*) Staf Pengajar Kopertis Wil.I Dpk. Fakultas Pertanian Universitas Medan Area-Medan **) Staf Peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Buah, Solok-Sumatera Utara
ABSTRAK
Studi biologi Epilachna septima pada tanaman paria (Momordica charantia L.) E. septima merupakan salah satu serangga yang menjadi hama utama pada tanaman famili Solanaceae dengan tingkat kerugian 10 35%. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Mei 2002 di Kebun Penelitian dan Laboratorium Taksonomi Hewan Fakultas MIPA Universitas Andalas Padang, dengan menggunakan teknik survey dan sensus rutin. Penelitian bertujuan untuk membuat tabel kehidupan (life table) dari E. septima sehingga diketahui faktor- faktor yang sangat mempengaruhi perkembangan populasinya di laboratorium dan lapangan. Hal ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam usaha pengendaliannya. Dari hasil penelitian diperoleh jumlah telur di laboratorium sangat besar jika dibandingkan dengan di lapangan (61,67 52,40 berbanding 50,21 18,62) dengan lama stadia 4 8 hari dan 3 7 hari. Lama stadia larva dan pupa di laboratorium juga lebih lama dibandingkan dengan di lapangan (larva: 22 28 hari dan 17 19 hari; pupa: 4 5 hari dan 3 4 hari) dengan sex ratio 1:1. Faktor makanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi perkembangan populasinya di laboratorium, di lapangan faktor tersebut ditambah dengan faktor fisis dan biotis.
PENDAHULUAN
Serangga adalah makhluk yang sangat berhasil, walau banyak faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupannya. Oleh karena serangga memiliki daya adaptasi dan plastisitas genetik yang tinggi sehingga serangga dapat hidup dan bertahan di berbagai ekosistem. Keberadaannya di alam, ada yang bersifat menguntungkan bagi manusia (menghasilkan madu sutera, sherlac, membantu peryerbukan/ sebagai polinator dan berperan sebagai musuh alami), ada pula yang merugikan (berperan sebagai hama tanaman) (Gullan and Cranston, 1994; Untung, 1993).
Kehidupan dan perkembangan serangga dipengaruhi oleh faktor dalam (intrinsic factor) dan faktor luar/lingkungan (enviromental factor). Kedua faktor tersebut bekerja bersama- sama dan membentuk variasi corak lingkungan hidup yang luas di alam. Faktor intrinsik berupa keadaan fisiologi dan struktur organ tubuhnya. Faktor lingkungan yaitu faktor di luar tubuh serangga itu secara langsung/tidak mempengaruhinya. Faktor ini dibagi lagi menjadi: faktor fisis (meliputi iklim, cuaca, suhu, kelembaban dan lain- lain); faktor biotis (meliputi parasit, predator dan patogen dan faktor makanan (beraktian dengan kuantitas JURNAL PENELITIAN BIDANG ILMU PERTANIAN Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004
15 dan kualitas). Kesemuanya mempengaruhi proses-proses metabolisme, keadaan fisiologis, tingkah laku dan perkembangan serangga. Hal ini menyebabkan kepadatan populasi serangga bersifat dinamis. Bila kondisi sesuai, populasi serangga berkembang pesat, dan sebaliknya jika faktor lingkungan tidak cocok maka serangga akan pindah ketempat lain atau mati (Sunjaya,1970; Horn,1988; Gullan and Cranston,1994; Price,1975; Nurdin,1992).
Untuk mengetahui faktor-faktor yang sangat mempengaruhi perkembangan suatu populasi serangga tertentu di alam dapat diketahui dengan membuat tabel kehidupan (life table) dari serangga tersebut. Dari tabel kehidupan tersebut kita dapat mengetahui berbagai faktor mortalitas (abiotik dan biotik) yang mempengaruhi perkembangan populasi serangga dan pada stadia mana faktor tersebut mempengaruhinya (Untung,1993; Nurdin, 1992; Varley, Gradwell and Hassel, 1973).
