Anda di halaman 1dari 44

Bab 4.

Di Dalam Darah Dingin

Tidak pernah muncul keraguan bahwa, di bawah kondisi tertentu, emosi

dapat mengganggu penalaran. Bukti ini berlimpah-ruah dan melandasi sumber

bagi nasihat akal sehat sampai sekarang. “Jagalah kepala tetap dingin agar

emosimu berlabuh dengan aman!” “Jangan biarkan hasratmu bercampur aduk

dengan penilaianmu.” Akibatnya, kita biasanya memahami emosi sebagai

kemampuan mental yang melebihi jumlah yang dibutuhkan, sebuah pelengkap

yang tidak dibutuhkan dan tertata alamiah bagi pikiran rasional kita. Jika emosi

memang menyenangkan, kita akan menikmatinya sebagai sebuah kemewahan;

namun jika menyakitkan, kita akan menderita sebagai sebuah gangguan yang

tidak nyaman. Di dua kondisi ini, orang bijak menasihati kita agar mengalami

emosi dan perasaan hanya dalam takaran yang bijak. Kita harusnya tetap rasional.

Ada banyak kebijaksaan dalam hal ini seperti yang diyakini banyak

orang, jadi saya tidak menyangkal kalau emosi tak terkontrol atau keliru arah bisa

menjadi sumber utama perilaku irasional. Namun saya juga tidak menyangkal

kalau rasio yang nampaknya normal bisa terganggu oleh bias-bias halus yang

berakar di dalam emosi. Contoh, seorang pasien jauh lebih bisa menerima sebuah

perawatan jika diberitahu “90% pasien yang ditangani masih hidup lima tahun

kemudian,” ketimbang jika diberitahu “10% pasien yang ditangani mati sebelum

lima tahun.”1 Meskipun hasilnya persis sama, kemungkinan perasaan yang

dibangkitkan oleh gagasan tentang kematian akan mengarah kepada penolakan

terhadap opsi tersebut, beda dari opsi yang ditawarkan dalam kerangka satunya,
meskipun mengarah pada kesimpulan yang tidak konsisten, ambigu dan irasional

—yaitu kemungkinan untuk hidup, bukannya kepastian. Bahwa irasionalitas tidak

hanya dihasilkan dari kurangnya pengetahuan diperkuat oleh bukti bahwa respon

dokter tidak jauh beda ketimbang pasien yang bukan dokter. Meskipun demikian,

yang tidak dimiliki pemahaman tradisional adalah temuan yang muncul dari studi

tentang pasien-pasien seperti Elliot dan dari observasi-observasi lain seperti yang

akan saya bahas di bab ini: Reduksi dan degradasi kadar emosi kita bisa

membentuk sumber yang sama pentingnya dengan emosi tak terkendali bagi

perilaku irasional. Hubungan kontra-intuitif antara absennya emosi dan perilaku

menyimpang ini sepertinya hendak menceritakan pada kita sesuatu tentang mesin

biologis akal.

Saya sendiri mulai memburu temuan ini dengan menggunakan

pendekatan neuropsikologi eksperimental.2 Sederhananya, pendekatan ini

bergantung kepada langkah-langkah:

 menemukan korelasi sistematis antara kerusakan di wilayah otak tertentu

dan gangguan-gangguan perilaku dan kognisi;

 mensahihkan temuan-temuan dengan memantapkan apa yang kita kenal

sebagai disosiasi rangkap, bahwa kerusakan di wilayah A menyebabkan

gangguan X dan bukannya gangguan Y, sedangkan kerusakan di wilayah

B menyebabkan Y dan bukannya gangguan X;

 merumuskan hipotesis umum dan khusus yang darinya sistem saraf normal

disusun dari komponen-komponen berbeda (seperti wilayah-wilayah

korteks dan nuklei subkorteks) yang mewadahi operasi kognitif/perilaku


normal dengan komponen-komponen yang berbeda total;

 dan akhirnya, menguji hipotesis-hipotesis di kasus-kasus baru kerusakan

otak yang di dalamnya sebuah lesi di wilayah tertentu otak digunakan

sebagai penyelidikan untuk memastikan apakah kerusakan sudah

menyebabkan efek yang dihipotesiskan.

Tujuan upaya neuropsikologi kalau begitu adalah menjelaskan

bagaimana operasi-operasi kognitif tertentu dan komponen-komponennya

berkaitan dengan sistem-sistem saraf dan komponen-komponennya.

Neuropsikologi bukan, atau tidak pernah, dimaksudkan untuk menemukan

‘lokalisasi’ otak bagi sebuah ‘simtom’ atau ‘sindrom’ tertentu.

ßßß

Fokus pertama saya adalah memverifikasi bahwa observasi kami tentang

Elliot juga bisa berlaku pada pasien-pasien lain. Itulah langkah satu-satunya cara

menyimpulkan kasus ini dengan tepat. Karena itu, kami sudah mempelajari 12

pasien dengan kerusakan otak depan yang tipenya seperti Elliot, dan hasilnya,

kami berhasil menemukan kombinasi yang sama antara cacat pengambilan-

putusan dan datarnya emosi dan perasaan. Kekuatan akal dan pengalaman emosi

merosot bersamaan, dan cacat mereka terukir di dalam profil neuropsikologis

tempat atensi dasar, memori, kecerdasan dan bahasa nampaknya masih utuh

sehingga mereka tidak pernah sanggup menjelaskan kegagalan pasien melakukan

penilaian.

Namun cacat yang paling menyolok, yaitu kerusakan akal dan perasaan

yang hadir bersama-sama, tidak muncul hanya setelah otak depan rusak. Di bab
ini, saya akan membahas bagaimana kombinasi cacat ini bisa muncul dari

kerusakan di wilayah otak lain dan bagaimana korelasi tersebut menunjukkan

sebuah interaksi dari sistem-sistem yang melandasi proses-proses normal emosi,

perasaan, akal dan pengambilan keputusan.

Bukti dari Kasus-kasus Lain Kerusakan Otak Depan

Saya akan menyajikan kasus-kasus kerusakan otak depan menurut

perspektif historis. Kasus Phineas Gage bukan satu-satunya sumber historis

penting untuk memahami basis neurologis bagi penalaran dan pengambilan

putusan. Justru masih ada empat sumber lain untuk membantu kita memahami

profil dasar ini.

Sumber Pertama

Bukti pertama, dipelajari di tahun 1932 oleh Brickner, seorang neurolog

di Universitas Columbia, dan dikenal sebagai ‘pasien A’, seorang pria berusia 39

tahun, bekerja sebagai pialang saham di New York danmencapai kesuksesan

pribadi dan profesional, namun mengidap tumor otak seperti meningioma Elliot. 3

Tumor ini tumbuh dari atas dan menekan ke bawah ke arah lobus frontalis.

Hasilnya sama dengan apa yang kita lihat pada Elliot. Dokter bedah saraf pertama,

Walter Dandy, sanggup menghilangkan tumor yang mengancam hidup itu namun

tumor sudah terlanjur melakukan kerusakan luas pada korteks di lobus frontalis

kiri maupun kanan. Wilayah-wilayah yang terpengaruh mencakup semua wilayah

yang rusak pada kasus Elliot dan Gage, bahkan lebih luas daripada keduanya. Di

sebelah kiri, semua korteks frontalis yang terletak di depan wilayah bahasa
terpaksa ikut dihilangkan. Di sebelah kanan, pengirisan tumor bahkan lebih besar

dan mencakup semua korteks di depan wilayah-wilayah yang mengontrol gerakan

tubuh. Korteks-korteks di permukaan ventral (orbital) dan bagian bwah

permukaan internal (medial) kedua sisi lobus frontalis juga diangkat. Namun girus

singuli masih utuh. (Semua deskripsi pembedahan ini disetujui 20 tahun kemudian

lewat otopsi).

Gambar hlm. 55
Gambar 4-1. Wilayah yang berwarna gelap merepresentasikan sektor ventralis

dan medialis dari lobus frontalis yang selalu rusak pada pasien-pasien penderita

‘matriks Gage’. Perhatikan bahwa sektor dorsolateralis lobus frontalis ini tidak

rusak.

A. Hemisfer otak kanan, dilihat dari luar (lateralis).

B. Hemisfer otak kanan, dilihat dari dalam (medialis).

C. Otak dilihat dari bawah (ventral atau orbitalis).

D. Hemisfer otak kiri, dilihat dari luar.

E. Hemisfer otak kiri, dilihat dari dalam.

Pasien A memiliki persepsi normal. Orientasinya kepada manusia,

tempat dan waktu normal, juga memori konvensionalnya tentang fakta-fakta yang

terbaru dan terjauh. Kemampuan berbahasa dan motoriknya tidak terpengaruh,

dan kecerdasannya masih utuh, berdasarkan tes-tes psikologis yang tersedia waktu

itu. Kebanyakan dibuat berdasarkan fakta bahwa dia sanggup melakukan kalkulasi

dan memainkan dengan baik checker yang membutuhkan logika. Namun di luar

kesehatan fisiknya yang menakjubkan dan kemampuan mentalnya yang bagus,


pasien A tidak pernah bisa diterima bekerja lagi. Dia terus tinggal di rumah,

merumuskan rencana-rencana untuk kembali pada kerja profesional namun tidak

pernah mengimplementasikan bahkan rencana yang paling sederhana. Sisi

hidupnya yang lain juga ikut terganggu.

Kepribadian A sudah berubah secara mendalam. Kerendahan hati yang

dulu dimilikinya sudah hilang. Dulu dia sopan dan penuh tenggang rasa, namun

sekarang dia bisa bertindak sangat memalukan. Komentarnya tentang orang lain,

termasuk tentang isterinya, sangat kasar dan seringkali menghina. Dia

membualkan profesinya, kondisi fisiknya yang prima dan kekuatan seksualnya,

meskipun dia tidak lagi bekerja, tidak berolah raga dan sudah tidak lagi

berhubungan seks dengan isterinya atau perempuan lain. Kebanyakan

percakapanannya berkisar di seputar ledakan-ledakan mitis dan dibumbu-bumbui

oleh komentar-komentar sepihak, umumnya dengan merendahkan orang lain. Di

suatu peristiwa, jika merasa frustrasi, dia akan menyerang siapapun secara verbal

meskipun tidak sampai melakukan kekerasan fisik.

Kehidupan emosi pasien A nampaknya sungguh-sungguh miskin.

