memanfaatkan bahan baku
menjadi CSR Ultrava terhadap rantai pasok yang diambil langsung dari alam), (2) industri
PT Sentosa. Keterlibatan penulis dalam hulu (menghasilkan produk setengah jadi
program memberi peluang yang besar bagi sebagai bahan baku untuk industri lain), (3)
penulis untuk mengamati proses yang terjadi. industri tradisional (teknologi sederhana, ada
Namun pada saat yang sama, penulis harus di wilayah pedesaan dan akses pasar terbatas),
berjuang keras untuk memilah setiap (4) industri padat karya (lebih bergantung
informasi secara objektif agar tidak terjebak pada tenaga kerja dibanding modal), dan (5)
dengan bias penulis sebagai bagian dari industri kecil skala rumah tangga (hanya
program. melibatkan tenaga kerja antara 1-4 orang
saja).3
Untuk menjaga kerahasiaan para informan,
semua identitas pihak yang menjadi objek
kajian dan sumber informasi telah
disamarkan. Nama-nama perusahaan, merek,
program, dan lembaga yang dicantumkan
dalam tulisan ini hanya sekedar samaran dari
identitas asli.

2
Gula kelapa adalah salah satu bahan pemanis pangan. kemudian dituang ke dalam cetakan bambu, kayu atau
Gula kelapa diolah dari nira kelapa (Cocos Nucifera plastik, dan disimpan hingga dingin dan keras. Adonan
Lin), yaitu cairan bening dari dalam mayang kelapa yang sudah mengeras itulah yang dikenal sebagai gula
yang ditoreh. Nira hasil sadapan kemudian dimasak kelapa.
3
dalam wajan besi dengan suhu di atas 100 derajat Pengklasifikasian tersebut menggunakan kategori
Celcius hingga mengental seperti adonan kenyal dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian No.
berwarna cokelat kemerahan. Adonan tersebut 19/M/I/1986.
Volume 1 (2) Desember 2016 eISSN 2528-1569 pISSN 2528-2115
92
UMBARA : Indonesian Journal of Anthropology Effendi, Rahmad, Program….

Proses menderes Penderes dan istrinya sejak bulan Januari 2010 s/d bulan Maret
mayang kelapa menyaring nira sebelum 2011, total omzet gula kelapa adalah sebesar
masuk katel
18.621,33 Ton, atau sekitar 332.5 ton/minggu
(PT Sentosa 2011). Dari jumlah itu PT Sentosa
menguasai setidaknya 41.5% dari total suplai
gula kelapa untuk Kecap Bravo.

PT Sentosa biasanya mendapatkan gula kelapa


dari pengepul, namun ada juga langsung dari
Adonan gula yang Gula batok kualitas penderes. Pengepul PT Sentosa merupakan
sudah matang standar untuk pabrik
kecap perpanjangan tangan PT Sentosa dalam
mendapatkan setoran gula kelapa secara
Dalam rantai pasok gula kelapa untuk pabrik langsung dari penderes. Pengepul biasanya
kecap, setidaknya ada tiga mata rantai utama, mampu menampung setoran penderes dari
yakni, para penderes selaku produsen, para cakupan satu dusun hingga satu desa. Sebagai
pengepul dan bandar gula sebagai perantara, hulu dari industri gula kelapa, adalah para
dan pabrik kecap sebagai pembeli. Penderes penderes yang menjadi produsen gula kelapa.
merupakan istilah yang berlaku umum di Penderes yang menjadi pemasok untuk pabrik
Pangandaran untuk menyebut orang yang kecap Bravo ada yang termasuk jaringan PT
melakukan aktivitas produksi gula kelapa, Sentosa, dan ada juga yang termasuk jaringan
mulai dari menderes/menyadap nira kelapa, bandar lain. Pada tahun 2015, dari 139 ranting,
hingga memasak dan mencetak gula. PT Sentosa memiliki 5.500 penderes. Secara
Sementara pengepul dan Bandar adalah pihak umum, penderes yang berada dalam jaringan
yang membeli gula dari penderes dan PT Sentosa semuanya adalah laki-laki, berusia
menjualnya ke pembeli, misalnya pabrik antara 15-63 tahun, dan mayoritas
kecap. berpendidikan setingkat Sekolah Dasar.

Setidaknya ada empat pabrik kecap skala Dalam sistem internal PT Sentosa (yang juga
nasional yang membeli gula kelapa ke terjadi di bandar lainnya), ikatan bisnis dengan
Pangandaran. Namun pabrik kecap Bravo pengepul dan penderes umumnya
milik Ultrava adalah pembeli utama gula menggunakan asas ikatan hutang-piutang.
kelapa Pangandaran. Pada tahun 2011-2012, Sistem ini cukup umum dalam usaha gula
jumlah pasokan yang diterima pabrik Kecap kelapa di pulau Jawa. PT Sentosa menyebut
Bravo dari wilayah Pangandaran mencapai relasi itu sebagai sistem kemitraan. Sementara
600 ton/minggu, atau sekitar 75% dari total di Sukabumi sistem ini dikenal dengan istilah
produksi gula kelapa di Pangandaran. Borsom.4 Dalam sistem ini ini, awalnya PT
Pembelian sebesar itu menempatkan pabrik Sentosa memberi pinjaman uang pada
Kecap Bravo sebagai pembeli utama gula pengepul yang digunakan untuk memancing
kelapa Pangandaran. Bandar gula yang penderes. Pinjaman ini biasanya berupa
menjadi pemasok utama Kecap Bravo adalah pinjaman modal awal untuk membangun unit
PT Sentosa. Dari pembukuan PT Sentosa produksi gula kelapa, yakni untuk membiayai
keperluan produksi seperti dapur, tungku,
4
Dalam sistem Borsom produsen gula (kelapa) memberikan hutang sebagai pengikat agar pengrajin
meminjam uang dan kemudian terikat hutang dengan atau pengepul yang diberi hutang tersebut memberikan
patron mereka. Para produsen itu kemudian diharuskan pasokan gula secara rutin (Widyaningrum dkk
menjual gula pada patron mereka (Secretariat 2003:56).
AsiaDHRRA 1998:65). Pada prinsipya pengepul
Volume 1 (2) Desember 2016 eISSN 2528-1569 pISSN 2528-2115
93
UMBARA : Indonesian Journal of Anthropology Effendi, Rahmad, Program….

