Anda di halaman 1dari 27

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ......................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 2-3 2.1 Konsep 2.1.1 Tuberkulosis Laten dan Aktif ................................................................ 3 2.1.2 Mekanisme Tuberkulosis .................................................................... 3-4 2.1.3 Patofisiologi Tuberkulosis .................................................................. 5-7 2.1.4 Respon Klien Gangguan Tuberkulosis ............................................... 7-8 3.1 Kasus ............................................................................................................... 8 4.1 Pembahasan ............................................................................................... 8-14 5.1 Kesimpulan .................................................................................................... 14 RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN TUBERKULOSIS ......................................................................................................................... 15-25 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 26-27

1.1 Latar Belakang Tuberkulosis adalah sebuah penyakit kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis (TBC), penyakit menular yang biasanya

mempengaruhi paru-paru. Penderita penyakit TBC dapat menjadi sangat lemah dan tidak dapat melakukan aktivitas harian. Penderita penyakit TBC yang tidak diobati dengan baik bisa menularkan bakteri TBC pada keluarganya. Mereka tidak dapat bebas bergaul dan cenderung dijauhi oleh orang disekitarnya. Hal ini sangat sulit bila mereka tinggal dalam satu rumah dengan banyak orang. Selain itu juga pengobatan TBC yang dihentikan sebelum waktunya dapat menyebabkan bakteri menjadi resisten dan dapat kambuh sewaktu-waktu. Berdasarkan masalah kompleks di atas, maka penulis tertarik untuk menyusun makalah dengan judul "Patofisiologis dan Penatalaksanaan Klien Tuberkulosis" guna memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif dan profesional. Adapun rumusan masalah dari makalah ini yaitu, apa yang dimaksud dengan tuberkulosis, apa saja gejala dan tanda tuberkulosis, apa saja pemeriksaan yang digunakan untuk mendiagnosa tuberkulosis, apa saja obat yang digunakan untuk menangani tuberkulosis, serta bagaimana asuhan keperawatan pada pasien tuberkulosis. Tujuan dari makalah ini yakni, mahasiswa mampu menjelaskan penyebab dan mekanisme tuberkulosis serta respon terhadap gangguan tersebut, menjelaskan pemeriksaan fisik yang digunakan untuk mengidentifikasi

tuberkulosis, memahami prosedur pemeriksaan tes diagnostik untuk mengevaluasi tuberkulosis, menetapkan diagnosa keperawatan pada klien tuberkulosis, merencanakan tindakan keperawatan untuk klien tuberkulosis, mengobservasi dan mendemonstrasikan tindakan keperawatan pada klien tuberkulosis, merencanakan tindakan prevensi dan rehabilitasi pada klien tuberkulosis serta mengevaluasi tindakan pada klien tuberkulosis. Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode studi pustaka, yaitu dengan mengambil referensi dari berbagai sumber buku dan internet yang terpercaya. Makalah ini terdiri dari latar belakang yang mencakup rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

Kemudian dilanjutkan dengan konsep, kasus, dan pembahasan kasus pemicu 2. Bagian terakhir merupakan penutup yang berisi kesimpulan. 2.1 Konsep Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Micobacterium Tuberculosis yang menyebar dari satu orang ke orang lain melalui udara. Selain mempengaruhi paru (80%), TBC juga dapat mempengaruhi organ lain seperti otak, ginjal, atau spinal (TBC ekstrapulmonar 20%). Duapertiga dari populasi dunia mengalami infeksi TBC. Akan tetapi, secara umum, hanya 5-10% orang yang terinfeksi akan mengalami penyakit TBC aktif. Setengah dari orang tersebut dapat mengalami TB aktif pada dua tahun pertama sejak infeksi. Jika imunitas rendah, resikonya akan meningkat. 2.1.1 Tuberkulosis laten dan Aktif Saat seseorang yang terinfeksi TBC terbatuk atau bersin, droplet yang berisi M.tuberkulosis keluar ke udara. Jika seseorang menghirupnya, dia akan terinfeksi. Namun, bukan berarti orang tersebut mengalami penyakit tuberkulosis. Orang dengan infeksi laten TBC tidak merasakan sakit dan gejala. Mereka memang terinfeksi, tetapi bukan merupakan TBC yang aktif. Satusatunya tanda adalah reaksi positif pada skin test uji tuberkulin. Pada kondisi ini, orang tersebut tidak mnyebarkan infeksi TBC ke orang lain. Sistem imun membungkus basil TBC yang terlindungi oleh mantel lilin yang tebal, yang dapat dormant dalam beberapa tahun. Makrofag yang terinfeksi merekrut selsel imunitas untuk membentuk granuloma, mengisolasi bakteri dan mencegahnya menyebar. Lain halnya dengan TBC aktif, ia dapat berkembang saat bakteri TBC dapat mengatasi sistem imunitas dan mulai bereplikasi. Hal tersebut dapat terjadi segera setelah infeksi atau saat sistem imunitas mereka menurun. Granuloma dapat mengalami nekrosis dan terjadi destruksi jaringan sehingga terjadi pelepasan bakteri dan berkembang menjadi penyakit aktif. 2.1.2 Mekanisme Tuberkulosis Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi dorplet nuclei dalam udara. Partikel infeksi ini
3

dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada/tidaknya sinar UV, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap, kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terhisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada jalan nafas atau paru-paru. Partikel dapat masuk dalam alveolus bila ukuran partikel <5 mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, baru kemudian oleh makrofag. Penyebaran mekanisme TBC biasanya dimulai melalui udara yang tercemar dengan bakteri micobacterium tuberculosis yang dilepaskan saat penderita TBC batuk. Bakteri TBC ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itu, infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh tubuh organ seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain. Saat bakteri TBC berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri TBC ini akan berusaha dihambat melalui pembentukkan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukkan dinding itu membuat jaringan disekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TBC akan menjadi dormant. Bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen. Pada orang dengan sistem kekebalan imun baik, bentuk ini akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Tetapi jika sebaliknya (kekebalan imun buruk), bakteri ini akan mengalami perkembangbiakkan sehingga tuberkel bertambah banyak. Tuberkel yang banyak ini membentuk sebuah ruang di dalam paruparu. Ruang inilah yang nantinya menjadi tempat produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi TBC.

2.1.3 Patofisiologi Tuberkulosis Tuberkulosis Primer TBC primer adalah bentuk penyakit yang terjadi pada orang yang belum pernah terpajan (sehingga tidak pernah tersensitisasi). Pada TBC primer, organisme berasal dari luar (eksogen). Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis spesifik, sehingga tidak terjadi respons imunologi spesifik. Namun pada beberapa individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB akan membentuk lesi di tempat tersebut yang dinamakan fokus primer Ghon. Kemudian dari fokus primer ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar lime regional. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis), dan kelenjar limfe (limfadenitis) sebagai daerah regional yang juga sering mengalami perkijuan. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer Ghon. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi: 1. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat 2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garisgaris fibrotik, kalsifikasi di hilus. 3. Berkomplikasi dan menyebar secara: - Per kontinutatum, yakni menyebar kesekitarnya. - Secara bronkogen pada paru disebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus. - Secara limfogen dan hematogen, menyebar ke organ tubuh lainnya. Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuk kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa

inkubasi. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung selama 4-8 minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang baik mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respon imunitas seluler. Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau klasifikasi setelah terjadi nekrosis perkijauan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TBC tetap dapat hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TBC. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa kuman yang akan menetap sebagai kuman persisten atau dormant. Kadangkadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan positif menjadi penderita Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan untuk mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan. Tuberkulosis Sekunder Tuberkulosis sekunder dapat diartikan sebagai pola penyakit yang muncul pada pejamu yang telah tersentisisasi. Secara umum, TBC sekunder terjadi karena reaktivasi bakteri yang dormant terutama saat resistensi pejamu melemah. Namun, dapat juga terjadi segera setelah infeksi primer. Selain itu, penyakit ini dapat terjadi akibat reinfeksi eksogen karena berkurangnya proteksi yang dihasilkan penyakit primer atau karena besarnya inokulum basil hidup. Pada daerah dengan prevalensi tinggi, reinfeksi eksogen lebih sering terjadi. Dari mana pun

sumber organismenya, kurang dari 5% pasien dengan penyakit primer kemudian mengalami tuberkulosis sekunder. TB sekunder biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura. 2.1.4 Respon Klien Gangguan TBC Orang yang mengalami TBC aktif, dapat memunculkan tanda berupa penurunan berat badan, penurunan nafsu makan (anoreksia), sesak nafas (dipsneu), sputum purulent/hijau, mukoid/kuning. Ada pun dari segi paru, nampak gejala umum/sistemik seperti Demam Deman tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti infuenza dan bersifat hilang timbul. Nyeri Dada Timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura (pleuritis) Malaise Dapat berupa anoreksia, tidak ada nafsu makan, berat badan turun, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam. Sesak Nafas Sesak nafaas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut dimana infiltrasinya sudah setengah bagian paru. Batuk Terjadi karena adanya infeksi pada bronkus. Sifat batuk dimulai dari batuk kering kemudian setelah peradangan timbul menjadi batuk produktif (sputum). Pada keadaan lanjut berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada ulkus dinding bronkus.Batukbatu selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)

Gejala Khusus/khas Bergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paruparu) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit diatasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah. Pada anak-anak dapat mengenai otak (lap. pembungkus otak) disebut meningitis (rdg. selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang. 3.1 Kasus Seorang perempuan berusia 37 tahun, di rawat di ruang penyakit dalam dengan diagnosis medis TBC. Saat ini klien masuk RS dengan keluhan sesak nafas, batuk yang tidak sembuh-sembuh sejak 3 minggu yang lalu dan batuk berdarah serta demam bila malam hari. Dari hasil pengkajian didapatkan, 1 tahun yang lalu klien pernah mendapat pengobatan TBC, tetapi setelah 3 bulan pengobatan ia tidak lagi minum obat karena sudah tidak batuk lagi. Ia adalah seorang ibu rumah tangga yang tinggal bersama keluarga besarnya (suami, anak, ayah, ibu, adik, dan kakak) di daerah padat penduduk. Pada pemeriksaan fisik saat ini didapatkan frekuensi nafas 30 x/mnt, nadi 88 x/mnt, TD 100/60 mmHg, BB 35 Kg dengan TB 155 cm, klien tampak lemah dan terpasang oksigen nasal kanul 4 liter permenit. 4.1 Pembahasan Kemungkinan yang terjadi pada klien: Pada kasus di atas klien mengalami tuberkulosis sekunder (tuberkulosis reaktivasi). Di dalam kasus dijelaskan bahwa klien pernah mendapatkan pengobatan TBC tetapi setelah tiga bulan, pengobatan itu dihentikan karena klien tidak mengalami batuk lagi dan merasa sudah sembuh. Peristiwa ini dapat

