Anda di halaman 1dari 40

HUMAN SCIENCES

Oedipus, kurang Kompleks: Psikologi


Sebuah Respon A la Pavlov
Laporan ini tidak ragu-ragu untuk menyebut nama-nama, sebuah
prosedur yang secara tak terhindarkan, akan mengeluarkan respon
Pavlov dari golongan Kiri untuk mengejeknya sebagai ketakutan
“Golongan Merah dibawah kasur.”
The Daily Telegraph, 8 Feb. 1974

Nama Pavlov mungkin membuat anda ingin berteriak: “Anjing-anjing!”

kita akan menyebut ini sebagai respon Pavlov, tapi itu akan terlalu

menyederhanakan poin inti yang dibuat oleh fisiolog Rusia, Ivan Pavlov

(1849-1936). Yang paling bertanggung jawab atas kesalahan ini adalah

koran Inggris The Daily Telegraph, yang memperkenalkan sebuah

ungkapan baru “Respon a la Pavlov” pada tahun 1974 (ungkapan-

ungkapan seperti “pengkondisian a la Pavlov” dan “Sistem a la Pavlov”

sudah ada terlebih dahulu), menggunakannya sekadar sebagai

equivalen dengan “reaksi yang dapat diprediksikan.”

Pavlov sendiri sebenarnya lebih tertarik pada perilaku yang tak

terduga atau yang bertentangan dengan insting. Ia pertama kali

menulis (dan memenangkan hadiah Nobel pada tahun 1904) dengan

karya yang kurang menarik tapi sangat penting tentang sekresi dari

cairan-cairan perut. Pavlov menemukan bahwa sementara, organ

pankreas berfungsi kapan saja anda mulai makan hamburger, yang

dapat diprediksi, ia juga dapat dirangsang hanya dengan memikirkan


sepotong hamburger, atau bahkan dengan melihat obyek tiruan.

Pavlov mengidentifikasi contoh-contoh yang menggugah rasa ingin

tahu ini sebagai kasus-kasus “sekresi yang bersifat kejiwaan,” yang

memberikan pijakan bagi teori-teorinya yang lebih terkenal.

Dalam serangkaian eksperimen yang menggemparkan kalangan

aktivis hak-hak binatang saat itu, Pavlov menggunakan beberapa

anjing yang telah dilengkapi dengan alat-alat untuk mengukur sekresi

cairan ludah dalam merespon beragam rangsangan. Cukup dapat

diprediksi (sebagaimana riset Pavlov sebelumnya), penglihatan

terhadap sepotong burger membuat mulut mereka berair. Pavlov

kemudian menemukan bahwa anjing-anjing iut dapat juga dibuat

untuk mengeluarkan air liur dalam merespon rangsangan apa saja

yang netral---katakanlah, sebuah suara atau tendangan---bahwa

rangsangan-rangsangan ini menimbulkan asosiasi pengenalan yang

akan terjadi tentang makanan anjing. Dia menyebut rangsangan netral

ini sebagai “terkondisi” dan reaksi anjing sebagai sebuah “refleks yang

terkondisi”---yaitu, sebuah refleks yang secara artifisial (tiruan dari

aslinya) di-induksi-kan melalui latihan atau kebiasaan. (Istilah ini

pertama kali muncul di Inggris pada tahun 1906 dalam jurnal Nature).

Dalam keadaan tidak tahu sampai sejauhmana prestasi yang

dihasilkan sendirian, Pavlov terus memperkirakan hal-hal yang belum

diketahui berdasarkan pada premis-premis dan bukti-bukti yang telah

diketahui, observasi-observasi yang lebih canggih yang masuk dalam


wilayah teori besar psikologi, dengan berupaya menjelaskan hampir

semua perilaku, yang normal dan yang menyimpang, perihal refleks-

refleks yang diperoleh dan interaksi mereka yang beragam. Setelah

meraih popularitas sesaat di dunia Barat, banyak dari para penganut

teori dengan skala yang lebih luas dari Pavlov mengklaim telah

mengemukakan teori ini secara meluas, tapi mereka disambut hangat

oleh pemerintahan Soviet. Meskipun bukan penganut teori Marx, teori-

teori Pavlov praktis sesuai dan cocok dengan pandangan kaum Marxis

bahwa perilaku manusia didasarkan pada kondisi-kondisi materi dan

pola-pola kehidupan. Jika masyarakat dibiasakan untuk mengalami

penindasan, mereka dapat dibentuk secara baru begitu mereka

terbebas dari penindasan. Dengan kata lain, sistem pemerintahan

Soviet menjelaskan kondisi para warganya. Hasil dari teori ini dapat

ditemukan di koran harian anda.

Behaviorisme

Anda berjalan menuju gedung bioskop dan tiba-tiba saja sangat

menginginkan popcorn. Anda merasa rileks di dalam ruangan

berwarna biru dan merasa cemat di dalam ruangan berwarna merah.

Merasa terperangkap dalam kesedihan, anda meminta nasehat teman

anda dan mencoba untuk tetap menyunggingkan senyum; secara

ajaib, anda segera merasa lebih baik.


Bagaimana kita menjelaskan hal-hal semacam ini? Apakah

terdapat sebuah cara obyektif untuk membahas perasaan-perasaan

ini? Apakah kita perlu mengacu pada “pikiran” atau “impuls-impuls tak

sadar” untuk menjelaskannya? Atau apakah ini semua menjadi

sekelompok reaksi-reaksi kimiawi di dalam otak?

Behaviorisme, pada umumnya, adalah suatu aliran psikologi

yang secara khusus menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam ini.

Tidak seperti para penganut teori-teori Freud, aliran ini tidak

menggunakan konsep-konsep hipotetik (yaitu: yang tidak dapat

dicermati) semacam “Alam bawah sadar” atau “id” dalam menjelaskan

peristiwa-peristiwa kejiwaan. Dengan menganggap bahwa mereka

memiliki pendekatan yang lebih ilmiah, kaum behavioris membatasi

diri mereka pada data-data yang dapat diobservasi. Dan dalam kasus

psikologi manusia, apa yang dapat diobservasi adalah perilaku---oleh

karena itulah istilah behaviorisme muncul.

Ide-ide behavioristik dapat ditelusuri jejaknya, setidaknya,

melalui tulisan-tulisan Thomas Hobbes, yang berpandangan bahwa

organisme manusia sebagai jenis mesin yang superior. (Dalam

pandangan Hobbes, perasaan-perasaan dan tindakan-tindakan dapat

digambarkan sebagai hasil dari peristiwa-peristiwa fisik atau “gerakan-

gerakan” di dalam tubuh). Tapi, sebagai suatu aliran dan sebagai

sebab, behaviorisme, esensinya adalah kreasi dari psikolog Amerika


John B. Watson, yang pada tahun 1914 wilayah baru Behaviorisme

pertama kali lahir.

Watson dengan penuh semangat menolak ide, yang telah dianut

sejak era Descartes, bahwa pikiran dan tubuh beroperasi berdasarkan

pada prinsip-prinsip yang berbeda, dan bahwa cara terbaik (dan satu-

satunya cara terbaik yang sebenarnya) untuk mempelajari pikiran

adalah melalui introspeksi. Ini, klaim Watson, bukanlah sains.

Pertama, introspeksi dengan sendirinya adalah bersifat subyektif:

penemuan-penemuannya tidak dapat dibangun secara obyektif.

Kedua, introspoksi tidak menghasilkan apapun bahkan tidak juga data-

data kasar sedikitpun: penemuan-penemuannya tidak dapat

dikuantitaskan. Jika psikologi harus menjadi ilmiah, kata Watson, maka

ia harus melibatkan dirinya dengan data-data kasar, yang dapat

diobservasi dan bersifat obyektif. Dan ia harus mengesampingkan hal-

hal yang samar dan tidak jelas (dan dia berpikir tentang entitas-entitas

yang tidak eksis) seperti “kesadaran” atau “hasrat.”

Banyak paralel dengan pemikiran Pavlov, yang karya-karyanya

tentang perilaku binatang yang baru saja dia baca, Watson dan para

pengikutnya berpikiran bahwa psikologi ilmiah dihasilkan dari

mempelajari hubungan-hubungan antara rangsangan eksternal dengan

respon-respon individu. Jika kita dapat menunjukkan melalui

eksperimen bahwa beberapa peristiwa (katakanlah, sebuah bel yang

sedang berbunyi) secara teratur menyebabkan sebuah perilaku khusus


(katakanlah, kejang syaraf), kemudian kita membangun sebuah klaim

psikologis. Koleksi total dari asosiasi peristiwa atau perilaku semacam

ini mencukup sebagai sebuah kumpulan data, dan hanya dengan bukti

semacam ini kita dapat melakukan pembenaran dalam membuat

inferensi-inferensi psikologis.

