Anda di halaman 1dari 13

5

Worldliness
Worldliness alias worldliness adalah suatu kualitas diri yang bisa kita dapatkan
dari luar. Worldliness adalah buah dari pengalaman hidup dari luar diri sendiri dan
pengetahuan tentang kehidupan praktis terutama hasil dari upaya memerangi segala
kemalangan. Bahkan, kemalangan adalah batu ujian bagi worldliness dan kemudian
menyempurnakan worldliness. Jadi, tidak benar jika worldliness diartikan sebagai
pengetahuan tentang keduniaan di mana seseorang telah melakukan perjalanan jauh dan
luas serta memiliki pengalaman personal tentang hal-hal yang hanya bisa didapatkan di
luar negeri. Yang dimaksud dengan dunia di sini adalah segala sesuatu yang ada di luar
diri seseorang. Setiap orang yang berhasil menghadapai setiap situasi bermasalah dalam
hidup dan berhasil meraih kemenangan, maka ia akan mendapatkan worldliness itu tanpa
harus –katakanlah– perlu menapakkan kaki ke luar pintu rumah.
Worldliness adalah hiasan sangat besar bagi kepribadian seseorang. Ini
memberikan stabilitas pada kepribadian, dan mengubahnya menjadi orang yang
kompeten dalam segala keadaan. Semakin worldly seseorang, semakin kuat
kepribadiannya.

1. Pengalaman

Pengalaman bersumber dari apa yang bisa kita dapatkan dari luar secara material.
Pengalaman ini bisa bersifat internal bisa juga eksternal. Pengalaman internal muncul
pada orang-orang yang memiliki bakat luar biasa tinggi seperti penulis, ilmuwan, filsuf,
dan sejenisnya. Orang-orang semacam ini bisa menyelam sangat dalam di dalam
fikirannya sendiri untuk mengetahui setiap kelokan dan sudut-sudut terpencil di dalam
otak sendiri. Mereka juga tahu betul bagaimana otak bereaksi terhadap keadaan tertentu.
Mereka mengikuti jalan fikiran sendiri karena sadar betul akan kebesaran isi otak mereka
serta memberikan kepercayaan penuh pada fikiran. Mereka mengikuti petunjuk dari otak
mereka karena telah meletakkan kepercayaan penuh pada bakat mereka. Mereka juga
tahu bahwa otak mereka akan membawa mereka ke kebenaran. Tipe-tipe orang luar biasa
macam itu memiliki power untuk mengetahui hal-hal tanpa perasaan atau pengalaman
material. Setidaknya, ekspansi mental mereka cukup luas sehingga mereka bisa
melipatgandakan pengalaman kecil menjadi pengalaman yang lebih besar tanpa harus
menjalani pengalaman itu sendiri. Orang-orang semacam demikian bisa digolongkan ke
dalam katagori pemikir dan meditatif yang otaknya dikarunii kekutan super untuk
memahami sesuatu di depan atau sebelum terjadi tapi sangat mungkin terjadi di masa
mendatang jika kondisinya tidak berobah.
Namun, saat kita melihat ke orang-orang yang awam, kita akan banyak melihat
pengalaman yang sifatnya eksternal. Pengalaman praktis dan fisik sangat membantu
mengembangkan kapasitas mental mereka dan mengembangkan pengetahuan mereka
tentang hal-hal yang worldly. Seorang penyair mungkin bisa menggambarkan pagi yang
indah dengan perbukitan hijau, bunga-bunga mekar, danau yang tenang, angsa yang
bergembira menyeberangnya. Tapi, orang biasa harus benar-benar melihat dulu
pemandangan itu untuk merekamnya di dalam otak sehingga bisa memuji keindahannya.
Meski demikian, begitu mata memandang pemandangan itu dan otak bisa merekamnya,
maka keindahan semacam itu akan membentuk suatu bagian dari pengalaman ia. Di masa
mendatang, ia bisa mengingat kembali pemandangannya dan menghubungkn dengan
konsep keindahan.
Jadi, pengalaman adalah suplemen besar bagi pengetahuan orang awam. Semakin
banyak pengalaman yang didapatkan orang itu, semakin besar ekspansi yang ia miliki
dalam pembentukan pengetahuan dan mentalnya. Ada pepatah, “Seeing is believing”
begitu orang melihat sesuatu, maka ia baru bisa mempercayainya. Lalu, bagaimana
dengan ‘pemimpi’ yang bisa memvisualkan hal-hal tertentu sebelum dibuat oleh mereka-
mereka yang “seeing and believing”? Peluncuran satelit pada tahun 1950-an serta
pendaratan manusia di permukaan bulan adalah contoh hal-hal yang semula hanya bisa
dimimpikan tapi kemudian bisa diwujudkan.
Ada bebagai tipe pengalaman. Semua jenis pengalaman itu, kecuali impian para
manuia meditatif, harus dicari melalui cara-cara aktif dan bukannya dengan bertindak
pasif. Tentu, peradaban moderen saat ini bisa memungkinkan banyak rekreasi atau
kenikmatan pasif yang bisa didapatkan sekaligus dialami manusia moderen dalam waktu
bersamaan. Bioskop adalah salah satu bentuk media di mana orang bisa mendapatkan
pengetahuan tentang negeri lain yang belum tentu bisa dialami sendiri, sekaligus bisa
memberikan manfaat bagi pengalaman personalnya. Media pengalaman semacam itu
adalah pertunjukan-pertunjukan budaya di mana kita bisa mendengar, melihat, dan
menemukan eskponen-eksponen dari berbagai kesenian sekaligus mendapatkan
pengalaman personal ke arah itu. Membaca juga bisa meningkatkan pengetahun
seseorang sekaligus meningkatkan daya fikir sehingga bisa menambahkan pengalaman
internal maupun eksternal.