katel, alat deres, bahan bakar, dan biaya sewa rendah oleh masyarakat, 2) menanggung
pohon kelapa. Bagi para penderes yang risiko kerja yang tinggi, 3) berhadapan dengan
kemudian tertarik dan akhirnya meminjam pengaruh alam yang tidak pasti, 4) tuntutan
uang kepada pengepul, maka secara otomatis waktu kerja yang lama, 5) mengeluarkan biaya
akan tercatat menjadi anggota pengepul produksi yang cukup besar, 6) menerima
tersebut. Ikatan hutang itu sulit dilepas oleh harga gula yang tidak stabil, 7) menerima
penderes, meskipun sudah melunasi, mereka pendapatan yang juga tidak stabil, 8) terikat
biasanya berhutang kembali, dan lebih sering hutang pada pengepul, 9) menerima tekanan
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah dari Ultrava lewat PT Sentosa dan ranting-
tangganya. rantingnya untuk menjalankan standar-standar
operasional tertentu, dan 10) tidak memiliki
Pelestarian sistem hutang ini merupakan jaminan sosial jika mengalami kecelakaan
sebuah hubungan yang eksploitatif. Penderes kerja.
harus menerima bahwa sepanjang hutang
masih ada, mereka harus tetap menyetor pada Berbagai kesulitan hidup itu menjadi faktor
pengepul yang dihutangi. Sementara, pemicu yang membuat penderes kecewa atas
pengepul menetapkan bahwa adanya hutang apa yang mereka dapatkan dari kemitraan
menjadi legitimasi untuk menurunkan harga dengan pengepul dan PT Sentosa. Di tengah
beli gula kelapa penderes di bawah harga kehidupan mereka yang sulit, kemitraan
pasar, atau mereka menetapkan bunga yang dengan pihak PT Sentosa tidak memberi
mahal. Pada beberapa kasus, berdasarkan perbaikan yang berarti bagi mereka,
ikatan hutang, pengepul bahkan bisa sebaliknya malah memberikan beban
menjadikan penderes sebagai pekerja baginya. tambahan. Dalam menghadapi berbagai
Di satu sisi, pengepul mendapatkan gula tekanan dalam hubungan kemitraan itu,
dengan harga murah, di sisi lain mendapatkan muncul resistensi penderes. Bentuk resistensi
para penderes yang bekerja untuknya tanpa paling umum dari para penderes adalah
digaji. Relasi antara penderes dan pengepul dengan mengabaikan berbagai standar
adalah relasi produksi yang paling dasar dalam kualitas gula yang diminta. Bentuk berikutnya
usaha gula kelapa, dan bersifat eksploitatif. adalah dengan ‘nyeleweng” ke pengepul yang
membeli gula lebih mahal, yang bisa jadi di
Akibat eksploitasi yang terjadi di dalam rantai luar jaringan PT Sentosa. Resistensi lainnya
pasok gula kelapa, penderes pada akhirnya adalah sabotase bahan baku dan kualitas gula.
menjadi korban dalam proses penghisapan itu. Dalam aksi ini, “oknum pelaku” biasanya
Sebab itulah nasib para penderes tak sejalan memproduksi “gula kelapa oplosan,” dengan
dengan manisnya bisnis gula kelapa yang mencampurkan bahan-bahan lain seperti ubi
dinikmati oleh para pengusaha dan ke dalam adonan gula.
pemerintah. Pada akhirnya, profesi penderes
itu sendiri bukanlah sesuatu yang diharapkan Pabrik Kecap Bravo pernah menolak puluhan
bagi masyarakat di Pangandaran. Menjadi ton kiriman gula dari PT Sentosa, hanya
penderes adalah sebuah kecelakaan, sebuah karena menemukan beberapa kilogram gula
pilihan terakhir bagi mereka yang tidak punya oplosan dalam kiriman tersebut. Tentu saja
harapan lagi untuk mendapatkan sumber mata kerugian yang ditanggung PT Sentosa akibat
pencaharian yang lain. Setidaknya ada 10 kejadian itu cukup besar. PT Sentosa
bentuk kesulitan hidup sebagai penderes yang merespon gula oplosan ini dengan
menjadi alasan mengapa pekerjaan menderes pengontrolan sumber gula dan penurunan
bukanlah profesi yang diinginkan oleh harga beli. Pihak PT Sentosa mulai dengan
penduduk Pangandaran. Yakni : 1) dipandang menandai beberapa wilayah yang terindikasi
Volume 1 (2) Desember 2016 eISSN 2528-1569 pISSN 2528-2115
94
UMBARA : Indonesian Journal of Anthropology Effendi, Rahmad, Program….

sering menjadi pemasok gula oplosan. produksi lama menjadi pelayan dalam proses
Adapun pelakunya akan mendapat ganjaran akumulasi kapital.
hukuman sosial (/di-blacklist oleh ranting/ PT
Sentosa) dan hukum pidana. Setelah itu, PT Ultrava menjadi pusat gravitasi dalam usaha
Sentosa akan menurunkan harga beli gula gula kelapa di Pangandaran. Keputusan
kelapa pada pengepul. Penurunan harga beli Ultrava bisa mempengaruhi kondisi gula
bisa mencapai Rp 300,-/kg. Pihak PT Sentosa kelapa di Pangandaran. Kehadirannya
beralasan bahwa penurunan harga itu untuk menciptakan ketergantungan bagi banyak
menutupi kerugian dari biaya transportasi gula pihak, baik penderes, pengepul maupun
kelapa yang ditolak pabrik Kecap Bravo. bandar. Pada titik inilah bekerja apa yang
dijelaskan Marx (dalam Sherman 2015a),
suatu kekuasaan dominasi ekonomi kelas
kapitalis, yakni kekuasaan yang dimiliki
sebagai konsekuensi penguasaan terhadap
kapital. Dari kekuasaan jenis inilah
bersumbernya legitimasi Ultrava menjalankan
berbagai agenda kepengaturan terhadap rantai
pasok gula kelapa di Pangandaran.