diindikasikan bahwa setahun yang lalu klien mengalami TBC primer. Kelanjutan setelah infeksi primer bergantung kepada kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh klien tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TBC. Meskipun demikian, ada beberapa kuman yang akan menetap sebagai kuman persisten atau dormant. Jadi ketika pengobatan dihentikan sebelum waktunya atau sebelum kuman benarbenar mati maka klien rentan untuk terkena TBC kembali atau disebut dengan TB sekunder karena, masa inkubasi yang diperlukan adalah sekitar 6 bulan. Sedangkan klien hanya melakukan pengobatan selama 3 bulan. Sehingga bakteri yang dormant, yang seharusnya dormant secara normal/tidak membahayakan, menjadi aktif saat pemicu seperti eksogen berikutnya datang. Ada pun faktor lainnya yang berhubungan adalah karena kuman TBC saat kondisi primer, menyebabkan inflamasi disaluran limfe dan kelenjara limfe yang rentan menjadi daerah perkijauan. Dalam kondisi ini, maka TBC primer akan cenderung berkomplikasi menjadi TBC sekunder. Saat TBC sekunder, resistensi pejamu melemah. Saat melemah, maka dapat memberikan kesempatan kepada bakteri yang dormant pasca TBC primer menjadi reaktivasi ditambah pula dengan reinfeksi eksogen. Sehingga, daya sistem imun tidak cukup kuat untuk melawan. Sesak nafas yang terjadi pada klien terjadi karena pola nafas yang tidak efektif yang bisa jadi dikarenakan oleh penumpukan sputum di saluran pernapasan. Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak nafas. Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paruparu. Gejala batuk berdarah banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produkproduk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni, setelah bermingguminggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah yang pecah. Sebagian besar batuk darah pada tuberkulosis terjadi kavitas, tetapi dapat terjadi pada ulkus dinding bronkus.

Demam di malam hari juga dirasakan oleh klien penderita tuberkulosis tersebut. Karakteristik agen infeksius dalam tuberkulosis diisinyalir sebagai penyebab utama terjadinya demam di malam hari pada penderita tuberkulosis. Suhu tubuh normal manusia memiliki irama sirkadian di mana paling rendah pada pagi hari sebelum fajar yaitu 36.1C dan meningkat menjadi 37.4 C atau lebih tinggi pada sore hari sekitar pukul 18.00 (Young, 1988; Boulant, 1991, Dinarello and Bunn, 1997) sehingga kejadian demam/keringat malam mungkin dihubungkan dengan irama sirkadian ini. Variasi antara suhu tubuh terendah dan tertinggi dari setiap orang berbeda-beda tetapi konsisten pada setiap orang. Belum diketahui dengan jelas mengapa tuberkulosis menyebabkan demam pada malam hari. Ada pendapat keringat malam pada pasien tuberkulosis aktif terjadi sebagai respon salah satu molekul sinyal peptida, yaitu Tumour Necrosis Factor Alpha (TNF-) yang dikeluarkan oleh sel-sel sistem imun di mana mereka bereaksi terhadap bakteri infeksius (M.tuberculosis). Monosit yang merupakan sumber TNF- akan meninggalkan aliran darah menuju kumpulan kuman M.tuberculosis dan menjadi makrofag migrasi. Walaupun makrofag ini tidak dapat mengeradikasi bakteri secara keseluruhan, tetapi pada orang

imunokompeten makrofag dan sel-sel sitokin lainnya akan mengelilingi kompleks bakteri tersebut untuk mencegah penyebaran bakteri lebih lanjut ke jaringan sekitarnya. TNF- yang dikeluarkan secara berlebihan sebagai respon imun ini akan menyebabkan demam, keringat malam, nekrosis, dan penurunan berat badan di mana semua ini merupakan karakteristik dari tuberkulosis (Tramontana et al, 1995). Demam timbul sebagai akibat respon sinyal kimia yang bersirkulasi yang menyebabkan hipotalamus mengatur ulang suhu tubuh ke temperatur yang lebih tinggi untuk sesaat. Selanjutnya suhu tubuh akan kembali normal dan panas yang berlebihan akan dikeluarkan melalui keringat. Untuk lebih jelasnya berikut adalah fase demam: Pertama, yaitu fase inisiasi di mana vasokonstriksi kutaneus akan menyebabkan retensi panas dan menggigil untuk menghasilkan panas tambahan. Ketika set point baru tercapai maka menggigil akan berhenti. Dengan menurunnya set point menjadi normal, vasodilatasi kutaneus