Meski demikian, membaca atau hal-hal yang didapatkan melalui membaca masih
dipandang dalam katagori pengalaman teoritis. Untuk mensubstansikan pengalaman
teoritis ini, harus diikuti dengan pengalaman praktis yang memadai. Jika tidak ada
perpaduan yang memadai antara teori dan praktik, pengalaman seseorang tidak akan bisa
menjadi sempurna. Teori adalah landasan yang bisa dibuat sempurna melalui praktik.
Selain itu, cara mendapatkan pengetahuan teoritis kadang lebih sulit daripada
mendapatkan pengalaman praktis. Melakukan sesuatu yang nyata lebih gampang
daripada membayangkan sesuatu yang abstrak. Meski demikian, dalam analisis puncak,
kita tidak boleh lebih meremehkan teori atau praktik karena keduanya sama-sama
bagaikan dua kaki. Tanpa salah satu kaki, pengalaman seseorang tidak bakal lengkap.
Tentu harus diakui bahwa jumlah pengalaman praktis bergantung banyak pada
kapasitas fisik dan stamina orang terkait. Mendapatkan pengalaman praktis lebih banyak
mungkin bisa diberikan pada jenis orang tertentu, karena tidak semua pengalaman bisa
didapatkan oleh setiap orang. Jadi, hanya sedikit orang yang akan punya keberanian atau
kehendak yang tak tergoyahkan untuk mendaki gunung-gunung, merenangi selat-selat,
melayari berbagai samodra berkeliling dunia. Tipe-tipe pengalaman semacam ini bisa
jadi hanya menjadi milik orang-orang spesial. Namun, ada juga banyak pengalaman rata-
rata yang bisa didapatkan siapa saja sepanjang ia memiliki kehendak dan persyaratan
untuk memilikinya. Melakukan perjalanan wisata bisa memberi seseorang pengetahuan
langsung dan dekat terhadap hal-hal tertentu di jagad ini.
Kemalangan atau perjuangan melawan ancaman eksistensi adalah faktor lain yang
memberi manusia banyak pengalaman tentang dunia karena karakter dasar manusia
adalah sama di mana saja. Meski latar belakang berbeda, aksi dan reaksi manusia
terhadap kondisi tertentu adalah hampir sama. Karena kesamaan perilaku manusia lah
maka drama-drama Shakespeare tidak pernah dirasa usang, karena karya itu menohok
langsung ke esensi kualitas dasar manusia yang tetap akan sama meski ada pencapaian
materialistik atau saintifik tertentu. Maka, jika seseorang bisa berdiri di atas kakinya
sendiri setelah memerangi segala jenis situasi kemalangan saat masih usia muda, di
dalam dirinya akan tumbuh perasaan untuk siap menghadapi manusia apa saja di mana
saja dan akan tahu bagaimana menghadapi individu yang berbeda baik asing maupun
natif di dalam kondisi yang berbeda pula.
Maka, kita bisa simpulkan bahwa pengalaman adalah fitur utama dari worldliness.
Semakin banyak pengalaman yang didapatkan seseorang pada usia lebih muda, semakin
segera ia bisa berharap mendapatkan karakteristik worldliness.

2. Pengetahuan
Pengalaman memiliki nilai tinggi, tentu, tapi juga punya keterbatasan-
keterbatasan. Di sisi lain, justru pengetahuan lah yang membuat manusia menjadi lebih
hidup. Pengalaman saja, tanpa dasar pengetahuan yang memadai, akan tampak seperti
sekadar hiasan tanpa makna karena tidak tahu penggunaannya. Sebaliknya, dengan
pengetahuan saja orang sudah bisa berkembang dan menjadi lebih hidup. Karena itu,
orang harus mencari pengetahuan sekaligus mendapatkan pengalaman. Biar saja
seseorang terjun ke dunia dan bekerja sekeras mungkin untuk mendapatkan kehidupan
atau karir yang lebih baik. Pada saat yang sama, biarkan ia untuk tidak menutup diri dari
pabulam gemerlap dan abadi yang diidamkan atau dibutuhkan otaknya. Pencapaian
edukasional adalah suatu keharusan bagi siapa saja yang ingin mendapatkan kepribadian
mendunia. Mungkin benar bahwa banyak orang tidak punya kesempatan menjalani
pendidikan dengan cara tertentu setelah mereka menceburkan diri di sisi praktis dari
kehidupan. Namun, orang-orang seperti ini sebenarnya masih bisa mendapatkan
pendidikan jika memang benar-benar menginginkan. Banyak orang yang sudah berumur,
dan sudah sukses di dalam karir, masih mau menghadiri semacam kuliah atau diskusi
yang digelar berbagai organisasi. Sebagian memilih ceramah-ceramah keagamaan.
Pendeknya, beberapa bentuk olah otak harus dilakukan untuk meningkatkan pendidikan.
Jika tidak, otak bisa berontak dan orang terkait bisa mengalami guncangan mental atau
gangguan terhadap kedamaian mentalnya. Ia bisa terinfeksi oleh kecemasan yang tidak
seharusnya ada atau fikiran-fikiran gelap lainnya. Mungkin saja kemudian keegoisan
merasuki otaknya dan mengusir kebahagiaan dan ketenangan mentalnya. Jika otak
kosong bisa menjadi bengkel kerja setan, otak yang sudah terinfeksi adalah tempat
tinggal permanen setan.