Akan tetapi, Ultrava dan PT Sentosa ditantang


oleh kasus penyelewengan dan gula oplosan
yang terjadi akibat perlawanan penderes.
Meskipun sudah dilakukan tindakan tegas,
namun gula oplosan tetap menjadi ancaman
Ancaman pidana bagi oknum yang membuat
gula kelapa oplosan
laten dalam rantai pasok gula kelapa untuk
Kecap Bravo. Pihak Ultrava melihat hal itu
sebagai persoalan manajerial, dan kemudian
Dari perkembangan industri gula kelapa di mengambil inisiatif untuk turun langsung
Pangandaran, terlihat bahwa hubungan menghadapi persoalan tersebut. Salah satu
produksi kapitalistik yang dibawa pabrik langkah yang ditempuh adalah menerapkan
kecap, telah merubah wajah usaha gula kelapa USAM dengan memanfaatkan program
di Pangandaran. Produksi gula kelapa yang pemberdayaan.
awalnya pekerjaan tidak terikat dan sekedar
untuk kebutuhan subsisten bagi penderes, Program Pemberdayaan Penderes Sebagai
telah menjadi mesin penghisapan berlapis Implementasi CSR PT Ultrava
akibat kepentingan industri pabrik kecap,
terutama Ultrava. Semuanya menjadi terpusat Sejak tahun 2010, Ultrava merilis kebijakan
hanya untuk bekerja dan menjual pada Corporate Social Responsibility (CSR) yang
Ultrava. Fenomena ini merupakan contoh dari dikenal dengan nama Ultrava Sustainable
penjelasan Mulyanto (2012), tentang penetrasi Plan (USP). USP memiliki tiga tujuan besar
kapitalisme yang akan selalu menghisap untuk dicapai di tahun 2020, salah satunya
berbagai moda produksi yang lain untuk adalah membuat 100 % sumber bahan baku
berjalan sesuai dengan aturan kapitalisme. pertanian berkelanjutan dan meningkatkan
Proses penghisapan itu tidak menghilangkan, penghidupan dari orang-orang sepanjang
namun merubah wajah dan perilaku dari moda rantai nilai. Terkait dengan tujuan tersebut,
Ultrava meluncurkan Ultrava Sustainable
Agriculture Management (USAM). USAM
Volume 1 (2) Desember 2016 eISSN 2528-1569 pISSN 2528-2115
95
UMBARA : Indonesian Journal of Anthropology Effendi, Rahmad, Program….

meminta para pemasok bahan baku pertanian (fertilizer). (4) Kebersihan dan kesehatan
mengadopsi praktek keberlanjutan di lahan produksi gula (clean & healthy). (5)
mereka. Pada tahun 2011 Ultrava Keselamatan kerja (safety prosedur). (6)
menugaskan Yayasan Bakti Ultrava (YBU) Sekolah lapangan penderes (farmer field
untuk menerapkan USAM di rantai pasok gula school) (YBU 2012).
kelapa Pangandaran.
YBU menugaskan dua LSM untuk
Kecap Bravo merupakan salah satu produk menjalankan program ini, yakni Yayasan
Ultrava yang menjadi sasaran dari penerapan Citra Semesta (YCS) dan Yayasan Fasilitasi
USAM. Sumber bahan baku Kecap Bravo Inklusi (YFI). Masing-masing LSM memiliki
bergantung penuh dari sumber daya pertanian, penekanan program yang berbeda. Program
yakni kedelai hitam dan gula kelapa. Sebab YCS lebih banyak berupa penyaluran bantuan
itu, Kecap Bravo mendapat prioritas dalam baik berupa dana, barang, perlengkapan, atau
pelaksanaan USAM. Dalam roadmap fasilitas lainnya. Semua itu bertujuan untuk
penerapan USAM, pada tahun 2012-2015 membujuk para penderes. Sementara YFI
dilakukan Program Pemberdayaan terhadap bertugas meningkatkan kapasitas para
pemasok bahan baku Kecap Bravo, yakni penderes, terkait kesadarannya akan produksi
petani kedelai hitam di Yogyakarta, Jawa gula kelapa yang berkualitas dan
Tengah dan Jawa Timur5 dan penderes gula pemeliharaan tanaman kelapa sadapan.
kelapa di Pangandaran, Jawa Barat.6 Sesuai
roadmap, pada tahun 2012 YBU mulai Dalam menjalankan perannya, kedua LSM
memperkenalkan standar USAM pada kerap menghadapi pertentangan antara
penderes di Pangandaran. Kemudian pada idealisme mereka tentang pemberdayaan
tahun 2013 mulai melakukan uji coba dengan kepentingan pragmatis pihak Ultrava.
penerapan. Selanjutnya pada tahun 2014 Misalnya dalam kasus YCS, pada tahap awal
melakukan verifikasi tingkat keberhasilan pelaksanaan program, YCS melakukan
penerapan. Di tahun 2015, penerapan USAM asesment terhadap para penderes dan
dilakukan secara merata di seluruh rantai menemukan masalah utama para penderes
pasok gula kelapa di Pangandaran. terkait dengan “persoalan harga gula kelapa
yang tidak stabil; produksi gula yang
USAM merupakan aktivitas CSR Ultrava menurun; penderes malas memupuk karena
yang menggunakan manajemen rantai pasok harga pupuk mahal, ditambah pohon kelapa
dan pemberdayaan secara bersamaan. Untuk bukan milik mereka; masalah resiko menderes
itu, YBU mengembangkan program yang berat; serta masalah kurangnya perhatian
Pemberdayaan Penderes Pangandaran tahun dari pihak-pihak terkait terhadap kesulitan
2012-2015 dalam enam bidang berikut, yaitu: hidup para penderes.” Akan tetapi, meskipun
(1) Pengembangan kelompok (community sudah mendapatkan sudut pandang penderes,
organizing). (2) Pembibitan dan penanaman persoalan-persoalan di tingkat penderes
bibit kelapa (replanting). (3) Pembuatan kemudian hanya dibaca sebatas
pupuk dan pemeliharaan pohon sadapan keterkaitannya dengan USAM. Program

5 6
Program manajemen rantai pasok juga dijalankan di Wilayah Pangandaran dipilih karena jumlah pasokan
komoditas kedelai hitam. Program itu memberikan gula kelapa yang mencapai 75% dari total kebutuhan
peningkatan kapasitas pengetahuan dan keterampilan untuk produksi Kecap Brasa. Selain itu, menurut
pada kelompok tani binaan agar bisa menciptakan dan penanggung jawab supply chain gula kelapa Ultrava,
memelihara varietas kedelai hitam unggulan. cita rasa gula kelapa Pangandaran yang khas turut
membentuk cita rasa Kecap Brasa, sehingga tidak bisa
dipisahkan dari bahan baku Bravo.
Volume 1 (2) Desember 2016 eISSN 2528-1569 pISSN 2528-2115
96
UMBARA : Indonesian Journal of Anthropology Effendi, Rahmad, Program….