Peristiwa-peristiwa diasosiasikan dengan perilaku, kaum

behavioris mengatakan, melalui sebuah proses pembelajaran atau

“pengkondisian”. Jika seekor anjing secara teratur diberi hadiah

sekerat tulang setiap kali dia mematuhi perintah: “Duduk!” maka dia

kemudian akan belajar bahwa mematuhi perintah itu menyenangkan

dan perintah: “Duduk!” sejak itu akan membuatnya untuk duduk,

hampir sebagai suatu refleks. (Behavioris B.F. Skinner menyebut ini

sebagai “penguatan kembali secara positiv”). Demikian pula, jika

sebagai anak-anak, kita belajar bahwa pergi menonton film di gedung

bioskop adalah berarti popcorn, kita menjadi terkondisi untuk meng-

asosiasi-kan peristiwa ini (pergi ke gedung bioskop) dengan perilaku ini

(makan popcorn), dan yang disebut pertama akan memprovokasi

sebuah tindakan untuk mencapai yang disebut terakhir.

Ide dasar dari behaviorisme, secara singkat, adalah bawa

perilaku itu bukan hanya sebuah tanda dari beberapa keadaan mental

tapi ia sebenarnya adalah sama dengan suatu keadaan mental. Kita

tidak memperoleh dari mana saja dengan bahan-bahan yang

bermacam-macam semacam absurditas seperti “temperamen” atau


“id,” yang hanya merupakan abstraksi-abstraksi teoritis dari

bagaimana orang berperilaku. Ini sama baiknya, dan bahkan lebih

ilmiah, untuk menjadikan fenomena semacam “perilaku neurotik” ini

dengan mempertentangkan respons-respons refleks pada rangsangan

yang lebih luas. Disamping itu, pandangan kaum behavioris

mendukung tujuan akhirnya: keterlibatan mereka tidak dengan model-

model teoritis, tapi dengan membuat orang-orang bertindak secara

lebih baik. Yaitu, jika anda dapat memperbaiki lingkungan, anda dapat

memperbaiki masyarakat.

Watson, tentu saja, harus melakukan beberapa tarian bayangan

untuk menjelaskan berbagai hal ini yang kebanyakan dari kita akan

memandang sebagai jauh lebih bersifat mental daripada fisik. Dalam

satu momen yang absurd, dia menjelaskan pemikiran sebagai sejenis

pembicaraan yang tidak mungkin didengar. (Dia pertama kali

mengklaim bahwa pembicaraan itu hanya perilaku yang terkondisi dan

sama sekali tidak bersifat “mental”). Emosi-emosi, juga, direduksi

menjadi tindakan-tindakan yang terkait dengan emosi.

Yang paling sulit untuk diyakini dari semuanya adalah bahwa

kaum behavioris yang kaku dan ketat harus memotong makna secara

menyeluruh dari gambaran mereka tentang perilaku. Mereka tidak

punya cara untuk menjelaskan dengan bagaimana “rangsangan” yang

sama (katakanlah, suara tembakan senjata) dapat menghasilkan

“respons-respons” yang berbeda dalam konteks-konteks yang berbeda


atau pada waktu-waktu yang berbeda-beda. Melalui penggambaran

teori mereka, maka semua yang diperhitungkan adalah reaksi

langsung pada suara tembakan, tanpa mengacu pada kesadaran. Tapi,

suatu tembakan senjata berarti satu keadaan di sudut jalan dan

keadaan lain di permulaan sebuah lomba, dan tanpa beberapa acuan

pada kesadaran tentang perbedaan ini, seseorang tidak punya cara

untuk menjelaskan mengapa dalam satu kondisi, kita merespon

dengan perasaan cemas dan dalam kondisi lain, kita merespon dengan

perasaan senang.

Selanjutnya, ini bahkan tidak jelas hingga tahap mana binatang-

bintang ini, yang jauh lebih rendah dari kualitas seorang manusia,

dapat belajar melalui pengkondisian tentang bagaimana berperilaku

dalam dunia nyata (yang dipertentangkan dengan dunia laboratorium).

Namun, tanpa suatu hipotesa respons/stimulus dasar, behaviorisme

tidak mempunyai pondasi nyata. Serangan terbaru terhadap hipotesa

ini telah menimbulkan kemerosotan dramatis dalam behaviorisme

yang kaku. Tapi, dengan bentuk-bentuk yang telah dimodifikasi, ide ini

masih mempunyai validitas, dan kita harus yakin kepada kaum

behavioris yang membangun dan mengukuhkan psikologi sebagai ilmu

pengetahun yang otentik, satu hal yang tidak dapat dilakukan oleh

Freud. Sederhananya, behaviorisme mungkin berada pada level makro

dari peristiwa-peristiwa mental dan respons-respons emosional,

penekanannya pada fisiologi telah sangat berjasa pada level mikro,


dalam studi tentang kimiawi otak dan fungsi otak. Dan kadang-kadang,

tersenyum dapat membantu anda merasa lebih baik.

Alam Bawah Sadar

Kita telah terbiasa untuk berpikir bahwa setiap ide laten disebut
demikian karena ia lemah dan bahwa ia akan tumbuh menjadi sadar
segera setelah ia menjadi kuat. Kita sekarang telah memperoleh
pendapat yang kuat bahwa terdapat beberapa ide-ide laten yang tidak
menembus ke dalam alam sadar, betapapun kuat mereka (ide-ide
laten) ini. Oleh karena itu, kita menyebut ide-ide laten ini dengan tipe
pertama pra-sadar, sementara kita menyimpan istilah alam bawah
sadar untuk tipe selanjutnya yang akan kita pelajari dalam materi
tentang gangguan-gangguan mental dan emosional (neurosis).
Sigmund Freud: “A Note on the Unconscious in
Psychoanalysis” (1912)

Esensi dari psikoanalisa, yang didirikan oleh Sigmund Freud (1856-

1939), adalah “Alam Bawah Sadar”. (Saya mengikuti penggunaan

standar tentang huruf besar U ketika menamakan fakultas kesadaran).

Sebuah hiruk-pikuk dari banyak sekali ide-ide berbahaya yang bersifat

kejiwaan, Alam Bawah Sadar ini yang menjadi penyebab dari semua

masalah-masalah kita. Ia adalah bagian dari sang diri, diri kita yang

lebih baik yang terlupakan. Ia adalah apa yang tersingkap saat kita

membuat suatu “ketergelinciran Freud”---ia adalah kebenaran yang

kita harapkan untuk tidak menyatakan diri, sebuah kebenaran yang

kita bahkan tidak menyadarinya. Alam bawah sadar ini membimbing

mimpi-mimpi kita, menghadirkan hasrat-hasrat terlarang dan

mengganggu kita dengan teror. Alam bawah sadar ini bukanlah

sesuatu yang mengenakkan.


Freud tidak menemukan Alam bawah sadar; ia hanya mengisinya

dengan penyesuaian-penyesuaian dengan masanya. Istilah ini banyak

menjadi bahan perbincangan bebas dalam disiplin psikologi dan filsafat

abad sembilan belas, meskipun beberapa filosuf menolaknya seolah ia

adalah gagasan yang tak masuk akal. Pikiran, mereka berargumen,

adalah sama saja dengan kesadaran; tidak ada yang seperti sebuah

“pemikiran tak sadar” karena jika ia tidak bersifat sadar, maka ia

bukan sebuah pemikiran dan selanjutnya tidak eksis.

Freud, yang telah menggunakan hipnosa, histeria dan mimpi-

mimpi, meminta pengecualian tentang ini. Katakanlah seorang pasien

yang dihipnotis , diberi sebuah perintah, dan kemudian tersadar.

Beberapa waktu kemudian, dia membawa perintah ini, tapi tidak tahu

mengapa demikian. Bagaimana ini menjadi mungkin, tanya Freud,

kecuali bahwa terdapat sugesti hipnotis yang eksis di dalam pikiran,

tapi berada di luar kesadaran?