Membaca, seperti telah disinggung di atas, adalah salah satu alat utama untuk
mengembangkan mental. Namun, tidak semua jenis membaca atau bacaan cocok untuk
tujuan ini. Malahan, membaca ‘cerita-cerita sampah’ atau ‘berita-berita bobrok’ bisa
memberi lebih banyak keburukan daripada kebaikan. Bahkan, bacaan yang buruk
menciptakan lebih banyak gangguan pada si pembaca karena memperbudak otak dan
melumpuhkan kreativitasnya. Kita bisa menyadari perbedaannya jika kita bisa dan
terbiasa membaca tulisan-tulisan yang baik. Bacalah buku-buku yang memicu pemikiran,
informasi yang menambah pengetahuan, bahkan novel-novel peringkat atas.
Pengungkapan berbagai emosi manusia serta cara berhubungan dengan karakter berlainan
yang tertera di dalam novel-novel kelas atas, misalnya karya Charles Dickens atau Leo
Tolstoy, bisa memperkaya fikiran dan menyegarkan otak. Jadi, sebelum mulai membaca,
kita terlebih dahulu harus bisa memilih bacaan mana yang baik dan bacaan mana yang
jelek. Apa pun yang dicetak, tidak semuanya layak dibaca. Apa pun yang tidak layak
dibaca, harus dijauhi dengan segala cara.
Membaca menjadi salah satu cara untuk mendapatkn pengetahuan. Tentu, ada
banyak cara lain di mana pengetahuan bisa didapatkan, diakumulasikan, dan
dimanfaatkan secara efektif. Yang sudah disebut antara lain ceramah atau diskusi
keagamaan. Diskusi di antara teman dan mitra juga bisa memberikan hasil bagus jika
mereka siap berbicara demi peningkatan pengetahuan dan bukan sekadar bergosip untuk
membuang-buang waktu.
Orang yang memburu pengetahuan tentu akan tetap membuka mata dan telinga
lebar-lebar. Tak satu kata pun yang ia ucapkan atau ia dengarkan yang akhirnya tersia-
siakan. Sebagian mungkin mengucapkan sesuatu yang keliru. Tapi pernyataan kelirunya
justru akan semakin meyakinkan pendengarnya tentang fakta yang berlawanan. Pada
kondisi yang sama, saat orang yang tidak terdidik atau buta huruf berbicara tentang
subyek yang rumit, kita jangan langsung abaikan dan tak mau dengar. Otak yang tidak
terdidik punya kecenderungan menyederhanakan apa saja demi pemahaman mereka. Jika
orang demikian berbicara tentang isu pelik tentang politik, ekonomi, atau lainnya, ia
mungkin saja sudah bisa menyederhanakan topik itu sedemikian rupa yang tidak pernah
diimpikan oleh oang-orang berpendidikan tinggi yang terlalu sibuk memikirkan jargon-
jargon besar. Siapa tahu pemikiran yang sederhana itu bisa lebih menggampangkan
analisis dan memecahkan persoalan.
Karena itu, orang harus mencari pengetahuan di mana saja dan kapan saja. Jika
sudah mendapatkannya, dan punya power untuk mempertajam observasinya, ia akan
menemukan pengetahuan dengan mudah di setiap jalan. Kesadaran tentang objek
eksternal adalah esensi dari pengetahuan. Jika kita mau bertanya di mana sih letaknya
pengetahuan? Jawabnya adalah, pengetahuan berada di dalam kebenaran. Apa pun
dimensi dari kebenaran, itu harus berada di atas sesuatu yang bernilai. Jika seseorang
tidak mencoba terjun menyelami kedalamannya, dan jika ia malah merambah di luarnya,
maka ia akan jatuh ke dalam jagad ketidak-pastian yang membuat pengetahuannya tidak
sempurna. Golden rule tentang semua pengetahuan adalah aplikasi pengetahuan harus
dilakukan seutuhnya dalam batas-batas keseluruhan dari orang itu sendiri. Keseluruhan
itu adalah prinsip pembimbing dalam pengetahuan. Apa pun pengetahuan yang
didapatkan seseorang, itu harus menyeluruh.
Knowledge is power. Pengetahuan adalah power. Tidak ada titik akhir bagi
pengetahuan. Tapi, kesombongan dan kebanggaan berlebihan adalah sesuatu yang bisa
menghancurkan semua pengetahuan serta mengahmbat aplikasinya dan ketergunaannya.
Penyalah-gunaan pengetahuan adalah hal mengerikan. Kita jangan sampai pernah
menggunakan pengetahan atau kecerdasan superior kita untuk hanya memenuhi tujuan-
tujuan pribadi dan membodohi atau mempedayai orang lain. Kegunaan terbesar dari
pengetahuan adalah membimbing mereka-mereka yang tidak tahu, menerangi mereka-
mereka yang masih berada di kegelapan tahayul, memajukan mereka-mereka yang masih
terbelakang. Jika pengetahan justru digunakan untuk membelokkan kebenaran, atau
untuk memelintir keadilan, rasanya sudah tidak ada dampak lain yang lebih buruk
daripada itu. Terserah pada manusia yang berpengetahuan itu untuk menyebarkan
pendidikan dan pengetahuannya pada pihak lain. Orang yang terdidik adalah orang yang
paling beruntung di dalam masyarakat. Ia punya power penalaran dan sadar akan
proporsi. Ia tidak boleh bertindak demi mementingkan diri sendiri tapi harus bisa
memberikan yang terbaik diri sendiri dengan cara membuktikan diri sebagai orang yang
bisa diandalkan dalam masyarakat.