pemberdayaan sudah dirancang dari pihak kesejahteraan penderes, adanya pengakuan


YBU dan tidak begitu mewakili kepentingan berbagai pihak terhadap identitas para
penderes. penderes selaku produsen komoditi unggulan
bagi Pangandaran, bisa menjadi ‘penawar.’
Sementara itu dalam sekolah lapangan Penderes yang terlibat program kemudian
penderes, secara konsep sesungguhnya YFI menerima disebut sebagai penderes binaan
memiliki tujuan untuk membuat penderes Ultrava, dan mereka diarahkan untuk menjadi
lebih kritis dalam melihat persoalan hidup agen yang menyebarkan gagasan-gagasan
mereka. Akan tetapi, dalam praktiknya USAM pada penderes lainnya. Salah satu
sekolah lapangan berubah menjadi seperti sarana melakukan itu adalah dengan
pelatihan-pelatihan untuk menguasai merayakan Hari Penderes dan Temu
keterampilan yang sesuai dengan standar Lapangan sebagai ajang sosialisasi kegiatan
USAM. Pelatihan-pelatihan itu berkisar dari penderes binaan Ultrava ke publik.
manajemen organisasi, produksi pupuk
organik padat dan cair, manajemen
penggunaan pupuk kimia dan racun,
pemeliharaan tanaman kelapa, penggunaan
bahan kimia dalam racikan gula kelapa,
pengelolaan dapur dan tungku yang bersih dan
hemat, serta perihal prosedur keamanan
memanjat dan keselamatan kerja.

Dalam situasi ini penderes binaan awalnya


menolak penerapan USAM karena dianggap
mempersulit kerja sementara tidak ada
keuntungan lebih yang bisa mereka peroleh.
Berbagai arahan tidak terlalu digubris
penderes, karena tidak berdasar dengan Presentasi ekologi kelapa Perayaan Hari
permasalahan yang sudah mereka ajukan oleh pesertasekolah lapang Penderes Tahun 2013
dalam asesment. Lama-kelamaan penderes
mulai berani mengungkapkan pemikiran Dalam perspektif para pendukung CSR, apa
kritisnya melalui forum-forum pertemuan yang dilakukan Ultrava dengan pemberdayaan
dengan pihak LSM pelaksana, PT Sentosa, penderes telah memenuhi indikator CSR
Ultrava, dan Pemerintah. terhadap pemasok. Seperti penjelasan Radyati
(2008) bahwa pemberdayaan bisa mengurangi
Mengatasi penolakan penderes, YBU biaya manajerial atas pengelolaan rantai pasok
meminta YCS dan YFI menyesuaikan tiap dan memberi kesempatan untuk
agenda USAM dengan isu yang berkembang meningkatkan kapasitas pemasok. Program
di tiap kelompok dan dikembangkan dari tersebut membantu Ultrava mengurangi biaya
sudut aspek manfaat pada penderes. YCS manajerial atas perlawanan penderes,
mengaplikasikan strateginya dengan membuat terutama penolakan untuk kerjasama dan
program yang diusulkan sendiri oleh persoalan gula oplosan. Dengan
penderes. Strategi YCS yang lain adalah melaksanakan program pemberdayaan,
membuat penderes merasa bangga dengan Ultrava memiliki kesempatan secara tidak
diakui statusnya dan diberi perhatian oleh langsung mendidik dan meningkatkan
orang-orang penting. Hal itu cukup berhasil, kapasitas para penderes dalam memproduksi
meski program belum meningkatkan gula kelapa yang sesuai standar Ultrava.

Volume 1 (2) Desember 2016 eISSN 2528-1569 pISSN 2528-2115


97
UMBARA : Indonesian Journal of Anthropology Effendi, Rahmad, Program….

Efek dari dari program seperti itu, sejalan Ultrava melaksanakan kegiatan CSR-nya
dengan penjelasan Nursahid (2008), yakni sebagai warga Negara Indonesia, sebagai
pada akhirnya bermanfaat untuk wujud kepatuhan terhadap nilai-nilai sosial
meningkatkan kepercayaan dan loyalitas yang berlaku umum, yakni saling membantu
pemasok terhadap Ultrava. Sehingga juga dan berbagi dengan sesama warga, dalam hal
memenuhi apa yang dikatakan Leimona & ini adalah para stakeholder-nya, termasuk
Fauzi (2007), bahwa hubungan baik dengan para penderes di Pangandaran.
pemasok dapat menjaga kelangsungan bahan
baku, dalam hal ini lewat pemberdayaan Sementara itu, redistribusi adalah pertukaran
penderes, Ultrava bisa mengatasi persoalan vertikal, yang bekerja dalam suatu organisasi
stabilitas dan kualitas pasokan gula kelapa sosial yang memiliki struktur patronase,
Pangandaran untuk pabrik Kecap Bravo. bahwa ada kewajiban anggota mengumpulkan
Keberhasilan dalam manajemen pemasok, sumberdaya ke patron, lalu patron membagi
dengan kesediaan penderes menjaga sumber kembali ke anggota melalui mekanisme
bahan baku sesuai dengan standar, pada tertentu. Dalam kerangka redistribusi, CSR
akhirnya membuat program pemberdayaan menjadi mekanisme dari perusahaan untuk
Ultrava itu menambah peringkat sustainablity memberi reward pada stakeholder utamanya,
dan reputasi Ultrava di mata dunia bisnis. yakni para pekerja, pemasok, dan konsumen
yang telah menyuplai laba bagi perusahaan.
Penghalusan Dominasi Ekonomi Dalam Dalam skema ini dapat dibaca bagaimana CSR
Rantai Pasok Gula Kelapa Pangandaran tersebut sebagai bentuk apresiasi atas
kontribusi penderes pada Ultrava, dalam kata
Dalam Pengantar Antropologi Ekonomi lain, tak ubahnya seperti politik etis yang
(2002), Sairin dkk menjelaskan bagaimana dilakukan kolonial terhadap negeri
para antropolog penganut ekonomi subtantif jajahannya.
berupaya mengungkap nilai-nilai dasar yang
tetap bertahan dari aktivitas ekonomi, baik di Seperti yang dijelaskan sebelumnya, dominasi
masyarakat tradisional maupun modern. Nilai- Ultrava terhadap rantai pasok gula kelapa
nilai itu melekat dalam sistem pertukaran yang Pangandaran sangat kuat, dan menimbulkan
berupa resiprositas dan redistribusi, yang eksploitasi berlapis dengan korban akhir
dimanifestasikan dalam bentuk hadiah untuk adalah para penderes. Hal itu menimbulkan
menjadi pengikat dalam suatu kontrak sosial perlawanan dari penderes, yakni berupa gula
tertentu. Kerangka ekonomi subtantif itu juga oplosan dan penyelewengan pasokan yang
bekerja dalam pelaksanaan CSR. Seperti yang mengganggu stabilitas pasokan untuk Kecap
ditemukan Dolan & Rajak (2016), meski Bravo. CSR kemudian dilakukan sebagai
merupakan suatu aktivitas ekonomi di penghalusan dominasi ekonomi untuk
masyarakat modern, CSR pada dasarnya meredam kemarahan penderes sekaligus
berpijak pada nilai resiprositas dan redistribusi memperkuat pengaruh terhadap mereka. Pada
yang bersifat tradisional. akhirnya, baik dalam skema resiprositas
maupun redistribusi, CSR merupakan gift dari
Resiprositas merupakan pertukaran horizontal Ultrava pada penderes, yang ujungnya
yang dilakukan antara orang-perorang dalam mempertegas kontrak sosial antara Ultrava
rangka saling tolong menolong memenuhi dan penderes.
kebutuhan hidup. Dalam kerangka
resiprositas, CSR menempatkan perusahaan
sebagai warga negara dalam berhadapan
dengan masyarakat dan stakeholder-nya.
Volume 1 (2) Desember 2016 eISSN 2528-1569 pISSN 2528-2115
98
UMBARA : Indonesian Journal of Anthropology Effendi, Rahmad, Program….