10

menyebabkan hilangnya panas ke lingkungan dalam bentuk berkeringat (Young, 1988; Boulant, 1991, Dinarello and Bunn, 1997). Pada kasus ini tubuh klien menjadi kurus karena malaise atau berkurangnya nafsu makan yang diakibatkan oleh infeksi kuman tuberkulosis. Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia, tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dan lain-lain. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur. Pada kasus ini tuberkulosis sekunder atau tuberkulosis yang muncul kembali ini merupakan hal yang terjadi karena kurangnya pengetahuan klien tentang edukasi yang benar mengenai penyakit tuberkulosis yang benar. Resiko penularan pada anggota keluarga lain juga perlu dipertimbangkan oleh perawat. Mereka yang paling beresiko terpajan dan terjangkit TBC adalah mereka yang tinggal berdekatan dengan orang yang terinfeksi aktif, anggota keluarga, para pekerja kesehatan yang merawat pasien tuberkulosis, dan mereka yang menggunakan fasilitas klinik perawatan rumah sakit yang juga digunakan oleh para penderita tuberkulosis. Selain itu TBC juga dapat menginfeksi individu yang sistem imunnya tidak adekuat misalnya, mereka yang kekurangan gizi, orang berusia lanjut dan bayi, individu yang mendapat obat imunosupresan, dan mereka yg mengidap virus imunodefisiensi manusia (HIV). Individu yang terinfeksi TBC cenderung membutuhkan asuhan keperawatan dimulai dari tahapan pengembalian kondisi kesehatan individu hingga tahap rehabilitasi dan kuratif yang dijalani individu TBC. Hal lainnya adalah tindakan preventif bagi individu yang mengadakan kontak langsung terhadap individu yang terinfeksi TBC. Program rehabilitasi dan kuratif meliputi dua program utama,

yaitu pemberian obat dan home care. Obat yang diberikan minimal dua jenis dengan dua jenis resimen, yaitu obat primer dan obat sekunder. Obat primer mencakup Isoniazid (INH), Rifampisin (RIF), Pirazinamid (PZA), Ethambutol (EMB), dan Streptomisin (SM) yang obat tersebut memiliki fungsi untuk melakukan penghentian pertumbuhan basil, pengurangan basil dorman, dan pencegahan terjadi resistensi (Sudoyo, 2006). Sedangkan obat sekunder mencakup
11

Kapreomisin, Ethionamide, Cycloserine, Kanamisin, dan Para-Amino Salicylic acid yang tujuan pemberiannya pun sama dengan obat primer (Sudoyo, 2006). Obat-obat sekunder diberikan untuk TBC yang disebabkan oleh kuman yang resisten atau bila obat primer menimbulkan efek samping yang tidak bisa ditoleransi. Pemberian Obat: Isoniazid (INH) Isoniazid (INH) mempunyai kemampuan bakterisidal TBC yang terkuat. Isoniazid secara in dan vitro bersifat tuberkulostatik (menahan (membunuh bakteri).

perkembangan

bakteri)

tuberkulosid

Mekanismenya yaitu menghambat cell-wall biosynthesis pathway. Dosis biasa 5 mg/kgBB, maksimum 300 mg/hari. Untuk TBC berat dapat diberikan 10 mg/kgBB, maksimumnya 600 mg/hari. Isoniazid mudah diabsorpsi pada pemberian oral maupun parenteral. Kadar puncak diperoleh dalam waktu 12 jam setelah pemberian oral. Efek samping pemberian obat ini yaitu mual, muntah, anoreksia, letih, malaise, lemah, hepatitis, neuritis perifer, neuritis optikus, reaksi

hipersensitivitas, demam, ruam, kejang, sakit kepala, mengantuk, pusing, mulut kering, gangguan BAK, kekurangan vitamin B6, asidosis metabolik, gejala reumatik. Rifampisin (RIF) Selain isoniazid (INH), rifampisin juga merupakan obat anti TBC yang ampuh dengan mekanismenya yaitu menghambat polimerase DNAdependent ribonucleic acid (RNA) M. Tuberculosis (Sudoyo, 2006). Dosis untuk orang dewasa dengan berat badan kurang dari 50 kg ialah 400 mg/hari dan untuk berat badan lebih dari 50 kg ialah 60 mg/hari. Penggunaan obat rifampisin dapat menyebabkan efek samping meliputi perubahan warna pada pengeluaran cairan tubuh, seperti keringat, urin, saliva, dan air mata menjadi berwarna merah-orange, demam, gejala flu, disertai kelelahan (LeMone, 2008). Pada dua bulan pertama pengobatan dengan rifampisin, sering terjadi gangguan sementara pada fungsi hati (peningkatan transaminase serum). Rifampisin menginduksi enzim-enzim

12

hati sehingga mempercepat metabolisme obat lain seperti estrogen, kortikosteroid, fenitoin, sulfonilurea, dan anti-koagulan. Pirazinamid (PZA) Pyrazinamid bersifat bakterisid dan hanya aktif terhadap kuman intrasel yang aktif membelah dan mycrobacterium tuberculosis. Pirazinamid terdapat dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Dosis oral ialah 20-35 mg/kgBB sehari (maksimum 3 gram). Efek sampingnya, yaitu