Pengetahuan punya pengaruh yang sangat jauh bagi kepribadian seseorang. Bagi
karakteristik tertentu dalam worldliness, pengetahuan adalah penerapan terbaik. Tanpa
pengetahuan, power untuk menilai dan memutuskan tidak akan bisa berkembang dengan
sepenuhnya dan akal sehatnya juga akan diselimuti kegelapan. Jika seseorang memiliki
pengetahuan tentang suatu hal, jika ia dibekali dengan kebenaran dan implikasinya
terhadap kemanusiaan, maka ia akan bisa menghadapi cobaan hidup dengan cara sendiri
dan berhasil tanpa perlu bantuan pihak lain. Selain itu, orang yang worldly harus punya
opini jelas dan cerdas tentang berbagai isu dan siap menjawab berbabagi masalah. Power
pemikirannya harus dikembangkan dengan bagus untuk mendapatkan pengembangan
pengetahuan.

3. Achievement

Achievement alias prestasi alias pencapaian adalah hiasan utama dari kepribadian
seseorang. Prestasi ini juga menunjukkan sisi keunggulan terbaik dari worldliness.
Seseorang yang worldly akan beda dengan seseorang yang suka membual. Pembual akan
banyak omong besar tentang banyak hal yang tampak menakjubkan tapi sama sekali tidak
punya kapabilitas untuk menggarap atau memetik buah dari suatu pekerjaan. Orang yang
worldly tentu sudah melewati rintangan itu dan sudah mempelajari nilai dari suatu
pekerjaan praktis sebelum membuka mulut tentang kinerjanya. Jadi, orang yang worldly
adalah orang yang praktis. Jika tidak punya kapasitas praktis, ia menjadi tak lebih dari
sekadar pembual atau pemimpi yang tidak memiliki keyakinan diri.
Ada pepatah yang mengatakan, orang itu dikenali dari kinerjanya. Kapabilitasnya
akan menemukan manifestasi tertinggi jika bisa menuntaskan tugas dan kuwajibannya. Ia
akan membuktikan pada dunia bahwa ia bisa memperbaiki nasibnya sendiri dengan
tindakannya sendiri. Jika tidak bisa memperbaiki diri dengan tindakannya sendiri, siapa
yang akan mau mendengar saran atau nasihatnya?
Worldliness bisa terintegrasi dengan berbagai cara dengan achievement praktis.
Semakin banyak prestasi dibuat, semakin banyak pencapaian yang ia akumulasikan,
berarti orang itu bisa dibilang semakin worldly dan berkemampuan. Meski demikian,
orang harus memikirkan prestasi dari semua sisi. Prestasi teoritis, misalnya meraih
berbagai gelar kesarjanaan, bukannya tidak penting. Tapi, mendapatkan prestasi di dunia
praktis juga sangat penting. Jadi, semakin meningkat seseorang di dalam jenjang karir,
dalam bisnis, politik, pelayanan, dan lain-lain, berarti semakin banyak worldliness yang
ia raih. Setiap bentuk kesuksesan akan membuat seseorang mendapatkan kualitas tertentu
yang dibutuhkan untuk menapaki jalan menuju eksistensi dan untuk terus maju. Namun,
dalam proses itu, ia akan menghadapi berbagai bentuk persaingan, individualitas, hingga
usikan untuk menolong diri sendiri. Seseorang tidak akan bisa mencapai puncak jika
masih bergantung banyak pada nasihat orang lain. Agar bisa mencapai kesuksesan, ia
harus lebih bergantung pada penilaian dan keputusannya sendiri. Semakin cepat dan
semakin benar ia membuat keputusan, semakin cepat ia mencapai posisi yang lebih tinggi
hingga akhirnya mencapai puncak.
Di akar semua achievement, ada kerja keras dan ketulusan, ada keteguhan dan
keuletan, serta ada harapan dan ambisi. Semua hal itu harus bisa tercampur dalam
proporsi yang tepat agar seseorang menjadi sukses. Maka, worldliness bisa didapatkan
seseorang hanya jika ia komit pada kerja keras, jika ia tidak takut memikul tanggung
jawab, dan saat ia bisa mendapatkan taktik mengeksekusi tugas-tugasnya dengan sangat
memuaskan bagi dia sendiri maupun bagi orang lain. Seorang pelaksana yang efisien
dalam segala bidang aktivitas adalah orang yang worldly. Begitu juga dengan pengusaha
atau pedagang yang sukses. Mereka ini punya tanggung jawab individual yang sama
sepanjang waktu. Tentu, ada katagori pekerjaan tertentu yang sangat spesial sehingga
bisa membuat seseorang menjadi pakar di satu sisi saja. Ia hanya efisien di pekerjaan itu
saja, namun berantakan di sisi-sisi lain. Sementara, seorang administratur, seorang
salesman, seorang pedagang, seorang pengusaha, bisa saja mendapatkan kualitas tidak
hanya satu sisi tapi secara keseluruhan karena mereka harus menghadapi segala jenis
orang dan mengelola semua tipe situasi. Mereka bisa menjadi lebih kaya dalam hal
kepekaan atau pengetahuan yang worldly. Yang pasti, syarat utama bagi worldliness
adalah kerja. Orang harus mencintai pekerjaan atau menerima pekerjaannya sebagai suatu
hobi sebelum bisa mendapatkan worldliness.
