pelaksanaan
CSR.
Ketujuh,
perkembangan
tren
pelaporan
Maraknya
pelaksanaan
CSR
tentunya
menuntut
seperangkat
Besarnya potensi dana CSR memang bukan main. Dari 57 perusahaan saja
sudah mencapai puluhan triliun, dan tentunya masih sangat banyak lagi dari
perusahaan-perusahaan lain yang juga melakukan CSR. Potensi ini menggiurkan
bagi banyak pihak, pemerintah adalah salah satunya. Melihat peluang ini,
pemerintah membangun regulasi untuk mendapat kewenangan dalam pengelolaan
CSR. UU no 14 adalah salah senjata utama yang dimainkan pemerintah. Sebagian
pihak melihat regulasi ini menyalahi makna sebenarnya dari CSR-yang
seharusnya tindakan sukarela dari perusahaan di luar pajak. Namun pihak
pemerintah beralasan adanya regulasi tersebut untuk memfasilitasi pelaksanaan
CSR yang sinergis dengan agenda pembangunan nasional. Di masa pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, program CSR diarahkan untuk agenda
perbaikan lingkungan. Sehingga tren program CSR sepanjang 2005-2014
cenderung pada kegiatan pelestarian alam dan lingkungan.
Dalam kerja sama itu, pemerintah menurunkan teknis pengelolaan CSR di
tingkat provinsi pada pemerintah daerah, di bawah naungan Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (Bappeda). Sehingga muncul institusi baru seperti Forum
CSR Jabar, Forum CSR Jakarta, dan Forum CSR di provinsi lainnya. Hal itu
membuat peluang munculnya kebijakan pelayanan publik yang didanai oleh CSR.
Beberapa contoh populer adalah seperti upaya Wakil Gubernur DKI Jakarta pada
masa itu, Ahok, yang akan membangun Mega Proyek Kampung Impian dan
Ruang Terbuka Hijau di Jakarta dengan menggunakan dana CSR dari perusahaan
di Jakarta (lihat Vivanews.com, 10 Mei 2014). Kemudian sepak terjang Wali Kota
Bandung, Kang Emil, yang telah membangun berbagai ruang terbuka hijau, ruang
kreativitas dan berencana membangun Kota Pintar Bandung Teknopolis di daerah
jika pemerintah ingin menggunakan dana CSR BUMN, status dana tersebut
haruslah jelas. Apakah dipinjam negara atau diambil oleh negara (lihat
Vivanews.com, 7 Oktober 2014).
Akan tetapi, meski menerima banyak kritikan, pemerintah tampaknya
tidak berniat untuk mengurangi peran strategis mereka dalam pengelolaan dana
CSR, sebaliknya malah semakin agresif. Asisten Utusan Khusus Presiden
Indonesia untuk MDGs Diah Saminarsih mengungkapkan, pemerintahan era SBY
mewariskan kemitraan CSR yang mendukung program-program MDGs. Menurut
Asisten Deputi Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian BUMN, Seger
Budiarjo ada 119 perusahaan BUMN yang menjadi mitra pemerintah dengan dana
yang terhimpun mencapai hampir Rp 20 triliun. Seger Budiarjo menyarankan
pemerintahan baru segera merumuskan formula agar potensi dana yang begitu
besar bisa terdata dengan baik agar mencapai sasaran yang diinginkan. Apalagi,
pada tahun depan (2015), bersamaan dengan pemerintahan yang baru, Indonesia
juga akan melewati tenggat Millennium Development Goals (MDGs) dan segera
memasuki era Sustainable Development Goals (SDGs) yang menuntut Indonesia
menjalankan program-program berkelanjutan (Republik.co.id, 8 Oktober 2014).
Fenomena yang terjadi di Indonesia sejalan dengan analisis Wayne Visser
(?) dalam tulisannya, CSR in Developing Country. Visser mengungkapkan
pelaksanaan CSR di negara berkembang, termasuk indonesia,
sangat terikat
dengan beberapa isu berikut. (1) Tradisi budaya : mengembangkan programprogram yang berakar dari kebudayaan setempat. (2) Reformasi politik :
pelaksanaan CSR mendukung proses sosial politik yang demokratis. Pilihan
program CSR juga dipengaruhi kondisi politik setempat. (3) Prioritas sosial