Sesekali emosinya bisa menyembur ke luar dengan cepat dan hebat, namun jarang

sekali kita temui. Tidak ada tanda dia merasakan sesuatu terhadap orang lain, dan

tidak ada tanda rasa malu, sedih atau jengkel kepada suatu peristiwa tragis.

Seluruh afeksinya bisa digambarkan sebagai ‘tertelan’. Sejak awal setelah

dioperasi, pasien A berubah menjadi pasif dan banyak bergantung. Dia

menghabiskan sisa hidupnya di bawah pengawasan keluarga. Agar bisa menopang

penghidupannya, dia pun diajari mengoperasikan mesin cetak untuk membuat


kartu-kartu ucapan, dan hanya itulah aktivitasnya yang produktif.

Pasien A jelas-jelas menunjukkan karakteristik kognitif dan perilaku

yang saya sebut ‘matriks Phineas Gage’: setelah mengalami kerusakan pada

korteks frontalisnya, kemampuan untuk memilih arah tindakan yang paling

menguntungkan jadi hilang, meskipun kemampuan mentalnya masih utuh; emosi

dan perasaannya jadi rusak. Di sekitar matriks ini, yang jelas, muncul sejumlah

perbedaan profil kepribadian ketika diperbandingkan dengan beberapa kasus lain.

Memiliki matriks ini adalah sifat tak terelakkan sindrom-sindrom tersebut, sebuah

esensi bersama simtom-simtomnya, meskipun di batas-batas esensi terdapat

sejumlah variasi simtom. Seperti yang sudah saya tunjukkan di dalam

pembahasan perbedaan-perbedaan eksternal Gage dan Elliot, masih terlalu dini

untuk menentukan satu penyebab mutlak bagi perbedaan-perbedaan tersebut. Di

titik ini saya hanya ingin menekankan garis besar esensi kondisi ini.

Sumber Kedua

Sumber historis kedua berasal dari tahun 1940.4 Donald Hebb dan Wilder

Penfield, di Universitas McGill Kanada, mendeskripsikan pasien yang mengalami

kecelakaan serius di usia 16 tahun, dan mereka menyoroti salah satu poin penting.

Phineas Gage, Elliot, pasien A dan para penerus modern mereka adalah orang

dewasa yang sudah mencapai kematangan kepribadian sebelum menderita

kerusakan lobus frontalis dan menunjukkan tanda-tanda bagi perilaku abnormal.

Bagaimana jika kerusakan terjadi di usia perkembangan, seperti di masa kanak-

kanak atau remaja? Kita mungkin memprediksi bahwa anak-anak atau remaja

yang mengalami kerusakan otak tidak akan pernah mengembangkan sebuah


kepribadian yang normal, bahwa pemahaman sosial mereka tidak akan bertumbuh

dewasa, dan inilah persisnya yang ditemukan di kasus-kasus tersebut. Pasien

Hebb-Penfield mengalami retakan besar di tulang tengkorak bagian depan yang

menekan dan merusak korteks frontalis kanan dan kiri. Awalnya dia tumbuh

sebagai anak dan remaja normal, namun setelah kecelakaan, bukan hanya

perkembangan sosialnya terganggu, tapi juga perilaku sosialnya mulai

menyimpang.

Sumber Ketiga

Tapi mungkin kasus yang lebih dramatis adalah yang ditemukan S.S.

Ackerly dan A.L. Benton di tahun 1948.5 Pasien mereka sudah mengalami

kerusakan lobus frontalis saat lahir dan menjalani usia perkembangan kanak-

kanak dan remaja tanpa banyak sistem otak yang saya yakin dibutuhkan bagi

pertumbuhan kepribadian manusia yang normal. Karena itulah, perilakunya selalu

abnormal. Meskipun dia bukan anak bodoh, dan meskipun instrumen-instrumen

dasar pikirannya masih nampak utuh, namun dia tidak pernah mencapai perilaku

sosial yang normal. Ketika sebuah eksplorasi pembedahan saraf dilakukan di usia

19 tahun, terlihat kalau lobus frontalis kirinya tumbuh lebih kecil dari ruang

tengkorak yang tersedia, sedangkan seluruh lobus frontalis kanan sama sekali

tidak ada sebagai konsekuensi dari degenerasi selnya. Kerusakan berat di waktu

kelahiran sudah merusak sebagian besar korteks frontalisnya.

Pasien ini tidak pernah sanggup mendapatkan pekerjaan. Setelah

beberapa hari patuh menjalankan tugas, dia kehilangan minat dalam aktivitas

tersebut, bahkan berakhir dalam pencurian atau tindakan menyimpang. Setiap


peralihan rutinitas mudah membuatnya frustrasi dan menyebabkan ledakan

kemarahan, meskipun secara umum dia cenderung patuh dan sopan. (Dia

digambarkan memiliki perilaku yang dikenal sebagai ‘kesopanan seorang

bangsawan Inggris’.) Hasrat seksualnya suram, dan dia tidak pernah memiliki

keterlibatan emosi dengan pasangan manapun. Perilakunya suka meniru-niru,

tidak imajinatif, kurang inisiatif, dan tidak mengembangkan kemampuan atau

hobi profesional apapun. Penghargaan atau hukuman tidak terlihat mempengaruhi

perilakunya. Ingatannya berubah-ubah, tidak sanggup menahan informasi yang

sudah dipelajari, dan tiba-tiba bisa beralih kepada topik lain yang tidak begitu

penting seperti pengetahuan mendetail cara merakit mobil. Pasien ini tidak merasa

bahagia atau sedih, dan kesenangan serta rasa sakit tampaknya singkat saja

periodenya.

Pasien Hebb-Penfield dan pasien Ackerly-Benton memiliki beberapa ciri

kepribadian yang sama, yaitu:

 ketat dan gigih dalam pendekatannya terhadap kehidupan, namun tidak

sanggup mengorganisasikan aktivitas masa depan dan tidak sanggup

mempertahankan pekerjaan dengan sukses;

 kekurangan orisinalitas dan kreativitas;

 cenderung membual dan puas dengan pandangannya sendiri;

 menunjukkan perilaku yang umumnya tepat tapi meniru-niru;

 kurang begitu mampu mengalami rasa senang dan bereaksi terhadap rasa

sakit seperti normalnya manusia;

 memiliki hasrat seksual dan keingin-tahuan yang sangat minim; dan


 menunjukkan kurangnya penguasaan terhadap kemampuan motorik,

sensoris atau komunikasi, dan kecerdasan yang diharapkan oleh latar

belakang sosial budaya mereka.

Penerus-penerus modern ini terus membuka diri mereka, dan pada individu-

individu yang sudah saya amati sendiri, konsekuensinya sama. Pasien-pasien ini

mirip pasien Ackerly-Benton dalam sejarah medis dan perilaku sosialnya. Salah

satu cara melukiskan perilaku menyimpang mereka adalah “mereka tidak pernah

membangun sebuah teori yang tepat mengenai kepribadian mereka sendiri, atau

tentang peran sosial kepribadian mereka di dalam perspektif masa lalu dan masa

depan.” Karena pemahaman kepribadian tidak bisa dikembangkan bagi diri

mereka sendiri, maka merekapun tidak bisa mengembangkan pemahaman tentang

kepribadian orang lain. Mereka tidak memiliki teori tentang jiwa mereka sendiri,

atau tentang jiwa orang lain yang berinteraksi dengan mereka.6

Sumber Keempat

Sumber keempat bukti historis berasal dari wilayah yang tidak terduga:

literatur tentang leukotomi prafrontalis. Prosedur pembedahan ini dikembangkan

oleh seorang pakar neurologi berkebangsaan Portugis, Egas Moniz di tahun 1936,

dimaksudkan untuk merawat kecemasan dan agitasi yang menyertai kondisi-

kondisi psikiatris seperti penyakit obsesif-kompulsif dan skizofrenia.7

Sesuai dengan rancangan awal Moniz dan yang kemudian diteruskan

oleh rekannya, Almeida Lima, pembedahan dilakukan untuk merusak wilayah

kecil di bagian dalam materi putih kedua lobus. (Nama prosedur ini juga cukup

gamblang dan sederhana: leukos dalam bahasa Yunani berarti ‘putih’, dan tomos
dalam bahasa Yunani berarti ‘memotong’; ‘prafrontalis’ berarti wilayah yang

menjadi target operasi.)

Seperti yang sudah kita jelaskan di Bab 2, materi putih di bawah kulit

otak disusun dari berkas-berkas akson atau jaringan saraf, yang masing-masing

adalah perpanjangan sebuah neuron. Akson adalah alat agar neuron berhubungan

dengan neuron lain. Berkas-berkas akson memenuhi substansi otak di dalam

materi putihnya, mengaitkan wilayah-wilayah yang berbeda dari kulit otak.

Beberapa koneksi ini bersifat lokal, di antara wilayah-wilayah korteks yang cuma

beberapa milimeter jauhnya, sedangkan koneksi lain menghubungkan wilayah-

wilayah yang lebih jauh, contohnya wilayah-wilayah korteks di satu hemisfer otak

dengan wilayah-wilayah korteks di hemisfer lain. Ada juga koneksi-koneksi yang

satu arah atau dua arah antara wilayah-wilayah korteks dan nuklei subkorteks,

sekumpulan neuron di bawah kulit otak. Seberkas akson yang bergerak dari satu

sumber yang dikenal menuju target tertentu disebut ‘proyeksi’, karena akson-

akson yang terproyeksi bergerak menuju sekumpulan tertentu neuron-neuron.

Urut-urutan proyeksi yang melintasi beberapa stasiun target dikenal sebagai ‘jalan

setapak’ (pathway).

Gagasan yang baru pada Moniz adalah dalam diri pasien-pasien dengan

kecemasan dan agitasi patologis, proyeksi-proyeksi dan jalan-jalan setapak materi

putih di otak depan membentuk sirkuit-sirkuit abnormal yang repetitif dan

overaktif. Tidak ada bukti bagi hipotesis ini, meskipun studi-studi terbaru

mengenai aktivitas wilayah orbitalis pada pasien obsesif dan depresif

menunjukkan bahwa Moniz mungkin benar, minimal sebagian, meskipun


detailnya belum tepat. Namun apabila gagasan Moniz ini terkesan berani dan

seolah berjalan melampaui bukti jaman itu, semata-mata dia didorong oleh pola

penanganan yang diusulkannya dengan malu-malu itu. Dari penalaran terhadap

kasus pasien A, dan dari hasil-hasil eksperimen hewan yang akan dibahas di

bawah, Moniz memprediksi bahwa pembedahan yang merusak koneksi-koneksi

itu akan menghilangkan kecemasan dan agitasi tanpa mengganggu kemampuan

intelektual pasien. Dia yakin operasi seperti itu akan menyembuhkan penderitaan

pasien dan mengijinkan mereka mengarah pada kehidupan mental yang normal.