Fenomena penghalusan dominasi ekonomi Sementara penderes juga memanfaatkan


atau euphemization of property relation7 hadirnya program pemberdayaan untuk
mengikuti penjelasan James Scott (2000) atas menuntut lebih banyak bantuan dan perhatian
upaya tuan tanah di Sedaka dalam mengatasi dari pihak Ultrava.
perlawanan sehari-hari kaum peasant.
Menggunakan penjelasan dari Scott Praktik Kepengaturan PT Ultrava
(2000:403-406), ada tiga konsekuensi Terhadap Rantai Pasok Gula Kelapa
eufemisme dominasi ekonomi yang juga Pangandaran
muncul dalam pelaksanaan CSR Ultrava di
Pangandaran, yakni; Sebagaimana yang dijelaskan oleh Li (2012),
kepengaturan adalah “pengarahan perilaku”,
1) Dominasi ekonomi harus dibayar dengan yakni upaya mengarahkan perilaku manusia
pemberian-pemberian yang memiliki nilai dengan serangkaian cara yang telah
ekonomi kongkrit dan juga nilai-nilai simbolis dikalkulasi sedemikian rupa (Li 2012:9).
seperti hadiah, pinjaman, sumbangan, dsb. Terkait kepentingan kapitalisme,
Dalam aktivitas CSR Ultrava di Pangandaran, kepengaturan yang bertujuan untuk
program pemberdayaan yang dilaksankan mengarahkan masyarakat pada jalan yang
pada dasarnya memberikan berbagai macam yang melanggengkan dominasi para penguasa
bantuan pada penderes binaan, baik secara kapitalis (Li 2012:41). Hal seperti inilah yang
finansial, alat-alat hingga pendampingan. 2) dapat kita lihat dari pelaksanaan program
Ongkos penghalusan dominasi ekonomi ini pemberdayaan penderes sebagai kepentingan
diambil dari hasil kerja, yang dikembalikan Ultrava menerapkan USAM. Ada tiga strategi
lagi (hanya sedikit saja) sebagai upaya kepengaturan yang telah dilakukan Ultrava
socialization. Konsekuensi ini merupakan dalam pengelolaan rantai pasok gula kelapa di
bentuk redistribusi (seperti yang dijelaskan di Pangandaran, yakni : 1) peran perwalian, 2)
atas), yakni CSR Ultrava pada dasarnya teknikalisasi permasalahan, serta 3)
apresiasi atas kerja keras para penderes, tentu pendisiplinan.
saja dalam jumlah yang sangat sedikit
dibanding laba yang didapat Ultrava dari Strategi Pertama, Ultrava menjalankan peran
keringat para penderes itu. 3) Penghalusan perwalian. Li (2012:41), menjelaskan bahwa
wajah hubungan ekonomi ini selalu menjadi peran perwalian muncul sebagai upaya
pusat manipulasi, perjuangan dan konflik memperbaiki dan menormalkan’ orang-orang
simbolik, berupa manipulasi simbol yang dinilai gagal dalam masyarakatnya.
eufimisme secara resiprokasi (timbal balik). Upaya perbaikan itu diserahkan kepada pihak
Golongan kaya memanfaatkan upaya tersebut yang dinilai kompeten, yang memiliki
agar citra dirinya menjadi baik di mata pengetahuan tentang persoalan orang-orang
masyarakat. Sementara kelompok miskin gagal itu, dan memiliki serangkaian cara untuk
memanfaatkan hal tersebut agar mereka memperbaikinya. Dari sudut pandang ini bisa
mendapatkan kucuran bantuan dari orang dipahami bagaimana Ultrava yang diwakili
kaya. Hal ini juga terlihat ketika Ultrava oleh YBU, YCS, dan YFI memosisikan diri
memanfaatkan kegiatan pemberdayaan sebagai pihak yang berwenang untuk
sebagai upaya membangun citra yang baik mengelola para penderes. Mereka mengambil
terhadap penderes dan stakeholder lebih luas. posisi sebagai pihak yang merasa ahli tentang

7
Istilah eufimisme ini berasal dari Pierre Bourdieu adalah juga bentuk eksploitasi manusia atas manusia,
(1977 dalam Scott 2000:403), istilah ini memiliki jika eksploitasi kasar secara terang-terangan tidak
makna bahwa eksploitasi secara lembut dan terselubung mungkin dilaksanakan.
Volume 1 (2) Desember 2016 eISSN 2528-1569 pISSN 2528-2115
99
UMBARA : Indonesian Journal of Anthropology Effendi, Rahmad, Program….