Serangga sebagai herbivor berdasarkan jenis makanan dapat dibedakan atas monofag (yang hanya memakan 1 spesies tanaman), oligofag (memakan beberapa jenis tanaman yang termasuk 1 golongan taxonomi) dan polyfag (memakan banyak jenis tanaman dari berbagai golongan taxonomi). Serangga yang monofag biasanya disebut serangga yang spesialis, sedangkan yang polyfag disebut generalis (Gullan and Cranston, 1994; Untung, 1993; Horn, 1988).
Epilachna septima termasuk serangga yang monofag, karena hanya memakan daun tanaman paria (Momordica charantia) dan tanaman famili Solanaceae, sehingga daunnya berlubang dan tinggal tulang daunnya saja, dengan kerugian berkisar 10-35% (Katakura, Nakano, Abbas, Nakamura, 2001; Kalshoven, 1981)
Pengetahuan faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas dan perkembangan populasinya baik di laboratorium dan di lapangan sangat perlu diketahui untuk mengendalikan populasinya sehingga tidak merugikan secara ekonomis. Untuk itu diperlukan pengamatan yang rutin dan penuh ketelitian.
Paria (Momordica charantina) merupakan sayuran yang mengandung nilai gizi yang cukup bagi manusia. Kandungan mineral dan vitamin dalam 100 g buah (75% bagian yang dapat dimakan) terdiri dari Kalsium (45 mg), fosfor (64 mg), besi (1,4 mg), aktivitas retinol (54 mcg), thiamin (0.08 mg), asam askorbat (52 mg), kalori (34 kal), air (91G), protein (1,1g), lemak (0,3 g), karbohidrat (6,8 g) Lakitan, 1995). Oleh karena kandungan gizinya yang cukup tinggi, maka keberadaan Epilachna septima pada tanaman paria menimbulkan kerugian secara ekonomis (Lakitan, 1995)
E. septima termasuk dalam phylum Arthrophoda, famili Coccinellidae, subfamili Epilachninae. Epilachninae terdiri dari kumbang coccinellidae yang fitofag. Epilachna adalah genus yang terpenting dari famili ini. Dari genus ini ada yang bersifat sebagai predator aphid dan ada pula yang fitofag (Kalshoven, 1981; Gullan and Cranston, 1994)
E. septima, kumbang dengan metamorfosanya sempurna (holometebola) yang terdiri dari telur, larva, pupa dan imago yang berupa kumbang. Siklus hidup kelompok ini sedikit bervariasi kecuali dalam hal pemilihan tanaman inang. Epilachna ini dapat hidup pada daerah-daerah dengan ketinggian rendah sampai JURNAL PENELITIAN BIDANG ILMU PERTANIAN Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 16 tinggi (0 1100 m dpl.) tergantung dari keberadaan tanaman inangnya (Nakano, Nakamura, Abbas, 2001; Gullan and Cranston, 1994; Kalshoven 1981). Serangga dewasa E. septima berupa kumbang kecil, berbentuk bulat cembung, berwarna kuning dengan bintik-bintik hitam pada elytra-nya. Kepalanya tidak berbintik. Pronotum- nya berbintik 2 6 buah. Pada elytra-nya biasanya terdapat 14 bintik atau lebih sehingga di tubuhnya terdapat 28 bintik, tetapi sering kali bintik e,f,g dan h tidak ada (non-persisten). Bentuk bintik/spot yang persisten bentuknya membulat dan lebih besar dari pada bintik yang non- persisten (Katakura et al., 2001; Dieke, 1947; Kalshoven, 1981). Aktif dan mempunyai kemampuan terbang untuk menyebar yang besar adalah E. septima dan E. pusillanima (Nakano et al., 2001). Abdomennya datar dan terdiri dari 7 segmen. Untuk membedakannya hanya dilihat dari alat genetalianya, pada betina terdapat celah pada ujung abdomen yang membedakannya dengan kumbang jantan (Dieke, 1974). Ukuran tubuh betina 7 7.7 mm dan jantan 6.5 7.2 mm (Katakura et al., 2001)
Telur berbentuk bulat lonjong (ellips), berwarna kuning, tersusun berkelompok, terdapat di permukaan bawah daun dengan panjang telur 1,4 mm. J umlah telur /kelompok berkisar dari 7 108 butir dengan rata-rata 49,6 butir (Kalshoven, 1981; Abbas and Nakamura, 1985). J umlah telur yang diletakkan /betina/hari oleh Epilachna yang sebagai hama lebih banyak dari pada Epilachna yang tidak sebagai hama (Nakano et al., 2001).