hepatotoksisitas termasuk demam, anoreksia, hepatomegali, splenomegali, jaundise, gagal hati, mual, muntah, kemerahan, disuria, atralgia, anemia sideroblastik, ruam dan kadang-kadang fotosensitivitas. Etambutol ( EMB) Etambutol digunakan dalam regimen pengobatan bila diduga ada resistensi. Jika resiko resistensi rendah, obat ini dapat ditinggalkan. Kerjanya menghambat sintesis metabolit sel, sehingga metabolisme sel terhambat dan sel mati. Dosis biasanya 15 mg/kgBB, diberikan sekali sehari. Efek samping etambutol yang sering terjadi adalah gangguan penglihatan dengan penurunan visual, buta warna dan penyempitan lapangan pandang. Efek toksik ini lebih sering bila dosis berlebihan atau bila ada gangguan fungsi ginjal. Streptomisin (SM) Streptomisin saat ini semakin jarang digunakan, kecuali untuk kasus resistensi. Mekanisme kerjanya berdasarkan penghambatan sintesa protein dengan jalan pengikatan pada RNA ribosomal. Obat ini diberikan 15 mg/kg, maksimal 1 gram perhari. Untuk berat badan kurang dari 50 kg atau usia lebih dari 40 tahun, diberikan 500-700 mg/hari. Efek samping yang dapat ditimbulkan dari penggunaan obat streptomycin yaitu meliputi adanya gangguan di dalam pendengaran, pusing maupun penurunan berat badan (LeMone, 2008). Efek samping akan meningkat setelah dosis kumulatif 100 g, yang hanya boleh dilampaui dalam keadaan yang sangat khusus. Program rehabilitasi kedua yaitu home care. Pada home care berfokus pada pemberian edukasi kesehatan berkaitan penanganan TCB kepada pasien maupun keluarga pasien. Edukasi kesehatan tersebut meliputi edukasi tentang efek

13

samping terhadap obat yang diberikan, edukasi lingkungan, edukasi kebutuhan nutrisi dan edukasi mengenai aktivitas yang sesuai dan kebutuhan istirahat. Program preventif terhadap keluarga penderita TBC, yaitu pemberian vaksinasi Bacillus Calmette Guerin (BCG), membatasi kontak di masa awal pengobatan, cuci tangan, menggunakan masker, menghindari penggunaan alat makan yang sama, dan makan-makanan bergizi. 5.1 Kesimpulan Mycobacterium tuberculosis merupakan penyebab tuberkulosis sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/m dan tebal 0.3-0.6/m. Jenis bakteri ini pertama kali ditemukan oleh seseorang yang bernama Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882. Keluhan yang dirasakan pasien tuberculosis dapat bermacam-macam atau mungkin banyak pasien ditemukan tuberculosis paru tanpa keluhan sama sekali. Dalam pemeriksaan kesehatan, keluhan yang ada berupa demam, batuk atau batuk berdarah, malaise, sesak nafas dan nyeri dada. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah). Obat yang dapat diberikan, yaitu etambutol, isoniazid, pirazinamid, rifampisin, streptomisin, dan asam p-aminosalisilat. Pemeriksaan TBC dapat dilakukan melalui darah, sputum dan tes tuberkulin. Dalam hal ini, perawat perlu menganalisa lebih jauh mengenai penyebab sakit klien serta berupaya melakukan asuhan keperawatan yang sesuai dengan penyakit klien. Memberikan edukasi dan informasi yang baik dan benar pada klien wajib dilakukan perawat agar klien sembuh, dan tidak mengalami kekambuhan. Selain pemberian edukasi kepada klien, pemberian edukasi pada keluarga juga diperlukan, agar anggota keluarga bisa terhindar dari resiko penularan penyakit. Sehingga dengan demikian, diharapkan kondisi kesehatan klien dapat

ditingkatkan, resiko terulangnya penyakit dapat dihindari serta penularan penyakit ke anggota keluarga, para pekerja kesehatan yang merawat pasien tuberculosis, dan mereka yang menggunakan fasilitas klinik perawatan rumah sakit bisa dihindari.

14

Lampiran Rencana Asuhan Keperawatan Klien Tuberkulosis 1. Pengkajian ANALISA DATA NO Tgl/ Jam 1. 1.Aktifitas/istirahat Data Klien mengeluh sesak napas Klien mengeluh demam dan menggigil Klien merasa lemah Klien mengalami Dispnea Klien mengeluh Batuk Berdarah Saluran napas abnormal Peningkatan frekuensi napas Klien mengeluh tidak nafsu makan Klien mengatakan makanan yang disediakan tidak habis Terdapat sisa makanan pada tempat makan klien Penurunan albumin darah pada pemeriksaan laboratorium Problem

Gangguan aktifitas/istira hat

2. 2. Pernapasan -

Batuk yang tidak sembuhsembuh Gangguan pernapasan

3. 3. Makanan

Terjadi penurunan berat badan

15

4. 4. Integritas Ego

Pengobatan terdahulu hanya selama 3 bulan

Gejala muncul kembali

2. Diagnosa keperawatan (Batuk berdarah) diagnosa yang diberikan adalah Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental atau sekret darah, kelemahan, upaya batuk buruk, edema trakeal/faringeal. (Sesak napas) diagnosa yang diberikan adalah Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan berkurangnya keefektifan permukaan paru,

atelektasis, kerusakan membran alveolar kapiler, sekret yang kental, edema bronchial. (Badan kurus) diagnosa yang diberikan adalah Gangguan keseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kelelahan, batuk yang sering, adanya produksi sputum, dispnea, anoreksia, penurunan kemampuan finansial. (Lemah) diagnosa yang diberikan adalah Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi paru, batuk menetap. (Sesak napas) diagnosa yang diberikan adalah Intoleransi aktivitas

berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. (Menghentikan pengobatan tanpa mengecek kesembuhan penyakit) diagnosa yang diberikan adalah Kurang pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, pencegahan berhubungan dengan tidak ada yang

menerangkan, interpretasi yang salah, informasi yang didapat tidak lengkap/tidak akurat, terbatasnya pengetahuan/kognitif.