Ini bukan sesuatu yang sangat baru. Kontribusi nyata Freud

adalah menunjukkan dua jenis pemikiran-pemikiran bawah sadar yang

berbeda. Yang pertama adalah apa yang disebut oleh banyak psikolog

sebagai ‘alam bawah sadar” jenis ini---seperti nomor telepon yang

setengah terlupa dan nama-nama dari orang-orang yang anda temui di

pesta-pesta---yang bertempat tinggal tepat di bawah level kesadaran,

sedang menunggu untuk melompat menuju pikiran. Yang kedua---

seperti trauma-trauma dari masa kanak-kanak dan hasrat-hasrat yang


tabu--- berada di lapisan yang lebih dalam dan secara aktif ditentang

dan dilawan oleh pikiran sadar. Freud menyebut jenis pemikiran yang

pertama ini sebagai “pra-sadar” dan menyebut yang kedua sebagai

pemikiran “alam bawah sadar” yang disimpan.

Sebagai orang yang telah dibesarkan dalam tradisi mekanistik

dari perkembangan sains abad sembilan belas, Freud membayangkan

pikiran sebagai sejenis mesin yang penuh dengan energi psikis.

Tulisan-tulisan awalnya terutama bertaburkan istilah-istilah seperti

“tekanan”, “energi”, “dinamik”, dan istilah-istilah lain yang meminjam

dari disiplin ilmu Fisika, yang membuat pikiran terlihat seperti

sepotong mesin hidrolik. Dalam teorinya yang paling awal, “Alam

bawah sadar” adalah wilayah mental yang paling gelap dan paling

dalam, yang didiami oleh ide-ide yang secara giat berupaya keras

untuk menjangkau permukaan kesadaran. Pikiran yang sadar, pada

gilirannya, menggunakan energi untuk menahan atau “menekan”

pemikiran-pemikiran tak sadar ini. Pikiran ini diperlakukan sebagai

sebuah obyek yang solid di dalam ruang bersama dengan “wilayah-

wilayah” dan “perbatasan-perbatasan”, sebuah topografi yang

mempunyai kemampuan untuk ilustrasi (Freud menyukai diagram-

diagram). Relasi-relasi dinamis antara dua wilayah utama ini---Alam

bawah sadar dan “Pra-sadar-Sistem sadar”---menghasilkan peristiwa-

peristiwa psikis. (Freud sendiri merasa agak sedikit malu dengan


materialisme yang mewarnai teorinya yang paling awal, tapi ia telah

menjadi penanda atas kelahiran psikoanalisa).

Misalnya, mimpi-mimpi dihasilkan (hampir seperti suatu proses

kimiawi) ketika hasrat-hasrat tak sadar yang mendalam---lebih kuat

yang menunjuk pada masa kanak-kanak---yang bercampur dengan

“residu” pra-sadar dari masa sekarang. Tapi, Alam bawah sadar tidak

dapat sepenuhnya muncul bahkan di dalam mimpi-mimpi, begitu

efektifnya represi pikiran yang sangat protektif. Ketika mereka

bercampur dengan residu-residu pra-sadar, atau ketika mereka

berjuang ke dalam fantasi-fantasi sadar, pemikiran-pemikiran tak

sadar harus melewati suatu transformasi untuk dapat menghindari

penyensoran. Freud memutuskan bahwa terdapat dua moda

transformasi: “kondensasi” dan “penelantaran”.

Kondensasi (pemadatan), yang ekuivalen dengan sejenis logika

tak sadar, mengemas suatu konstelasi dari ide-ide atau hasrat-hasrat

yang direpresi ke dalam satu tema makna yang tersembunyi (sesuai

dengan pembacaan sandi psikoanalitik). Pada sisi lain, penelantaran,

menelantarkan “energi” psikis yang terpaku dan terikat dalam

pemikiran-pemikiran tak sadar di atas ide-ide yang lebih aman dan

dapat diterima sampai kepada rantai asosiasi-asosiasi. Penelantaran,

dalam pandangan Freud, menjelaskan banyak perilaku neurotik---yaitu,

perilaku dimana banyak energi diarahkan menuju apa yang tampaknya

sebagai sesuatu yang relatif tidak penting.


Bagaimanapun juga, Freud menyadari bahwa model topografis

tentang psike ini mempunyai cacat logika yang fatal sifatnya. Jika

bagian yang sadar dari pikiran ini dalam keadaan direpresi, maka

tindakan represinya ini seharusnya menjadi sadar. Tapi, dalam

kenyataan, kita tidak sadar akan tindakan merepresi atau menentang

Alam bawah sadar, atau hal yang sedang kita kondensasikan,

telantarkan, dan jika tidak demikian, kita menyensornya. Singkatnya,

terdapat suatu bagian dari kesadaran yang ia sendiri tidak sadar:

bagian yang direpresi. Bagian yang sadar ini tidak dengan sendirinya

direpresi, atau ia akan menjadi bagian dari Alam bawah sadar. Yaitu,

ketika segala yang direpresi bersifat tak sadar, bukan segala yang

yang tidak sadar itu direpresi.

Atas kesimpulan ini, Freud mengetahui dia perlu untuk

mengembangkan suatu peta pikiran yang lebih baik. Hasilnya telah

digambarkan dalam permulaan pembahasan kita tentang EGO, ID,

DAN SUPER-EGO, HAL. 171.

Oedipus Complex
[Ketika seorang anak laki-laki] tidak dapat lagi memelihara dan
mengemban keraguan yang mengklaim pengecualian untuk kedua
orangtuanya sendiri dari perilaku seksual yang buruk dari penduduk
lain di bumi ini, dia mengatakan kepada dirinya sendiri dengan logika
yang sinis bahwa perbedaan antara ibunya dengan seorang pelacur,
bagaimanapun juga, tidaklah begitu besar, karena pada dasarnya,
keduanya melakukan hal yang sama. Apa yang telah dia jelaskan
[tentang seks], dalam kenyataan, telah membangkitkan jejak-jejak
memori dari kesan-kesan dan hasrat-hasrat dari masa kanak-kanaknya
yang paling dini, dan dengan demikian mengaktifkan kembali
perasaan-perasaan tertentu dalam pikirannya. Dalam cahaya dari
pengetahuan baru ini, dia mulai menghasratkan ibunya sendiri dan
membenci sang ayah dengan cara yang berbeda dalam sikapnya yang
baru ini; dia berada dalam, sebagaimana yang kami katakan, pengaruh
Oedipus Complex.
Sigmund Freud, “A Special Type of Object Choice Made by
Men” (1910)

Freud pertama kali menulis dalam sebuah surat pada tahun 1897

tentang “memakukan kuasa Oedipus Rex.” Jadi, upaya memaku ini

adalah tragedi Sophocles yang diadopsi skenarionya oleh Freud untuk

menjelaskan mengapa kita semua begitu neurotik.

Jika seandainya anda telah melupakan kisah ini, maka ia akan

berlangsung seperti ini: Pangeran Oedipus dari Corinthian belajar dari

sebuah ramalan bahwa dia ditakdirkan untuk membunuh ayahnya dan

tidur dengan ibunya. Secara mengejutkan, dia melarikan diri menuju

kota Thebe, tapi sepanjang perjalanan, dia dihadapkan pada berbagai

gangguan dari orang-orang pengembara yang berpapasan dengannya.

Satu gangguan disusul dengan gangguan yang lain dan segera saja

Oedipus membunuh mereka semua.

Sebagaimana dikisahkan, salah satu dari pengembara ini adalah

ayah kandung Oedipus, Raja Laius dari Thebe, yang telah

menyengsarakan dia di masa kanak-kanaknya. Lau, dengan berupaya

untuk menghindari takdirnya, Oedipus justru memenuhi takdirnya,

meskipun dia tidak menyadari hal ini sampai dia dimahkotai sebagai

Raja baru Thebe dan menikahi Ratu Jocasta, yang ternyata kemudian
adalah ibu kandungnya sendiri. ketika semuanya telah menjadi jelas,

maka Oedipus yang merasa sangat malu ini mencongkel kedua

matanya.

Kisah yang menyedihkan ini, lanjut Freud dalam suratnya,

“memaksa setiap orang untuk menyadari karena dia merasakan

eksistensinya dalam dirinya.” Apa yang dirasakan oleh Freud, dan

yang bersumber dari setiap laki-laki, adalah hasrat seksual kepada

ibunya dan sebuah kecemburuan yang mematikan terhadap ayahnya.

