Anda di halaman 1dari 42

COGITO ERGO HUH?

: Awal Mula
Filsafat Modern
“Aku Berpikir, Maka Aku Ada (Cogito Ergo Sum)
Aku memperhatikan bahwa saat aku sedang mencoba untuk berpikir
bahwa segalanya adalah tidak benar, ia haruslah yang demikian itu,
yang sedang memikirkan ini, adalah sesuatu. Dan mengobservasi
kebenaran ini. Aku berpikir, maka aku ada [cogito ergo sum] adalah
sedemikian solid dan dapat diandalkan (bebas dari keraguan) bahwa
kebanyakan dari pengandaian-pengandaian yang berlebihan dari
kelompok yang skeptis, tidak dapat menyangkalnya, aku berpendapat
bahwa aku tidak perlu merasa segan (demi untuk memenuhi rasa
sopan santun dan etika) untuk menerimanya sebagai prinsip pertama
filsafat yang aku cari.
Rene Descartes, Discourse on Method
(1637)

Ini mungkin tidak seperti pencapaian (prestasi) besar jika kita

mengingat dan memahami kembali peristiwanya, tapi ketika Rene

Descartes membuktikan eksistensinya sendiri, ini adalah sesuatu yang

luar biasa.

Salah satu dari pembuktian-pembuktian filsafat yang paling

sederhana, paling elegan, dan paling terkenal adalah, “Aku berpikir,

maka aku ada” telah menggoyahkan sendi-sendi skeptisisme dan

menjadi ungkapan yang sangat ngetrend di masa Descartes. Para

sahabat dan kolega-kolega Descartes yaitu para filosuf atau pakar

matematika Perancis (1596-1650) telah menganut pandangan bahwa

tak ada satupun yang pasti, kecuali kemungkinan-kemungkinan,

karena pikiran (mind) itu begitu mudah diperdaya.


Tapi, setelah melakukan gebrakan pertamanya dengan

menemukan sistem koordinat Cartesian, Descartes telah mempunyai

ketertarikan pribadi untuk membuktikan bahwa, setidaknya, beberapa

hal (seperti teori-teori Matematika) adalah sepenuhnya benar. Tanpa

ada basis-basis kepastian, dia meyakini, tidak akan ada pengetahuan

yang benar sama sekali, hanya sekadar probabilitas yang tidak

berfungsi.

Descartes menganggapnya sebagai sesuatu yang pasti akan

terjadi bahwa pengetahuan itu, pada akhirnya, harus didasarkan pada

satu fakta yang tak terbantahkan. Untuk menemukannya, dia mulai

dengan menerima argumen-argumen yang mengandung sikap-sikap

skeptis yang telah diakrabi. Marilah kita berasumsi, sejalan dengan

teori Descartes, bahwa indera-indera kita tidak dapat diandalkan dan

seringkali mengarahkan kita pada kesimpulan-kesimpulan yang salah.

(Misalnya, kita melihat matahari “terbit”, padahal ini adalah

pergerakan bumi; kita kadang-kadang menyalah-artikan mimpi-mimpi

dan bayangan-bayangan sebagai kenyataan-kenyataan). Oleh karena

itu, ketika hal-hal ini bersifat tidak pasti dan yang mengandung ilusi-

ilusi, kita harus menolak kesan-kesan (impressions) ini sebagai basis

bagi pengetahuan.

Yang tersisa adalah kemampuan untuk berpikir (reason), yang

Descartes dan para “rasionalis” lain yakini sebagai pembimbing yang

dapat diandalkan daripada pengalaman. Tapi, menganggap ini sebagai


benar adalah juga mengandung kesalahan, dan bahwa logika pun

dapat melakukan kesalahan. Barangkali, gagasan-gagasan yang

tampak membuktikan dirinya sendiri (self evident) seperti “2 + 2 = 4”

dan “kebahagiaan adalah baik” sebenarnya adalah salah, dan telah

ditanamkan ke dalam pikiran kita oleh setan jahat yang sangat kuat

yang telah membengkokkan sepenuhnya dalam tipuan. Anggaplah

juga bahwa seluruh dunia ini dan semua yang ada di dalamnya,

termasuk pemikiran yang rasional, adalah sebuah mimpi dalam pikiran

setan jahat ini. Kita tidak punya cara untuk membuktikan bahwa ini

adalah benar atau salah; lalu, apa yang mungkin dapat tersisa sebagai

sebuah kebenaran absolut?

Jawaban Descartes adalah: fakta yang sama bahwa dia telah

memikirkannya, seluruhnya, di tempat pertama. Yaitu, tidak peduli

skenario apa tentang realitas yang anda upayakan, anda masih sedang

memikirkan –nya, anda harus eksis. Atau---dalam versi Latin dalam

buku Discourse on Method---cogito ergo sum: “aku berpikir, maka aku

ada.”

Kesimpulan Descartes ini, akhirnya, adalah pondasi dari

pengetahuan yang benar---pemikiran itu sendiri, dan apapun

pemikiran-pemikiran yang khusus (seperti “substansi”, “diri”, dan

“Tuhan”) adalah bersifat bawaan dalam pikiran. Tapi, disini, kita harus

berhenti untuk mengajukan beberapa pertanyaan kepada Descartes.

Marilah kita pastikan bahwa cogito ergo sum adalah benar dan
mengabaikan kemungkinan bahwa pemikiran itu sendiri boleh jadi

adalah sebuah bayangan. Meskipun demikian, ia bukanlah sebuah

langkah segera untuk memastikan ide-ide seperti “Tuhan”---

kandungan dari pemikiran kita ini, jika bukan merupakan fakta, masih

dapat menjadi sebuah tipuan setan.

Tapi bagi Descartes, kesimpulan-kesimpulan semacam ini adalah

tak-terbayangkan. Dia merasa pasti dia telah eksis, bahwa dia telah

berpikir, dan bahwa impresi-impresi yang jelas dan terpilah-pilah

adalah esensi dari pemikiran: bahwa tanpa mereka, pemikiran tidak

terjadi. Dan ketika Pencipta yang maha kuasa dan maha pemurah---

Tuhan---adalah termasuk dalam impresi-impresi ini, Tuhan harus eksis.

Dan, dengan menjadi maha kuasa dan maha pemurah ini, Tuhan

mencegah eksistensi maha kuasa-Nya, dari tipuan setan jahat. Begitu

kita menentukan sang setan ini, kita menentukan keraguan-keraguan

kita tentang kebenaran-kebenaran matematis yang logis.

Ini masih menyisakan masalah-masalah bagi kita tentang

impresi-impresi yang tak pasti. Descartes telah memikirkan bahwa

Tuhan tidak akan pernah mengizinkan kita untuk menjadi sepenuhnya

tertipu, sehingga kita dapat, setidaknya, mempercayai bahwa dunia ini

eksis dan bahwa substansinya adalah nyata. Pada sisi lain, substansi

fisik adalah sangat berbeda dan terpisah dari pemikiran, yang

mengarah pada “masalah tubuh/pikiran” Descartes yang terkenal


Jika pikiran eksis, ada dimana ia? Jika ia ada di suatu tempat, ia

mempunyai lokasi fisik dan realitas, dan ia seharusnya menjadi sejenis

substansi. Jika ia tidak mempunyai substansi, dengan cara apa ia

eksis? Descartes tidak mampu untuk memecahkan teka-teki ini (dia

menyatakan dengan dasar yang lemah bahwa pikiran itu terletak di

pusat otak---pineal gland). Dalam kenyataan, tak seorangpun yang

pernah berupaya mengajukan sebuah solusi yang benar-benar masuk

akal. Terdapat kecenderungan dalam ilmu pengetahuan sekarang ini

yang mengarah pada mendefinisikan pikiran hanya sebagai

sekumpulan reaksi-reaksi kimiawi syaraf (neurochemical reactions);

tapi, saya tidak akan menahan napas saya untuk menunggu

pembuktian ini.

Rasionalisme Descartes, sebuah produk dari abad pertengahan,

menyatakan bahwa kebenaran mensyaratkan adanya kepastian, pada

akhirnya, gugur di hadapan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan

empiris, yang menyatakan bahwa kebenaran-kebenaran itu selalu

bersifat hipotetis, sementara, selalu memberi peluang adanya

perkembangan yang lebih baik, dan terikat dengan proses trial and

error sebagaimana yang terjadi pada proses berpikir yang logis.

Namun demikian, cogito ergo sum masih tetap suatu ide yang hebat---

sebuah prestasi puncak dari filsafat kuno dan sebuah stimulus bagi

logika modern dan metafisika. Sistem koordinasi Descartes mungkin


dapat bertahan lebih lama, tapi, ini lebih banyak ditentukan oleh aspek

cogito ini yang membuat kita mengingat Descartes.