Akibat dari worldliness bagi manusia adalah menghapuskan semua bentuk
kekhawatiran, kecemasan, hingga ketakutan. Karena orang punya pengalaman mencoba
situasi-situasi yang berbeda, ia akan bisa menumbuhkan rasa mengendalikan situasi
sehingga bahkan situasi yang belum dikenal di masa mendatang pun ia siap
menghadapinya. Kesiapan ini lah yang berada di akar worldliness, kepraktisan, dan
kecerdasan. Bisakah seseorang selalu bersiap diri dengan sadar menghadapi setiap
keadaan genting? Bisa saja. Namun, itu bukan worldliness. Ketegangan dan kecemasan
mental yang dalam dirinya akan muncul dalam wujud kesehatannya. Jika ia bersikeras
mendapatkan kepribadian yang tidak datang secara natural, ia bakal justru kehilangan
kepribadian aslinya. Akting itu hanya bagus untuk di panggung atau di layar. Di dalam
kehidupan nyata, akting justru bisa menyebabkan kehancuran pada kepribadian yang
sudah didapatkan maupun yang sedang diburu. Pengembangan kepribadian adalah jauh
beda dari akting. Untuk kepribadian, yang dibutuhan adalah pengembangan atau
pertumbuhan natural melalui latihan dan praktik reguler atas beberapa kode perilaku
tertentu atau kontak sosial tertntu. Dengan kehendak kuat dan terus mengikuti garis
petunjuk prinsip-prinsip pengembangan karakter, seseorang bisa dengan siap
mengembangkan kepribadiannya ke level yang ia inginkan dan ia mampu. Namun,
pertumbuhan ini harus natural. Setiap bentuk kepalsuan hanya akan menghancurkan
kemungkinan apa pun bagi pertumbuhan itu. Seseorang, nyatanya, bisa mendapatkan hal-
hal yang riil atau kesuksesan material dalam hidup jika ia memberikan sesuatu yang tulus
pada masyarakat. Jika ia bisa menyumbangkan yang terbaik dari dirinya, maka ia bisa
berharap menerima pengakuan dan apresiasi sejati dari masyarakat.
Kemenyeluruhan adalah kunci dari masalah ini. Semakin menyeluruh dan
semakin natural kabaikan seseorang, semakin besar respek yang akan ia dapatkan. Aneh,
tapi nyata, bahwa orang-orang yang normal dianggap sebagai sesuatu yang aneh.
Masyarakat sekarang kebanyakan sudah menderita kekompleksan hidup. Begitu banyak
atribut yang tertempel di diri mereka sehingga sulit sekali mereka untuk menjadi natural.
Hanya sejumlah kecil orang yang bisa melewati semua kompleksitas ini lalu bisa
memantapkan hak-hak diri sebagai manusia. Maka, biarkan mereka tidak memiliki
prestasi, raihan, pendidikan, atau kekayaan, atau latar belakang keluarga, dan lain-lain.
Biarkan mereka sekadar terbuat dari daging dan darah serta rasionalitas dan akal sehat.
Nah, fenomena ini akan memberi hak-hak dasar dalam masyarakat yang mereka sangat
inginkan sebagai hak bawaan lahir. Seperti begitu lah orang yang normal dan natural.
Namun, sayangnya, sangat sedikit orang yang seperti itu sehingga justru dianggap aneh.
Saat tendensi-tendensi normal sudah dikembangkan selayaknya, ada landasan
bagi orang yang siap terjun ke dunia untuk melakukan penaklukan atau untuk
mewujudkan impian. Saat ia mewujudkan penaklukan satu demi satu baik besar maupun
kecil, atau saat impian-impiannya terwujud sedikit demi sedikit, ia secara bertahap bakal
berobah. Dari manusia yang tidak berpengalaman dan mengawali hidup tanpa modal apa
pun selain harapan tinggi, ia lalu menjadi manusia yang worldly. Semakin banyak
kesuksesan diraih, semakin banyak kepercayaan diri ia dapatkan. Semakin banyak ia
menyadari dampak-dampak baik dari kerja keras dan ketulusan, semakin ia tahu apa yang
disebut sebagai keseluruhan dan apa yang disebut sebagai kedangkalan. Orang macam
demikian tidak akan banyak bicara. Tapi, sekali bicara, nadanya penuh dengan
kepraktisan. Ia akan mengungkapkan realita. Bukannya omongan yang muluk-muluk dari
kepribadian rendah yang biasa ditemui di jalan-jalan.

4. Kematangan

Dengan kerja keras dan pencapaian, bakal datang kematangan pada diri
seseorang. Apa itu kematangan alias maturuty? Apakah itu muncul secara otomatis saat
usia seseorang semakin bertambah atau apakah itu sesuatu yang spesial bagi seseorang?
Apakah ada tipe-tipe berbeda dari kematangan ataukah hanya ada satu tipe kematangan?
Ada begitu banyak pertanyaan sejenis yang harus dijawab.