Dimotivasikan oleh apa yang dilihatnya sebagai kondisi batas begitu banyak

pasien yang tak tertangani dengan baik, Moniz memutuskan untuk

mengembangkan dan menguji-coba operasi ini.

Hasil-hasil dari leukotomi prafrontalis awal memberikan sejumlah

dukungan bagi prediksi Moniz. Kecemasan dan agitasi pasien menghilang, dan

fungsi-fungsi seperti bahasa dan ingatan konvensional masih tetap utuh. Namun

keliru besar bila mengasumsikan operasi ini tidak merusak kemampuan lain

pasien. Perilaku mereka, yang dulu tidak pernah normal, sekarang menjadi

abnormal dengan cara berbeda. Kecemasan ekstrim membuka jalan menuju

ketenangan ekstrim. Emosi mereka nampak datar sekali. Mereka tidak nampak

menderita. Kecerdasan yang digerakkan emosi yang biasanya menghasilkan

kompulsi tiada henti atau delusi yang sangat kaya langsung bungkam. Dorongan

pasien untuk merespon dan bertindak, betapapun kelirunya, jadi tertutup rapat.

Bukti dari prosedur-prosedur awal ini masih jauh dari ideal. Bukti

tersebut dikumpulkan jauh di waktu lampau, dengan pengetahuan dan instrumen


neuropsikologis yang terbatas kala itu, dan tidak bebas dari prasangka entah

positif atau negatif sesuai yang diinginkan penelitinya. Kontroversi terhadap

keyakinan akan kesuksesan cara perawatan ini terlalu besar. Bahkan studi-studi

yang ada saat itu menunjukkan fakta-fakta berikut:

 Pertama, kerusakan pada materi putih yang terletak di bawah wilayah

orbitalis dan medialis dari lobus frontalis mengubah emosi dan perasaan,

bahkan secara drastis mereduksi keduanya.

 Kedua, instrumen-instrumen dasar persepsi, memori, bahasa dan gerakan

tidak terpengaruh.

 Ketiga, pembandingan umum antara perilaku baru dan perilaku lama

menunjukkan kurang kreatif dan tajamnya pasien ketimbang sebelum

menjalani leukotomi.

Apapun kelemahan prosedur Moniz dan leukotomi prafrontalis awal, kita

harus mencatat bahwa pasien memang mengambil banyak keuntungan dari

pembedahan ini. Penurunan dalam kemampuan mengambil-putusan mungkin

menjadi beban yang tidak begitu berat untuk ditanggung ketimbang kesulitan

mereka sebelumnya mengontrol kecemasan. Namun karena waktu itu tahun 1930-

an, kebanyakan pembedahan mutilasi otak tidak bisa diterima, sehingga perawatan

tipikal bagi pasien-pasien semacam itu adalah mengirimkan mereka ke RSJ

dan/atau memberikan dosis besar-besaran obat penenang yang hanya bisa

menghilangkan kecemasan ketika akhirnya mereka tertidur.

Alternatif lain bagi leukotomi adalah mengenakan jaket bertali dan terapi

kejut. Baru di akhir 1950-an obat-obatan psikotropika seperti Thorazine mulai


ditemukan, meski harus diingat, efek jangka panjang obat-obatan ini bagi otak,

benarkah tidak begitu destruktif ketimbang operasi pembedahan, masih belum

diketahui sampai sekarang. Penilaian-penilaian ini hanya bisa disimpan saja,

kendati tidak perlu kita menahan-nahan penilaian terhadap versi ekstrim dari

pembedahan Moniz yang jauh lebih destruktif, yang dikenal sebagai lobotomi

frontalis. Operasi yang dilakukan Moniz hanya menyebabkan kerusakan terbatas

pada otak, sedangkan lobotomi frontalis seringkali mencacah-cacah otak sehingga

menyebabkan lesi yang lebih luas. Operasi yang terakhir ini dikutuk seluruh dunia

lantaran metode yang dilakukannya dan mutilasi tidak perlu yang dihasilkannya.8

ßßß

Berdasarkan dokumentasi historis dan bukti-bukti yang diperoleh di

laboratorium, kami lalu mencapai kesimpulan sebagai berikut:

1. Apabila sektor ventromedialis mengalami lesi, maka kerusakan bilateral

pada korteks prafrontalis diasosiasikan secara konsisten dengan gangguan

pada penalaran dan/atau pengambilan-putusan, dan emosi/perasaan.

2. Apabila kerusakan yang menimpa penalaran dan/atau pengambilan-

putusan dan emosi/perasaan berkonflik dengan profil neuropsikologis lain

yang masih utuh, maka kerusakan paling luas terjadi di sektor

ventromedialis; dari situ, wilayah kepribadian dan interaksi sosial menjadi

paling terganggu.

3. Di dalam kasus-kasus kerusakan prafrontalis yang di dalamnya sektor-

sektor dorsalis dan lateralis, minimal yang seluas sektor ventromedialis

atau mungkin lebih dari itu, maka kerusakan pada penalaran dan/atau
pengambilan-putusan, dan emosi/perasaan tidak lagi terpusat kepada

wilayah kepribadian dan interaksi sosial. Kerusakan-kerusakan tersebut,

khususnya kerusakan emosi/perasaan, yang disertai oleh cacat pada atensi

dan memori aktif, dapat dideteksi oleh tes-tes mengenai objek, kata-kata

atau angka.

Yang kita perlu ketahui sekarang adalah apakah pasien yang berperilaku

aneh —yang rusak penalaran/pengambilan-putusan, dan emosi/perasaannya—

semacam ini hanya menunjukkan ciri kerusakan di wilayah otak ini saja, ataukah

bisa juga muncul dari gangguan neuropsikologis lainnya akibat kerusakan di

bagian otak yang lain.

Jawabannya ternyata bisa. Semua ciri yang sama ini juga bisa muncul

akibat kerusakan di wilayah otak yang lain. Salah satunya adalah sektor hemisfer

kanan (namun kirinya tidak) yang mencakup sejumlah korteks yang memproses

sinyal-sinyal dari tubuh. Kerusakan yang lain adalah yang terjadi di dalam sistem

limbik seperti amigdala.

Bukti tentang Kerusakan Di Luar Korteks Prafrontalis

Ada kondisi neurologis penting lain yang memiliki ciri ‘matriks Phineas

Gage’, bahkan kendati pasien yang terserang sekilas tidak mirip simtom Gage

sama sekali. Anosognosia, saat kondisi ini mulai dikenal, adalah satu dari

presentasi neuropsikologis paling eksentrik yang pernah ditemui. Berasal dari

istilah nosos yang dalam bahasa Yunani berarti ‘penyakit’, dan gnosis yang dalam

bahasa Yunani berarti ‘pengetahuan’, anosognosia berarti ketidak-mampuan


seseorang untuk merasakan penyakit dalam dirinya. Bayangkan korban stroke

yang lumpuh di bagian kiri tubuhnya, tidak sanggup menggerakkan tangan dan

lengan, kaki dan tungkai, separuh wajahnya tidak bisa digerakkan, tidak sanggup

berdiri atau berjalan. Dan sekarang bayangkan seseorang mengalami kondisi yang

sama persis merasa tidak ada yang salah dengan dirinya, dan ketika ditanya “Apa

yang kamu rasakan dengan kondisi ini?”, dia menjawab dengan tulus, “Baik-baik

saja.” (Istilah anosognosia juga digunakan untuk menunjukkan ketak-sadaran

seseorang terhadap kebutaan atau afasia yang dialaminya. Di uraian selanjutnya,

saya hanya akan mengacu kepada bentuk prototipisnya saja berdasarkan uraian

Babinski yang menemukan kondisi tersebut pertama kali.9)

Siapapun yang tidak mengenal anosognosia akan berpikir bahwa

‘penyangkalan’ terhadap penyakitnya dimotivasi sepenuhnya oleh kondisi

‘psikologis’, yaitu sebuah reaksi adaptif bagi kemalangan yang menimpa

sebelumnya. Saya bisa menegaskan dengan yakin kalau bukan ini yang terjadi.

Pertimbangkan tragedi bayangan-cermin (mirror image tragedy) berikut ini, yaitu

ketika sisi kanan tubuh lebih lumpuh ketimbang sisi kirinya: pasien yang paling

parah kerusakannya justru tidak mengalami anosognosia, dan meskipun mereka

seringkali tidak mampu menggunakan bahasa dan mungkin menderita akibat

aphasia, malah lebih sadar sepenuhnya terhadap kondisi mereka. Begitu pula

pasien yang memiliki kelumpuhan yang parah di tubuh sebelah kirinya, namun

disebabkan oleh pola kerusakan otak berbeda dari yang menyebabkan

kelumpuhan dan anosognosia, bisa tetap normal dalam pikiran dan perilakunya,

dan menyadari cacat dalam tubuh mereka. Singkatnya:


 Kelumpuhan sebelah kiri tubuh yang disebabkan oleh pola tertentu

kerusakan otak selalu disertai oleh anosognosia;

 Kelumpuhan sebelah kanan tubuh yang disebabkan oleh pola bayangan-

cermin kerusakan otak tidak disertai oleh anosognosia; dan

 Kelumpuhan sebelah kiri tubuh yang disebabkan oleh pola kerusakan otak

yang bukan disertai anosognosia tidak disertai oleh ketak-sadaran terhadap

kondisi penyakitnya.

Anosognosia, kalau begitu, muncul secara sistematis melalui kerusakan wilayah

tertentu otak —dan hanya di wilayah itu— pada pasien-pasien yang mungkin

dianggap, bagi mereka yang tidak akrab dengan misteri saraf, lebih beruntung

ketimbang pasien yang lumpuh separuh dan mengalami gangguan bahasa.

‘Penyangkalan’ terhadap penyakit seperti ini merupakan hasil dari hilangnya

fungsi kognitif tertentu. Hilangnya fungsi kognitif ini tergantung pada sistem otak

tertentu yang umumnya rusak lantaran stroke atau penyakit saraf lainnya.