Tidak menjadi soal bahwa dalam drama itu, Oedipus tidak merasakan

kecemburuan itu dan hanya memperoleh gangguan dalam mencoba

untuk menghindari takdirnya. Freud merebut paradigma ini dan

membubuhkan pada peristiwa mencekam yang tidak membahagiakan

ini dengan istilah “Oedipus complex”, sebuah istilah yang pertama kali

muncul dalam paper-nya pada tahun 1910, “A Special Type of Object

Choice Made by Men.” (Ini selalu disebut Oedipus complex; oedipal

adalah satu-satunya bentuk kata sifat).

Penyalahgunaan Freud tentang legenda Yunani ini melahirkan

“Teori Seksualitas,” teori orisinal dia tentang kekerasan. Dengan

mencatat jumlah yang sangat mencemaskan dari para pasien

penderita neurotik telah melaporkan pengalaman seksual yang tak

diinginkan semasa kanak-kanak mereka, Freud meyakini bahwa

gangguan-gangguan seksual dapat dilacak jejak-jejaknya pada

semacam “keterlibatan-keterlibatan seksual.” Tapi, ketika dia melihat


secara lebih cermat pada kisah-kisah para pasiennya, dia memutuskan

bahwa beberapa, jika bukan mayoritas, dari mereka ini sedang

berfantasi daripada proses mengingat kekerasan di masa kanak-

kanak---atau lebih tepat lagi, bahwa mereka mengingat kembali

fantasi-fantasi masa kanak-kanak.

“Penemuan” ini (yang baru-baru ini telah diserang secara

meluas) telah menimbulkan krisis dalam pandangan menyeluruh Freud

tentang perkembangan psikologi. Sebagaimana halnya dengan semua

orang, Freud telah meyakini bahwa anak-anak tidak mempunyai

konsep apapun tentang seksualitas, apalagi mempunyai

kecenderungan-kecenderungan seksual apapun, dan bahwa

pembeberan dan penyingkapan seksualitas manusia dewasa adalah

tidak komprehensif dan membahayakan sifatnya. Tapi jika,

sebagaimana dalam pandangan barunya, anak-anak mampu dan

mempunyai fantasi-fantasi seksual. Sehingga mereka tidak benar-

benar “suci” (innocent). bukan hanya mereka mempunyai perasaan-

perasaan seksual, tapi, perasaan-perasaan ini juga sangat kuat dan

bersifat otonom.

Berdasarkan ini, Freud berpikir dia telah mempunyai sebuah

jawaban atas banyak symptom-symptom neurotik yang umum.

Beberapa dari pasien-pasiennya hanya berhasrat pada perempuan

yang telah lama menjalin hubungan perasaan dan kesetiaan.

Sedangkan yang lain mencari pasangan cinta yang sepertinya menipu


dan mengkhianati mereka. Jenis laki-laki seperti ini tampaknya dapat

mengundang sikap permusuhan dan kecemburuan. Kategori lain

mendesak untuk melihat obyek-obyek cinta mereka sebagai unik dan

sosok-sosok yang tak tergantikan; namun fantasi-fantasi lain yang

dialami tentang “menyimpan” seorang perempuan dari terancam

kehilangan moralitas. Bagi pikiran Freud, semua hasrat-hasrat neurotik

ini hanya sekadar manifestasi-manifestasi universal yang ekstrem dan

“sikap normal dalam cinta”. Dalam kasus-kasus abnormal, pasien-

pasiennya tampaknya gagal untuk melenyapkan emosi-emosi dari

masa kanak-kanak dimana kebanyakan dari kita berupaya untuk

menaklukkannya.

Emosi-emosi ini adalah rasa cinta terhadap ibunya dan rasa

cemburu terhadap ayahnya. Sang ibu, dalam kenyataannya, adalah

“unik dan tak tergantikan”; sang ayah ayah adalah pesaing seksual

yang aktual dan potensial. Ketika seorang anak laki-laki telah sampai

pada tepian pubertas, dia pertama mendengar dari teman-teman

sebayanya tentang seks, seksualitas diperlakukan sebagai sesuatu

yang “kotor.” Dengan memikirkan kedua orangtuanya dengan cara

seperti ini sungguh sangat menggoncangkan, dan ketika perasaan-

perasaan seksual kanak-kanaknya terhadap ibunya sedang meluap-

luap, anak laki-laki ini mengembangkan fantasi-fantasi tentang

“menyelamatkan” dia dari ayahnya dengan mengambil alih posisi

ayahnya.
Apa yang telah dia bangkitkan---dan apa yang biasanya lenyap

ketika anak usia remaja mengalihkan perasaan-perasaan seksual

kepada anak-anak perempuan sebayanya---inilah yang dicari oleh

Oedipus complex-nya Freud. Di masa kanak-kanak, kompleksitas

bermula ketika anak laki-laki menemukan dirinya sendiri terangsang

oleh sentuhan kasih sayang yang lembut dari ibunya, yang membuat

perasaan-perasaannya terhadap ibunya menjadi lebih kuat. Suatu

saat, daya rangsangan ini menjadi terpusat pada satu anggota

tubuhnya yang sangat penting: penisnya.

Secara alamiah, kedua orangtuanya merasa tidak senang ketika

anak laki-lakinya memberi perhatian yang berlebihan pada alat

vitalnya ini dan salah satu atau keduanya mengancam akan

“mencabutnya” jika dia terus mengutak-atiknya. Anak laki-laki ini tidak

benar-benar mempercayai ini, hingga suatu hari dia mengintai anggota

tubuh yang paling pribadi dari anak perempuan---dan dia (anak

perempuan ini) kehilangan penisnya! Penisnya pasti telah dicabut,

demikian anak laki-laki ini mengambil kesimpulan, karena dia (pr)

terlalu banyak bersenang-senang dengannya. Ancaman kastrasi

(pengebirian), tiba-tiba saja menjadi sangat nyata baginya, dan ini

menghancurkan sang Oedipus complex: jika perasaan-perasaan

seksual dan kesenangannya terus berlanjut, penisnya yang sangat

berharga itu akan dikutuk melalui pengebirian. Cinta narsistiknya yang


melekat kuat terhadapnya telah mencegahnya untuk bermain-main

dengan alat vitalnya.

Sebagai akibatnya, lanjut Freud, anak laki-laki kecil ini belajar

untuk menyalurkan (“sublimasi”) libido-nya pada perasaan-perasaan

yang kurang mengancam seperti perasaan senang yang lembut

(afeksi) kepada kedua orangtuanya. Cinta terhadap ibunya dan

kebencian terhadap ayahnya karena “merampas” ibunya dari dia

menjadi lenyap dengan mengidentifikasi pada keduanya, yaitu,

bagaimana sang anak laki-laki kecil ini memperoleh “super-ego”nya.

Sementara itu, hasrat-hasrat dan fantasi-fantasi seksualnya yang

mengalami represi selama apa yang disebut oleh Freud sebagai

“periode laten,” hingga mereka terbangunkan saat pubertas.

Anda akan memperhatikan bahwa selama periode waktu ini, kita

telah memfokuskan diri pada anak laki-laki kecil dan penisnya; apa

yang harus dikatakan oleh Freud tentang anak perempuan kecil?

Pertama kali, dia beranggapan bahwa anak perempuan kecil

mengalami tahap-tahap yang sama dengan anak laki-laki, dengan

pengecualian bahwa fantasi-fantasi seksual mereka difokuskan pada

sang ayah. (Sebenarnya, Freud berpikiran bahwa seksualitas masa

kanak-kanak mengandung sejumlah kadar tertentu dari bi-seksual,

sebagaimana halnya hasrat terhadap sang ibu dominan pada anak

laki-laki, dan hasrat terhadap sang ayah yang dominan pada anak

perempuan). Tapi, setelah mengambil keputusan bahwa rasa takut


akan pengebirian inilah yang membunuh kompleksitas pada diri anak

laki-laki, sehingga dia harus mengubah teorinya. Anak-anak

perempuan, bagaimanapun juga, tidak dapat merasa takut pada

pengebirian---bukan karena ini tidak mungkin terjadi, tapi, karena

mereka berpikir ini telah terjadi. (Freud juga dengan tepat membuang

paksa anggapan bahwa anak perempuan melihat genital mereka

sebagai “kehilangan sesuatu”, sehingga mereka merasa “iri” pada

penis anak laki-laki, dan bahwa mereka merasa minder selamanya

karena tidak mempunyai penis).