Kematangan tentu saja berbeda dengan sekadar tumbuh menua dalam dimensi
fisik atau usia. Kematangan adalah terbangunnya kekuatan mental dipadu dengan
keberanian fisik dalam diri orang yang berakal sehat sehingga ia bisa menghadapi dunia
dengan gagah dan berani untuk menghadapi setiap kemalangan di dalam hidup. Dalam
perjuangan hidup, masing-masing orang ibaratnya adalah tentara. Ia harus memenuhi
tugas-tugasnya sebagai tentara yang baik dan benar. Medan tempur kehidupan tak kurang
mengerikannya dibanding medan tempur sungguhan saat seseorang menghadapi ledakan
di sana-sini. Di masa lalu, semua orang yang bertubuh sehat dan mampu harus
mendaftarkan diri untuk ikut berperang. Dulu, berperang dipandang sebagai satu-satunya
pekerjaan utama untuk menunjukkan kematangan diri. Hanya orang cacat, lemah, tua,
dan anak-anak lah yang dikecualikan dari peperangan. Yang dewasa harus ikut
bertempur. Di dalam medan tempur yang penuh adu senjata, seorang muda bisa benar-
benar digembleng dan dimatangkan menjadi manusia dewasa yang bisa melindungi
dirinya sendiri dari semua kebergantungan di masa depan. Jadi, esensi dari kematangan
terletak di ketidak-bergantungan ini, di spirit merdeka, di perlawanan individual terhadap
semua kekuatan yang berlawanan di dalam hidup. Sekarang, saat era kejayaan militer
mulai terkikis, proses pematangan manusia gaya lama juga ikut menghilang. Di pangkuan
peradaban kota, di antara gedung-gedung pencakar langit dan kenyamanan lainnya,
orang-orang muda dan bahkan yang sudah tua masih perlu belajar melindungi diri dari
berbagai bentuk bentrokan baik fisik maupun sekadar adu mulut, baik temperamen
maupun watak, dan lain-lain. Bahkan, apa yang disebut sebagai ‘perang dingin’ atau
‘perang syaraf’ terus berlanjut sehingga orang-orang dicekoki ide selalu berada dalam
bahaya apa pun bentuknya. Pekerjaan atau profesi yang berbahaya atau yang ‘jantan’
sudah dianggap sebagai pekerjaan kuno dan derajadnya rendah. Sebagai gantinya,
pekerjaan-pekerjaan white collar jadi lebih disukai. Para pekerja ‘kerah putih’ itu tinggal
duduk di depan komputer atau mencoret-coret kertas, tanpa harus mengeluarkan otot atau
keringat untuk bisa mendapatkan uang. Jika ada inisiatif tertentu dari seseorang, itu
segera diprasangkai dengan kecurigaan. Cara-cara stereotype justru yang disukai. Tak
heran, generasi muda sekarang lebih gampang gundah. Seseorang yang dilahirkan dan
diasuh dalam kondisi itu, dengan profesi yang biasa, punya kemungkinan besar untuk
tidak pernah bisa matang sepanjang sisa hidupnya. Meski ia tumbuh dan dianggap
memiliki kehidupan beradab yang normal, ia mungkin tidak memiliki kesempatan untuk
sendirian menghadapi masalah di dalam hidup. Saat ada tanda-tanda pertama
permasalahan, ia langsung mendapat nasihat dan bantuan dari teman atau saudara yang
langsung terjun ke medan permasalahan milik orang itu. Hasilnya adalah, orang itu tidak
bisa tumbuh matang dan sehingga ia membatasi semua energi untuk menghadapi
peperangannya sendiri.
Sebagai ujian bagi kematangan, perlu ditekankan bahwa orang yang matang
mungkin sudah atau belum mendapatkan kekayaan dari kesuksesan material. Tapi, satu
hal yang pasti ia miliki adalah kepercayaan diri yang tinggi. Ia tidak akan pernah
menoleh ke belakang untuk mencari dukungan saat diharuskan menyelesaikan tugas.
Bagi ia, tugas adalah tugas yang harus ia tuntaskan sendiri. Setiap tugas punya level
kepentingan yang sama, sehingga kinerjanya tidak akan berobah dengan perhatian
sempurna.
Ini masalah tanggung jawab. Untuk masalah ini, perlu ditelisik nature orang
terkait. Tidak semua orang masuk ke dalam tipe bertanggung jawab. Bukan selalu karena
orang itu tidak mau atau tidak bisa memikul tanggung jawab, tapi bisa jadi karena ia tidak
pernah punya kesempatan untuk bertanggung jawab. Dalam suatu keluarga dengan
banyak anak, biasanya si sulung yang bertindak sebagai pembimbing dalam urusan
keluarga dan lain-lainnya. Anak-anak lainnya, terutama si bungsu, biasanya berlindung
pada dia saat menghadapi isu besar kehidupan mereka sendiri. Yang lebih buruk, mereka
bergantung pada yang lebih tua sehingga di kehidupan kelak mereka cenderung
mengalihkan tanggung jawab pada orang lain.
Karena itu, bisa ditambahkan, bahwa semua orang bisa diajari kebaikan-kebaikan
tentang kebertanggungjawaban. Namun, pengajaran ini harus diawali sejak usia dini.
Baik di sekolah maupun di rumah, jika anak diajari untuk memikul tanggung jawab,
maka ia akan tumbuh menjadi manusia yang punya rasa tanggung jawab. Ia tiak akan
pernah meninggalkan pekerjaan setengah-setengah atau tidak tuntas. Namun, jangan
berpendapat bahwa orang yang bertipe praktis bakal lebih bertanggung jawab daripada
mereka yang tidak banyak pengetahuan praktis atau berkecenderungan praktis. Orang-
orang praktis tentu suka melakukan tipe-tipe pekerjaan tertentu. Tapi, mereka kadang
punya kecenderungan hanya pada tipe pekerjaan tertentu itu dan lebih mementingkan tipe
pekerjaan itu. Tipe pekerjaan lain, misalnya; diskusi, menyiapkan laporan, akunting,
menulis surat, mungkin saja tidak terlalu memikat minat mereka. Karena itu, keliru bila
ada anggapan semua orang berfikiran praktis bakal lebih bertanggung jawab. Alasannya,
tanggung jawab itu mensyaratkan keseluruhan dan bukan hanya sebagian-sebagian. Jadi,
orang yang terkesan tidak praktis pun kadang justru lebih bertanggungjawab daripada
orang yang tampak praktis. Orang yang tampak prakis ini mungkin saja berfikir sebagai
pekerja yang bagus pada lini kerja tertentu namun tidak punya kapasitas untuk
mengambil semua beban kerja dengan segala tetek-bengeknya jika pekerjaan itu tidak
rampung. Jadi, perasaan bertanggug jawab ini adalah seni yang kadang sebagian orang
memiliknya secara naluriah, dan kadang sebagian lainnya harus menumbuhkannya dulu,
dan kadang sebagian lainnya sudah bisa mengembangkan namun masih juga belum
membuahkan hasil.