3. Intervensi
A. Bersihkan Jalan Napas yang Tidak Efektif Tujuan: jalan napas bersih dan efektif setelah .... hari perawatan, dengan kriteria:

16

Pasien menyatakan bahwa batuk berkurang hilang, tidak ada sesak dan sekret berkurang Suara napas normal (vesikular) Frekuensi napas 16-20 kali per menit (dewasa) Tidak ada dispnea

Intervensi (Independen): a. Mengkaji fungsi respirasi antara lain suara, jumlah, irama, dan kedalaman napas serta catatan pula mengenai penggunaan otot napas tambahan. (rasional: adanya perubahan fungsi respirasi dan penggunaan otot tambahan menandakan kondisi penyakit yang masih dalam kondisi penanganan penuh) b. Mencatat kemampuan untuk mengeluarkan sekret/batuk secara efektif (rasional: ketidakmampuan mengeluarkan sekret menjadikan timbulnya penumpukan berlebihan pada saluran pernapasan). c. Mengatur posisi tidur semi atau high fowler, membantu pasien untuk berlatih batuk secara efektif dan menarik napas dalam. (rasional: posisi semi/high fowler memberikan kesempatan paru-paru berkembang secara maksimal akibat diafragma turun kebawah. Batuk efektif mempermudah ekspektorasi mukus) d. Membersihkan sekret dari dalam mulut dan trakhea, suction jika memungkinkan. (rasional: pasien dalam kondisi sesak cenderung untuk bernapas melalui mulut yang jika tidak ditindaklanjuti akan mengakibatkan stomatis) e. Memberikan minum kurang lebih 2.500 ml/hari, menganjurkan untuk minum dalam kondisi hangat jika ada kontra indikasi. (rasional: air digunakan untuk menggantikan keseimbangan cairan tubuh akibat cairan banyak keluar melalui pernapasan. Air hangat akan mempermudah pengenceran sekret melalui proses konduksi yang mengakibatkan arteri pada area sekitar leher vasodilatasi dan mempermudah cairan dalam pembuluh darah dapat diikat oleh mukus/sekret)
17

Intervensi (Kolaborasi): a. Memberikan oksigen udara inspirasi yang lembab (rasional: berfungsi meningkatkan kadar tekanan parsial oksigen dan saturasi oksigen dalam darah) b. Memberikan pengobatan atas indikasi: - Agen mukolitik, misal; Acotilcystoin (mucomyst) - Bronkodilator, misal ; theophyline, Oxtriphyline - Kortikosteroid (prednison), misal; Dexamethasone (rasional: meningkatkan, memperlebar saluran udara) (rasional: berfungsi untuk mengencerkan dahak) c. Memberikan agen anti-infeksi, misal: - Obat primer, Isoniazid (INH), Ethambutol (EMB), Rifampin (RMP) - Pyrazinamide (PZA), para Amino Salicilie (PA5), Streptommycin. (rasional: mempertebal dinding saluran udara (bronkhus) - Monitor pemeriksaan laboratorium (sputum). (rasional: menurunnya keaktifan dari mikroorganisme akan menurunkan respons inflamasi sehingga akan berefek pada berkurangnya produksi sekret)

B. Gangguan Pertukaran Gas Faktor faktor yang berhubungan : Ketidakseimbangan perfusi ventilasi Perubahan membran kapiler-alveolar Tujuan: pertukaran gas normal setelah .... hari perawatan dengan kriteria: - Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat - Memelihara kebersihan paru paru dan bebas dari tanda tanda distress pernafasan - Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)

18

- Tanda tanda vital dalam rentang normal Intervensi (Independen): a. Airway Management Buka jalan nafas, gunakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan Pasang mayo bila perlu Lakukan fisioterapi dada jika perlu Keluarkan sekret dengan batuk atau suction Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan Lakukan suction pada mayo Berikan bronkodilator bila perlu Berikan pelembab udara Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan. Monitor respirasi dan status O2

b. Respiratory Monitoring Monitor rata-rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan otot tambahan, retraksi otot supraclavicular dan intercostal Monitor suara nafas, seperti dengkur Monitor pola nafas: bradipena, takipenia, kussmaul,

hiperventilasi, cheyne stokes, biot Catat lokasi trakea Monitor kelelahan otot diagfragma (gerakan paradoksis) Auskultasi suara nafas, catat area penurunan / tidak adanya ventilasi dan suara tambahan Tentukan kebutuhan suction dengan mengauskultasi crakles dan ronkhi pada jalan napas utama auskultasi suara paru setelah tindakan untuk mengetahui hasilnya
19