Dalam teori barunya yang bersifat sementara dan samar (tidak

jelas), Freud mengemukakan bahwa anak perempuan mempunyai sifat

kanak-kanak yang jauh lebih sederhana. Alih-alih berharap untuk

memenuhi hasrat seksual mereka terhadap sang ibu sebagai obyek,

mereka hanya berharap untuk mengambil alih posisinya terkait

hubungannya dengan sang ayah. Meskipun, seperti halnya anak laki-

laki, anak perempuan merasakan cinta pertama mereka yang sangat

kuat pada sang ibu, tapi begitu mereka memperhatikan bahwa anak

laki-laki kecil mempunyai sesuatu yang tidak mereka punyai, cinta

mereka berubah menjadi rasa benci. Ayah mereka mengambil alih

posisi ibu mereka dalam menyayangi mereka. Selanjutnya, begitu

mereka semakin menerima fakta bahwa mereka tidak akan pernah

memperoleh penis, anak perempuan mulai menghasratkan

penggantinya---yaitu, seorang bayi. Mereka berharap untuk mengambil


alih posisi ibu mereka dan memberi seorang anak kepada ayah

mereka.

Tidak ada ketakutan pada pengebirian berakhir dengan

munculnya fantasi ini. Freud menganggap bahwa Oedipus complex

dalam diri anak perempuan, tertundukkan oleh sarana yang lebih

halus, yaitu, “pengaruh-pengaruh edukatif” dan “Intimidasi eksternal

yang mengancam hilangnya cinta” (“The Passing of the Oedipus

Complex”, 1924). Ini, dan fakta bahwa keterikatan “pra-oedipal” anak

perempuan terhadap ibunya diperluas dan hanya digantikan setelah

melibatkan sebuah proses, membuat Freud menolak pandangan-

pandangan dari muridnya, Carl Jung. Jung meyakini pandangan bahwa

“perkembangan yang secara persis mencerminkan anak laki-laki”

dari seorang anak perempuan dan pada tahun 1913, dia menemukan

sebuah istilah baru “Electra complex” untuk menggambarkan versi

perempuan.

Untuk penggunaan istilah baru ini, Jung juga menoleh pada

tragedi Yunani, terutama pada beberapa versi dari kisah Electra.

Dalam Libation Bearers karya Aeschylus, Electra, yang memperoleh

bisikan ilham dari dewa Apollo, bekerja sama dengan saudara laki-

lakinya untuk bertindak terhadap ibu mereka, Clytaemestra, yang

bertanggung jawab atas kematian ayah mereka. Namun, Jung, seperti

halnya Freud, tampaknya lebih banyak bersandar pada Sophocles,

dimana Electra sang pahlawan mengambil peran penting dalam


merencanakan aksi balas dendam. Meskipun tidak sekasar atau

sesugestif sebagaimana penggambarannya tentang Oedipus, kisah

Electra versi Sophocles, sebagai seorang perempuan yang menjalin

ikatan perasaan yang sangat mendalam dengan ayahnya dan

mendesak untuk membunuh ibunya, yang dikemukakan oleh Jung

dengan cukup bagus sebagai sebuah analog.

Ego, Id, dan Super-Ego

Pada tahap-tahap awal pengembangan sebuah pandangan

komprehensif tentang psike, Freud mempertimbangkan bahwa pikiran

dapat dipahami sebagai sebuah “sistem” dengan tiga wilayah yang

berbeda: Alam Sadar, Pra-Sadar, dan Alam Bawah Sadar. Tapi, pada

awal tahun 1920-an, dia telah mengubah teori ini dengan sebuah teori

baru.

Dimana Freud pernah bicara tentang “Alam Sadar,” dia sekarang

membicarakan “ego,” sebuah istilah (dari bahasa Latin yang berarti

“Saya”) yang lahir di dalam perkembangan disiplin psikologi abad

sembilan belas. Ego mengandung makna lebih dari diri yang sadar,

meskipun ia mencakupnya; dalam teori baru Freud, ego adalah bagian

atau wilayah pikiran yang membentuk permukaan luarnya dan yang

mengembangkan indera persepsi kita dan pengalaman-pengalaman

kita di dunia ini. Adalah sang ego yang mempunyai pemikiran-

pemikiran sadar, tapi adalah juga sang ego yang (tidak diketahui oleh
pikiran sadar kita) terus-menerus mengancam dan memeriksa

pemikiran-pemikiran dan impuls-impuls bawah sadar. Ego adalah diri

sosial, diri yang sangat banyak diekspos dan dipengaruhi oleh

“realitas,” dalam bentuk sensasi-sensasi dan kode-kode sosial.

Dapat dipahami, jika ego berkembang di luar pengalaman, kita

tidak terlahir dengannya. Inti dari psike, yaitu yang selanjutnya dilapisi

oleh ego, Freud menyebutnya sebagai “id,” dari bahasa Latin yang

berarti “nya.” (Dia mengklaim memperoleh istilah ini dari seorang

fisikawan modern, Georg Groddeck, yang dipengaruhi oleh Nietzsche).

Id ini adalah sang kegelapan, tidak sadar, pusat libido dari pengalaman

dalam, tempat impuls-impuls dan nafsu-nafsu, sang kuda liar, untuk

menggunakan metafor Freud, ditunggangi dan diawasi oleh sang ego.

Sementara sang ego dengan sibuk (dan dalam keadaan tidak sadar)

merepresi impuls-impuls yang menentang norma sosial dan tabu dari

alam id, namun demikian, id berupaya untuk mempengaruhi perilaku

kita, dengan menyalurkan energinya ke dalam tindakan-tindakan yang

telah disetujui oleh sang ego, atau kadang-kadang ke dalam tindakan-

tindakan yang tidak dapat sepenuhnya kita pahami dan yang

menimbulkan rasa bersalah.

Barangkali, cara termudah untuk memahami perbedaan dan

dinamika antara ego dengan id adalah dengan memasangkan sifat-

sifat mereka yang kontras. Ego bersifat koheren, id bersifat tidak

koheren; ego rasional sifatnya, sedangkan id, tidak rasional. Dimana


sang ego mengoperasikan apa yang disebut oleh Freud sebagai

“prinsip realitas” (“merespon pada tuntutan dan aturan-aturan dari

dunia nyata), id mengoperasikan “prinsip kesenangan” (berupaya

untuk meminimalisir penderitaan dan gangguan, atau dengan kata lain

untuk meminimalkan energi psikis). Ego berada pada permukaan dari

aktivitas mental; sedangkan id berada pada kedalamannya. Ego

adalah sebuah gambaran mental dari sensasi eksternal dan

pengalaman; sedangkan id adalah sebuah representasi dari insting.

Ego menjual konsep-konsep, terutama sekali yang bersifat verbal

(yang bersifat sadar adalah yang dapat dibicarakan); sedangkan id

menujual simbol-simbol, terutama dalam bentuk visual.

Terkait komplikasi timbal balik antara ego dengan id ini, Freud

telah menambahkan kekuatan ketiga, yaitu, hasil pertumbuhan dan

perkembangan dari ego dan yang dia sebut dengan istilah “ego-ideal”

atau “superego.” Super ego menggambarkan harapan-harapan sang

diri untuk muncul menjadi kenyataan, dan ini adalah tempat bagi

berbagai hal seperti moralitas, kewajiban moral, dan kepercayaan.

Berdasarkan kerja keras Freud, lahir konsep super ego tepat ketika

konsep Oedipus complex mulai meredup. Cara seorang anak laki-laki

kecil, misalnya, untuk melenyapkan hasrat terlarangnya terhadap

ibunya dan membenci ayahnya adalah untuk “menginternalisasikan”

“obyek-obyek” ini (ibu dan ayah). Cinta terhadap sang ibu kemudian

dibelokkan menjadi cinta kepada sang diri, atau lebih berupa cinta
terhadap potensi diri untuk menjadi ideal; dan kebencian terhadap

sang ayah dikalahkan oleh identifikasi yang sangat intens dengannya

sebagai bagian yang lebih tinggi atau lebih superior dari sang diri.