Larva dan imago E. septima memiliki tempat hidup dan makanan yang sama, keduanya menyebabkan rusaknya daun, sehingga tinggal mesofilnya dengan pola yang khas dan bahkan tinggal tulang daun saja. Larvanya berwarna kuning dengan rambut-rambut halus berwarna hitam menutupi seluruh permukaan tubuhnya. Fase ini terdiri dari 4 instar (Abbas and Nakamura, 1985; Kalshoven, 1981).
Pupa Epilachna terlihat berkelompok atau satu-satu pada bagian bawah permukaan daun bekas serangannya. Panjang pupa 6 mm dan ujung abdomennya seringkali ditutupi oleh eksuvium larva. Bentuk pupa segi empat dan agak membulat, berwarna kuning terang (Kalshoven, 1981; Dieke, 1947).
Bagi E. septima faktor makanan merupakan faktor yang utama disamping faktor biotis dan fisis yang akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan. Ketersediaan makanan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi populasi suatu organisme dan dapat menjadi faktor pembatas (limiting factor) terutama jika kepadatan populasi sangat besar (crowded) (Horn; 1988; Sunjaya, 1970). Populasi Epilachna rendah di awal musim hujan oleh karena di musim kemarau serangga kekurangan makanan. Saat musim hujan dimana makanan cukup tersedia, maka populasinya akan meningkat dan serangan yang ditimbulkannya cukup serius (Kalshoven, 1981). Faktor biotis dalam hal ini parasit, predator dan patogen juga berperan mengontrol populasi E. septima di alam. Menurut Abbas and Nakamura (1985), musuh alami utama E. septima di Sumatera Barat adalah Tetrastichus sp. B menyebabkan 41,4 64,21% telur terparasit. Parasitoid Tetrastichus sp. C dan Pediobius foveolatus memparasit larva instar 4 sebanyak 1,2 19,4%. Parasitoid ini juga memparasit pupa dengan mortalitas 24,6 59,1%. Parasit dan kekurangan makanan karena padatnya populasi merupakan faktor utama penyebab mortalitas dari telur sampai dewasa yang keluar dari pupa JURNAL PENELITIAN BIDANG ILMU PERTANIAN Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004
17 dan berkisar 89,4 99, 54%. Menurut Kalshoven (1981), parasitoid Tetrastichus sp. (famili Eulophidae) memarasit telur lebih dari 70%, sedangkan Pediobius dapat memarasit larva dan pupa lebih dari 30% sampai 55%. Telur dan pupa yang terparasit mula-mula berbecak hitam, dan kemudian bertambah gelap warnanya.
BAHAN DAN METODA Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Taksonomi Hewan dan Kebun Penelitian J urusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Andalas Padang. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari sampai Mei 2002.
Bahan dan Alat. Bahan yang dipergunakan adalah: larva dan imago E. septima, bibit paria (Momordica charantia), tanah dan pupuk kandang. Alat-alat yang digunakan adalah loupe, plastic cup transparan diameter 10 cm dengan tinggi 4,3 cm, gunting, kertas label, ajir, spidol, polibag berdiameter 30 cm, kapas, kuas dan alat tulis.
Metode Penelitian. Penelitian ini dilakukan di laboratorium dan di lapangan, menggunakan teknik survey dan sensus rutin. Pengamatan dilakukan dengan instensif sehingga diperoleh data berkala (time series) yaitu data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu untuk melihat perkembangan populasi Epilachna selama periode penelitian. Data yang diperoleh diolah dengan statistik sederhana sehingga diperoleh rata-rata dan standar deviasinya.