Garpu Hume
Garpu Hume adalah sebuah alat filsafat untuk memisahkan masalah-

masalah yang sangat menarik dari masalah-masalah yang sekadar

tiruan belaka. Dikemukakan oleh orang Skotlandia, David Hume,

(1711-1776), ide dasarnya adalah bahwa setiap pernyataan atau klaim

akan terjatuh dalam salah satu dari tiga kategori berikut: 1) benar atau

salah berdasarkan definisi, 2) bergantung pada pengalaman, atau 3)

hal-hal yang tidak masuk akal. Inilah ketiga ujung runcing garpu.

Sejauh yang dicermati oleh Hume, hanya pernyataan-pernyataan tipe

2 yang sangat menarik, sehingga dia disebut sebagai seorang

“empirisis” (dari bahasa latin “pengalaman”).

Namun, sebenarnya, Hume telah mencuri ide dasar ini dari apa

yang disebut dengan “rasionalisme” Gottfried Leibniz (1646-1716),

yang mengikuti jejak Descartes dalam meyakini bahwa proses berpikir

logis adalah sebuah pedoman yang lebih pasti menuju kebenaran

dibandingkan dengan pengalaman. Leibniz mempunyai garpunya

sendiri, tapi ia hanya mempunyai dua ujung tajam: 1) pernyataan-

pernyataan positif [assertions] dan bersifat logis yang tak terhindarkan

dan 2) pernyataan-pernyataan positif “yang mungkin” (kontingen =


tidak harus). Contoh-contoh dari pernyataan-pernyataan positif yang

perlu adalah “2 + 2 = 4” dan “anjing spaniel adalah seekor anjing.”

Bahwa kedua pernyataan positif ini harus berarti bahwa pernyataan-

pernyataan yang negatif dari keduanya adalah tidak benar. Contoh-

contoh dari pernyataan-pernyataan positif yang kontingen adalah

“Caesar menyeberangi [sungai] Rubicon”1 dan “Bill Clinton adalah

presiden amerika Serikat.” Kedua pernyataan ini mungkin saja benar,

tapi pernyataan-pernyataan sebaliknya yang bertentangan, tidak

harus salah. Kebenaran atau ketidakbenaran dalam hal ini adalah

bersifat tidak logis, tapi bergantung pada peristiwa-peristiwa sejarah

yang mungkin telah berlangsung secara berbeda.

Tapi, Leibniz telah membuat pembedaan ini hanya untuk

menghancurkannya. Apa yang dia yakini adalah bahwa proposisi-

proposisi kontingen adalah suatu keharusan jika anda melihat mereka

dengan cara yang benar. Bill Clinton harus memenangkan pemilu

tahun 1992, karena hasil pemilu ini telah ditetapkan sebelumnya oleh

Tuhan. Tidak ada “realitas alternatif” yang mungkin dimana dia dapat

mengalami kekalahan. Segala sesuatunya adalah sebagaimana yang

telah dimaksudkan, sehingga tidak ada pernyataan-pernyataan positif

yang bersifat kontingen.

1
Rubicon adalah nama kuno untuk sungai di Italia Tengah yang mengalir menuju laut Adriatik, yang
menjadi perbatasan antara wilayah Itali dengan wilayah Romawi dibawah Cisalpine Gaul. Pada tahun 49
SM Julius Caesar beserta pasukannya menyeberangi sungai ini meskipun dilarang oleh Senat. Tindakan
Caesar ini mengawali perang sipil antara pasukan Caesar dengan pasukan Pompey yang agung. Ungkapan
“menyeberangi sungai Rubicon” ini mengandung arti upaya yang sangat berani untuk menempuh bahaya.
(Penerjemah)
Hume, bersama dengan rekan-rekan Inggris penganut

empirisme, mengejek pada kebodohan-kebodohan orang-orang Eropa.

Seperti Leibniz, Hume membedakan proposisi-proposisi yang bersifat

harus (yang dia sebut sebagai “relasi-relasi dari ide-ide”) dari yang

bersifat kontingen (“hal-hal yang berdasarkan pada fakta”), tapi dia

mendesak bahwa mereka sungguh berbeda. Bukan hanya hal-hal yang

berdasarkan fakta ini bersifat tidak harus, tapi proposisi-proposisi yang

bersifat harus menjadi hampir tidak berguna. Sebagaimana yang

dipahami oleh Hume, pernyataan apapun yang harus benar (atau

“analitik”, untuk menggunakan terminologi Kant) hanyalah sebuah

tautologi: ia adalah kosong dan tidak menjelaskan apapun kepada kita.

Untuk mengatakan bahwa “seekor anjing spaniel adalah seekor anjing”

hanyalah sekadar mengulang definisi dari “anjing spaniel”. Untuk

mengatakan bahwa 2 + 2 = 4 adalah tidak mengatakan sesuatu yang

baru, tapi hanya mengejar akibat-akibat dari bagaimana kita telah

mendefinisikan istilah-istilah ini.

Satu-satunya jenis pernyataan yang penting, bagi Hume, adalah

pernyataan yang berkaitan dengan fakta, yang bersifat tidak harus

benar dan, yang dengan demikian, menjelaskan kepada kita sesuatu

yang baru tentang dunia ini. Untuk mengatakan bahwa “Julius Caesar

telah menyeberangi sungai Rubicon” adalah bersifat informatif

(memberi informasi) karena Julius Caesar boleh jadi tidak

menyeberangi sungai Rubicon. Pengetahuan nyata apapun akan


muncul dalam sejenis bentuk, yang disebut Kant sebagai sebuah

pernyataan “sintetis”, dan jenis pernyataan-pernyataan yang

didasarkan pada observasi daripada berdasarkan proses berpikir logis.

Inilah esensi dari empirisme.

Hume menyadari bahwa terdapat jenis pernyataan-pernyataan

yang tidak bersifat tautologis (analitik) dan bukan pula bersifat

informatif (sintetis). Misalnya, “Unicorn [kuda bertanduk] adalah buas”

adalah sulit menjadi sebuah kebenaran yang logis, bahkan, pada sisi

lain, ia tidak menjelaskan apapun tentang dunia ini, karena unicorn ini

tidak eksis. Jenis pernyataan ini, yang disebut Hume sebagai

pernyataan “omong kosong” (nonsense). Sebagaimana dia telah

melihatnya, mayoritas buku-buku tentang teologi atau metafisika

penuh dengan sekumpulan pernyataan-pernyataan omong kosong

yang tidak mengandung kebenaran yang bersifat harus dan tidak juga

menerangi fakta-fakta, dan perintahnya terhadap buku semacam ini

adalah “membuangnya ke dalam bara api, karena ia tidak

mengandung apapun kecuali ilusi dan hal-hal yang dapat diterima akal

tapi dengan menggunakan argumentasi-argumentasi yang salah” (An

Enquiry Concerning Human Understanding, 1748).

Menggunakan garpu filsafat sekarang ini tampaknya tidak lagi

menjadi sesuatu yang penting, tapi di masa kemunculan gagasan-

gagasan Hume ini, mempunyai akibat-akibat yang sangat mendasar.

Misalnya, dia telah menunjukkan bahwa pernyataan “Tuhan eksis”


adalah pernyataan yang tidak mengandung kebenaran yang bersifat

harus (ketika pengingkaran terhadapnya bukan merupakan kesalahan

yang bersifat harus) tidak juga bersifat empiris (ketika kita tidak

mengalami Tuhan dengan indera-indera kita). Berdasarkan pada

“Garpu Hume”, pernyataan ini haruslah bersifat omong kosong

[nonsense]---yaitu, melampaui batas-batas ilmu pengetahuan.

Selanjutnya, empirisme Hume mereduksi semua pengalaman

yang dinyatakan oleh pernyataan-pernyataan kontingen---yaitu, pada

hal-hal yang mungkin benar atau mungkin tidak benar dan oleh karena

itu tidak dapat diputuskan atau dipastikan. Diantara hal-hal jenis ini

adalah pengalaman tentang sebab (cause). Kita mungkin melihat

tongkat bilyar menyodok delapan bola bilyar, dan kemudian melihat

kedelapan bola bilyar ini menggelinding menuju kantong, tapi bahwa

satu hal ini “menyebabkan” yang lain hanyalah sebuah ide yang

abstrak, cara kita menjelaskan urut-urutan peristiwa. Kesimpulan-

kesimpulannya telah dibuktikan sebagai sangat bermasalah bagi ilmu

pengetahuan (lihat entry selanjutnya).

Hume telah mencoba untuk menggantikan kepastian-kepastian

matematika dan kepastian-kepastian ilmu pengetahuan yang kosong

dan tidak bermakna dengan sebuah model realitas yang lebih

bermakna, yang didasarkan pada psikologi manusia, probabilitas, dan

perilaku yang telah menjadi kebiasaan. Atas upayanya ini, Hume

sekarang disebut sebagai seorang skeptis, sebutan yang tepat


untuknya sejauh ini. Tapi, dia mungkin juga disebut sebagai seorang

psikolog atau pakar statistik. Di era fisika kuantum kita dan jajak

pendapat, ide-ide Hume ini praktis diterima begitu saja tanpa sikap

kritis.