Dengan demikian, ideal-ideal, moral-moral, larangan-larangan

dan hukum-hukum dari kedua orangtua ini dapat diserap oleh pikiran,

dan untuk selamanya setelah mengendalikan sang ego untuk

bertanggung jawab. Super-ego, pada akhirnya, adalah bagian dari

sang diri yaitu diri yang kritis, yang mengukur jarak antara realitas

dengan yang ideal, dan yang menutup saluran energi yang menuju id

agar dapat menghubungkan sang ego menuju tujuan-tujuan yang lebih

tinggi. Freud menyebut proses ini dengan istilah “sublimasi,” dan

dengan upaya sublimasi ini, dia menjadi sumber dari prestasi-prestasi

seni dan peradaban manusia, termasuk semua ide-ide besar.

Prinsip Kesenangan

Dalam teori psikoanalisa, kami tidak ragu untuk berasumsi bahwa


wacana yang dicakup oleh peristiwa-peristiwa mental, secara otomatis
diatur oleh prinsip kesenangan. Kami yakin untuk mengatakan, bahwa
wacana dari peristiwa-peristiwa ini, secara konstan, digerakkan oleh
suatu ketegangan yang tidak menyenangkan, dan bahwa ia
mengambil arah yang membuat hasil akhirnya bertepatan dengan
penurunan ketegangan itu---yaitu, dengan menghindari
ketidaksenangan atau memproduksi kesenangan.
Sigmund Freud, Beyond the Pleasure Principle (1920)

Anda boleh memikirkan “prinsip kesenangan” sebagai sebuah impuls

untuk mengenakan topi-topi pesta atau menghabiskan semangkuk


kecil es krim Ben and Jerry. Tapi Freud, yang telah “menemukan”nya,

berpikir bahwa kita mempunyai banyak kesenangan jika kita

sepenuhnya tidak merasakan apapun, terutama untuk tidak

menghasratkan sesuatu. Kesenangan adalah sebuah keadaan dimana

tak ada satupun yang pernah terjadi.

Ini karena pemikiran Freud tentang kesenangan bukan sebagai

suatu perasaan yang positif tapi lebih berupa seperti ketiadaan

“ketidaksenangan,” atau, dalam ungkapan bahasa Jerman yang

menarik, “unlust.” Psike (jiwa) sangat tidak menyukai ketegangan,

yang muncul dalam banyak bentuk (kecemasan, hasrat, rasa bersalah,

dan lain-lain), dan ia secara insting ingin menungganginya. Apa yang

benar-benar kita inginkan, dan apa yang dicari oleh prinsip

kesenangan, adalah sebuah keadaan yang mantap, pasti dan tak

terganggu, yang oleh Freud disebut “homeostasis.” Prinsip

kesenangan ini, dengan demikian, secara psikologis serupa dengan

prinsip inersia.

Bahwa kita menyukai ketegangan, tampaknya, mudah untuk

dipahami, tapi, Freud melangkah lebih jauh yang memerlukan proses

mengasah secara terus-menerus atau terus-menerus berharap.

Sebagaimana halnya dengan jenis gangguan apapun, bahkan satu hal

yang kita pikir sebagai sesuatu yang menyenangkan, jauh di bawah

sana ternyata sangat tidak dikehendaki kehadirannya. Kandungan

apapun dari “kegembiraan dan gairah” yang signifikan untuk


mendapat perhatian termasuk rangsangan seksual, sebenarnya adalah

ketegangan yang tidak menyenangkan---kesenangan adalah

ketidaksenangan. (lust is unlust). Bahkan jika kita menikmati

peningkatan kesenangan ini, ini hanya karena kita mengetahui bahwa

pelepasannya akan terasa sangat baik. Dan semakin banyak

kesenangan atau “ketegangan” yang kita lepaskan, semakin baik ia

akan dirasakan.

Laki-laki akan mendapati gagasan ini lebih mudah diterima

daripada perempuan, setidaknya, ketika ini terkait dengan kesenangan

seksual, tapi kemudian, Freud tidak dapat memberikan solusi ketika

soal ini dikaitkan dengan psikologi perempuan. (pertanyaan Freud

yang terkenal: “Apa yang diinginkan oleh seorang perempuan?”

sekarang ini justru melawan dia). Apapun yang terjadi, ketika Freud

selalu mempertahankan posisinya tentang prinsip kesenangan ini,

penggambaran dia tentangnya berkembang menjadi lebih rumit

seiring berjalannya waktu. Menyadari bahwa ketika kita mempunyai

suatu kecenderungan yang kuat akan kesenangan (stasis), keputusan-

keputusan atau tindakan-tindakan kita tidak selalu mengarahkan kita

kesana, dia menyimpulkan bahwa faktor-faktor lain harus juga

dipertimbangkan.

Salah satu dari faktor ini adalah “prinsip realitas,” yaitu upaya

mengakomodasi realitas dalam kaitannya dengan tindakan melindungi

diri; seringkali, sebuah kesenangan harus ditunda atau dikorbankan


jika kita ingin mengalami kesenangan di masa datang. Misalnya, ketika

prinsip kesenangan mungkin mendesak kita untuk memberikian ide

cemerlang kepada bos kita, prinsip realitas melakukan intervensi

dengan menahan lidah kita---dipecat adalah harga mahal yang harus

dibayar, pada ranah “realitas” demi untuk terbebas dari sedikit

ketegangan ini.

Melampaui Prinsip Kesenangan

Meskipun prinsip kesenangan tetap ada, bagi Freud yang selalu

berubah pikiran ini, di antara dorongan-dorongan atau kecenderungan-

kecenderungan yang paling mendasar, saat menulis bukunya “Beyond

the Pleasure Principle, dia telah menyimpulkan bahwa pasti terdapat

impuls-impuls yang lebih mendalam lagi. Salah satu dari impuls ini

adalah “tekanan yang berulang-ulang” : suatu kecenderungan yang

misterius untuk mengulang kembali atau mengalami kembali (dalam

kehidupan atau dalam mimpi-mimpi) bahkan termasuk pengalaman-

pengalaman yang tidak menyenangkan. Satu contohnya adalah

kecenderungan yang aneh dan misterius dari beberapa orang untuk

selalu mendapati diri mereka dalam jalinan hubungan yang bersifat

kekerasan.

Freud menjelaskan sejenis perilaku yang aneh dengan beberapa

cara yang berbeda, semuanya bersifat hipotesis. Pertama, dia


menggambarkan tekanan yang berulang-ulang ini sebagai suatu imbal

balik bagi setting tindakan dari aksi kriminal yang gagal. Berbagai hal

yang kita cenderung untuk mengulanginya, ternyata adalah

pengalaman-pengalaman (“traumatik”) yang sangat mengganggu

dimana kita, pada saat itu, tidak mampu untuk membentengi diri kita.

Kita ingin terus mengulanginya kembali dalam suatu upaya untuk

belajar dari kesalahan-kesalahan kita dan merenungkan kembali guna

“menguasai” trauma ini. Cara itu, yang diharapkan oleh jiwa, kita akan

menjadi sipa untuk aksi kriminal selanjutnya.

Hipotesa kedua Freud adalah bahwa pengulangan kembali ini

tampaknya bersifat inheren dalam kehidupan itu sendiri. sebagaimana

telah dia katakan dalam penjelasan sistematis (eksposisi)nya tentang

prinsip kesenangan, kita menyukainya ketika berbagai hal ini tetap

sama dan rasa benci berubah atau terdapat gangguan secara umum.

Insting kita mendorong kita menuju masa lalu, menuju pada keadaan

yang baru saja kita alami dimana kita telah dipaksa oleh kekuatan-

kekuatan eksternal untuk bersikap abai. Insting, dengan demikian,

adalah bersifat konservatif; ia tidak cenderung pada perubahan atau

perekembangan tapi lebih cenderung pada kesamaan dan

pengulangan kembali. Terdapat “suatu tekanan organik untuk

mengulang,” sebagaimana dalam cara burung-burung bermigrasi pada

setiap tahunnya dan ikan berenang melawan arus untuk menghasilkan


telur-telur mereka yang boleh jadi merupakan rumah leluhur bagi

spesies mereka.

Freud kemudian membawa hipotesa ini menuju posisi ekstrim

yang baru. Bukan hanya kita berharap untuk menyimpan keadaan

damai kita di masa lalu, kita, pada akhirnya, berharap untuk dapat

kembali lagi pada keadaan yang paling utama—suatu keadaan tidak

mampu untuk bergerak dan bertindak atau keadaan tak berjiwa, yang

disebut dengan kematian. “Dorongan kematian” ini, sebagaimana

Freud menyebutnya, berdasarkan pikirannya sendiri adalah hal yang

paling fundamental dari insting-insting. Bahkan insting akan

perlindungan diri, yang dikemukakan Freud, adalah sebuah percobaan

untuk memastikan bahwa kita mati dari sebab-sebab yang alami,

yaitu, mati oleh sebuah proses internal.