persoalan penderes, dan memiliki solusi atas Ultrava untuk menjaga keberlangsungan
persoalan tersebut. Posisi itulah yang produksi gula kelapa yang berkualitas. Selain
kemudian digunakan sebagai alat legitimasi itu, kapasitas seperti itu juga dibutuhkan
untuk menjalankan pemberdayaan terhadap Ultrava untuk menuju pendisiplinan
penderes. selanjutnya, yakni pada komunitas penderes
yang lebih besar.
Strategi kedua, untuk kebutuhan pengelolaan
rantai pasok, YBU mengembangkan strategi Jika kita melihat makna disiplin yang dibahas
asesment pemahaman konteks lokal. Asesment oleh Foucault (1977), maka kita akan
merupakan tahap yang disebut oleh Li sebagai menemui hakikatnya sebagai teknik
teknikalisasi permasalahan, yakni upaya pemantauan, pengawasan dan pengendalian
mencari serangkaian diagnosa, resep dan diri yang dilakukan oleh individu pada dirinya
teknik untuk memperbaiki kekurangan yang sendiri. Bisa dikatakan, hal seperti inilah yang
ditemukan dalam problematisasi masalah. terjadi pada para penderes. USAM, sebagai
Sayangnya, asesment itu sudah disesuaikan rejim pengetahuan dari Ultrava, telah berhasil
berdasarkan apa yang menjadi persoalan menjadi kebenaran bagi penderes. Padahal
dalam upaya penerapan USAM. Sementara sebelumnya para penderes binaan ini tidak
itu, persoalan-persoalan yang ditemukan di peduli, bahkan cenderung melawan berbagai
lapangan terkait dengan tuntutan penderes standar produksi yang ditetapkan Ultrava.
tidak diakomodir. Gejala itu menunjukkan apa Namun setelah USAM itu ditransmisikan
yang disebut Li sebagai hakikat dari praktik lewat program pemberdayaan, dan didukung
teknikalisasi masalah, yakni penegas dengan pengakuan terhadap status sosial
kepakaran, melucuti aspek-aspek politis dan sebagai binaan Ultrava, rejim pengetahuan
menegaskan status quo (Li 2012:13-17). tersebut akhirnya diterima oleh para penderes
Praktik teknikalisasi masalah itu telah dan akhirnya menentukan tingkah laku
melucuti aspek-aspek politis dari persoalan pengaturan-diri sendiri yang penderes lakukan
yang menyebabkan kesulitan hidup penderes, terkait aktivitas produksi gula kelapa.
yakni hubungan eksploitatif dalam rantai
pasok. Sebab itu, pada saat teknikalisasi Atas fenomena itu, kita bisa melihat apa yang
masalah itu bersifat anti-politik, maka dilakukan Ultrava dalam program
program pemberdayaan penderes itu pemberdayaan di Pangandaran dalam konteks
sesungguhnya dilaksanakan untuk yang disebut Foucault sebagai reproduksi
mempertahankan status quo Ultrava dan PT manusia untuk reproduksi kapital. Kondisi ini
Sentosa. sejalan dengan yang dikatakan Mulyanto
(2012:188) dan Sherman (2015a), bahwa telah
Strategi ketiga, Ultrava menggunakan terjadi pendisiplinan tenaga-kerja manusia
program pemberdayaan sebagai pendisiplinan melalui pendidikan (dalam bentuk
terhadap rantai pasoknya. Lewat GPGK, YBU pemberdayaan), untuk menghasilkan tubuh
bisa mengorganisir penderes di Pangandaran yang patuh yang berguna dalam rangka
dalam satu wadah, sehingga lebih mudah pengelolaan subyek buruh di bawah sistem
untuk diakses. Dengan akses tersebut, Ultrava kapitalisme. Dalam situasi ini penderes telah
mengenalkan tentang “aturan main” bagi didisiplinkan melalui pemberdayaan untuk
penderes. Sebagai hasil dari berbagai teknik menjadi rantai pasok yang patuh pada USAM.
pendisiplinan itu, yang paling penting bagi
Ultrava adalah peningkatan kapasitas
penderes. Ketersediaan penderes dengan
kapasitas sesuai USAM dibutuhkan oleh
Volume 1 (2) Desember 2016 eISSN 2528-1569 pISSN 2528-2115
100
UMBARA : Indonesian Journal of Anthropology Effendi, Rahmad, Program….

CSR Sebagai Strategi Hubungan Industrial Fenomena ini mengungkapkan suatu


Antara Perusahaan dan Mitra Pemasok perspektif berbeda tentang CSR. Jika sebagian
Bahan Baku Produksi besar kajian cenderung melihat CSR sebagai
persoalan etika bisnis atau tanggung jawab
Pemanfaatan pemberdayaan dan CSR dalam mandatoris, maka dalam kasus pemanfaatan
pengelolaan rantai pasok seperti yang CSR untuk pengelolaan rantai pasok, CSR
dilakukan Ultrava ternyata bukanlah sesuatu sudah menjadi inti dari kegiatan bisnis
yang unik dalam dunia industri. Dalam sektor perusahaan yang berkaitan dengan hubungan
industri hasil bumi, beberapa perusahaan lain industrial antara perusahaan dan pemasok
juga melakukan kegiatan CSR seperti program bahan baku produksi. Hal ini mengingatkan
Ultava. Misalnya Indofood yang pada sistem subcontract pada sektor industri
mengembangkan program–program hasil pertanian. Namun, berbeda dengan
kemitraan pertanian secara berkelanjutan sistem subcontract yang cenderung menjadi
dengan para petani mitra yang terdiri dari lahan subur terjadinya eksploitasi dan
petani kentang, singkong, gula kelapa, cabai menghasilkan konflik antara perusahaan dan
dan kelapa sawit. Indofood memberikan pemasok8, sebaliknya CSR lebih kepada
pelatihan, bimbingan dan asistensi di bidang strategi yang lebih canggih dan halus untuk
pembudidayaan, penanaman, pemanenan dan mengatasi konflik sekaligus meningkatkan
penanganan komoditas pasca panen kualitas pasokan dan mempertahankan
(www.indofood.com). Kemudian PT Astra kemitraan antara pemasok dan perusahaan.
Agro Lestari juga melaksanakan kegiatan Namun, meski lebih halus, pada dasarnya CSR
CSR di bidang ekonomi dengan meningkatkan memiliki tujuan yang tidak jauh berbeda
kualitas hubungan kemitraan dalam berbagai dengan apa yang dilakukan perusahaan dalam
bentuk PIR-BUN (Pola Perusahaan Inti sistem subcontract, yakni penghisapan
Rakyat-Perkebunan) terhadap para petani terhadap rantai pasok. Dengan pendekatan
kelapa sawit. Kegiatan CSR diarahkan untuk yang lebih halus, CSR menjadi strategi
meningkatkan kapasitas petani sawit agar bisa penundukan terhadap rantai pasok yang
menjadi mitra yang lebih baik bagi PT Astra menentang dominasi perusahaan. CSR telah
(Astra Agro Lestari 2015). Hal serupa juga menjadi penghalus dominasi ekonomi
terjadi dalam penerapan IWAY (IKEA WAY) sekaligus alat kepengaturan dalam suatu
oleh IKEA Indonesia terhadap supplier dan hubungan industrial antara perusahaan dan
para pengrajin rotan rumahan dalam rantai mitranya.
pasoknya, yang juga diklaim sebagai aktivitas
CSR perusahaan tersebut. IWAY menjadi alat Dalam hal ini CSR merupakan suatu sistem
kontrol proses produksi perabotan rotan di yang telah berhasil menjawab kekakuan
tingkat pengrajin untuk memenuhi berbagai hubungan industrial yang berlandaskan logika
standar produksi terkait kepatuhan terhadap ekonomi formal. Sistem subcontract yang
HAM, kesejahteraan pekerja, kelestarian terlalu menekankan prinsip “kesepakatan
sumber bahan baku, dan pengendalian bisnis” dengan minimnya kepedulian sosial
dampak terhadap lingkungan (Lim 2015). terhadap mitra merupakan salah satu
penyebab tingginya konflik dalam sistem
tersebut. CSR dalam hal ini, merupakan
8
Meski pandangan positif meyakini bahwa subcontract mekanisme perusahaan untuk mengalihkan resiko
merupakan salah satu bentuk “trickle down effect” dan produksi atau resiko pemasaran. Hal inilah yang
katalisator untuk pengembangan industry kecil menjadi potensi terjadinya eksploitasi dan memicu
menengah, namun Rustiani & Maspiyati menguraikan konflik antara perusahaan dan mitra subkontraknya
bagaimana subcontract pada dasarnya adalah (Rustiani & Maspiyati 1996).
Volume 1 (2) Desember 2016 eISSN 2528-1569 pISSN 2528-2115
101
UMBARA : Indonesian Journal of Anthropology Effendi, Rahmad, Program….