Skandal Induksi
Metode ilmiah yang telah dirintis pada abad ke tujuh belas oleh Francis

Bacon, Rene Descartes, dan filosuf-filosuf lain, pada intinya adalah

sebuah proses induktif. Sebagaimana dipertentangkan dengan deduksi

(yang meng-asal-kan atau menderivasikan kebenaran-kebenaran baru

dari sesuatu yang telah dikukuhkan), induksi berlangsung dari

ovservasi-observasi khusus menuju kesimpulan-kesimpulan umum.

Bacon dan para pengikutnya mendesak bahwa pengetahuan

ilmiah tidak pernah dapat menyandarkan diri pada kebenaran-

kebenaran yang diterima begitu saja tanpa sikap kritis, apakah itu

bersifat matematis atau metafisis, tapi harus membumikan dirinya

sendiri dalam observasi dan eksperimen. Para ilmuwan sejati

mengobservasi dunia yang alami ini, mempelajari pola-polanya,

memunculkan hipotesa-hipotesa, dan kemudian menguji mereka

melalui eksperimen. Sebuah hipotesa menjadi teori jika telah

dikukuhkan melalui eksperimen yang berulang-ulang. Tapi, ia ditolak

jika bertentangan (“di falsifikasi”) melalui uji coba.


Filosuf David Hume, meskipun bersikap setuju bahwa

pengetahuan itu hanya dapat diperoleh melalui eksperimen, telah

memikirkan metode ilmiah memiliki masalah-masalah besar. Persis

seperti yang dimaksudkan, Hume mengajukan pertanyaan, untuk

“mengetahui” sesuatu melalui observasi atau eksperimen---yaitu,

dengan induksi? Yang anda tahu hanyalah bahwa kapan saja X

muncul, Y juga akan muncul.

Marilah kita katakan X muncul ratusan kali dan dalam setiap kali

pemunculan itu, Y juga muncul. Anda melemparkan sebuah batu ke

arah sebuah jendela, dan ia pecah menjadi beberapa keping. Anda

melemparkan 99 batu ke arah 99 jendela, dan mereka semua hancur

berkeping-keping, juga. Anda mengambil kesimpulan melalui induksi

bahwa melemparkan bebatuan ke arah jendela-jendela itu

mengakibatkan mereka menjadi rusak. Ini adalah teori ilmiah anda.

Tapi, apakah ini kebenaran yang niscaya (bersifat harus)? Jika terdapat

keraguan, ulangilah eksperimen ini. Ulangilah sejuta kali, sesuka anda.

Tapi, siapa yang mengatakan bahwa pada kejadian yang sejuta dan

yang pertama, batu itu akan masih merusak jendela itu?

“Skandal” induksi ini, sebagaimana ini akan diketahui kemudian,

adalah bahwa observasi-observasi itu, secara tak terhindarkan, bersifat

terbatas---anda tidak dapat terus melempar batu-batu itu pada pada

jendela-jendela untuk selamanya. Yang dimaksud adalah bahwa

metode eksperimental itu bersifat “terbatas”: ia mendeduksi


kebenaran dari hanya sebuah keterbatasan dari sejumlah eksperimen

atau observasi-observasi. Tapi, siapa yang mengatakan bahwa, jika

dilangsungkan dalam jangka waktu yang lama, sebuah eksperimen

tidak akan menghasilkan hasil-hasil yang negatif? Dan dengan

berdasarkan asumsi bahwa jika sebuah eksperimen, bahkan, sekali

saja ia bertentangan dengan sebuah hipotesa, maka hipotesa itu tidak

dapat menjadi kebenaran yang niscaya---yaitu, ia tidak dapat diketahui

secara pasti.

Ini adalah kelebihan atau kekurangan dari intisari Hume tentang

pengetahuan induktif: ini adalah sebuah gaya bahasa dimana kata-

kata yang saling bertentangan digunakan secara bersamaan. Hal-hal

yang kita pikir kita “tahu” dari pengalaman---bahwa matahari akan

terbit dan bahwa burung-burung terbang dan sebagainya---sebenarnya

hanyalah sesuatu yang kita yakini, karena kita telah terbiasa untuk

mengalami semua itu. kita meyakini bahwa melemparkan bebatuan

“menyebabkan” jendela-jendela hancur berantakan karena kita telah

mengobservasi pola yang normal dan biasa ini; tapi adalah mustahil

untuk mengobservasi yang menyebabkan itu sendiri. penyebab adalah

di-inferensi-kan atau di-induksi-kan dari dua peristiwa yang saling

terjadi (batu dilemparkan, jendela rusak). Namun, melihat dunia

dengan cara ini---dalam konteks penyebab---adalah benar-benar

merupakan kebiasaan mental. Tidak ada cara untuk membuktikan atau


mengetahui secara pasti tentang sesuatu sebagai “penyebab” atau

bahwa apapun yang terjadi di dunia ini harus terjadi lagi.

Namun, Hume melihat dengan perasaan putus asa bahwa tidak

ada penyebab dalam skandal ini. Jika pengetahuan tertentu tentang

dunia ini adalah tidak pasti secara filosofis, itu tidak berarti bahwa kita

tidak dapat mengetahui apapun. Ini hanya berarti bahwa kita

mengetahui berbagai hal secara khusus dan terbatas. Paling tidak, kita

dapat mengafirmasikan kemiripan yang sangat atau probabilitas

bahwa matahari akan terbit esok hari dan bahwa sebuah batu akan

menghancurkan sebuah jendela. Dan dalam kenyataannya, dalam

ketiadaan alasan yang bagus untuk meragukan mereka, kita mungkin

menyebut keyakinan-keyakinan seperti ini sebagai “kepastian-

kepastian” dalam makna yang praktis (jika bukan filosofis). Lebih jauh

lagi, Hume meyakini bahwa jika ide-ide kita mengarahkan kita untuk

meyakini hukum-hukum alam, yaitu karena alam ini sebenarnya

adalah sesuai dan sejalan dengan hukum.

Namun demikian, penerus Hume, yang berpikir bahwa

pengetahuan itu harus bersifat pasti untuk benar-benar menjadi

pengetahuan, tidak puas dengan “kepastian yang praktis”. Sebuah

solusi yang jelas dan nyata atas dilema ini yang diajukan oleh

Immanuel Kant, yang menolak klaim Hume bahwa hal-hal yang faktual

diketahui hanya melalui pengalaman. Untuk menggunakan jargonnya,


konsep-konsep seperti kausalitas, ruang, dan waktu adalah gagasan-

gagasan

“a priori sintetis”, yang berarti bahwa mereka menggambarkan

realitas tapi yang tidak di-induksi-kan dari pengalaman.

Yang menarik dari solusi Kant adalah bahwa ia membuat hukum-

hukum alam dan kebenaran-kebenaran ilmiah lain menjadi bergantung

pada kategori-kategori mental, lebih tepatnya, bergantung pada

kesadaran manusia. Proses induksi secara ketat tidak pernah terjadi,

ketika hanya penampakan-penampakan, bukan sesuatu di dalam

dirinya sendiri, yang dapat diakses oleh pengetahuan manusia. Benar,

bahwa kita mungkin merasa pasti tentang penampakan-penampakan

itu, dan ini tidak dapat eksis kecuali didukung oleh sebuah realitas

yang mendasari; tapi, Kant tetap menarik sebuah garis lurus di sekitar

realitas tertinggi dan menyatakannya sebagai yang tak dapat

diketahui (unknowable).

Masih belum cukup. Ini membutuhkan seluruh halaman buku

untuk memetakan pendekatan-pendekatan jenis-jenis yang beragam

ini untuk memecahkan dan menyelesaikan problem induksi ini,

berkisar dari penganut utilitarianisme sampai pragmatisme hingga ke

fenomenologi. Tapi, seorang filosuf, secara khusus, layak untuk

disebut, ketika namanya menjadi sangat identik dengan kritik metode

keilmuan di abad ke dua puluh: seorang warga Austria, Karl Popper

(lahir 1902).
Seperti Kant, Popper berupaya untuk melenyapkan masalah ini

dengan melenyapkan proses induksi secara menyeluruh. Dalam

pandangannya, hipotesa-hipotesa ilmiah tidak muncul dari observasi,

tapi muncul dari sebuah kreasi imajinasi yang bebas (individu atau

kelompok). Kita mengobservasi dan melakukan eksperimen untuk

proses uji-coba daripada menciptakan teori-teori. Dan alasan

mendasar dari proses uji-coba ini (apakah diakui atau tidak) adalah,

ironisnya, tidak untuk membuktikan teori-teori sebagai sesuatu yang

pasti, tapi lebih untuk membuktikan bahwa teori-teori ini mengandung

kesalahan. Menguji sebuah hipotesa akan menjadi tidak bermakna jika

kegagalan tidak dimungkinkan. Dan jika bukti yang bertentangan telah

ditemukan, maka teori ini harus ditolak dan teori lain harus diciptakan.