C. Ketidakseimbangan Nutrisi Tujuan: keseimbangan nutrisi terjaga setelah....hari perawatan dengan kriteria: Perasaan mual hilang/berkurang Pasien mengatakan nafsu makan meningkat Berat badan pasien tidak mengalami penurunan drastis dan cenderung stabil Pasien terlihat dapat menghabiskan porsi makan yang disediakan Hasil analisis laboratorium menyatakan protein darah/albumin darah dalam rentang normal Intervensi (Independen): a. Mendokumentasikan status nutrisi pasien, serta mencatat turgor kulit, berat badan saat ini, tingkat kehilangan berat badan, integritas mukosa mulut, tonus perut, dan riwayat nausea/vornit atau diare. Memonitor intake-output dan berat badan secara terjadwal. (rasional: menjadi data fokus untuk menentukan rencana tindakan selanjutnya) b. Memberikan oral care sebelum dan sesudah penatalaksaan respiratori. (rasional: meningkatkan kenyamanan daerah mulut sehingga akan meningkatkan perasaan nafsu makan) c. Menganjurkan makan sedikit, tapi sering dengan diet TKTP. (rasional: meningkatkan intake makanan dan nutrisi pasien, terutama kadar protein tinggi yang dapat meningkatkan mekanisme tubuh dalam proses penyembuhan) d. Menganjurkan keluarga untuk membawa makanan dari rumah terutama yang disukai oleh pasien dan kemudian makan bersama pasien jika tidak ada kontraindikasi. (rasional: merangsang pasien untuk bersedia meningkatkan intake makanan yang berfungsi sebagai sumber energi bagi penyembuhan).

Intervensi (Kolaborasi): a. Mengajukan kepada ahli gizi untuk menentukan komposisi diet. (menentukan kebutuhan nutrisi yang tepat bagi pasien)
20

b. Memonitor pemeriksaan laboratorium, misal; BUN, serum protein, dan albumin. (mengontrol kefektifan tindakan terutama dengan kadar protein darah) c. Memberikan vitamin sesuai indikasi. (meningkatkan komposisi tubuh akan kebutuhan vitamin dan nafsu makan pasien) D. Risiko Penyebaran Infeksi Tujuan: penyebaran infeksi tidak terjadi selama perawatan dengan kriteria; Pasien dapat memperlihatkan perilaku sehat (menutup mulut ketika batuk atau bersin) Tidak muncul tanda-tanda infeksi lanjutan Tidak ada anggota keluarga/orang terdekat yang tertular penyakit seperti penderita Intervensi (Independen): a. Mengkaji patologi penyakit (fase aktif/inaktif) dan potensial penyebaran infeksi melalui airhome droplet selama batuk, bersin, meludah berbicara, tertawa dll). (rasional: untuk mengetahui kondisi nyata dari masalah pasien fase inaktif tidak berarti tubuh pasien sudah terbebas dari kuman tuberkulosis) b. Mengidentifikasi risiko penularan kepada orang lain seperti anggota keluarga dan teman dekat. Mengintruksikan kepada pasien jika batuk/bersin, maka ludahkan ke tissue. (rasional: mengurangi risiko anggota keluarga untuk tertular dengan penyakit yang sama dengan pasien) c. Menganjurkan penggunaan tissue untuk membuang sputum. Mereview pentingnya mengontrol infeksi, misalnya dengan menggunakan masker. (rasional: penyimpanan sputum pada wadah yang terdesinfeksi dan penggunaan masker dapat meminimalkan penyebaran infeksi melalui droplet) d. Memonitor suhu sesuai indikasi. (rasional: peningkatan suhu

menandakan terjadinya infeksi sekunder)

21

E. Kurangnya pengetahuan tentang kondisi Tujuan: klien dan keluarga mampu mengetahui tentang kondisi penyakit TB setelah .... hari perawatan dengan kriteria: Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program pengobatan Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/tim kesehatan lainnya Intervensi : Teaching: Disease Process a. Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses penyakit yang spesifik b. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat. c. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan cara yang tepat d. Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat e. Identifikasi kemungkinan penyebab, dengna cara yang tepat f. Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat g. Hindari harapan yang kosong h. Sediakan bagi keluarga informasi tentang kemajuan pasien dengan cara yang tepat i. Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi di masa yang akan datang dan atau proses pengontrolan penyakit j. Diskusikan pilihan terapi atau penanganan k. Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second opinion dengan cara yang tepat atau diindikasikan

22

l. Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan, dengan cara yang tepat m. Rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas lokal, dengan cara yang tepat n. Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada pemberi perawatan kesehatan, dengan cara yang tepat

4. Implementasi a. Bersihan jalan nafas tidak efektif, berhubungan dengan sekret kental, kelemahan upaya untuk batuk 1) Kaji fungsi pernafasan, contoh bunyi nafas, kecepatan, irama dan kedalaman dan penggunaan otot asesori. 2) Beri oksigen melalui nasal kanul atau masker wajah sesuai resep. 3) Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukosa/batuk efektif; catat karakter, jumlah sputum, adanya hemoptisis. 4) Beri pasien posisi semi fowler atau fowler. 5) Bantu pasien untuk latihan nafas dalam dan batuk efektif. 6) Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari. 7) Beri obat-obatan sesuai indikasi: mukolitik dan bronkodilator. b. Ketidakpatuhan terhadap regimen pengobatan 1) Beri tahu klien tentang obat-batan yang harus diminum, jadwal, dosis dan efek samping. 2) Beri pengertian pada pasien bahwa memakan semua obat adalah cara paling efektif untuk mencegah penularan. 3) Instruksikan tentang pentingnya higienis: perawatan mulut, menutup mulut dan hidung ketika batuk dan bersin, membuang tisu basah dengan baik dan mencuci tangan. c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, perubahan status nutrisi, dan demam: 1) Jadwalkan aktivitas progresif yang terencana dengan memfokuskan pada peningkatan toleransi aktivitas dan kekuatan otot.