Pasien anosognosia perlu dikonfrontasikan dengan cacat mereka yang

menyolok agar sadar mereka memiliki satu masalah yang mengganggu. Kapanpun

saya menanyakan kepada pasien saya, kita sebut saja DJ, tentang kelumpuhan

sebelah kirinya yang menyeluruh, wanita itu akan selalu mulai dengan berkata

bahwa gerakan-gerakan tubuhnya masih normal sepenuhnya, bahwa mungkin

awalnya kelumpuhan itu ada di sana, namun sekarang sudah tidak ada lagi. Ketika

saya kemudian memintanya menggerakkan lengan kiri, dia akan mencarinya lebih

dulu, dan setelah menatap lengan yang terkulai layu itu, bertanya apakah saya

sungguh menginginkan ‘lengan kiri’ itu untuk bergerak ‘sendiri’. Ketika saya
menjawab, “ya, tolong,” dia pun memberikan perhatian secara visual mengenai

tidak maunya lengan itu bergerak, lalu menjawab “nampaknya lengan itu tidak

mau bergerak dengan sendirinya.” Sebagai tanda mau bekerja sama atas

permintaan saya itu, dia lalu menawarkan untuk menggerakkan lengan kiri itu

dengan lengan kanannya yang masih baik kondisinya, “Kalau anda mau, saya bisa

menggerakkannya dengan lengan kanan saya.”

Ketidak-mampuan untuk merasakan cacat ini secara otomatis, cepat dan

dari dalam lewat sistem indera tubuh, tidak pernah hilang dalam kasus-kasus berat

anosognosia, meskipun dalam kasus-kasus yang lebih ringan, ketidak-mampuan

itu bisa ditopengi dengan baik. Contohnya, seorang pasien bisa memiliki

kenangan dan pemahaman visual mengenai tidak bergeraknya lengan dan melalui

penyimpulan menyadari bahwa sebuah masalah telah mengganggu bagian tubuh

tersebut. Atau pasien bisa saja mengingat sejumlah pernyataan yang tak terhitung

jumlahnya dari kerabat dan staf medis mengenai efek ini bahwa memang terdapat

kelumpuhan dan penyakit yang menyerang dirinya, namun dia tidak merasakan

ada yang tidak normal dengan itu semua. Dengan mengandalkan jenis informasi

yang tidak memiliki hubungan apapun seperti itu, salah satu pasien anosognosia

kami yang terpandai terus berkata secara konsisten, “Saya terbiasa memiliki

masalah itu,” atau, “Saya terbiasa mengabaikannya.” Tentunya, dia masih terus

demikian. Kurangnya pembaharuan pengertian terhadap kondisi nyata dan terkini

tubuh dan kepribadian mereka sangat mengejutkan. (Sayang, pemilahan halus

antara kesadaran langsung dan tidak langsung terhadap kondisi mereka seringkali

hilang atau tertutupi di seluruh pembicaraan kami tentang anosognosia mereka,


meski beberapa pengecualian yang sangat jarang bisa kita temukan dari tulisan A.

Marcel.10)

Yang tidak kurang dramatisnya dari pelupaan yang dimiliki pasien-

pasien anosognosia terkait lengan dan kaki mereka yang sakit adalah kuranngya

pengertian yang mereka tunjukkan terhadap seluruh situasi diri mereka,

kurangnya emosi yang mereka perlihatkan, kurangnya perasaan yang mereka

laporkan ketika ditanyai tentang kondisi-kondisi tersebut. Pemberitahuan bahwa

sudah terjadi serangan stroke besar, bahwa resiko bagi gangguan otak atau jantung

dibayangkan besar sekali kemungkinannya, atau pemberitahuan bahwa mereka

menderita serangan kanker ganas yang sekarang sudah menyebar ke otak —

singkat kata, pemberitahuan bahwa hidup mereka tidak akan pernah sama lagi—

biasanya diterima tanpa ekspresi, bahkan terkadang dengan humor yang

mengelak, dan tidak pernah merasa gusar atau sedih, menangis atau marah, putus

asa atau panik. Berbeda kalau anda memberikan sebuah berita buruk kepada

pasien dengan kerusakan bayangan-cermin di hemisfer kiri, reaksinya akan sama

seperti individu normal. Emosi dan perasaan tidak pernah bisa ditemukan di

dalam pasien-pasien anosognosia, dan mungkin inilah satu-satunya respon yang

menguntungkan terhadap kondisi tragis mereka. Pun tidak mengejutkan kalau

semua perencanaan masa depan pasien, dengan semua pengambilan-putusan bagi

kondisi kepribadian dan interaksi sosial mereka, ikut menjadi rusak juga. Bagi

mereka, gangguan akibat kelumpuhan itu mungkin dirasakan kecil saja.

Di sebuah penelitian yang sistematis terhadap pasien-pasien anosognosia,

neuropsikolog Steven Anderson sudah mengkonfirmasikan jangkauan luas cacat


ini dan menunjukkan kalau pasien sangat mengabaikan situasi dan konsekuensi

dari kelumpuhan mereka.11 Kebanyakan dari mereka tidak sanggup melihat

kemungkinan dari konsekuensi langsungnya; sekalipun berusaha

memprediksinya, mereka nampak tidak sanggup menderita seperti yang

seharusnya. Tentunya mereka tidak bisa mengkonstruksikan sebuah teori yang

adekuat bagi apa yang terjadi pada mereka, apa yang bisa terjadi di masa depan,

dan apa yang dipikirkan orang lain tentang kondisi mereka. Yang sama

pentingnya, mereka sama sekali tidak sadar bahwa teorisasi mereka tentang

kondisi dirinya tidak tepat sama sekali. Ketika gambar-diri begitu rusak, tidak

mungkin kita bisa menyadari betapa pikiran dan tindakan kita sudah tidak normal

lagi.

ßßß

Pasien-pasien dengan tipe anosognosia yang digambarkan di atas sudah

mengalami kerusakan di hemisfer sebelah kanannya. Meskipun penggambaran

utuh bagi ciri-ciri korelasi neuroanatomi dan anosognosia merupakan proyek yang

masih terus dikembangkan, namun hal-hal berikut banyak kita jumpai:

 Terjadi kerusakan pada kelompok tertentu kulit otak sebelah kanan yang

dikenal sebagai wilayah somatosensoris (diambil dari bahasa Yunani soma

yang artinya tubuh, sistem somatosensoris dimaksudkan sebagai sistem

yang bertanggung jawab mengatur indera-indera eksternal seperti

sentuhan, merasakan temperatur dan rasa sakit dari luar, dan indera-indera

internal seperti posisi persendian, kondisi organ-organ dalam (viscera) dan

rasa sakit di dalam tubuh), yang mencakup pula korteks-korteks di wilayah


insularis;

 Terjadi kerusakan pada wilayah 3,1,2 (di dalam lobus parietalis), dan

wilayah S2 (di kedalaman celah sylvian) —perhatikan bahwa ketika saya

menggunakan istilah somatik atau somatosensoris, maka yang saya

pikirkan adalah soma, atau tubuh, dalam pengertian paling umum sehingga

saya juga mengacu kepada semua jenis sensasi/penginderaan tubuh

termasuk sensasi dari organ-organ dalam;

 Terjadi kerusakan pada materi putih hemisfer kanan, yang mengganggu

inter-koneksi di antara wilayah-wilayah yang sudah disebutkan di atas,

yang menerima sinyal-sinyal dari seluruh tubuh (otot, persendian, organ

internal), dan inter-koneksi mereka dengan talamus, ganglia basalis,

korteks motorik dan korteks prafrontalis.

 Namun kerusakan parsial di sistem multi-komponen yang diuraikan di sini

tidak menyebabkan tipe anosognosia yang kita diskusikan sekarang.

Gambar hlm. 65 è untuk keterangan:

Atas: korteks somatosensoris utama; Bawah: korteks somatosensoris


yang lain
Gambar 4-2. Diagram otak manusia yang menunjukkan hemisfer kanan dan kiri

dilihat dari luar. Daerah yang berwarna gelap adalah tempat korteks

somatosensoris utama berada. Daerah somatosensoris lain, yaitu wilayah

sensoris (S2) dan insularis, tertanam di dalam celahan sylvian yang berada tepat

di atas dan depan dari bagian bawah korteks somatosensoris utama. Mereka

tidak bisa terlihat dengan mata telanjang dari permukaan korteks. Anak panah

menunjukkan lokasi mereka di bagian dalam otak.


Sudah lama saya mengasumsikan bahwa wilayah-wilayah bersilangan

otak di seluruh hemisfer yang rusak pada kasus anosognosia akan menghasilkan,

melalui interaksi-interaksi kooperatif mereka, peta paling komprehensif dan

integratif tentang kondisi tubuh yang bisa diketahui otak.

Pembaca mungkin heran kenapa peta ini lebih condong kepada hemisfer

kanan ketimbang kedua sisi secara bilateral, padahal tubuh memiliki dua belahan

yang hampir simetris. Jawabannya, sama seperti spesies lainnya, fungsi hemisfer

otak manusia nampaknya bersifat asimetris juga, mungkin alasannya karena perlu

satu saja pengontrol ketimbang dua pengontrol yang bertanggung jawab untuk

memilih suatu tindakan atau suatu pemikiran. Apabila kedua sisi memiliki hak

setara menentukan gerakan tubuh, anda mungkin akan berakhir dengan konflik

otak terus-menerus —tangan kanan ikut campur tangan di dalam pekerjaan tangan

kiri, dan anda akan memiliki sedikit saja kemungkinan untuk memproduksi pola-

pola terkoordinasi gerakan yang melibatkan lebih dari satu kaki. Lantaran

fungsinya yang sangat beragam, struktur di salah satu hemisfer selalu berkembang

lebih pesat, yang kemudian disebut struktur dominan.