Pada sisi lain, teori-teori yang lulus eksperimen, tidak terbukti sebagai

“benar”; mereka hanya ditunjukkan untuk memberi kita

penggambaran realitas yang bagus.

Lebih jauh lagi---dan ini adalah poin paling penting dari Popper---

semakin sulit untuk mem-falsifikasi sebuah teori, semakin kurang

bermakna teori ini. Karena mudah dipahami bahwa semakin umum

sebuah pernyataan, maka semakin sulit untuk menemukan

pengecualian-pengecualian. (misalnya: “Angsa hitam eksis di suatu

tempat di dunia ini” adalah sulit untuk difalsifikasi, sementara “Angsa

hitam eksis di pulau Rhode” adalah pernyataan yang lebih mudah).

Semakin banyak kandungan sebuah teori---semakin tepat dan akurat


ia dalam upaya untuk menjelaskan fenomena---semakin bermakna ia,

tapi juga mengandung paradoks bahwa ia lebih mudah untuk ditolak.

Tapi, penolakan ini bukanlah sebuah bencana; ini adalah, sebagaimana

telah kami katakan sebelumnya, esensi dari kegiatan keilmuan. (Jika

sebuah klaim tidak mengandung sedikitpun potensi untuk difalsifikasi,

maka ia tidak bersifat ilmiah, tapi mudah dipahami---atau, kembali

pada istilah Hume, ia hanya menyatakan suatu “relasi ide-ide”).

Penolakan mengarah pada penghalusan teori-teori lama dan

penciptaan teori-teori baru, sehingga gambaran kita tentang dunia ini

menjadi lebih terinci, tahan lama dan lengkap. Jika kita mengetahui

berbagai hal secara pasti dan tak terbantahkan, maka ilmu

pengetahuan akan tamat riwayatnya.

Sesuatu-dalam-Dirinya sendiri (Das Ding-


an-Sich)
Dari sini, ia mengikuti secara tak terbantahkan, bahwa konsep-konsep
murni tentang pemahaman tidak pernah mengizinkan sesuatu yang
bersifat transendental, tapi hanya untuk suatu penggunaan empiris,
dan bahwa prinsip-prinsip tentang pemahaman murni ini hanya dapat
diacu, sebagaimana syarat-syarat umum tentang sebuah pengalaman
yang mungkin, pada obyek-obyek indera, tidak pernah pada berbagai
hal di dalam diri mereka sendiri....
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason
(1781)
Hal penting untuk diketahui tentang “sesuatu-dalam-dirinya sendiri”

adalah bahwa tidak ada satupun yang diketahui. Anda bahkan tidak

mempunyai peluang sedikitpun (untuk dapat mengetahui).

Alasannya, menurut orang Jerman yang jenius, Immanuel Kant

(1724-1804), ini adalah bahwa pikiran kita tidak pernah menjalin

kontak langsung dengan realitas tertinggi. Karena cara kerja indera-

indera kita, dan karena otak kita telah diciptakan secara sesuai dan

cocok dengan konsep-konsep dan saringan-saringan yang beragam,

realitas yang kita ketahui dan “pahami” setidaknya adalah satu atau

dua langkah menjauh dari sesuatu dalam dirinya sendiri.

Ide “sesuatu-dalam-dirinya sendiri” (thing-in-itself, Ding-an-sich)

dari Kant, telah terkubur dalam-dalam dalam karya hebat

(masterpiece)nya, Critique of Pure Reason, sebuah upaya untuk

mengoreksi cacat mendasar dalam filsafat pengetahuan masa itu. Kant

memperoleh inspirasi utamanya dari karya tokoh empirisme, David

Hume, yang menurut Kant, telah membangunkan dia dari “tidur

dogmatik” rasionalisme ortodoks (pandangan ini menyatakan bahwa

akal adalah sumber pengetahuan kita yang utama).

Kant kemudian meyakini, sejalan dengan Hume, bahwa

pengetahuan itu berasal dari pengalaman daripada bersumber dari

akal. Tapi, dia menolak posisi kaum empirisis bahwa pengalaman-

pengalaman ini secara langsung menanamkan kesan yang kuat pada

otak, yang adalah sebuah “batu tulis kosong” pada saat kelahiran.
Menurut Hume, tidak ada konsep---bukan ruang, waktu, substansi,

kausalitas, atau kategori mental lain---yang bersifat a priori

(mendahului pengalaman).

Kant tidak membeli argumen ini, sama sekali. Yang paling

pertama, kata Kant, Hume pasti salah terkait konsep-konsep tentang

ruang dan waktu. Karena Hume telah mengklaim bahwa kita

mempelajari konsep “ruang” dengan mengobservasi relasi-relasi

diantara obyek-obyek yang kita ketahui dan pahami. Kita melihat

bahwa sesuatu itu ada di urutan selanjutnya dari sesuatu yang lain,

atau berada di atasnya, atau di bawahnya, dan lain-lain., dan sampai

pada pemahaman bahwa relasi-relasi semacam ini terjadi di dalam

ruang. Demikian pula dengan konsep waktu, yang menurut Hume,

dihasilkan dari proses meng-observasi bahwa peristiwa-peristiwa

terjadi secara berurutan (sesuatu yang ini terjadi setelah sesuatu yang

itu dan sebelum adanya sesuatu yang lain, dan lain-lain). Tapi, Kant

telah menghancurkan logika Hume. Bagaimana mungkin kita dapat

mengalami sesuatu yang itu “berurutan” (next to) dengan yang lain

atau bahwa sesuatu itu terjadi “setelah” sesuatu yang lain kecuali kita

sudah mempunyai konsep-konsep seperti “urut” dan “setelah”---yaitu,

konsep-konsep tentang ruang dan waktu?

Hal-hal semacam inilah, yang telah ditanamkan ke dalam pikiran,

simpul Kant, atau kita bahkan tidak dapat memulai untuk sebuah

makna yang dapat dipahami tentang chaos ini yang adalah persepsi.
Ruang, waktu, dan sejumlah “kategori-kategori” lain (seperti kuantitas,

kualitas, relasi, dan sebab) harusnya muncul secara inheren dalam

pemikiran; mereka adalah bentuk-bentuk (forms) yang kita paksakan

pada pengalaman-pengalaman untuk mengorganisir dan memahami

mereka. Dan bahwa setiap orang saling berbagi ide-ide yang sama

tentang ruang, waktu, dan lain-lain., yang berarti bahwa sebagai

tambahan untuk menjadi a priori (bawaan sejak lahir) mereka harus

juga menjadi universal.

Pada sisi lain, mereka tidak dapat dikatakan eksis dengan cara

yang sama dengan obyek-obyek itu eksis, karena intuisi-intuisi dan

kategori-kategori hanyalah konsep-konsep, bukan benda-benda

(things). Kita memaksakan mereka di atas pengalaman, daripada

menemukan mereka di dalam pengalaman. Pengalaman, juga,

berbeda dengan realitas, karena ia terdiri dari kesan-kesan

(impressions) atau persepsi-persepsi tentang benda-benda, bukan

tentang benda-benda-di dalam-diri mereka sendiri. (Ini karena konsep-

konsep diterapkan hanya pada pengalaman dimana kita tidak dapat

menggunakan mereka untuk menggambarkan obyek-obyek

transendental---Tuhan, misalnya.) apa yang kita pahami dalam ruang

dan waktu, apa yang kita lihat sebagai wujud yang besar dan luas dan

dengan warna tertentu, apa yang kita deduksikan sebagai sebab-

sebab dari peristiwa ini dan itu, semua ini hanyalah aspek-aspek dari

sesuatu yang dipahami dan dapat dijangkau oleh indera-indera,


permukaan yang mereka tunjukkan kepada kita, disebut oleh Kant

sebagai “fenomena.”

Jika ruang dan waktu eksis hanya dalam pikiran---sebagaimana

ditunjukkan secara tidak langsung oleh Kant---maka, dengan

mengalami dunia ini sebagai yang eksis di dalam ruang dan waktu,

kita hanya sedang mengalami bagaimana dunia ini menampak kepada

kita, bukan bagaimana ia eksis. Tapi, pastinya, terdapat sebuah dunia

nyata di luar sana yang mensuplai kita dengan penampilan-

penampilan luar ini: Kant menyebutnya dunia “noumena” (yang

dipertentangkan dengan “fenomena”). Ini adalah dunia dimana

sesuatu itu eksis sebagaimana adanya ia, bukan apa yang ia

tampakkan aspek luarnya saja; ini adalah dunia dari sesuatu-dalam-

dirinya sendiri.

Berdasarkan definisi di atas, kita tidak pernah dapat mengalami

dunia ini, lalu, apakah kita mengetahui bahwa ia benar-benar eksis?