Pelaksanaan Penelitian. Persiapan Makanan E. septima. Polibag diisi dengan tanah dan pupuk kandang. Bibit paria yang diperoleh dari petani ditanamkan ke dalam polibag masing- masing 2 biji. Setelah tumbuh tanaman diberi ajir dan diletakkan di kebun belakang J urusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Andalas. Persiapan serangga E. septima. Pupa diambil dari lahan petani yang tidak menggunakan insektisida. Pupa tersebut ditempatkan dalam kotak plastik transparan dan diberi kapas lembab untuk menjaga agar kelembaban di dalam kotak sama dengan yang ada di lapangan. Pupa dipelihara sampai menjadi imago dan dicatat saat imago keluar dari pupa.
Pengujian siklus hidup. Lima pasang kumbang di pelihara di laboratorium dan ditempatkan setiap pasangnya di dalam sebuah kotak plastik transparan yang telah berisi daun paria dan kapas lembab. Setiap hari diamati kelompok telur dan jumlahnya, dan dipisahkan dari induknya serta diberi label. Telur- telur ini dipelihara hingga menetas menjadi larva, pupa dan imago. Setiap hari kotak dibersihkan dan makanan diganti, ujung daun sebagai sumber makanan diberi kapas lembab agar tetap segar.
Pada saat yang sama dilepaskan sepasang kumbang ke tanaman paria yang sudah tersedia. Sebelum dilepas kedua kumbang diberi tanda pada elitra bagian kanan untuk jantan dan bagian kiri untuk betina dengan menggunakan spidol serangga (capture and recapture methode). Setiap 3 hari sekali diamati kelompok dan jumlah telur yang diletakkannya serta diberi label pada kelompok telur tersebut.
Pengamatan Penelitian Pengamatan laboratorium. Pengamatan di laboratorium dilakukan setiap hari, sejak ke 5 pasangan kumbang ditempatkan di kotak plastik trasparan. Pengamatan meliputi jumlah telur per kelompok, jumlah telur yang menetas menjadi larva, jumlah larva yang menjadi pupa, jumlah imago yang keluar dari pupa dan jumlah jantan/betina yang keluar dari pupa serta lamanya masing-masing stadia.
Pengamatan di lapangan. Sepasang kumbang yang diinvestasikan ke JURNAL PENELITIAN BIDANG ILMU PERTANIAN Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 18 JURNAL PENELITIAN BIDANG ILMU PERTANIAN Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004
19 lapangan, diamati setiap 3 hari sekali. Pengamatan meliputi jumlah telur per kelompok, jumlah larva, jumlah pupa dan jumlah dewasa yang keluar dari pupa. Pengamatan terhadap kelompok telur dan pupa diberi label, kumbang / imago yang keluar dari pupa dihitung dan diberi tanda dengan spidol pada elytranya. Untuk kumbang jantan diberi tanda pada bagian kanan, sedangkan untuk betina di elytra bagian kiri. Selain itu juga diamati mortalitas larva dan pupa oleh parasit atau faktor lain.