Contoh terkenal struktur dominan berkaitan dengan bahasa. Di lebih dari

95% manusia, termasuk sebagian besar yang bertangan kidal, bahasa bergantung

sepenuhnya kepada struktur hemisfer kiri. Contoh struktur dominan lain, kali ini

berada di hemisfer kanan, adalah pengintegrasian penginderaan tubuh, yang

melaluinya perepresentasian kondisi-kondisi organ-organ dalam di satu sisi, dan

perepresentasian kondisi-kondisi tungkai, lengan, badan dan komponen

muskoskeletal kepala di sisi lain, berjalan bersama dalam satu peta dinamis yang
terkoordinasi. Perhatikan bahwa ini bukan satu peta tunggal dan berdampingan,

melainkan interaksi dan koordinasi sinyal di peta-peta terpisah. Di dalam susunan

ini, sinyal-sinyal yang berkaitan dengan sisi tubuh kiri dan kanan menemukan

basis titik-temu komprehensif mereka di dalam hemisfer kanan di tiga sektor

korteks somatosensoris yang sudah dijelaskan sebelumnya. Yang menarik,

perepresentasian ruang di luar wilayah pribadi, selain proses-proses emosinya,

melibatkan juga struktur dominan hemisfer kanan.12 Bukan berarti saya

menyatakan bahwa struktur-struktur yang ekuivalen di dalam hemisfer kiri tidak

merepresentasikan tubuh atau ruang, hanya saja bentuknya yang berbeda:

representasi hemisfer kiri lebih bersifat parsial dan tidak terintegrasi.

Pasien-pasien penderita anosognosia memiliki kemiripan dengan pasien-

pasien penderita kerusakan korteks prafrontalis dalam beberapa hal. Contohnya,

mereka sama-sama tidak sanggup membuat keputusan tepat dalam urusan pribadi

atau sosial; sama-sama tidak merasakan ketidak-beresan dalam status

kesehatannya, dan sama-sama memiliki daya tahan tinggi terhadap rasa sakit.

Beberapa pembaca mungkin terkejut dengan fakta ini dan bertanya

kenapa tidak pernah mendengar data tentang cacatnya penderita anosognosia

dalam membuat keputusan. Kenapa data dan riset tentang gangguan terhadap

proses berpikir dan menalar lebih difokuskan kepada pasien penderita kerusakan

korteks prafrontalis? Alasannya sederhana, karena pasien dengan kerusakan

korteks prafrontalis secara neurologis normal-normal saja (gerakan tubuh, sensasi

dan kemampuan berbahasanya masih utuh; gangguan yang menyolok hanya

terdapat pada perasaan dan cara menalar mereka) sehingga bisa melakukan
interaksi sosial meskipun lama-lama diketahui juga kemampuan interaksi tersebut

mengalami gangguan. Sebaliknya, para pasien anosognosia langsung bisa dilihat

sedang sakit, karena gangguan fungsi motorik dan sensoris mereka, yang

kemudian membatasi jangkauan interaksi sosial yang dilakukannya. Dengan kata

lain, peluang mereka menempatkan diri dengan cara-cara yang membahayakan

secara sosial menurun drastis, dan kemampuan menalarnya terabaikan untuk

diteliti.

Meskipun demikian, cacat dalam mengambil keputusan ini masih tetap

ada, siap memanifestasikan diri setiap ada kesempatan, siap merusak semua

rencana pemulihan yang dirancang khusus bagi mereka oleh keluarga dan staf

medisnya. Karena tidak sanggup menyadari betapa besarnya kerusakan kesehatan

yang mereka miliki, pasien-pasien ini hanya menunjukkan sedikit saja kerelaan

bekerja sama dengan terapis, tidak ada motivasi yang bisa menjadikan mereka

lebih baik. Kalau begitu, kenapa kesannya mereka merasa tidak ada hal buruk

yang terjadi pada mereka? Tampilan riang atau tenang ini sebenarnya menipu,

karena tampilan tersebut bukan dikehendaki secara bebas dan tidak didasarkan

kepada pengetahuan akurat tentang kondisi dirinya. Namun tampilan ini lalu

sering disalah-tafsirkan sebagai sikap adaptif, sehingga para perawatnya —

keluarga dan staf medis— keliru menilai baik-baik saja lantaran keceriaan dan

ketabahan pasien, berbeda jauh dari pasien sebelah yang selalu menangis, gusar

dan putus asa.

Contoh menyolok kasus ini adalah Hakim Agung William O. Douglas

yang di tahun 1975 mendapat serangan stroke di bagian hemisfer kanan.13 Namun
karena kemampuan berbicaranya tidak terpengaruh, dia pun boleh kembali pada

pekerjaannya, dan semua orang berharap anggota Mahkamah Agung yang brilian

dan tajam ini tidak hilang terlalu dini. Namun peristiwa menyedihkan yang

mengikuti kemudian menjadikan kisah ini berbeda, menunjukan bagaimana

konsekuensinya bisa menjadi sangat problematis ketika pasien dengan gangguan

seperti ini diijinkan memiliki interaksi sosial yang luas.

Tanda-tanda anosognosia dimulai ketika Douglas sendiri memutuskan

untuk keluar begitu saja dari rumah sakit, melanggar semua aturan medis (bahkan

dilakukannya lebih dari sekali seperti datang memimpin pengadilan, berjalan-jalan

di pertokoan dan bersenang-senang menyantap makan malam di restoran). Bahkan

dia mengetawai staf medis yang merumah-sakitkan dirinya lantaran ‘jatuh’

kelelahan, dan menganggap keterangan mereka tentang kelumpuhan tubuh

sebelah kirinya sebagai mitos, semuanya dibalut dalam caranya berbicara yang

memang kuat dan penuh humor. Ketika dia dipaksa untuk menyadari dan

mengakui, di sebuah konferensi pers terbuka, bahwa dia tidak bisa lagi berjalan

normal atau perlu bantuan orang lain untuk bisa berdiri dari kursi, Douglas hanya

menepis pertanyaan itu dengan berkata, “Berjalan tidak memiliki kaitan apapun

dengan bekerja di Mahkamah Agung.” Di bulan berikutnya, dia pun mengundang

para wartawan untuk berjalan-jalan di alam terbuka bersamanya. Kemudian,

setelah upaya pembaharuan kesehatannya di pusat rehabilitasi terbukti sia-sia,

Douglas menjawab kepada para pengunjung yang menanyakan kondisi kaki

kirinya, “Saya sudah menendang beberapa gol sejauh 40 yard di ruang berlatih,”

dan menyatakan keinginannya untuk bergabung bersama Washington Redskins.


Ketika para pengunjung yang terpaku menjawab dengan sopan bahwa usianya

yang sudah lanjut akan membuat tim itu kerepotan, sang hakim cuma tertawa dan

berkata, “Ya, tapi kamu akan melihat bagaimana nanti saya akan memelintir

mereka tanpa ampun.” Namun adegan terburuk mulai datang, ketika Douglas

berulang kali gagal untuk hadir di dalam perjamuan-perjamuan sosial para hakim

dan staf-staf pengadilan. Meskipun tidak sanggup mengemban lagi tugasnya

sebagai hakim, namun dia menolak untuk mundur, dan bahkan setelah dipaksa

menanda-tangani surat pengunduran dirinya, dia masih sering bersikap seolah

dirinya masih hakim agung.

Tipe anosognosia yang saya gambarkan di sini, kalau begitu, memiliki

efek yang lebih jauh ketimbang hanya kelumpuhan sebelah kiri tubuh yang tidak

disadari atau dirasakan pasiennya. Mereka juga mengalami cacat dalam caranya

berpikir, menalar dan mengambil putusan, dan sebuah cacat dalam emosi dan

perasaan.

Gambar hlm. 69 è untuk keterangan:

Atas: singulat anterioris; Bawah: amigdala


Gambar 4-3. Pemandangan dari dalam permukaan kedua hemisfer. Wilayah yang

berwarna gelap menutupi korteks singulat anterioris. Titik hitam kecil menandai

proyeksi amigdala di permukaan bagian dalam lobus temporalis.

Sekarang kita akan membahas bukti dari kerusakan di bagian amigdala,

salah satu komponen terpenting sistem limbik. Pasien-pasien dengan kerusakan

secara bilateral sehingga mengganggu amigdala jarang terjadi. Kolega-kolega

saya, Daniel Tranel, Hanna Damasio, Frederick Nahm dan Bradley Hyman sudah
beruntung dapat mempelajari seorang pasien dengan gangguan tersebut, seorang

wanita dengan pola ketidak-tepatan pribadi dan sosial seumur hidup.14 Tidak ada

keraguan bahwa jangkauan dan ketepatan emosinya rusak, dan bahwa dia

memiliki sedikit saja pemahaman tentang situasi problematik yang menyeret dia

ke dalamnya. ‘Kebodohan’ perilakunya tidak seperti yang ditemukan dalam diri

Phineas Gage atau pasien-pasien anosognosia, dan seperti dalam diri mereka juga,

tidak bisa menyalahkan rendahnya pendidikan atau kecerdasan (wanita yang

diteliti hanya lulusan SMU dan IQ-nya normal saja). Selain itu, di dalam

serangkaian eksperimen yang tidak begitu rumit, Ralph Adolphs menemukan

bahwa apresiasi pasien ini terhadap aspek-aspek halus emosi benar-benar tidak

normal. Meskipun temuan-temuan ini harus direplikasi di dalam kasus-kasus

sejenis sebelum memastikan kesimpulannya, saya harus menambahkan bahwa

lesi-lesi yang ekuivalen pada kera menyebabkan cacat yang sama dalam

pemrosesan emosinya, seperti yang ditemukan pertama kali oleh Larry

Weiskrantz dan didukung oleh Aggleton dan Passingham.15 Lebih jauh lagi,

setelah meneliti tikus-tikus, Joseph LeDoux dapat menepis keraguan bahwa

amigdala memang berperan penting di dalam emosi (pembahasan lebih detail

temuan ini ditulis di bab 7).

Refleksi tentang Anatomi dan Fungsi

Survei terdahulu mengenai kondisi-kondisi neurologis individu yang

mengalami kerusakan pada penalaran/pengambilan-putusan, dan emosi/perasaan

menyingkapkan hal-hal berikut ini:


 Pertama, terdapat sebuah wilayah di otak manusia, yaitu korteks prafrontal

ventromedialis, yang bila terjadi kerusakan, akan mengganggu

kemampuan menalar/mengambil-keputusan dan emosi/perasaan dalam arti

sesungguhnya, khususnya di wilayah kepribadian dan interaksi sosial. Kita

bisa mengatakan, secara metaforis, bahwa akal dan emosi ‘berpotongan’ di

korteks prafrontal ventromedialis dan amigdala.

 Kedua, terdapat wilayah di otak manusia, yaitu korteks somatosensoris di

hemisfer kanan, yang kerusakannya juga dapat mengganggu kemampuan

menalar/mengambil-keputusan dan emosi/perasaan, dan sebagai tambahan,

mengganggu proses-proses sinyal tubuh yang mendasar.