Kant tidak pernah mampu untuk melakukan hal yang lebih baik lagi

selain dari menyatakan bahwa kita harus meyakini benda-benda-

dalam-diri mereka sendiri jika kita ingin meyakini pengetahuan yang

benar, dan pada bagian ini dari teori Kant, dianggap membingungkan

oleh para penerusnya. Setiap filosuf besar setelah Kant, berupaya

untuk menjauh darinya, apakah itu dengan mengklaim bahwa

penampilan-penampilan luar adalah (atau setidaknya dapat menjadi)

sama dengan realitas, atau dengan mengklaim bahwa, sementara kita


hidup dalam sebuah dunia fenomena, filsafat dapat mengarahkan kita

menuju noumena yang ada dibaliknya. Kita akan membahas

kemudian, pemikiran dari dua filosuf yang menganut pandangan yang

terakhir ini: G.W.F. Hegel dan Edmund Husserl.

Imperatif Kategoris
Terdapat... hanya sebuah imperatif kategoris tunggal dan ia adalah
yang berikut ini: Tindakan, hanya yang berdasarkan pada prinsip
moral, melalui mana anda dapat, pada saat yang sama, menginginkan
bahwa ia seharusnya menjadi sebuah hukum universal.
Immanuel Kant, The Metaphysic of Morals (1797), chapter
11

Setelah memecahkan masalah pengetahuan, setidaknya berdasarkan

pada ukuran kepuasannya sendiri, Immanuel Kant memasukkan etika

ke dalam mesin filsafatnya, dan berupaya menampilkan versi modern

dari Kaidah Kencana (Golden Rule)2.

Versi aslinya menyatakan: “Berbuatlah kepada orang lain

sebagaimana kamu menginginkan mereka untuk berbuat kepadamu.”

Kant memodifikasi ungkapan ini menjadi “Berbuatlah kepada orang

lain engkau menginginkan setiap orang untuk berbuat kepada setiap

orang.” Dalam ungkapan yang lebih teknis, tindakan-tindakan anda

seharusnya didasarkan pada prinsip-prinsip yang anda inginkan ini

adalah hukum-hukum universal. Inilah yang membuat hukum ini

2
Kaidah Kencana (Golden Rule) adalah prinsip tentang perilaku altruistik yang bersumber dari perjanjian
lama [Sepuluh Perintah Tuhan kepada Nabi Musa]. (Penerjemah).
bersifat “imperatif kategoris”, untuk menggunakan istilah Kant:

bersifat kategoris karena ia mencakup setiap orang tanpa kecuali dan

imperatif karena kewajiban moralnya.

Apakah ini lebih baik daripada ungkapan aslinya? Karena di

dalam teori, ia menghindari masalah ide-ide tentang perbedaan

pendapat di kalangan masyarakat terkait dengan apa yang mereka

suka untuk berbuat sesuatu kepada orang lain. Kant berharap untuk

dapat menandingi apa yang sekarang ini kita sebut dengan

“relativisme moral”, yaitu gagasan yang menyatakan bahwa apa yang

benar atau baik, bergantung pada situasi atau konteks. Yang lebih

salah lagi, pikir Kant, adalah doktrin utilitarianisme yang menyatakan

bahwa tujuan menghalalkan segala cara. Bagaimana mungkin hasil-

hasil (akibat-akibat) menyediakan sebuah basis moral bagi tindakan,

dia bertanya, bahkan ketika metode paling baik sekalipun dapat

mengandung kesalahan? Hasil-hasil (akibat-akibat) dari apa yang kita

lakukan, seringkali bukan apa yang kita niatkan semula, sehingga ini,

secara moral, menyimpang dari untuk mendasarkan vonis-vonis kita

pada hasil-hasil. Vonis-vonis yang dapat kita andalkan adalah yang

berdasarkan pada prinsip-prinsip yang melandasi tindakan-tindakan

kita, aturan-aturan yang kita gunakan dalam pembuatan keputusan-

keputusan.

Dan bagaimana prinsip-prinsip semacam ini diputuskan? Jika kita

ingin bersikap obyektif, kita harus melihat hal-hal yang universal. Tak
satupun dari situasi-situasi yang mengandung nilai-nilai moral; Kant

sedang mencari hukum-hukum yang solid dan konsisten untuk

melahirkan tatanan bahwa “Mencuri itu adalah salah.” Hukum-hukum

ini harus diterapkan secara lintas batas.

Demikianlah, bagaimana imperatif kategoris bekerja: diberikan

sebuah pilihan, anda harus menjadi sadar akan hukum-hukum ini yang

mendasari tindakan anda. Anggaplah seorang asing sedang

menghampiri anda dan menghina ibu anda. Reaksi pertama anda

mungkin mencekik lehernya, tapi berhentilah dan ujilah motif-motif

anda. Jika anda mengatakan kepada diri anda: “Adala h benar untuk

mencekik seseorang yang menyerang saya”---ini akan menjadi

“prinsip” untuk melakukan tindakan itu---anda kemudian harus

mempertanyakan apakah hukum semacam ini adalah rasional dan

apakah anda akan mengharapkannya untuk diterapkan secara lintas

batas. Dengan mempertimbangkan bahwa akibat yang timbul adalah

terjadi pembunuhan massal dan chaos, anda harus menolaknya---ini

adalah imperatif sehingga anda melakukan yang demikian ini.

Penyesuaian rasionalistik Kant atas Kaidah Kencana (Golden

Rule) menghadapi berbagai kesulitan-kesulitan. Yang pertama,

manusia yang normal, pada puncak peristiwa, jarang sekali dapat

berhenti dari mempertimbangkan implikasi-implikasi dari prinsip-

prinsip mereka. Yang kedua, hukum-hukum ini baik, tapi tidak selalu
bersifat praktis---bahkan jika kita ingin melakukan hal yang benar, kita

tidak selalu mampu mewujudkannya.

Ketiga, adalah tidak selalu mudah untuk mengetahui apa

“prinsip” atau hukum yang biasa dipraktekkan, kecuali dalam situasi-

situasi yang paling sederhana. Banyak hukum-hukum yang berbeda

yang mungkin dapat diterapkan, sebagian hukum-hukum ini

bertentangan dengan hukum-hukum lain. Setiap orang yang sedang

berlinang air mata saat didekati oleh seorang pengemis, akan

mengerti apa yang saya maksudkan.

“Dan Kehidupan Manusia itu,


Sendirian, Miskin, Kotor, Brutal, dan
Kasar”

Oleh karena itu, apapun yang terjadi adalah akibat dari suasana
Perang, dimana setiap manusia adalah Musuh bagi setiap manusia; hal
yang sama sebagai akibat dari suasana perang ini adalah bahwa
manusia hidup tanpa rasa aman, kemudian pada saat yang sama, apa
yang menjadi kekuatan mereka dan skill untuk menemukan sesuatu
akan muncul dalam diri mereka. Dalam kondisi seperti ini, tidak ada
tempat bagi Industri; karena buah dari situasi ini adalah tidak pasti:
dan sebagai akibatnya, tidak ada Kebudayaan di Bumi ini; tidak ada
Pelayaran, tidak juga ada pemanfaatan barang-barang komoditi yang
diimpor melalui jalan laut; tidak ada Bangunan yang luas; tidak ada
instrumen-instrumen untuk menggerakkan, dan memindahkan
berbagai hal yang membutuhkan banyak tenaga; tidak ada
Pengetahuan di permukaan Bumi ini; tidak ada penjelasan tetang
Waktu; tidak ada Seni; tidak ada karya Sastra; tidak ada Masyarakat;
dan yang terburuk adalah, rasa takut yang terus-menerus, dan bahaya
kematian yang menghancurkan; Dan kehidupan manusia itu, sepi-
sendiri, miskin, kotor, brutal, dan berlangsung singkat.
Thomas Hobbes, Leviathan (1651), Part I,
chapter 13
Anda sering mendengar baris-baris ini dari karya masterpiece Thomas

Hobbes yang dikutip di atas, seolah-olah dia memaksudkan kehidupan

sekarang ini atau kehidupan secara umum. Meskipun Leviathan adalah

jenis sesuatu yang menimbulkan depresi, Hobbes tidaklah sesuram itu.

Yang dia maksudkan adalah bahwa kehidupan itu tanpa adanya civil

society, akan menjadi “terpencil, miskin”, dan lain-lain, bukan bahwa

kehidupan itu seperti yang telah diungkap.

Benar, Renaissans yang terjadi belakangan, bukanlah suatu hal

yang remeh, di Inggris atau dimanapun. Orang-orang mengingat

Shakespeare dan Galileo, tapi melupakan kemajuan-kemajuan itu

dalam ilmu pengetahuan dan ilmu pelayaran (navigation), juga telah

membantu perkembangan skeptisisme dan sikap ragu-ragu. Ilmu

pengetahuan Aristoteles yang menghibur, telah menjadi puing-puing,

sebagaimana halnya kepastian-kepastian dari sebuah Gereja yang

dipersatukan (a Unified Church). Tuhan-lah yang menguasai dunia ini

melalui raja-raja dan ratu-ratu, wilayah kedaulatan mereka dijamin

oleh “hak ilahiah”, memberi jalan kepada Tuhan yang lebih akrab dan

lebih pribadi, yang berfirman kepada sang manusia awam dan juga

kepada sang raja.