antitesis dari kondisi itu. CSR saat ini telah pelaksanaan program pemberdayaan sebagai
memanfaatkan kekuatan subtantif dari relasi CSR terhadap pemasok yang dilakukan oleh
ekonomi, yakni kenyataan bahwa aktivitas beberapa perusahaan, terutama pada kasus
ekonomi tidak berdiri sendiri, namun Ultrava. Alih-alih memberikan pemberdayaan
dipengaruhi oleh kondisi relasi sosial antara yang membebaskan para produsen dari
aktor-aktor yang terlibat di dalamnya, eksploitasi dalam rantai pasok, tujuan
sebaliknya relasi ekonomi juga memberi pemberdayaan itu telah dibelokkan oleh
dampak terhadap relasi sosial para aktor yang kepentingan perusahaan, yang
terlibat di dalamnya. CSR menjadi salah satu menggunakannya untuk menciptakan sumber
aktivitas ekonomi modern yang menggunakan daya manusia terdidik yang patuh.
nilai-nilai tradisional, yakni dengan
menjadikan sistem resiprositas dan Dari fenomena tersebut, sesungguhnya telah
redistribusi sebagai strategi untuk terjadi distorsi besar dari idealisme
mengendalikan rantai pasok bahan baku pemberdayaan saat dimanfaatkan perusahaan
industri. sebagai kegiatan CSR. Merupakan sebuah
ironi, dari tujuan awalnya sebagai
Penutup : Pemberdayaan Sebagai Aktivitas pembebasan dari jerat kapitalisme,
CSR, Sebuah Tantangan Bagi Sarjana pemberdayaan malah menjadi alat penjerat
Antropologi yang digunakan kapitalisme untuk
menciptakan subjek buruh yang patuh.
Paulo Freire pernah menegaskan bahwa Kondisi itulah yang pada akhirnya menjadi
pemberdayaan adalah “metode pendidikan “jebakan betmen” bagi para sarjana
dewasa non-formal yang didesain untuk antropologi yang menjadi praktisi
membuat petani dan pekerja sadar mengenai pemberdayaan yang masih berpijak pada
dalam cara seperti apa mereka dieksploitasi idealisme pemberdayaan. Suatu kondisi yang
oleh sistem feudal-kapitalis, dan bagaimana membuat para sarjana antropologi terjebak
potensi mereka memberdayakan diri sendiri dalam situasi yang dulu juga pernah dialami
lewat aktivitas berkelompok (African Rights para pendahulunya, yakni menjadi bagian dari
1995:29 dalam James 1999:15).” proses penjajahan.

Kemudian menurut Singh & Titi, sejatinya Kondisi ini perlu dilihat sebagai tantangan
penerapan gagasan pemberdayaan digunakan bagi dunia pendidikan untuk meninjau
untuk “…memungkinkan orang-orang kembali kuliah pemberdayaan masyarakat
memahami realitas dari lingkungan mereka yang diajarkan pada mahasiswa. Dari distorsi
(sosial, politik, ekonomi, ekologi dan yang terjadi, pembelajaran tentang prinsip-
kultural)… dan mengambil langkah prinsip ideal pemberdayaan ala Jim Ife (2008),
perubahan untuk meningkatkan situasi atau teknik-teknik community development
tersebut. Pemberdayan melengkapi orang- dari Philips & Pittman (2015) rupanya belum
orang dengan kapasitas, …untuk merasakan cukup membekali para sarjana menghadapi
sebagai penguasa atas cara berfikir dan cara dominasi kepentingan para kapitalis yang
pandang mereka atas dunia, untuk menjadikan program pemberdayaan dan CSR
mewujudkan harapan-harapan atas kehidupan sebagai alat penghisapan. Sebab itu, kampus
yang baik (Singh & Titi 1995:13-19 dalam perlu memberi pembelajaran yang lebih kritis
James 1999:18-19).” untuk membekali mahasiswa
mempertahankan idealisme pemberdayaan
Akan tetapi, misi ideal dari pemberdayaan itu saat bekerja dalam program CSR.
sepertinya jauh panggang dari api saat melihat
Volume 1 (2) Desember 2016 eISSN 2528-1569 pISSN 2528-2115
102
UMBARA : Indonesian Journal of Anthropology Effendi, Rahmad, Program….