 Ketiga, terdapat wilayah di korteks prafrontalis di luar sektor

ventromedialis yang kerusakannya juga dapat mengganggu kemampuan

menalar dan mengambil-keputusan, namun dengan pola yang berbeda

sama sekali: Entah cacat ini jauh lebih menjalar, merusak operasi-operasi

di seluruh wilayah berpikir, atau cacatnya lebih selektif seperti merusak

operasi-operasi kata, angka, objek atau ruang lebih besar ketimbang

operasi-operasi di wilayah kepribadian dan interaksi sosial. Peta kasar

perpotongan kritis ini bisa dilihat di Gambar 4-4.

Gambar hlm. 74 è dari atas jam 12 ke kanan searah jarum jam:

FRONTALIS — ventromedialis — dorsolateralis — somatosensoris —


KANAN — amigdala — OKSIPITALIS — amigdala — KIRI — dorsolateralis
Gambar 4-4. Sebuah diagram yang menggambarkan perangkat wilayah yang

kerusakannya mengganggu aspek penalaran maupun pemrosesan emosi.


Singkatnya, terdapat sekumpulan sistem di otak manusia yang terus-

menerus didedikasikan kepada proses berpikir berorientasi-tujuan yang kita sebut

penalaran, dan kepada pemilihan respon yang kita sebut pengambilan-keputusan,

dengan penekanan khusus terhadap wilayah pribadi dan sosial. Kumpulan sistem

yang sama ini juga terlibat di dalam emosi dan perasaaan, dan didedikasikan

sebagian kepada pemrosesan sinyal-sinyal tubuh.

Sumber Purba

Sebelum meninggalkan topik lesi pada otak manusia, saya akan

mengusulkan satu wilayah khusus lain di otak manusia tempat sistem-sistem

emosi/perasaan, atensi dan memori aktif berinteraksi sangat intim untuk

mengkonstitusikan sumber energi bagi tindakan eksternal (gerakan) maupun

tindakan internal (animasi pikiran, penalaran). Wilayah sumber purba ini adalah

korteks singulat anterioris, potongan lain dari teka-teki sistem limbik.

Gambar hlm. 72
Gambar 4-5. Diagram otak manusia yang merepresentasikan hemisfer otak

sebelah kiri dilihat dari luar (panel kiri) dan dari dalam (panel kanan) dengan

lokasi dari tiga wilayah korteks motorik utama: M1, M2 dan M3. M1 mencakup

apa yang disebut ‘garis motorik’ yang selalu nampak jelas di setiap gambar otak

dari luar. Gambar kepala manusia yang berisi otak manusia terkait semua fungsi

tubuh (‘homunkulus Penfield’) seringkali digambarkan di atas wilayah ini.

Wilayah M2 yang kurang begitu terkenal adalah pelengkap wilayah motorik,


bagian internal dari yang disebut area 6. Sedangkan wilayah yang paling tidak

dikenal adalah M3, terpendam di kedalaman sulkus singulat.

Ide saya tentang wilayah ini berasal dari pengamatan terhadap

sekelompok pasien dengan kerusakan di wilayah itu dan sekitarnya. Kondisi

mereka paling baik digambarkan sebagai animasi yang tertunda, secara mental

maupun eksternal —ragam ekstrim cacat penalaran dan ekspresi emosi. Wilayah-

wilayah kunci yang terpengaruh oleh kerusakan mencakup korteks singulat

anterioris (saya menyebutnya ‘singulat’ saja), wilayah motorik pelengkap (yang

kemudian dikenal sebagai SMA, supplementary motor area, atau M2), dan

wilayah motorik ketiga (dikenal sebagai M3).16 Di sejumlah kasus, wilayah di

sekitar lobus prafrontalis ikut terlibat juga, selain korteks motorik di permukaan

bagian dalam hemisfer. Secara keseluruhan, wilayah-wilayah yang terkandung di

dalam sektor lobus frontalis ini sudah diasoasikan dengan gerakan, emosi dan

atensi. (Keterlibatan mereka di dalam fungsi motorik sudah pasti; untuk bukti

tentang keterlibatan mereka di dalam emosi dan atensi, lihat Damasio dan Van

Hoesen, 1983, dan Petersen & Posner, 1990.17) Kerusakan di sektor ini bukan

hanya menghasilkan cacat dalam gerakan, emosi dan atensi, tapi juga

menyebabkan penangguhan virtual animasi tindakan dan proses berpikir, atau bisa

diilustrasikan sebagai “akal tidak bisa jalan lagi”. Kisah tentang salah satu pasien

saya yang mengalami kerusakan di wilayah-wilayah ini memperjelas ide saya

tentang cacat ini.

Stroke yang diderita salah satu pasien saya, sebut saja Ny. T,

menghasilkan kerusakan luas di wilayah dorsalis dan medialis dari lobus frontalis
di kedua hemisfer. Dia tiba-tiba menjadi tidak bisa lagi bergerak dan berbicara,

hanya bisa berbaring di ranjang dengan mata terbuka namun dengan ekspresi

wajah kosong; saya sering menggunakan istilah ‘netral’ untuk menggambarkan

ketenangan —atau ketidak-hadiran— ekspresi tersebut.

Tubuhnya tidak lagi bisa digerakkan kecuali wajahnya. Dia mungkin bisa

membuat gerakan normal dengan tangan dan lengannya, menarik selimut untuk

menutupi tubuh, contohnya, namun secara umum, semua anggota tubuhnya masih

bisa merespon. Ketika ditanya bagaimana kondisinya, biasanya dia akan tetap

diam, meskipun setelah banyak bujukan barulah dia akan menyebutkan namanya,

atau nama suami dan anak-anaknya, atau nama kota tempatnya tinggal. Namun

dia tidak akan memberitahu anda riwayat medisnya, di masa lalu maupun di masa

kini, dan dia tidak bisa menggambarkan kejadian-kejadian yang menyebabkan dia

dirawat di rumah sakit. Tidak ada cara untuk mengetahui, kalau begitu, apakah dia

tidak memiliki ingatan tentang kejadian-kejadian itu, atau apakah dia memiliki

rekoleksi namun tidak mau atau tidak sanggup membicarakannya. Dia tidak

pernah menjadi kecewa dengan desakan pertanyaan saya, tidak pernah

menunjukkan kekuatiran apapun tentang dirinya atau hal apapun yang lain.

Beberapa bulan kemudian, ketika secara bertahap di mulai bangun dari kondisi

diam dan akinesianya (tidak bergerak), dan mulai mau menjawab pertanyaan-

pertanyaan, barulah dia bisa mengklarifikasi misteri kondisi pikirannya.

Terbalik dari apa yang mungkin dipikirkan orang, pikirannya tidak

pernah terkurung di dalam penjara ketidak-mampuannya bergerak. Di balik

tampilannya yang tidak memiliki pikiran, ternyata memang tidak ada pemikiran
atau penalaran yang nyata. Kepasifan wajah dan tubuhnya adalah cerminan tepat

ketidak-mampuannya menggerakkan mentalnya. Di hari-hari kemudian, dia

sangat yakin tidak merasakan kegusaran akibat hilangnya kemampuan

komunikasi. Tidak ada yang memaksanya untuk tidak membicarakan pikiran-

pikirannya. Sebaliknya, dia hanya menjawab, “Saya tidak punya apapun untuk

dikatakan.”

Di mata saya, Ny. T seperti tidak punya emosi. Menurut pengakuannya

sendiri tentang apa yang sudah dialami, dia memang tidak pernah merasa

memiliki perasaan apapun. Di mata saya, dia tidak memiliki perhatian khusus

apapun kepada stimuli eksternal yang disajikan kepadanya, tidak juga dia

memberikan perhatian secara internal kepada perepresentasian imaji atau kepada

perepresentasian pemahaman yang terkait. Saya bisa mengatakan kalau

kehendaknya seperti mengempis, dan nampaknya itulah yang menjadi refleksinya.

(Francis Crick juga mendukung pendapat saya bahwa kehendak telah mengempis

pada pasien-pasien dengan lesi tersebut, dan mendiskusikan sebuah lapisan saraf

yang bertanggung jawab bagi kehendak bebas.18) Singkatnya, terjadi kerusakan

hebat pada wilayah otak yang bertanggung jawab untuk mendorong imaji-imaji

dan gerakan-gerakan mental keluar dan cara-cara mengembangkannya.

Kurangnya dorongan ini terbaca dari pengamat luar dalam bentuk ekspresi wajah

yang netral, sikap diam dan akinesia. Karena tidak ada yang normal di dalam

pikiran dan penalaran Ny. T, secara alamiah tidak ada keputusan yang bisa

dihasilkannya, apalagi diimplementasikan.


Bukti dari Studi-studi terhadap Hewan

Latar belakang yang lebih jauh bagi argumen yang saya bangun ini

berasal dari studi-studi terhadap otak hewan. Studi pertama yang akan saya

diskusikan berasal dari penelitian di tahun 1930-an. Sebuah pengamatan yang

dilakukan terhadap simpanse-simpanse nampaknya sedikit menerangi pemahaman

kita tentang proyek leukotomi prafrontalis, minimal dukungan kuat yang

dibutuhkan Moniz untuk mengembangkan ide-idenya. Observasi dilakukan oleh

J.F. Fulton dan C.F. Jacobsen di Universitas Yale, dengan tujuan memahami

pembelajaran dan memori.19 Becky dan Lucy, dua simpanse yang diteliti, bukan

mahluk yang menyenangkan; ketika merasa frustrasi, dan biasanya memang

mudah sekali frustrasi, mereka bisa menjadi sangat kejam.

Di dalam studi tersebut, Fulton dan Jacobsen ingin meneliti bagaimana

kerusakan pada korteks prafrontalis akan mengubah pembelajaran hewan terhadap

tugas eksperimental. Di tahap pertama, peneliti merusak salah satu sisi lobus

frontalis. Tidak banyak gangguan yang terjadi performa atau kepribadian hewan-

hewan tersebut. Di tahap berikutnya, peneliti merusak sisi lain lobus frontalis.

Dan kemudian sesuatu yang menakjubkan terjadi. Dalam kondisi-kondisi tertentu

yang Becky dan Lucy sebelumnya merasa frustrasi, sekarang mereka nampak

lebih tenang; kekejaman mereka sekarang berkurang drastis. Jacobsen

menggambarkan transformasi ini dengan gamblang kepada kolega-koleganya di

London selama Kongres Neurologi Dunia tahun 1935.20 Setelah mendengarkan

temuan-temuannya ini, Moniz langsung berdiri dan bertanya, apabila Fulton

membuat lesi yang sama pada otak-otak pasien psikotik, apakah operasi itu bisa
menyelesaikan persoalan mereka? Fulton yang terkejut tentu saja tidak bisa

menjawabnya.