Namun, beruntung bagi kita, dorongan kematian ini hanyalah

bagian dari ego. Kita mempunyai insting mendalam yang lain yang

menandinginya, yang disebut dengan dorongan seks. Insting-insting

seksual kita tidak mengarah pada kematian tapi pada memperlama

dan memperpanjang masa hidup dan suatu jenis keabadian. Tapi,

dorongan seksual ini, sebuah insting kehidupan, adalah seperti

dorongan kematian yang konservatif: ia berupaya untuk melindungi

kehidupan, tapi hanya dengan cara kembali pada keadaan yang lebih

primitif (masa kanak-kanak)---yaitu, dengan “membawa kembali


keadaan-keadaan yang baru saja dialami tentang substansi

kehidupan.”

Namun, dengan mengizinkan insting-insting kehidupan semacam

ini, Freud dapat melihat bahwa tidak ada insting dalam bentuk

kehidupan apapun yang mengarah pada sesuatu yang baru, berbeda,

atau tahap perkembangan yang “lebih tinggi”. Organisme boleh jadi

mengalami perkembangan, tapi hanya dalam respons pada

perubahan-perubahan atau tekanan-tekanan eksternal. Bukan karena

kehendak dari individu atau kehendak kolektif. Secara maksimal,

insting-insting mungkin bertindak untuk melindungi modifikasi-

modifikasi yang mengikat secara moral (tidak dikehendaki) dalam

struktur atau perilaku dari sang individu atau spesies. Diatas semua

ini, Freud tidak melihat “insting yang menuju pada kesempurnaan

dalam diri umat manusia,” yang dia sebut sebagai suatu “ilusi

perbuatan yang baik”---sebuah sentimen yang dia peroleh dari

beberapa rekannya. Freud tidak mengingkari bahwa beberapa orang

berupaya keras tanpa kenal lelah menuju kesempurnaan, tapi, dia

mendasarkan semua ini pada “sublimasi”, yaitu dalam kenyataannya,

represi enerjik dari dorongan-dorongan yang yang bersifat insting atau

tidak sadar.

Insting-insting kehidupan dan kematian memerankan diri mereka

pada level-level kejiwaan yang beragam, dalam suatu tarian yang

rumit. Tapi, pada akhirnya, sebagai insting-insting, mereka berbagi


satu tujuan umum: menyimpan sebuah keadaan yang baru saja

dialami tentang berbagai hal. Tujuan ini mungkin sesuai atau tidak

sesuai, dalam beberapa contoh yang telah diberikan, dengan prinsip

kesenangan; tapi dalam jangka panjang, tampak bahwa prinsip

kesenangan, yang berupaya untuk menolak rangsangan, menghapus

ketegangan ini, menyimpan equilibrium, dan menemukan kedamaian,

adalah lebih dekat pada kematian daripada insting kehidupan.

Kedamaian yang sangat kita harapkan untuk menemukannya adalah

kedamaian di alam kubur. Semoga hari anda menyenangkan.

Alam Bawah Sadar Kolektif

Kita harus membedakan antara alam bawah sadar personal dengan


alam bawah sadar tidak personal atau trans-personal. Kita
membicarakan yang disebut paling akhir ini juga sebagai alam bawah
sadar kolektif, karena ia tidak terhubung atau terpisah dari apapun
yang bersifat personal dan ia sepenuhnya bersifat universal, dan
karena kandungan-kandungannya dapat ditemukan dimana-mana,
yang secara alami bukan contoh dengan kandungan-kandungan
personal.
Carl Gustav Jung, “On the Psychology of the Unconscious”
(1943)

Jika anda telah membaca mitos-mitos dari periode-periode waktu dan

budaya-budaya yang berbeda, anda mungkin memperhatikan

beberapa kemiripan yang menakjubkan diantara mereka. Demikian

yang diungkap oleh psikiater Swiss Carl Gustav Jung (1875-1961), yang

juga mencermati sejumlah citra-citra primitif dan mendasar---seperti

makhluk-makhluk setan, Ibu-ibu Bumi, manusia-manusia bijak, dan


manusia-manusia liar---yang muncul secara tak terduga dalam sesi-

sesinya bersama dengan para pasiennya.

Menyebut citra-citra ini sebagai “arketipe-arketipe” (yang

bermakna “kesan-kesan atau pola-pola yang orisinal”), Jung

menyimpulkan bahwa mereka harusnya menjadi bagian dari pikiran

bawah sadar yang memberi kehidupan pada pengalaman personal

seorang individu sebelum kehidupan ini (pra-eksis). Ia menyebut

bagian ini sebagai “alam bawah sadar kolektif”---yang tidak mengacu,

seperti yang mungkin anda pikirkan, pada jenis apapun dari “kelompok

pikiran” dimana kita semua terkait secara bersamaan, tapi lebih

berupa potongan dari jiwa (psike) individu masing-masing yang

mewariskan pengalaman-pengalaman kolektif dan kesan tentang

manusia leluhur. (Kita semua mempunyai materi pelengkap, tapi tidak

ada “materi pelengkap kolektif” dimana kita semua dapat berbagi

sekaligus; kita masing-masing mempunyai watak kolektif kita sendiri

yang dapat dilacak, dan telah berkembang).

Teori Jung tentang arketipe-arketipe ini hanya lah satu unsur dari

sebuah teori yang lebih luas yang juga melibatkan “tipe personalitas”

dasar dari seorang individu (berkepribadian ekstrovert atau introvert),

“persona”-nya (sang diri yang dia tunjukkan ke dunia), “bayangan”-

nya (diri yang dia represikan), dan “ketidaksadaran personal”-nya (diri

yang dia lupakan). Tapi, arketipe-arketipe dan ketidaksadaran kolektif


ini segera menjadi, dan masih tetap, unsur-unsur yang paling terkenal

dan paling kontroversial dari teorinya.

Yang paling terkenal, terutama sekali, adalah dua citra arketipal

khusus---bahwa manusia yang sedemikian ini (Jung menyebutnya

animus) dan perempuan yang sedemikian ini (yang dia sebut anima).

Telah menyimpulkan bahwa tiap-tiap ketaksadaran seseorang

didominasi oleh watak-watak ini dan citra-citra yang dipaksa keluar

dari diri yang sadar, Jung secara alamiah telah mengasumsikan bahwa

anima ini adalah citra yang paling kuat dalam alam bawah sadar laki-

laki dan animus adalah citra paling kuat di alam bawah sadar

perempuan.

Jadi, kita secara fisik adalah bersifat banci, dan semakin keras

kita berupaya untuk merepresi separuh diri kita yang tersembunyi,

maka semakin ia membebani kita dengan konflik-konflik psikologis.

Dalam pandangan Jung, hanya dengan mengenali dan menerima

kandungan-kandungan dari alam bawah sadar personal dan kolektif

kita, kita dapat menjadi utuh dan sehat secara fisik. Pandangan ini

mengarahkan dia untuk bersandar pada “asosiasi bebas,” yang dia

yakini akan menyingkap para pasien yang mengalami represi,

perasaan-perasaan tak sadar dan citra-citra yang begitu kuat dan yang

berpotensi mengancam.

Meskipun komunitas psikiatri, pertama kali bersikap menerima

ide-ide Jung, mereka akhirnya merasa kehilangan aspek ilmiah yang


kongkrit dan ide-ide ini bersifat terlalu “sastra.” Jung, pada gilirannya,

menyalahkan sains yang mengasingkan umat manusia dari alam dan

kekuatan-kekuatan primitifnya dengan “menjelaskan” segala

sesuatunya dalam istilah-istilah rasional. Dengan kata lain, ini adalah

kesalahan sains yang sama sekali tidak menyentuh pengalaman-

pengalaman para leluhur.

Baru-baru ini, banyak para psikiater yang kembali menoleh pada

tulisan-tulisan Jung, dan psikologi arketipal sedang menikmati masa

renaissance-nya. (Ironisnya, terdapat banyak persepsi sastra untuk

arketipe-arketipe ini juga). Uji coba klinis mungkin sekali tidak pernah

dapat membuktikan teori Jung ini sebagai benar, tapi seperti yang

telah ditunjukkan oleh pergerakan manusia dan Joseph Campbell,

kadang-kadang, ide-ide tidak harus kedengaran ilmiah untuk

memuaskan sang jiwa.