Kumbang yang telah diberi tanda kemudian dilepas lagi. Pada pengamatan berikutnya diamati, apakah yang telah ditandai itu masih terdapat dilapangan atau tidak (dihitung dan dicatat nomor kumbang tersebut). Kumbang yang baru keluar dari pupa diberi nomor/tanda sesuai dengan nomor setelah penandaan yang sebelumnya (metoda capture an recapture). d HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan di laboratorium dan lapangan terlihat kumbang E. septima memiliki bintik sebanyak 28 yang berwarna hitam, kumbang berwarna kuning orange. Ukuran tubuh jantan lebih besar dari betina. Hasil pengamatan 5 pasang kumbang di laboratorium dan sepasang di lapangan diperoleh data life table (table kehidupan) seperti pada tabel 1. Dari tabel 1 terlihat bahwa jumlah telur/kelompok telur di laboratorium kisarannya lebih besar daripada yang di lapangan. J umlah telur per kelompok (butir) yang diletakkan bervariasi jumlahnya, rata-rata di laboratorium sebanyak 61.67 52.40 (12 105) sedangkan di lapangan 50,21 18.62 (7- 85). Tabel-1: Siklus hidup E. septima pada tanaman paria (Momordica charantia) di laboratorium dan lapangan
Parameter Laboratorium Lapangan Ulangan 5 1 J umlah telur/ kel. (butir) 61.6752,40 (12 105) a 50.2118.62 (7 85) Lamanya stadia telur(hari) 6.20 2.05 (4 8) 4.88 1.73 (3 7) Mortalitas telur (%) 90.97 46.48 Lama stadia larva (hari) 24.25 21.49 (22 28) 19.45 20.23 (17 19) Mortalitas larva (%) 25 11.25 Lamanya stadia pupa (hari) 4.200.50 (4-5) 3.800.45 (3 4) Mortalitas pupa (%) 12 18.17 Periode pre reproduksi (hari) 6.20 0.8 (5 7) 6 Periode Reproduksi (hari) 12.00 8.03 (10 22) 17 Periode Postreproduksi (hari) 4.80 1.78 (3 7) 4 a rata-rata hitung +standart deviasi (batas bawah batas atas) Hal ini kemungkinan di laboratorium makanan cukup tersedia dan tidak adanya tekanan dari faktor fisis dan biotis seperti curah hujan, parasit, predator dan patogen, sehingga menyebabkan keadaan fisiologis dari telur serangga tidak terganggu. Sementara itu di lapangan oleh karena adanya pencucian oleh curah hujan sehingga menyebabkan kelompok telur yang teramati menjadi lebih sedikit tidak sebanyak seperti saat diletakkan oleh induk kumbang. Hal ini sesuai dengan dikemukan oleh Sunjaya, 1970; Untung, 1993, bahwa faktor fisik terutama kelembaban, suhu, cahaya matahari, hujan (faktor fisis) dan musuh alami (faktor biotis) serta faktor makanan mempengaruhi perkembangan populasi dan bahkan dapat menjadi faktor pembatas. Mortalitas telur di lapangan hanya berkisar 46.48 % yang disebabkan parasit 14.78%, predator 0.73% dan tidak diketahui (unknown) 25,26%. Telur yang terparasit terlihat berbintik hitam kemudian seluruh permukaan telur menjadi hitam. Di laboratorium, 90.97% hal ini disebabkan saat pemeliharaan telur diserang oleh semut sehingga exsuvinya juga tidak terlihat sama sekali di kotak pemeliharaan. Telur E. septima diletakkan berkelompok di bawah permukaan daun, berwarna kuning, berbentuk lonjong (ellips).
Distribusi frekwensi jumlah telur/kelompok E septima di laboratorium dan lapangan paling banyak berada pada 30 40 butir per kelompok seperti terlihat pada gambar 1.
Frekwensi jumlah telur / kelompok E. septima di laboratorium F r e k w e n s i
F r e k w e n s i
Frekwensi jumlah telur / kelompok E. septima di lapangan
Gambar 1. Distribusi frekwensi kelompok telur E septima dan rata-rata jumlah telur per kelompok di laboratorium dan di lapangan Lamanya stadia larva (hari) di laboratorium berkisar antara 22 28 hari dengan rata-rata 24.25 2.49 sedangkan hasil penelitian Abbas and Nakamura (1985), rata-ratanya adalah 22,5 hari. Besarnya rata-rata yang diperoleh saat praktikum kemungkinan karena jadwal pengamatan yang dilakukan 3 hari sekali sehingga kemungkinan saat pengamatan sebenarnya larva telah
J umlah telur / kelompok (butir )
J umlah telur / kelompok (butir) JURNAL PENELITIAN BIDANG ILMU PERTANIAN Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 20 berumur beberapa hari. Fase larva dan imago merupakan fase yang sangat aktif makan sehingga kerusakan yang ditimbulkannya menjadi serius, daun tinggal mesofilnya dan seringkali daun tinggal tulangnya saja.