ßßß

Perusakan prafrontalis bilateral simpanse seperti diceritakan di atas

seakan menghasilkan tampilan emosi yang normal namun di sisi lain,

menyebabkan abnormalitas dalam perilaku sosialnya. Di serangkaian penelitian

yang mengejutkan, Ronald Myers menemukan kalau monyet dengan luka

prafrontalis secara bilateral (di sektor ventromedialis sekaligus dorsolateralisnya

namun tidak sampai menyentuh wilayah singulat) tidak bisa mempertahankan

relasi-relasi sosial yang normal dengan kelompoknya, meskipun tampilan fisik

mereka tidak berubah.21 Monyet-monyet yang terganggu ini menunjukkan:

 penurunan besar-besaran perilaku pengasuhan (terhadap dirinya dan kera

lain);

 penurunan besar-besaran interaksi afektif terhadap kera lain, tak peduli

jantan, betina atau masih bayi;

 berkurangnya ekspresi wajah dan kemampuan vokalisasi;

 gangguan pada perilaku keibuan; dan

 kelembaman seksual.

Meskipun bisa bergerak normal, mereka gagal berhubungan dengan kera lain

dalam kelompoknya, entah dalam pengoperasian hubungan mereka sendiri atau

ketidakmampuan kera lain berhubungan dengan mereka secara normal. Kera-kera

lain itu malah bisa menjalin hubungan normal dengan kera-kera yang mengalami

cacat fisik seperti kelumpuhan namun tidak mengalami kerusakan di bagian


prafrontalisnya. Meskipun kera-kera yang lumpuh tidak sanggup bergerak

ketimbang kera yang mengalami kerusakan prafrontalis, mereka masih bisa

berhubungan dan mendapat dukungan dari rekan-rekan sekelompoknya.

Menjadi tepat untuk mengasumsikan kalau kera-kera dengan kerusakan

prafrontalis tidak bisa lagi mengikuti konvensi-konvensi sosial kompleks yang

mencirikan pengorganisasian kelompok kera (hubungan hirarkis anggota-anggota

yang berbeda, dominasi betina dan pejantan tertentu terhadap anggota lain, dsb.22)

Nampaknya mereka gagal di wilayah ‘kognisi sosial’ dan ‘perilaku sosial’, dan

bahwa kera-kera lain merespon kera-kera yang masih normal. Yang mengejutkan,

kera-kera dengan kerusakan korteks motorik namun tidak di korteks prafrontalis,

tidak mengalami kesulitan-kesulitan tersebut.

Kera dengan kerusakan bilateral di sektor anterioris dari lobus temporalis

(yaitu operasi yang sengaja menghindari merusak amigdala) menunjukkan

sejumlah cacat dalam perilaku sosial, namun tidak seberat kera yang

prafrontalisnya rusak. Di luar perbedaan-perbedaan saraf antara kera dan

simpanse, dan antara simpanse dan manusia, terdapat sebuah esensi bersama yang

dimiliki oleh kecacatan yang diakibatkan rusaknya lobus prafrontalis: perilaku

pribadi dan sosialnya jadi terganggu.23

Karya Fulton dan Jacobsen menyediakan bukti lain yang tak kalah

pentingnya. Seperti yang sudah disebutkan, tujuan studi mereka adalah

memahami pembelajaran dan memori, dan dari sudut pandang itu, hasilnya

membentuk satu gambaran umum. Maksud dari salah satu tugas yang diberikan

peneliti kepada simpanse adalah mempelajari asosiasi antara stimulus


penghargaan dan posisi stimulus tersebut di dalam ruang. Eksperimen klasik

mereka berjalan sebagai berikut: Di depan seekor simpanse diletakkan dua loyang

yang jauhnya sejangkauan tangan. Sepotong makanan yang disukai simpanse itu

diletakkan di salah satu loyang, lalu kedua loyang ditutupi makanan lain yang

tidak begitu disukai sehingga makanan yang disukai terkubur dan tidak terlihat

dari luar. Setelah penundaan sesaat, simpanse yang normal masih memiliki

pengetahuan tentang di loyang mana letak makanan yang disukainya berada.

Karena itu dia segera mengarah ke loyang yang tepat untuk mendapatkan

makanannya. Namun setelah bagian prafrontalisnya dirusak, simpanse itu tidak

lagi sanggup mengerjakan tugas tersebut. Segera setelah stimulusnya tidak lagi

terlihat karena terkubur, begitu pula pengetahuan tentang stimulus itu menghilang

dari ingatan. Temuan ini menjadi batu penjuru bagi eksplorasi-eksplorasi

neuropsikologis lebih jauh terhadap korteks prafrontalis yang dilakukan Patricia

Goldman-Rakic dan Joaquim Fuster.24

ßßß

Temuan terbaru dan yang sangat relevan bagi argumen saya berkaitan

dengan konsentrasi salah satu reseptor kimia, yaitu serotonin, di sektor

ventromedialis dari korteks prafrontalis dan amigdala. Serotonin adalah satu dari

beberapa neurotransmiter utama, substansi yang aksi-aksinya memberikan

kontribusi bagi semua aspek perilaku dan kognisi (neurotransmiter lainnya adalah

dopamin, norepinefrin, dan asetilkolin; semuanya ini menjadi pengantar dari

neuron-neuron yang terletak di nuklei kecil batang otak atau otak depan bagian

bawah, yang akson-aksonnya lebur di dalam neokorteks, komponen-komponen


korteks dan sub-korteks sistem limbik, ganglia basalis dan talamus). Salah satu

peran serotonin pada primata adalah penghambatan perilaku agresif (yang

menarik, peran ini berbeda di spesies lain). Pada hewan-hewan yang diteliti,

ketika neuron tempat serotonin berakar dihalangi dari fungsinya mengantarkan zat

tersebut, salah satu konsekuensinya adalah hewan bersikap impulsif dan agresif.

Secara umum, pengembangan fungsi serotonin mereduksi agresi dan

menghaluskan perilaku sosial.

Di dalam konteks ini sangat penting untuk dicatat, seperti yang nampak

dari kerja Michael Raleigh,25 bahwa kera yang perilakunya baik secara sosial

(diukur lewat tampilan kerja sama, pemeliharaan dan kedekatan dengan kera lain),

jumlah reseptor serotonin-2 sangat tinggi pada lobus frontal ventromedialis,

amigdala, korteks temporal medialis dan sekitarnya, namun tidak di wilayah otak

lain; sedangkan pada kera-kera yang menunjukkan sikap tidak kooperatif dan

bermusuhan, hal kebalikannya yang terjadi. Temuan ini menguatkan hubungan

sistem antara korteks prafrontal ventromedialis dan amigdala yang sudah saya

jelaskan berdasarkan hasil-hasil neuropsikologis, dan juga mengaitkan wilayah-

wilayah ini dengan perilaku sosial, wilayah utama yang terpengaruh pada pasien-

pasien saya yang cacat pengambilan-putusannya. (Reseptor-reseptor serotonin

yang dijelaskan di dalam studi ini disebut ‘serotonin-2’ karena reseptor serotonin

memiliki sampai 14 jenis yang berbeda).


Sekilas Tentang Penjelasan-penjelasan Neurokimia

Kalau sampai harus menjelaskan perilaku dan pikiran, tidak cukup kita

hanya mengutip istilah ‘neurokimia’. Kita juga harus tahu apa hubungan kimia

dan sistem saraf yang dianggap menyebabkan perilaku tertentu. Tanpa

mengetahui wilayah-wilayah korteks atau nuklei tempat berlangsungnya tindakan-

tindakan kimia di dalam sistem, kita tidak punya kesempatan untuk memahami

sepenuhnya bagaimana ia memodifikasi performa sistem (pemahaman seperti ini

hanyalah langkah awal, setelah itu uraian mendetail tentang bagaimana sirkuit-

sirkuit yang lebih tertata beroperasi). Selain itu, penjelasan yang bersifat saraf

hanya mulai berguna apabila menyoroti hasil-hasil dari operasi sistem tertentu

bagi sistem yang lain. Temuan penting yang dideskripsikan di atas mestinya tidak

disimplifikasi oleh kesalah-pahaman bahwa cuma serotonin saja yang

‘menyebabkan’ perilaku sosial yang adaptif, sehingga ‘kurangnya’ serotonin

mengakibatkan agresi. Hadir tidaknya serotonin di dalam sistem otak tertentu

akan membuat reseptor-reseptor serotonin mengubah operasi mereka; dan

perubahan tersebut, pada gilirannya, memodifikasi pengoperasian sistem yang

lain, yang hasil-hasilnya kemudian baru bisa disingkapkan lewat metode

behavioral dan kognitif.

Komentar-komentar tentang serotonin bisa dijumpai dimana-mana

lantaran tingginya daya tarik neurotransmiter ini. Antidepresan populer Prozac

contohnya, yang bekerja untuk menghalangi penyerapan ulang serotonin dengan

meningkatkan ketersediaan serotonin, sudah mendapat sambutan luas. konsep


bahwa rendahnya kadar serotonin berkaitan dengan kecenderungan terhadap

kekerasan sudah mengemuka di media-media populer. Masalahnya, bukan tidak

hadirnya atau rendahnya kadar serotonin per se yang ‘menyebabkan’ manifestasi

tertentu. Serotonin adalah bagian dari mekanisme rumit yang beroperasi di

tingkatan molekul, sinapsis-sinapsis, sirkuit-sirkuit lokal dan sistem-sistem, yang

di dalamnya faktor-faktor sosial-budaya, entah di masa lalu atau di masa sekarang,

juga ikut campur dengan kuat. Sebuah penjelasan yang memuaskan hanya bisa

dimuculkan dari pandangan lebih komprehensif tentang keseluruhan prosesnya,

sehingga variabel-variabel relevan persoalan tertentu seperti depresi atau adaptasi

sosial, bisa dianalisa secara lebih mendetail.

Sebagai catatan praktis, solusi persoalan kekerasan sosial tidak akan


tuntas hanya dengan menyoroti faktor-faktor sosial dan mengabaikan korelasi-
korelasi neurokimianya. Namun solusi ini juga tidak akan tuntas kalau hanya
mengandalkan korelasi salah satu neurokimianya saja. Pertimbangan terhadap
faktor-faktor sosial maupun neurokimia sama-sama dibutuhkan, tentunya di dalam
takaran yang tepat.