Pemberontakan-pemberontakan rakyat Inggris yang memenggal

kepala Raja Charles I di pertengahan abad sembilan belas, jelas sekali,


tidak melihat dia sebagai mediator Tuhan. Sementara Hobbes (1588-

1679) telah bersetuju bahwa pemerintahan apapun adalah hasil dari

konsensus sosial, dia dengan keras menentang pemberontakan-

pemberontakan yang didasari oleh tindakan-tindakan dan ajaran

filsafat yang anti-Monarki. Hanya seorang penguasa dengan kekuasaan

absolut, dia berargumen, yang dapat secara efektif menahan dan

membatasi manusia-manusia dari saling berdebat dan saling

mengeksploitasi. (Jadi, judul Leviathan, mengacu pada makhluk

raksasa penakluk, yang terdapat dalam Bibel). Untuk mengukuhkan

premis ini, Hobbes membangkitkan suatu skenario kehidupan tanpa

adanya hukum.

Hobbes menggambarkan manusia dalam keadaannya yang alami

seperti berpusat pada diri (ego), lebih mementingkan diri sendiri, dan

merasa tidak aman. Dia tidak mengetahui hukum dan tidak

mempunyai konsep tentang keadilan; dia hanya mengikuti apa yang

didiktekan oleh nafsu-nafsu dan hasrat-hasrat.

Dimana tidak ada pemerintahan atau hukum, maka manusia

akan secara alami jatuh ke dalam perbantahan, persaingan dan

kontroversi. Ketika sumber-sumber daya alam itu terbatas jumlahnya,

maka akan terdapat kompetisi, yang mengarah pada ketakutan,

kekecewaan, dan perbantahan. Manusia juga secara alami mencari

reputasi dengan menjatuhkan dan mengalahkan orang lain. Ketika

dalam pandangan yang lebih luas, orang-orang itu setara dalam


kekuatan dan kecerdasan, tak satupun orang atau kelompok yang

dapat memaksakan kekuatan mereka tanpa ada bahaya yang

menghadang. Jadi, konflik ini berlangsung secara abadi, dan “setiap

manusia adalah Musuh bagi setiap manusia.”

Dalam situasi perang ini, tak satupun kebaikan yang dapat

muncul. Sementara setiap orang berkonsentrase pada

mempertahankan diri sendiri dan menaklukkan (orang lain), maka

keberadaan buruh-buruh yang produktif adalah mustahil. Tidak ada

waktu senggang untuk mengejar dan menuntut ilmu pengetahuan,

tidak ada motivasi untuk membangun atau mengeksplorasi, tidak ada

tempat bagi seni dan sastra, tidak ada pijakan yang kuat bagi

masyarakat---yang ada hanya “rasa takut yang berlangsung secara

terus-menerus, dan bahaya dari kematian yang menyakitkan.” Jadi,

kehidupan manusia dalam situasi seperti ini, dalam ungkapan terkenal

Hobbes, adalah “sepi-sendiri, miskin, kotor (menjijikkan), brutal, dan

kasar.”

Pandangan semacam ini, yang sangat diwarnai oleh rasa kurang

percaya diri dan putus asa tentang masa tersebut, jelas sekali, tidak

mempunyai acuan kepada Tuhan. Secara khusus, ia tidak mempunyai

acuan pada peran Tuhan dalam pemerintahan, yang dilihat oleh

Hobbes sebagai sebuah produk manusia. Pemerintahan-pemerintahan

muncul ketika manusia, terilhami dan digerakkan oleh akalnya,

mencari kebaikan untuk jangka panjang dengan menghindari keadaan


alamiahnya yaitu rasa putus asa akan adanya konflik dan rasa takut,

demi mengharap tercapainya perdamaian dan rasa aman. Manusia

memilih untuk mengenali sebuah kekuatan yang umum sepanjang

tetangga-tetangga mereka melakukan hal yang sama, karena hanya

yang semacam ini sajalah yang dapat memelihara keteraturan.

Kekuatan ini kemudian mempunyai kewajiban untuk memelihara rasa

aman masyarakat luas; sarananya adalah hukum, dan kendaraannya

adalah kekuatan yang tak terbantahkan. Karena pada tingkatan

kekuasaan itu dapat dibagi, konflik akan muncul.

Inilah sebabnya mengapa Hobbes berpikir bahwa monarki adalah

bentuk terbaik sistem pemerintahan: hanya suatu kekuatan yang

seperti Leviathan yang ia sendiri melampaui hukum---dan dengan

demikian tidak dapat dilangkahi oleh otoritas yang lebih tinggi---

pastinya dapat dan mampu memelihara rakyat secara efektif. Tentu

saja, sebagaimana diakui oleh Hobbes, raja-raja akan terjerumus pada

situasi perbantahan dan perseteruan dengan raja-raja lain, tapi Hobbes

tidak menganut suatu pemerintahan dunia yang terpusat. Selama

segala sesuatunya stabil dan terkendali, baik-baik saja dalam

pandangannya bahwa raja-raja itu mencari ketenarannya di luar

negeri.

Sangat disayangkan bahwa ide-ide Hobbes telah membuat tak

seorang pun merasa bahagia. Dia juga terlalu bersikap pro kepada

para bangsawan terkait dengan kontrak sosialdan terlalu banyak


memberi keuntungan kepada kaum bangsawan dalam pembuatan

kontrak sosial ini; lebih dari itu, pandangan-pandangannya dinilai oleh

berbagai pihak banyak mengandung unsur-unsur ateistik, meskipun

Hobbes mengingkari hal ini. Faktanya adalah bahwa pemikirannya

adalah terlalu rumit dan aneh bagi setiap orang untuk mencerna

keseluruhannya, meskipun ia akan memberi pengaruh pada filsafat

dan ilmu politik terhadap beberapa generasi. (Spinoza adalah salah

satu dari murid Hobbes yang layak dicatat). Hobbes sendiri sudah

merasa terlalu capek melayani perdebatan di masa tuanya dan dia

memuaskan dirinya dengan menerjemahkan karya Homer.(Iliad dan

Odyssey, pent.).

Tabula Rasa
Marilah kita anggap pikiran (mind) itu menjadi, sebagaimana yang kita
katakan, kertas putih, kosong dari semua karakter, tanpa satu ide pun.
Bagaimana ia menjadi sangat berwarna? .... Tentang hal ini, saya
menjawab, dalam satu kata, dari pengalaman.
John Locke, Essay concerning Human Understanding (1690), Book
II

Jangan sampai bahasa Latin membuat anda takut, tabula rasa

sebenarnya adalah salah satu dari ide-ide besar yang lebih sederhana.

Ini hanya berarti “piringan kosong”, yang adalah keadaan orisinal dari

pikiran manusia, menurut beberapa filosuf.


Diantara mereka yang berpendapat demikian adalah pakar Fisika

Inggris, John Locke (1632-1704), yang dalam karyanya Essay

concerning Human Understanding telah mempelajari asal-usul ide-ide

dan hubungan mereka dengan realitas. Dia mengemukakan bahwa

semua ide ini berasal dari pengalaman dan bahwa pengetahuan itu

hanyalah relasi-relasi antara ide-ide. Ini berarti kita tidak dapat

mempunyai ide-ide apapun hingga kita mempunyai pengalaman-

pengalaman. Jadi, sebenarnya, pikiran dari anak yang baru lahir adalah

kosong. Locke menyebutnya “kertas putih”; tabula rasa (secara harfiah

berarti “tablet yang dihapus”) mendahului dia dan menyatakan,

bertentangan dengan doktrinnya, bahwa sesuatu itu telah berada

disana sebelum dihapus.

Hasil akhir dari “kertas putih” Locke adalah bahwa bukan hanya

kita dilahirkan dalam keadaan tanpa ide-ide konkret, kita juga tidak

mempunyai konsep-konsep abstrak semacam moralitas, Tuhan, dan

kebebasan. Konsep-konsep semacam ini harus dipelajari, sebagaimana

bahasa, dan mereka ini dipelajari baik melalui pengalaman atau

melalui perenungan dan nalar. Pandangan-pandangan ini membawa

Locke untuk menolak idealisme dan seluruh gagasan dari ide-ide

bawaan yang mewarnai bahasan filsafat sehari-hari.

Meskipun, rasio mempunyai tempatnya sendiri dalam

pemahaman manusia, Locke mengatakan, ia tidak mendominasi

pengalaman. Pikiran adalah bukan di atas materi, karena materi,


melalui pengalaman, menyediakan ide-ide untuk pikiran (mind).

Konsep-konsep kita yang paling sederhana dan paling mendasar

(seperti “suara nyaring”, “keras” , dan “manis”) yang didukung oleh

indera, dan semua ide-ide yang lebih konkret yang dibangun di atas

mereka. Ide-ide lain datang kepada kita melalui refleksi (perenungan),

termasuk kesadaran tentang proses pemikiran kita sendiri;

“pemikiran” itu sendiri sebagaimana halnya dengan “persepsi”,

“keyakinan”, “kesadaran”, “keraguan”, dan lain-lain, semuanya

didukung oleh pengalaman reflektif. Ide-ide seperti itu bersifat

sederhana, namun, tidak berarti bahwa mereka adalah ide-ide bawaan.