Jadi, perlu ditekankan, kedewasaan berisi karakter turut memikul tanggung jawab.
Saat seseorang bertanggung jawab, ada sejumlah kebaikan lainnya yang tumbuh di dalam
dirinya sebagai sifat tambahan. Itu antara lain ia memiliki respek terhadap ucapannya
sendiri dan ucapan orang lain. Jika ia memberikan janji, maka ia akan berusaha yang
terbaik untuk memenuhinya. Menepati janji adalah satu syarat utama dari sifat
bertanggung jawab. Syarat lainnya antara lain tulus, tolerans, sabar, manusiawi, dan lain-
lain. Yang terpenting adalah tidak mementingkan diri sendiri. Orang yang mementingka
diri sendiri hanya akan tertarik pada memenuhi kepentingannya sendiri dan mengabaikan
kepentingan orang lain. Dengan masih adanya sifat mementingkan diri sendiri –kecuali
dalam hal mempertahankan diri–, orang tidak akan menjadi benar-benar bertanggung
jawab.

5. Fellow-feeling

Kerjasama dan spirit bekerjasama adalah dua hal yuang harus dimiliki seseorang
bagi eksistensi sosialnya di dalam dunia ini. Dalam hal ini, fellow-feeling menjadi salah
satu unsur penting.
Lalu, apa konotasi yang sebenarnya dari fellow-feeling? Fellow-feeling harus
dibedakan dari persahabatan. Kalau persahabatan, sentimennya hanya diharapkan bisa
terjadi di antara teman, sahabat, atau mereka-mereka yang diharapkan bisa jadi sahabat.
Kalau fellow-feeling, itu jenis kualitas atau perasaan di otak yang sentimennya bisa
diarahkan ke siapa saja yang ada di jagad ini. Bukan hanya sahabat atau yang hendak
dijadikan sahabat, tapi pada fellow siapa saja.
Fellow-feeling juga senafas dengan kemanusiaan, tapi ada bedanya. Saat bicara
tentang kemanusiaan, maka selalu ada unsur ketidak-setaraan status antara dua pihak
terkait. Dalam kemanusiaan, ada perasaan simpati atau berbaik hati. Dari perasaan ini,
kita bisa mendapatkan gambaran ada satu pihak yang perlu dikasihani lewat tindakan
langsung atau tak langsung, dan ada pihak lain yang digerakkan oleh perasaan sayang,
sedih, simpati, berbaik hati, dan sejenisnya. Kemanusiaan memang bisa mengungkap
fitur give-and-take di mana salah satu pihak berada di sisi ‘menerima sesuatu’ dari pihak
lain. Tentu, ada cukup banyak filantropis yang sangat berbaik hati mau memberikan
begitu banyak miliknya pada orang lain atas dasar kemanusiaan. Itu sangat baik dan
terpuji. Namun, apakah rasa kemanusiaan saja sudah cukup? Belum! Karena, dalam
pendermaan ini tidak ada kondisi genting atau stress tertentu yang bisa terselesaikan
dalam periode pendek –terutama saat pemberian bantuan. Benar, si penerima bantaun
(misalnya institusi pendidikan) akan mendapatkan banyak keuntungan pada saat
menerima dana. Namun, langkah maju berikutnya seringkali tidak lancar karena ia jadi
bergantung total pada si pemberi bantuan. Bisa jadi, bahkan tidak ada kemajuan sama
sekali sebelum menerima derma berikutnya. Untuk melihat dari perspektif lain, coba
bayangkan situasi di mana seorang mahasiswa kos tidak bisa membayar uang kos pada
pemilik rumah tepat pada waktunya. Dalam kasus seperti ini, si tuan rumah bisa menunda
tagihan, mengurangi jumlah tagihan, atau membebaskan si mahasiswa untuk tidak
membayar ongkos kos atas dasar kemanusiaan. Tapi, apakah itu menyelesaikan masalah
jangka panjang bagi si mahasiswa yang telat bayar kos? Belum tentu!
Fellow-feeling tidak seperti itu. Fellow-feeling tidak mengandung rancangan aksi
imbal-balik seperti yang ada dalam kemanusiaan. Fellow-feeling lebih tepat disebut
sebagai urusan sepihak, yakni dari pihak si empunya rasa terhadap pihak lain tanpa
menghiraukan balasan. Itu bisa terwujud dalam bentuk bantuan-bantuan kecil,
meminjamkan pena saat ada orang yang sedang butuh karena harus menulis atau
membubuhkan tandatangan. Bisa juga sekadar memperlambat kendaraan ke tepi agar
memberi jalan lebih leluasa pada kendaraan lain di depan yang lebih membutuhkan. Dari
perbuatan-perbuatan baik yang kecil-kecil ini, fellow-feeling akan mengindikasikan suatu
pengorbanan baik kecil atau besar yang seseorang bersedia lakukan untuk orang lain.