Kesimpulan

Bukti dari penelitian terhadap kerusakan pada otak manusia yang

diuraikan bab ini menunjukkan hubungan erat antara sekumpulan wilayah otak

dengan proses-proses penalaran dan pengambilan-putusan. Studi-studi terhadap

otak hewan sudah menyingkapkan sejumlah ikatan sama yang melibatkan

wilayah-wilayah yang sama. Dengan mengombinasikan bukti dari studi tentang

manusia dan hewan, kita sekarang bisa mendata sejumlah fakta baru tentang

peran-peran sistem saraf yang sudah kita identifikasikan di atas.


 Pertama, sistem-sistem ini terlibat di dalam proses-proses menalar dalam

pengertiannya yang luas. Khususnya, terlibat di dalam aktivitas

perencanaan dan penetapan keputusan.

 Kedua, subset sistem-sistem ini berkaitan dengan perilaku merencanakan

dan mengambil keputusan yang mungkin ditaruh seseorang di bawah

rubrik ‘wilayah pribadi dan wilayah sosial’. Sebuah petunjuk menyatakan

bahwa sistem-sistem ini berkaitan dengan aspek akal yang biasanya

disebut rasionalitas.

 Ketiga, sistem-sistem yang sudah kita identifikasikan di atas berperan

penting bagi pemrosesan emosi.

 Keempat, sistem-sistem ini dibutuhkan untuk menyimpan di dalam

pikiran, bagi kurun waktu yang agak panjang, imaji objek yang masih

relevan namun yang sekarang tidak lagi hadir.

Akan tetapi, kenapa peran-peran yang terpisah ini lalu bisa berkumpul bersama-

sama, padahal sektor otak tersebut sudah dipotong? Komponen apa sajakah yang

dibutuhkan bagi perencanaan dan pengambilan-putusan yang tepat secara pribadi

dan sosial; dan untuk menyimpan imaji tertentu dalam pikiran kendati objek yang

direpresentasikannya tidak lagi hadir?


1 B.J. McNeil, S.G. Pauker, H.C. Sox, & A. Traversky (1982). On the elicitation of preferences

for alternative therapies. Dalam New England Journal of Medicine, No. 306, hlm. 1259-1269.

2 Untuk penjelasan detail tentang strategi riset neuropsikologi, lihat H. Damasio & A.R. Damasio

(1989). Lesion Analysis in Neuropsychology. New York: Oxford University Press.

3 R.M. Brickner (1934). An interpretation of frontal lobe function based upon the study of a case

of partial bilateral frontal lobectomy. Dalam Research Publications of the Association for

Research in Nervous and Mental Disease No. 13, hlm. 259-351; dan 1936). Dalam The

intellectual functions of the frontal lobes: Study based upon observation of a man after partial

bilateral frontal lobectomy. New York: Macmillan. Untuk studi yang lain tentang kerusakan

lobus frontalis, lihat juga D.T. Stuss dan F.T. Benson (1986). The Frontal Lobes. New York:

Raven Press.

4 D.O. Hebb dan W. Penfield (1940). ‘Human behavior after extensive bilateral removals from

the frontal lobes’, Archives of Neurology and Psychiatry no. 44, hlm. 421-438.

5 S.S. Ackerly dan A.L. Benton (1948). ‘Report of a case of bilateral frontal lobe defect’ di dalam

Research Publications of the Association for Research in Nervous and Mental Disease, No. 27,

hlm. 479-504.

6 Di antara sejumlah dokumentasi kasus yang setara dengan pasien Ackerly dan Benton, lihat:

 B. H. Price, K.R. Daffner, R.M. Stowe dan M.M. Mesulam (1990). The comportmental

learning disabilities of early frontal lobe damage. Dalam Brain no. 113, hlm. 1383-

1393.

L. M. Grattan dan P.J. Eslinger (1992). Long term psychological consequences of childhood frontal
lobe lession in patient DT. Dalam Brain and Cognition, No. 20, hlm. 185-195.
7 E. Moniz (1936). Tentatives opératoires dans le traitement de certaines psychoses. Paris:

Masson.

8 Untuk diskusi mengenai bentuk perawatan agresif ini dan bentuk perawatan yang lain, lihat E.S.

Valenstein (1985). Great and Desperate Cures: The Rise and Decline of Psychosurgery and

Other Radical Treatment for Mental Illness. New York: Basic Books.
9 J. Babinsky (1914). Contributions à l’étude des troubles mentaux dans l’hémiplégie organique

cérébrale (anosognosie). Dalam Revue neurologique, No. 27, hlm. 845-847.

1 0 A. Marcel (1993). Slippage in the unity of consciousness. Dalam Experimental and theoretical

studies of consciousness (Ciba Foundation Symposium 174), hlm. 168-186. New York: John

Wiley & Sons.

1 1 S.W. Andreson dan D. Tranel (1989). Awareness of disease states following cerebral

infarcation, dementia and head trauma: Standardized assessment. Dalam The Clinical

Neuropsychologist, No. 3, hlm. 327-329.

1 2 R.W. Sperry (1981). Cerebral organization and behaviour. Dalam Science, No. 113, hlm. 1749-

1757.

J.E. Bogen dan G.M. Bogen (1969). The other side of the brain. III: The corpus callosum and

creativity. Dalam Bulletin of Los Angeles Neurological Society, No. 34, hlm. 191-220.

E. De Renzi (1982). Disorders of Space Exploration and Cognition. New York: John Wiley &

Sons.

D. Bowers, R.M. Bauer, dan K.M. Heilman (1993). The nonverbal affect lexicon: Theoretical

perspectives from neuropsychological studies of affect perception. Dalam Neuropsychologia,

No. 7, hlm. 433-444.

M.M. Mesulam (1981). A Cortical network for directed attention and unilateral neglect. Dalam

Annual Neurology, No. 10, hlm. 309-325.

E.D. Ross dan M.M. Mesulam (1979). Dominant language functions of the right hemisphere.
Dalam Archives of Neurology no. 36, hlm. 144-148.
1 3 B. Woodward dan S.Armstrong (1979). The Brethren. New York: Simon & Schuster.

1 4 D. Tranel dan B.T. Hyman (1990). Neuropsychological correlates of bilateral amygdala

damage. Dalam Archives of Neurology, No. 47, hlm. 349-355.

F. K. D. Nahm, H. Damasio, D. Tranel dan A. Damasio (1993). Cross-modal associations and

the human amygdale. Dalam Neuropsychologia, No. 31, hlm. 727-744.

R. Adolphs, D.Tranel & A. Damasio. Bilateral Damage to the Human Amygdala Impairs the
Recognition of Emotion in Facial Expressions. (sedang dicetak)

1 5 L. Weiskrantz (1956). Behavioral changes associated with ablations of the amygdaloid

complex in monkeys. Dalam Journal of Comparative and Physiological Psychology, No. 49,

hlm. 381-391.

J.P. Aggleton dan R.E. Passingham (1992). Syndrome produced by lesions of the amygdala in

monkeys (Macaca mulatta). Dalam Journal of Comparative and Physiological Psychology No.

95, hlm. 961-977.

Untuk studi tentang tikus, lihat J.E. LeDoux (1992). Emotion and the amygdale. Dalam J.P.
Aggleton (ed.), The Amygdala: Neurobiological Aspects of Emotion, Mystery and Mental
Dysfunction, hlm. 339-351. New York: Wiley-Liss.
1 6 R. J. Morecraft dan G. W. Van Hoesen (1993). Frontal granular cortex input to the cingulate

(M3), supplementary (M2), and primary (M1) motor cortices in the rhesus monkey. Dalam

Journal of Comparative Neurology, No. 337, hlm. 669-689.

1 7 A.R. Damasio dan G.W. Van Hoesen (1983). Emotional disturbances associated with focal

lesions of the limbic frontal lobe. Dalam K.M. Heilman dan P. Satz (ed.), Neuropsychology of

Human Emotion. New York: The Guilford Press.

1 8 F. Crick (1994). The Astonishing Hypothesis: The Scientific Search for the Soul. New York:

Charles Scribner’s Sons.

1 9 J.F. Foulton dan C.F. Jacobsen (1935). The functions of the frontal lobes: A comparative study

in monkeys, chimpanzees and man. Dalam Advances in Modern Biology (Moskow), No. 4, hlm.

113-123.

Lihat juga J.F. Foulton (1951). Frontal Lobotomy and Affective Behavior. New York: Norton

and Company.

2 0 C.F. Jacobsen (1935). Functions of the frontal association area in primates. Dalam Archives of

Neurology and Psychiatry, No. 33, hlm. 558-569.

2 1 R.E. Myers (1975). Neurology of social behavior and affect in primates: A study of prefrontal

and anterior temporal cortex. Dalam K.J. Zuelch, O. Creutzfeldt, dan G.C. Galbraith (ed.),

Cerebral Localization, hlm. 161-170. New York: Springer-Verlag.


Lihat juga E.A. Franzen dan R.E. Myers (1973). Neural control of social behavior: Prefrontal

and anterior temporal cortex. Dalam Neuropsychologia No. 11, hlm. 141-157.

2 2 S.J. Suomi (1987). Genetic and maternal contributions to individual differences in rhesus

monkey biobehavioral development. Dalam Perinatal Development: A Psychobiological

Perspectives, hlm. 397-419. New York: Academic Press, Inc.

2 3 Untuk kajian tentang bukti neurofisiologis tentang persoalan ini, lihat L. Brothers,

Neurophysiology of social interactions. Dalam M. Gazzaniga (ed.), The Cognitive

Neurosciences (dalam proses cetak).

2 4 P. Goldman-Rakic (1987). Circuity of primate prefrontal cortex and regulation of behavior by

representational memory. Dalam F. Plum dan V. Mountcastle (ed.), Handbook of Physiology:

The Nervous System, Vol. 5, hlm. 373-417. Bethesda, MD: American Physiological Society.

Lihat juga J.M. Fuster (1989). The Prefrontal Cortex: Anatomy, Physiology and

Neuropsychology of the Frontal Lobe (edisi kedua). New York: Raven Press.

2 5 M.J. Raleigh dan G.L. Brammer (1993). Individual differences in serotonin-2 receptors and

social behavior in monkeys. Dalam Society for Neuroscience Abstracts, No. 19, hlm. 592.

Anda mungkin juga menyukai