Larva E septima berwarna kuning dengan seluruh permukaan tubuhnya ditutupi oleh rambut-rambut yang berwarna putih dengan ujung hitam. Larva yang akan menjadi pupa (instar terakhir / ke 4) tubuhnya membungkuk, berkilat dan tidak aktif.
Mortalitas larva di laboratorium mencapai 25%, hal ini karena penggunaan tempat yang terlalu kecil atau tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh E. septima (tempat terlalu lembab atau ruangan tempat hidupnya yang terlalu sempit). Di lapangan mortalitasnya hanya 11.25% dan larva yang terparasit tidak ada di lapangan.
J umlah larva yang menjadi pupa di laboratorium 60% dengan lama stadia pupa = 4,20 0,50 (4 5). Sedangkan jumlah larva yang menjadi pupa di lapangan = 426/480 x 100% = 88.75% dengan lama stadia pupa rata-rata berkisar 3.8 0.45 (3 4). Bentuk pupa E septima bersegi empat tetapi agak bulat, cembung dengan warna kuning terang dan di bagian dorsalnya terdapat bintik-bintik hitam. Seluruh permukaan tubuh pupa tertutup oleh rambut-rambut. Di lapangan pupa yang terparasit cukup banyak terlihat, yang ditandai dengan berubahnya warna pupa dari kuning menjadi coklat. Rata-rata persentase pupa yang terparasit 11.92 5.98 (5.6 18.4) sedangkan mortalitas pupa keseluruhannya baik yang terparasit atau hilang di makan predator dan sebagainya 18.17%
Lamanya stadia dari telur ke imago yang keluar dari pupa yang diperoleh Abbas and Nakamura (1985) adalah 22.5 hari, sedang yang diperoleh saat penelitian (di lapangan) adalah 20 hari (telur pertama diletakkan imago tgl 8 April 2002 dan imago yang terbentuk pertama kali tgl 27 April 2002). Adanya perbedaan ini kemungkinan saat pengamatan fase peletakan telur atau terbentuknya imago telah lewat 1 atau 2 hari.
Morfologi tiap stadia E. septima dan gejala serangannya pada tanaman paria (Momordica charantia L.) dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Telur larva
Gejala serangan
Imago Pupa
Gambar 2. Morfologi tiap stadia E.septima dan gejala serangannya. Hasil pengamatan sex ratio dari imago yang keluar dari pupa (yang ada di lapangan) dengan menggunakan metoda penandaan diperoleh hasil sebagai berikut:
JURNAL PENELITIAN BIDANG ILMU PERTANIAN Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004
21 Tabel 2. Total jumlah dan betina yang ditandai setiap periode pengamatan Periode / tanggal J antan Betina Total I / 1 Mei 2002 18 18 36 II / 4 Mei 2002 7 10 17 III / 7 Mei 2002 9 7 16 Total 34 35 69
Dari tabel 2 terlihat bahwa sex ratio (: ) hampir mendekati 1: 1 hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh Abbas and Nakamura (1985) bahwa sex ratio dari sp. C yang memakan Momordica charantia adalah 1:1.
Pengamatan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan E. septima di laboratorium dan lapangan, terlihat peranan faktor makanan,fisik dan parasit/predator secara berurutan berperan penting dalam perkembangan populasinya. Saat pengamatan di lapangan terlihat adanya parasitoid dan predator dari E. septima yaitu belalang dan adanya tabuhan (wasp) dan datangnya polinator Trigona sp.
Oleh karena E. septima monofag dan disekitar lapangan tidak ada tanaman paria maka kurangnya jumlah makanan (daun paria) dengan populasi yang cukup padat, mengakibatkan larva dan imago E. septima tidak hanya memakan daun paria tetapi juga memakan buahnya. Dalam hal ini makanan menjadi faktor pembatas bagi perkembangan populasi E. septima di lapangan sesuai dengan pendapat Horn. 1988; Untung, 1993; Sunjaya, 1981, bahwa faktor makanan jika populasi berdesakan (crowded) akan dapat menjadi faktor pembatas perkembangan populasi serangga.