23

2) Beri makan porsi kecil tapi sering. 3) Secara bertahap, tingkatkan toleransi terhadap aktivitas dengan mendorong klien melakukan aktivitas lebih lambat, untuk waktu yang lebih singkat, dengan istirahat lebih banyak. 4) Pantau respon klien terhadap aktivitas. d. Kurang pengetahuan tentang regimen pengobatan dan tindakan kesehatan preventif 1) Kaji kemampuan klien untuk melanjutkan terapi di rumah 2) Kaji pasien terhadap reaksi obat yang merugikan 3) Beri penyuluhan dan pertimbangkan untuk perawatan di rumah e. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelemahan, anoreksia, dispnea: 1) Catat status nutrisi klien pada intake, catat turgor kulit, BB dan derajat kekurangan BB. 2) Kaji adanya mual, muntah dan anoreksia. 3) Pastikan pola diet biasa pasien, yang disukai/tak disukai 4) Awasi IO dan BB secara periodik 5) Beri perawatan mulut sebelum dan sesudah makan 6) Rujuk ke ahli diet untuk menentukan komposisi diet

5. Evaluasi a. Bersihkan jalan napas tak efektif berhubungan dengan sekret yang kental atau berlebihan 1) Mempertahankan jalan nafas pasien. 2) Mengeluarkan sekret tanpa bantuan. 3) Berpartisipasi dalam program pengobatan b. Gangguan Pertukaran Gas 1) Menunjukkan tak adanya atau mcngalami penurunan dispnea. 2) Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan adekuat. 3) Bebas dari gejala distress pernapasan.

24

c. Ketidakseimbangan Nutrisi 1) Menunjukkan berat badan meningkat. 2) Meningkatkan atau mempertahankan berat badan yang ideal. d. Kurang pengetahuan mengenai kondisi aturan tindakan dan pencegahan berhubungan dengan kurang informasi 1) Menyatakan pemahaman proses penyakit atau prognosis dan kebutuhan pengobatan. 2) Melakukan pola hidup sehat untuk memperbaiki kesehatan umum.

25

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, Hood. (2005). Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press. Anderson, sylvia dkk. (2006). Patofisiologi (konsep klinis proses-proses penyakit). Jakarta: EGC. Arian, Kathleen Meehan. (2009). Investigasi dan Pengendalian Wabah di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Jakarta: EGC. Asih, Niluh Gede Yasmin & Christantie Effendy. (2004). Keperawatan Medikal Bedah: Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta : EGC. Brooker, Christine. (2001). Kamus Saku Keperawatan. EGC: Jakarta. Crofton, John. (2002). Pedoman penanggulangan Tuberkulosis, Widya Medika : Jakarta. Departeman Kesehatan. Republik Indonesia. (2002). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta. Plans, Guidelines for Planning and Documenting Patient Care : USA : F.A Davis Company. Doengoes Marilynn E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC. Herdman, T. Heather. (2009). Nanda International, Nursing Diagnosis: Deffintion &Classification 2009-2011. Singapore: Markono Print Media Pte Ltd. http://made-m-p-fkp11.web.unair.ac.id/artikel_detail-50032Keperawatan%20Respirasi%20Pemeriksaan%20Sputum%20dan%20Analisa%20Gas%20Darah%20.htm l diakses pada tanggal 4 oktober 2012 pukul 01.25 p.m http://mhs.blog.ui.ac.id/rani.setiani/2009/03/ diakses pada tanggal4 oktober 2012 pukul 03.51 p.m http://puskesmassimpangempat.wordpress.com/2009/06/18/kenapa-aku-batukdarah/ diakses pada tanggal 4 oktober 2012 pukul 02.00 p.m http://www.scribd.com/doc/105601645/RJP diakses pada tanggal 4 oktober 2012 pukul 03.15 p.m http://www.scribd.com/doc/97781187/Nasal-Kanul oktober pukul 02.00 a.m diakses pada tanggal 1

26

Jhonson, Marion., Meridean Maas. (2000). Nursing Outcomes Classification (NOC). St. Louis: Mosby. LeMone, P. & Burke, K. (2008). Medical Surgical: Critical Thinking in Client Care 4th Ed. New jersey: Pearson Prentice Hall. Lynda Juall Carpenito. (1999). Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan edisi 2. Jakarta : EGC. McCloskey, Joanne C., Bullechek, Gloria M. (1996). Nursing Interventions Classification (NIC). St. Loui: Mosby. Medical Record RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya tahun 2007. Muttaqin, Arif. (2009). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika. Profil Kesehatan Kalimantan Tengah 2006. Sitepoe, mangku. (1996). Penyakit (segala sesuatu yang perlu anda ketahui). Jakarta: Gramedia. Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah dari Brunner & Suddarth, Edisi 8. EGC: Jakarta. Smeltzer, Suzanne C. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah dari Brunner & Suddarth, Edisi 8. EGC: Jakarta. Somantri, Irman. (2007). Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika. Somantri, irman. (2007). Asuhan Keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem pernafasan. Jakarta : Salemba Medika Somantri, Irman. (2008). Keperawatan Medical Bedah; Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Salemba Medika : Jakarta Sudoyo, A.W. et.al. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

27

Anda mungkin juga menyukai