Misalnya, selain membekali mahasiswa Daftar Pustaka


dengan berbagai prinsip dan teknik
pemberdayaan yang menekankan proses AsiaDHRRA Secretariat.(1998). The Impact of
perubahan di masyarakat, perkuliahan juga Globalization on The Social-Cultural Lies of
Grassroots People in Asia, Jakarta : Grasindo.
perlu memberi pembelajaran tentang logika Astra Agro Lestari. 2015. Creating A Sustainable
ekonomi politik kapitalisme yang menjadi Future: 2014 Sustanable Report. Jakarta : Astra
landasan kepentingan perusahaan terhadap Agro Lestari.
pemberdayaan. Sehingga mahasiswa akan Dolan, C. & D. Rajak (edt). (2016). The Anthropology
memperoleh pemahaman komprehensif of Corporate Social Responsibility. New York :
Berghan Books.
terkait problem masyarakat dan kepentingan Foucault, Michel.(1977). Discipline and Punish : The
perusahaan. Kemudian mahasiswa bisa untuk Birth of The Prison, New York : Pantheon
mencari irisan di antara keduanya. Untuk Books.
menggunakan pemahaman itu dalam ____.(1980). Power/Knowledge. New York: Pantheon
mengembangkan strategi yang merubah Books.
Frynas, J.G.(2009). Beyond Corporate Social
kondisi zero-sum akibat dominasi kepentingan Responsibility : Oil Multinationals and Social
perusahaan, menjadi kondisi win-win solution Changes. New York : Cambridge University
yang juga berpihak pada kepentingan Press.
masyarakat. Kelak hal inilah yang akan Ife, Jim & Frank Tesoriero. 2008. Community
menjadi bekal utama untuk mempertahankan Development: Alternatif Pengembangan
Masyarakat Di Era Globalisasi. Yogyakarta :
idealisme pemberdayaan. Pustaka Pelajar
James, Wendi. (1999). "Empowering Ambiguities." In
Pada akhirnya, keterampilan memahami the Cheater, Angela. (edt). (1999). The
others, kejelian menganalisa struktur dan Anthropology of Power : Empowerment and
relasi sosial, kemampuan menjadi interpreter Disempowerment in Changing Structures.
London and New York : Routledge.Pp. 13-27.
dan negosiator antar pihak terlibat, serta Leimona, B. dan Fauzi, A. (2008). CSR For Better
ketepatan analisa dalam memberi Life: CSR dan Pelestarian Lingkungan,
rekomendasi akan menjadi seperangkat skill Mengelola Dampak : Positif dan Negatif.
ekslusif yang dibutuhkan sarjana antropologi Jakarta : Indonesia Business Links.
dalam menjalani perannya sebagai praktisi Li, Tania Murray. (2012). The Will to Improve :
Perencanaan, Kekuasaan dan Pembangunan di
pemberdayaan. Namun semua itu harus tetap Indonesia. Jakarta : Marjin Kiri.
berpijak pada etika profesi antropolog, yakni Lim, Lin Liam. 2015. Hubungan Kerja dan Kondisi
keberpihakan dalam menjaga nilai-nilai Kerja di Sebuah Rantai Pasokan Rotan
kemanusiaan, keadilan dan keberagaman. IKEA/Kantor Perburuhan Internasional –
Etika tersebut harus menjadi pegangan, dan Jakarta: ILO.
Mulyanto, Dede. (2012). Genealogi Kapitalisme :
menjadi sikap politik untuk menunjukkan Antropologi dan Ekonomi Politik Pranata
bagaimana praksis antropologi sebagai ilmu Eksploitasi Kapitalistik. Yogyakarta :
yang meletakkan manusia pada derajat yang Resistbooks.
sebenarnya, dalam arti bukan sekadar alat bagi Nursahid, Fajar. (2008). CSR Bidang Kesehatan dan
kapital. Sehingga para sarjana antropologi Pendidikan : Mengembangkan Sumber Daya
Manusia. Jakarta: Indonesia Bussines Links.
bisa turut berkontribusi dalam mengatasi Philips, R (eds) & Robert H. Pittman (eds). 2015. An
distorsi pemberdayaan yang terjadi dalam Introduction to Community Development – 2
praktik CSR. Edition. New York : Routledge
Radyati, M & Nindita, R. (2008). CSR Untuk
Pemberdayaan Ekonomi Lokal, Jakarta:
Indonesia Bussines Links.
Rustiani, F & Maspiyati. (1996). Usaha Rakyat Dalam
Pola Desentralisasi Produksi Subkontrak.
Bandung : Akatiga.
Volume 1 (2) Desember 2016 eISSN 2528-1569 pISSN 2528-2115
103
UMBARA : Indonesian Journal of Anthropology Effendi, Rahmad, Program….

Sairin, S., P. Semedi & B. Hudayana. (2002).


Pengantar Antropologi Ekonomi. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Scott, James. (2000). Senjatanya Orang-Orang Yang
Kalah. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Sherman, Melina. (2015a). The “How” and “Why” Of
Power: From Marx to Foucault to
Power Today.
http://melinasherman.com/2015/04/13/the-how-
and-why-of-power-from-marx-to-foucault-to-
power-today/. Diakses 12 Juni 2015.
____. (2015b). Foucault, Then And Now: On
Modalities Of Power And The Making
Of Subjects.http://melinasherman.com/2015/04/
13/foucault-then-and-now-on-modalities-of-
power-and-the-making-of-subjects/. Diakses 12
Juni 2015.
Sukada, Sony dkk. (2007). CSR for Better Life :
Indonesian Context : Membumikan Bisnis
Berkelanjutan Memahami Konsep & Praktik
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Jakarta :
Indonesia Business Links (IBL).
Sum, Ngai-Ling. (2009). Articulation of ‘New
Constitutionalism’ with ‘New Ethicalism’: Wal-
Martization and CSR-ization in Developing
Countries. In Peter Utting (ed.). (2009).
Corporate Social Responsibility and Regulatory
Governance: Towards Inclusive Development?
London: Palgrave.
Vertigans, Stephen. (2011). CSR as Corporate Social
Responsibility Or Colonial Structures Return?
A Nigerian Case Study. International Journal
of Sociology and Anthropology. Vol. 3(6) pp.
159-162, June 2011. Available online
http://www.academicjournals.org/ijsa.
Widyaningrum, N., R. Dewayanti, E. Chotim, I.
Sadoko. (2003). Pola-Pola Eksploitasi
Terhadap Usaha Kecil, Bandung : Yayasan
Akatiga.

Volume 1 (2) Desember 2016 eISSN 2528-1569 pISSN 2528-2115


104

Anda mungkin juga menyukai