Doktrin Locke tentang tabula rasa, terutama, bersumber dari

logika sederhana. Misalnya, jika kita semua lahir dengan sebuah ide

bawaan tentang Tuhan, maka kita semua akan mempunyai ide yang

sama tentang Tuhan. Tapi, tentu saja, kita tidak demikian. Demikian

pula, jika kita terlahir dengan sebuah ide tentang kebenaran moral,

kita semua akan bersetuju tentang apa yang benar dan apa yang

salah. Tapi, kita tidak demikian. Akhirnya, kebenaran-kebenaran

analitik seperti “Apapun ia, ia eksis” dan “2 + 2 = 4” adalah bukan ide-

ide yang sudah jelas bagi setiap orang---misalnya, anak-anak dan

orang-orang idiot. Locke juga memikirkan premis tentang

rasionalisme---pikiran berada di atas materi---yang terlalu kompleks

untuk digunakan atau untuk menjadi valid. Seperti Occam, dia

memikirkan bahwa yang lebih sederhana itu lebih baik, dan penjelasan
apapun tentang pengetahuan yang tidak memerlukan ide-ide bawaan

adalah lebih sederhana.

Sebenarnya, ketika tabula rasa tampaknya merupakan sebuah

ide yang sedrhana, argumen Locke berakhir dengan agak rumit. Dalam

kenyataan, dia kadang-kadang bertentangan dengan dirinya sendiri

dan yang pada akhirnya memaksa untuk mengakui bahwa “fakultas-

fakultas” (kemampuan-kemampuan tersembunyi) harusnya bersifat

bawaan. Di antara ini adalah lima indera dan kemampuan bernalar,

yang diperhitungkan sebagai “ide-ide” oleh beberapa kelangan.

Apapun kesulitan-kesulitan yang terjadi tentang argumennya,

argumen-argumen ini telah mengendalikan filsafat Inggris untuk terus

memelihara karakter empirismenya. Namun, dia telah gagal untuk

meyakinkan para filosuf Perancis, yang secara keseluruhan, masih

tetap menjadi kaum rasionalis. Hanya merupakan salah satu alasan

lain tentang mengapa banyak orang Inggris merasa khawatir terkait

dengan penyatuan Eropa dan dengan akan dibangunnya terusan-

terusan (bawah laut dan permukaan) antar negara.

Kontrak Sosial
Manusia terlahir bebas, dan dimana saja ia berada, ia dalam belenggu
rantai. Seringkali, orang meyakini dirinya sendiri sebagai penguasa
atas orang-orang lain, padahal dia adalah lebih budak daripada
mereka. Bagaimana perubahan ini terjadi? Saya tidak tahu. Apa yang
dapat membuatnya menjadi sah? Saya yakin bahwa saya dapat
menyelesaikan pertanyaan ini....
Jika orang-orang memperoleh kembali kebebasannya yang
berdasarkan pada kesamaan hak, baik mereka itu di-justifikasi
(dibenarkan dan di legal-kan) dalam memperolehnya kembali, atau
tidak ada justifikasi untuk menjauhkan mereka darinya. Tapi,
keteraturan sosial adalah sebuah hak suci yang menyediakan sebuah
pondasi bagi semua yang lain. Namun hak ini, tidak datang secara
alami. Oleh karena ia didasarkan pada konvensi-konvensi.
Pertanyaannya adalah untuk mengetahui apa saja konvensi-konvensi
ini.
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract (1762), Book I,
chapter I

“Manusia terlahir bebas, dan dimana saja ia berada, ia dalam

belenggu.” Demikian awal prediksi Jean-Jacques Rousseau tentang

borok-borok sosial pada masanya. Masyarakat modern disifatkan

sebagai mementingkan diri sendiri, tidak setara (kesenjangan), tirani

yang picik, dan ketidakotentikan, mengkhianati keadaan alami

manusia, yang bebas, terbuka, dan bahagia. (Jelas sekali, Rousseau

tidak menerima dan meyakini gambaran Hobbes tentang manusia

alami sebagai tidak bahagia, kasar, dan mementingkan diri sendiri).

Rousseau (1712-1778) tidak menghendaki penggulingan

“sistem”. Targetnya yang terutama adalah suatu keyakinan, yang

ditujukan kepada semua secara sama terhadap raja, kaum bangsawan,

dan terhadap banyak orang di jalan: bahwa masyarakat mereka dan

pemerintahan mereka harus sesuai dengan harapan mereka sendiri,

karena Tuhan atau alam (atau keduanya) telah menciptakan mereka

seperti itu. Au contraire, demikian argumen Rousseau; Tuhan telah

menciptakan kita setara secara alami, baik secara alami, mampu

memerintah diri sendiri, dan sendirian secara esensial. Jika masyarakat


eksis sepenuhnya, ini karena masyarakat, bukan Tuhan atau alam,

telah menciptakannya untuk saling berbagi rasa aman dan keuntungan

yang sama. Dan apa yang telah diciptakan oleh manusia, manusia juga

mungkin untuk merusaknya.

Namun, masyarakat ideal Rousseau ini tidaklah bersifat bebas

sebebas-bebasnya, karena anarki bahkan lebih buruk daripada

penindasan. Yang telah dia kemukakan adalah sebuah “kontrak sosial”

(contrat social). Anugerah yang diberikan adalah bahwa semua

manusia adalah setara secara alami, tapi, masyarakat ideal ini adalah

sebuah rekayasa yang berdasarkan pada konsensus, pada sebuah

persetujuan atau “kontrak” diantara seluruh warganya. Dan jika

masyarakat semacam ini bersifat otentik dan baik, maka ia harus

mempertahankan dan memelihara sebanyak mungkin kebebasan

alami individu, untuk mengatakan, hak-nya untuk menentukan diri

sendiri.

Tapi, ini membutuhkan skill dan sikap waspada untuk

mengupayakannya, ketika kontrak-kontrak ini, berdasarkan

definisinya, melibatkan sebuah pertukaran, dalam hal ini adalah

tentang hak-hak dan kebebasan-kebebasan. Gagasan Rousseau ini,

dalam kenyataan, menuntut setiap anggota masyarakat “untuk

menyerahkan hak individunya pada kewajiban kolektif dan

menyerahkan seluruh kuasanya di bawah kontrol tertinggi dari

kehendak umum” (“put in common his person and his whole power
under the supreme direction of the general will”). Hanya dengan cara

inilah, suatu masyarakat akan terbentuk, yang menyediakan

kesejahteraan umum daripada menyalurkan hasrat-hasrat dan

kepentingan-kepentingan dari seseorang atau dari kelompok yang

berkuasa.

Tapi, bagaimana kriteria ini sesuai dengan persyaratan lain yang

diajukan Rousseau---bahwa masyarakat itu tidak melanggar kebebasan

alami individu? Jawaban dia adalah bahwa tidak ada konflik sama

sekali. Karena kebebasan sejati adalah moral, dan kebaikan moral itu

kandungan utamanya adalah mengharapkan kebaikan dari setiap

orang. Ketika kepentingan-kepentingan pribadi bertentangan dengan

kesejahteraan umum, yang merupakan sesuatu yang tidak bermoral,

sehingjga kita kita tidak “bebas” secara alami, berdasarkan definisi

dia, untuk mengejar mereka. “Kehendak umum” ini dikukuhkan ketika

kita bersikap setuju pada kontrak sosial yang dia ajukan, yang

bermakna sama dengan kebebasan moral, dimana setiap orang akan

mengakui jika mereka telah mengetahui apa yang benar-benar baik

bagi mereka.

Apapun yang anda pikirkan tentang logika Rousseau, ini sungguh

mempunyai implikasi-implikasi yang mendasar---yaitu, bahwa kita

mempunyai hak-hak tertentu yang tidak bisa dialihkan pada orang lain

dimana negara atau masyarakat tidak dapat membatasi dan

melanggarnya. Dalam pelaksanaan kontrak sosial yang ideal,


kehendak yang umum adalah kedaulatan dan pemerintahan dipegang

oleh pihak-pihak yang memperoleh persetujuan dari yang diperintah.

Kontrak sosial memberikan kekuasaan eksekutif secara bersyarat, dan

masyarakat bisa saja memecat mereka kapan saja yang mereka

kehendaki. Adalah merupakan sentimen-sentimen (lebih berdasarkan

perasaan daripada rasio) bahwa Rousseau memperoleh ucapan

selamat dan pujian dari Edmund Burke yang menyebut dia sebagai

“Socrates gila” dari Revolusi Perancis.