Relasi-relasi Obyek

Perkembangan anak kecil telah diatur oleh mekanisme-mekanisme


introjeksi dan proyeksi. Dari sejak awalnya, sang ego meng-introjeksi
“kebaikan” dan “keburukan,” dimana payudara sang ibu adalah tipe
dasar---untuk obyek-obyek yang baik ketika seorang anak
memperolehnya, dan untuk obyek-obyek yang buruk ketika ia
membuat anak itu gagal.
Melanie Klein, “A Contribution to the Psychogenesis of
Manic-Depressive States” (1935)

Freud berpikir bahwa dia telah memecahkan banyak masalah, tapi dia

tidak pernah berpretensi untuk mengetahui apa yang sedang


berlangsung dalam pikiran seorang anak kecil. Dia telah menteorikan

tentang fase-fase atau “tahap-tahap” psikhis yang paling awal---oral,

anal, genital, dan macam-macam---tapi mengalami jalan buntu dalam

meneliti hal-hal semacam ini secara langsung. Psikoanalisa Freudian

hanya berfungsi ketika sang pasien sedang berkehendak dan mampu

untuk mengungkapkan masalah-masalahnya.

Namun, diantara para pengikut Freud, seorang analis Inggris

Melanie Klein memikirkan ini sebagai suatu hal yang penting dan perlu

untuk melihat pada pengalaman-pengalaman dari masa kanak-kanak

yang paling dini. Teori yang dihasilkan ini disebut “relasi-relasi obyek,”

dan ini sangat sentral bagi praktek psikoanalisa kontemporer.

Teori ini mengambil namanya dari penggunaan “obyek” oleh

Klein untuk mengacu pada persepsi anak-anak yang terpotong-potong,

tidak utuh, yang sangat bergantung pada perintah-perintah. Bagi anak-

anak, dunia ini tidak terbuat dari berbagai hal dan orang-orang yang

koheren, yang berbeda dari sang diri atau kebutuhan-kebutuhannya

dan yang bersifat datang dan pergi, tapi lebih berupa obyek-obyek

transisi yang menimbulkan kesenangan atau penderitaan. Obyek-

obyek yang memberi kesenangan adalah obyek-obyek yang “baik”;

sedangkan obyek-obyek yang tidak menyenangkan adalah obyek-

obyek-obyek yang “buruk.”

“Obyek yang baik” yang paling esensial dalam kehidupan

seorang anak adalah payudara ibunya, yang merupakan sumber


terbesar bagi kesenangannya. Dalam kenyataan, pengalaman yang

paling mendesak dan memaksa adalah proses menyusu---menghisap

air susu dari payudara---yang diikuti dengan ketat oleh pengalaman

tidak menyenangkan dari melewatkan sesuatu secara sia-sia pada

ujung lainnya. Pengalaman-pengalaman biologis ini menyuplai kita

dengan mekanisme-mekanisme psikologis yang paling awal, dimana

Klein yang mengikuti Freud, menyebutnya dengan istilah “introjeksi”

(“mengkonsumsi” obyek-obyek eksternal) dan “projection” (mengirim

atau memindahkan obyek-obyek batin ke dunia ini). Secara alami,

anak-anak berharap untuk “meng-introjeksi” atau mengkonsumsi

obyek-obyek yang baik (yang menyenangkan dan “mem-proyeksi”

ataumemindahkan obyek-obyek yang buruk (yang tidak

menyenangkan).

Tapi, tak ada di dalam hidup ini yang sedemikian sederhana,

sehingga tahun-tahun kita sebelum ini dipenuhi dengan kecemasan.

Tanpa mempunyai pemahaman nyata tentang waktu atau koherensi

(menjalin hubungan secara logis), anak-anak tidak mengetahui bahwa

penderitaan (seperti rasa lapar atau rasa panas akibat munculnya

bintik-bintik merah di kulit) adalah bersifat sementara dan akan

menghilang. Demikian pula, yang menimbulkan rasa shock adalah

ketika sang ibu menjauhkan payudaranya padahal kegiatan menyusu

ini menimbulkan kesenangan surgawi. Perubahan sedikit saja dapat

menciptakan sebuah neraka di luar surga atau sebuah surga di luar


neraka, dimana ini semua sangat merepotkan dan membingungkan

bagi ego anak yang masih sangat hijau ini. Sang anak mendapati

dirinya hanya mempunyai kontrol yang sangat terbatas atas obyek-

obyek yang baik dan yang buruk, sehingga sulit untuk memahami dan

memberikan apa yang ia inginkan pada saat dia menginginkan

sesuatu.

Kerumitan kedua muncul perihal insting. Klein menerima teori

Freud bahwa kita terlahir dengan dua insting dasar dan yang saling

bertentangan: insting kematian (yang bersifat agresif dan destruktif)

dan insting kehidupan (yang bersifat melindungi dan memelihara).

Sikap agresi seorang anak, pada prinsipnya, melawan “obyek-obyek

yang buruk” ini yang membuatnya menderita; apa yang tidak dia

ketahui, pada mulanya, adalah bahwa beberapa dari obyek-obyek

yang buruk ini adalah identik dengan obyek-obyek yang baik.

Misalnya, pada saat lapar, seorang anak menangis keras karena marah

ketika payudara ibunya mengering; sehingga payudara ini kemudian

menjadi sebuah “obyek yang buru” yang tampak berbeda sepenuhnya

dari payudara yang berlimpah air susunya dan yang bersifat

menyenangkan.

Anak kecil dalam penderitaannya berharap untuk

menghancurkan payudara yang buruk dengan fantasi-fantasi yang

ekstrim. Namun pada akhirnya, ia mulai menyadari bahwa payudara

yang buruk yang dia benci ini sama dengan payudara yang baik yang
dia sukai, dan bahwa sikap agresifnya, impuls-impuls destruktifnya

telah diarahkan pada sumber yang sama dengan kesenangannya.

Merasa takut bahwa fantasinya dapat mengancam obyek-obyeknya

dan juga dirinya sendiri, anak-anak melangsungkan sebuah perang

batin yang kuat antara impuls yang destruktif dan impuls yang

melindungi. Di luar konflik ini, muncul teori “super ego” yang terkenal,

bahwa aksi psikis ini bertujuan untuk merepresi insting-insting yang

membahayakan.

Gambaran tentang fantasi kanak-kanak ini, yang diklaim oleh

Klein untuk meng-asal-kan baik dari teori dan dari observasi,

membalikkan satu dari hipotesa-hipotesa Freud yang paling

bermasalah. Menurut Freud , super ego berkembang hanya setelah

Oedipus complex luruh, katakanlah ketika anak telah menginjak usia

kira-kira lima tahun. Tapi, Klein telah mengobservasi tindakan psikis

yang kasar dan represif bahkan disaat anak baru berusia tiga tahun,

sebuah tindakan yang bahkan lebih kasar dan lebih represif

dibandingkan dengan super ego orang dewasa, untuk tidak menyebut

kedua orangtuanya. Teori relasi-relasi obyek bukan hanya menjelaskan

penampakan paling awal dari super ego, ia juga menjelaskan

kekasarannya yang khas, yang berasal dari intensitas konflik di antara

insting-insting dan fantasi-fantasi seorang anak, yang mendistorsi

realitas. Selanjutnya, teori Klein menjauh dari fiksasi yang memalukan

dari teori Freudian tentang pengalaman-pengalaman dari anak laki-laki


kecil. Baik anak laki-laki maupun anak perempuan, merasakan

kesenangan dan penderitaan yang setara, dan mereka saling berbagi

fantasi-fantasi yang sama tentang mengkonsumsi atau

menghancurkan “obyek-obyek” dari dunia mereka yang terpisah-pisah.

Jadi, untuk mengakrabkan diri dengan pernyataan Klein yang

elegan, “formasi dari super ego bermula pada waktu yang sama

dengan seorang anak yang membuat introjeksi-introjeksi oralnya yang

paling awal dari obyek-obyeknya” (“The Early Development of

Conscience in the Child”, 1933). Dan dengan ini, kita tinggalkan sastra

psikoanalisa.

Anda mungkin juga menyukai