KESIMPULAN
1. Epilachna septima bersifat monofag dengan tanaman inangnya Momordica charantia. 2. Kumbang meletakkan telurnya berkelompok dibawah permukaan daun dengan rata-rata tiap kelompok 61.76 52.40 butir dengan lamanya stadia telur berkisar 6.2 2.- 05 hari (di laboratorium). Sedangkan di lapangan rata-rata tiap kelompoknya 50.21 18.62 butir dan lamanya stadia telur 4.88 1.73 hari 3. Lamanya stadia larva E. septima di laboratorium 24.25 2.49 hari di lapangan 19.45 20.23 hari 4. Rata-rata lamanya stadia pupa di lapangan 3.8 0.45 hari dengan mortalitas rata-rata berkisar 18.17 28.29 % 5. Sex ratio E. septima 1: 1 6. Periode pre reproduksi E. septima di laboratorium dan lapangan hampir sama berturut-turut yaitu 6.2 0.8 hari dan 6 hari; periode reproduksi 12 8.03 hari dan 17 hari serta periode post reproduksi 4.8 1.78 hari dan 4 hari. 7. Mortalitas E. septima di laboratorium dan di lapangan sangat dipengaruhi oleh faktor makanan (kualitas dan kuantitas) diikuti factor fisik (seperti lembaban, suhu, curah hujan), dan faktor biotis (parasit, predator dan patogen).
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, I. And K, Nakamura. 1985 Adult Population Parameters and Life Table of An Epilachnine beetle (Coleoptera;Coccinellidae) Feeding on Bitter Cucumber in Sumatera. Researches on Population Ecology. Vo. 27(2): 313 324. JURNAL PENELITIAN BIDANG ILMU PERTANIAN Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004 22 Dieke, G.H. 1974. Ladybeetles of The Genus Epilachna (Sens. Lat). In Asia, Europe and Australia Published by The Smithsoniaan Institution. Washington. 183 pp.
Gullan, P. J . and P.S. Cranston. 1994. The Insect An Outline of Entomology. Chapman and Hall. London. 491 pp
Horn, D.J . 1988. Ecological Approach to Pest management. The Guilford Press. New York. London. 288 pp.
Kalshoven, L.G. E. 1981. Pest of Crops in Indonesia. Revised by P. A. van der Laan. P.T. Ichtiar Baru Van Hoeve. J akarta. 701 hal.
Katakura, H., S. Nakano, I. Abbas and K. Nakamura, 2001. Epilachnine Ladybird Beetles (Coleoptera; Coccinellidae) of Sumatera and J ava. Tropic. Vol 10(3):369 377.
Lakitan, B. 1995. Hortikultura, Teori, Budidaya dan Pasca Panen. P.T. Raja Grafindo Perkasa, J akarta. 219 hal.
Nakano, S.,K.Nakamura and I. Abbas. 2001. Survivorship and Fertility Scedules of A Non Pest Phytophagus Lady Beetle, Epilachna Phyto (Coleoptera, Coccinellidae) Under Laboratory Condition. Tropic. Vol. 10 (3): 369 377.
Nurdin, 1992. Ekologi Serangga. Fakultas Biologi. Universitas Andalas Padang.
Price, P.W. 1975. Insect Ecology. Awiley Interscience Publication. J hon Wiley and Sons. New York. 514 pp
Sunjaya, P.I. 1970. Dasar-dasar ekologi Serangga. Bagian Ilmu Hama Tanaman. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Untung, K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gajah Mada University Press.. Yogyakarta. 273 hal.
Varley, G.C., G.R. Gradwell and M.P. Hassel. 1973. Insect Population Ecology. Blackwell Scientific Publication. Oxpord London. 212 pp.
JURNAL PENELITIAN BIDANG ILMU PERTANIAN Volume 2, Nomor 2, Agustus 2004