Berbicara tentang Socrates, acuan-acuan pertama yang

melandasi kontrak-kontrak sosial ini telah ditemukan, bukan dalam

karya tulis Rousseau, tapi dalam dialog-dialog Plato. Misalnya, dalam

Republic, Glaucon mengacu pada “suatu kesepakatan yang bukan

untuk melakukan dan tidak juga untuk mengalami ketidakadilan”; ini

adalah “awal mula legislasi dan awal dari perjanjian formal yang

mengikat diantara manusia-manusia” (Book II). Namun, pada akhirnya,

Plato membuang teori ini dan teori demokrasi.

Semakin mendekati penerapannya, teori kontrak sosial telah

memperoleh perhatian dan penanganan yang serius pada abad tujuh

belas oleh Hobbes dan John Locke. Hobbes, misalnya, berargumen

bahwa pikiran logis dan rasa takut telah memaksa individu-individu

untuk mencari perdamaian dengan bergabung dalam suatu

“persetujuan formal”, dimana mereka menyerahkan berbagai hakhak

individu kepada suatu otoritas yang terpusat. Sebagai imbalannya,


mereka akan dapat melangsungkan urusan-urusan mereka dengan

aman, menyadari bahwa tindakan kriminal apapun yang ditujukan

kepada mereka akan memperoleh hukuman setimpal. Dalam versi

Hobbes, orang-orang tidak dapat mempertahankan kedaulatannya;

dalam kenyataan, ini bersifat imperatif (perintah) bahwa mereka

menyerahkan kedaulatannya kepada, misalnya, seorang raja, karena

jika ini tidak dilakukan, maka pihak yang lebih kuat dan berkuasa akan

berupaya untuk merampas kekuasaan secara tidak adil terhadap

mereka yang lebih lemah. Tapi, jika seorang raja melakukan berbagai

hal yang tidak disukai oleh rakyat, ini sangat buruk, karena sang raja

tidak terikat oleh kontrak, yang hanya berlaku di kalangan mereka

yang telah memberi dia otoritas. Pendekatan menyeluruh Hobbes

terbukti sangat berpengaruh---setelah Machiavelli, dia adalah tokoh

terbesar kedua dalam perkembangan ilmu politik---tapi, ide-idenya

sendiri telah mendapat serangan dari seluruh aspek dan pada akhirnya

tidak memperoleh perhatian dan tanggapan. Yang lebih berhasil

adalah ide-ide dari John Locke, yang dalam karyanya Second Treatise

of Government (1690), mengemukakan argumen bahwa sementara

manusia membutuhkan pemerintahan, pemerintahan itu pada

akhirnya adalah sang pelayan, bukan sang majikan, dari masyarakat.

Kumpulan masyarakat sepenuhnya bebas untuk mendikte dan

memodifikasi syarat-syarat perjanjian dari pemerintahannya, lebih

disukai dengan menuliskan syarat-syarat itu secara tertulis. Inilah


persisnya yang telah dilakukan oleh para Founding Fathers ketika,

pada tahun 1781, mereka menyusun dan meratifikasi kontrak-kontrak

sosial yang paling termasyhur dari seluruh kontrak-kontrak sosial:

Konstitusi Amerika Serikat.

Dialektika
Dialektika dapat berarti sejumlah hal; misalnya, pengertian asalnya

dalam bahasa Yunani mengandung arti “wacana”. Tapi, ia utamanya

dimaksudkan sebagai satu hal khusus sejak filosuf Jerman, Georg

Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), mulai membahas istilah ini.

Dialektika Hegel, untuk mudahnya, dapat disarikan dalam tiga

kata: tesa, anti-tesa, sintesa. (Tiga kata ini bukan berasal dari Hegel,

tapi tak menjadi masalah). Setiap konsep atau urusan-urusan yang

telah baku (“tesa”) pada akhirnya memunculkan sebuah konsep yang

bertentangan (“anti-tesa”), dan ketika konsep anti-tesa ini menjadi

baku dan mulai tumpul, maka konsep yang baru dan lebih baru

(“sintesa”) akan muncul.

Jadi, kemajuan manusia, menurut Hegel adalah suatu anugerah.

Istilah dialektika ini juga menjelaskan kontinuitas, karena tesa dan

anti-tesa tidak saling meniadakan satu sama lain; lebih akurat lagi,

bahwa unsur terbaik dari masing-masing konsep, terpelihara dalam

sebuah sintesa baru. Tapi, sintesa ini akan mempunyai celah-celah dan
cacatnya sendiri, yang akan memprovokasi suatu anti-tesa baru, dan

demikian seterusnya. Dalam pandangan Hegel, gerak maju ini mustahil

tanpa adanya konflik.

Untuk menangani apa yang dimaksudkan oleh Hegel, marilah

kita ambil salah satu contoh dari Hegel yang paling dikenal: “hubungan

majikan/budak”. Bayangkan seorang majikan dan seorang budak, atau

tuan dan pelayan, sebagai tesis dan anti-tesis kita. Sang majikan

adalah seorang majikan atau tuan adalah seorang tuan, karena dia

memiliki pelayan-pelayan: dia didefinisikan, dalam hal ini, berdasarkan

pada apa yang bukan menjadi predikat dia (seorang budak atau

pelayan). Tampaknya bahwa dalam setiap cara, sang majikan adalah

lebih superior ketimbang sang budak, dan bahwa sang budak memiliki

identitas dan kesejahteraan yang bergantung kepada majikannya.

Tapi, semua ini adalah tidak seperti yang tampak di permukaan.

karena, dalam kenyataan, sang majikan itu sendiri, bergantung pada

sang budak---bukan hanya untuk jasa pelayanan yang menjadi tugas

sang budak, tapi bahkan untuk mengukuhkan identitasnya (“Saya

adalah seorang majikan karena budak saya menganggap saya sebagai

majikannya”).

Jadi, “tesis” majikan, bergantung pada “anti-tesis” budak

sebanyak sang budak bergantung pada majikannya---dalam satu

pengertian, sang majikan adalah budak dari budaknya, dan sang

budak adalah majikan dari majikannya. Jika sang majikan


merenungkan situasi ini---sebagaimana dalam pandangan Hegel yang

progresif, dia terikat untuk melakukan ini---dia harus menyadari sifat

netral dan unsur ketidakadilan dari upaya menaklukkan sang budak

tempat ia bergantung. Dan berdasarkan pada kesadaran ini akan

muncul sebuah sintesis yang lebih adil---susunan sosial yang rasional

dan humanis.

Sejarah, filsafat, sains, agama, dan hal-hal keseharian yang lain

juga bekerja dengan cara seperti ini, berkembang menjadi lebih baik

dan lebih baik lagi, sepanjang waktu! Tapi, darimana ini semula

bermula? Menurut Hegel, dengan energi sangat kuat yang abadi, yang

dia sebut “Roh” (Geist). Roh ini, yang selalu mendesak dan merangsek

menuju kesempurnaan, menjadi Rasio itu sendiri. Menyerang balik

kepada kaum skeptis dan mereka yang menolak, dia berupaya keras

menyusun argumen yang panjang dan menjemukan guna

membuktikan bahwa Rasio (=Pikiran= Roh) adalah yang meliputi

semua dan selalu berupaya menuju kesadaran-diri yang menyeluruh,

yang merupakan prestasi sempurna kemanusiaan. Dan sarana melalui

mana Roh ini melakukan upaya kerasnya adalah dialektika, yang

merupakan hamparan dari “Ide transendental” yang akan mencapai

kesempurnaannya di Akhir Sejarah.

Anda boleh menduga bahwa dibalik semua kata-kata yang tidak

ada artinya ini, terdapat sebuah ide yang telah sangat familiar: Tuhan.

Ini menjadi dapat dipahami di luar kontroversi tentang dia bahwa


dunia fenomena ini telah diciptakan oleh---faktanya, hanya sebuah

ekstensi [perluasan] dari---Geist. Apa yang telah terjadi di awal,

pikirnya, adalah bahwa Tuhan---yang adalah Pikiran Absolut---pada

akhirnya mengarahkan pemikiran-pemikiran-Nya kepada Diri-Nya

Sendiri. tapi, anda harus mengenyampingkan diri anda dari sesuatu

untuk memikirkannya---bahkan ketika obyek pemikiran ini adalah diri

seseorang, orang itu harusnya masih menjadi sebuah “obyek” dari

“subyektivitas”-nya sendiri. namun, ketika Tuhan itu bersifat Maha

Ada, maka tak ada satu-pun yang terpisah dari Tuhan. Jadi, apa yang

Dia pikirkan adalah Ketiadaan (Nothingness).

Ketiadaan ini, tentu saja, adalah anti-tesis dari Ada. Tapi,

daripada membuat diri-Nya tidak berguna, Tuhan menggerakkan Ada

dan Ketiadaan ini, yang adalah proses Menjadi---asal dan mekanisme

sentral dari Sejarah. Dan tujuan dari Sejarah ini adalah untuk

membimbing kembali menuju Pikiran Absolut, menuju Ada tanpa

Ketiadaan. Dan itulah sebuah versi sederhana dari argumen dia.

Anda mungkin juga menyukai