Saat ada kecelakaan di jalan, banyak orang yang justru bergegas pergi tidak ingin
terlibat, sebagian lainnya hanya bergerombol untu sekadar melihat dan bahkan untuk
mencari bahan gurauan dari kecelakaan itu, tapi ada juga sejumlah kecil orang yang mau
merepotkan diri memberikan pertolongan pertama pada korban lalu membawanya ke
rumah sakit. Tipe orang yang terakhir lah yang punya fellow-feeling.
Tipe-tipe tindakan kerjasama, bantuan, dan kasih sayang, baik kecil maupun besar
ini lah yang dimaksud dengan fellow-feeling di antara manusia. Yang juga bisa
dikatagorikan dalam fellow-feeling adalah saat seseorang tidak ingin menyakiti orang
lain, termasuk rasa dengki dan cemburu. Dengki adalah mentalitas kekanak-kanakan
dalam bentuk ingin memiliki milik orang lain. Cemburu adalah perasaan konstan –tapi
tak masuk akal– akan kehilangan sesuatu pada orang lain. Kecemburuan, dalam derajad
kecil atau besar, tentu ada dalam hampir semua manusia –karena hal itu terkait dengan
keinginan mempertahankan dan meningkatkan apa yang telah ia punyuai. Malahan, jika
tidak waspada penuh, orang bisa tidak mampu menjaga miliknya atau memproteksinya
dari kerusakan eksternal yang disebabkan ulah manusia atau sebab alami. Ini membuat
kecemburuan dalam batas-batas wajar dan masuk akal masih bisa ditoleransi. Namun, di
sisi lain, dengki adalah kualitas yang sangat buruk. Kedengkian ini biasanya ada dalam
hati orang-orang yang belum matang dan tidak efisien. Jika seseorang pekerja keras dan
efisien serta penuh kepercayaan diri, maka ia tidak akan iri atau dengki pada orang lain.
Ia akan puas terhadap apa yang ia dapatkan dengan bekerja keras. Pada saat yang sama,
ia akan mendapatkan energi baru untuk memburu apa yang ia inginkan. Jika ia
menginginkan sesuatu, maka ia akan mendapatkannya hanya sebagai imbalan atas
kerjanya atau pertimbangan lain. Ia tidak akan pernah bekeinginan atau berharap
mendapatkan sesuatu secara gratis.
Dari sini jelas bahwa orang yang memelihara kedengkian di dalam dirinya tidak
akan pernah memiliki fellow-feeling yang sejati. Orang harus cukup matang dan worldly
untuk mengusir kedengkian, untuk puas dengan milik sendiri, dan tidak memandang
dengan iri atas milik orang lain. Hal-hal seperti ini bisa dinilai sebagai ‘kelemahan’ oleh
beberapa orang tertentu, tapi kenyataannya ini adalah salah satu kekuatan mental terbesar
yang muncul dari pengalaman dan pengetahuan yang worldly. Seseorang yang worldly
akan tahu bahwa seseorang tidak bisa dianggap kaya jika ia sekadar meminjam dari orang
lain atau menerima suap dari orang lain. Kekayaan semacam itu suatu saat nanti akan
lenyap atau rusak. Jika itu terjadi, ia akan kehilangan segala miliknya. Jika punya
kapasitas untuk mendapatkan dan mengembangkan kekayaan maka orang yang worldly
akan mendapatkan kembali hal-hal yang hilang itu atau memanfaatkan kehilangannya
demi efisiensinya. Maka, orang harus memiliki kepakaran untuk mendapatkan sesuatu
melalui dirinya sendiri dan bukan melalui mengakali orang lain atau memanfaatkan
kelemahan orang lain.
Untuk mempererat fellow-feeling, semua kedengkian harus dienyahkan.
Sepanjang kedengkian masih ada, pertolongan sejati tidak akan pernah datang. Juga,
segala bentuk pertolongan semu atau pertolongan dengan pamrih tertentu tidak bisa
disebut sebagai fellow-feeling. Maka, fellow-feeling harus muncul dari itikad murni dan
independen yang ditujukan pada orang lain untuk membantu mereka keluar dari masalah.
Fellow-feeling juga bisa ditumbuhkan dalam pengetahuan tentang penderitaan manusia
serta bagaimana manusia menjadi tidak berdaya dalam keadaan genting seperti itu, dan
bagaimana kilau keemasan bantuan dan dukungan material maupun moral dari sesama
manusia bisa membangkitkan harapan, keberanian, dan keberimbangan mental orang-
orang yang tertimpa masalah itu.
Atas dasar itu, fellow-feeling lebih gampang diharapkan muncul dari orang yang
sudah pernah ‘melihat dunia’, yang sudah mengalami peperangan batin dan berhasil
menang, serta sudah melihat sendiri bagaimana orang lain berjuang demi hidup. Fellow-
feeling adalah kemuliaan manusia yang sangat terpuji. Pertumbuhannya bergantung pada
pendidikan seseorang serta pengalaman praktisnya. Latar belakang keluarga serta
aktivitas dan kebiasaan orang tua di arah ini adalah pijakan yang baik bagi mempelajari
kegunaan dan kebutuhan akan fellow-feeling. Seorang anak akan segera belajar
membantu orang lain jika ia melihat orang tuanya suka menolong orng lain. Maka,
fellow-feeling bisa diserab dari sikap dan perilaku orang tua, pendidikan di sekolah, dari
pengalaman bersama teman-teman, serta dari individu itu sendiri melalui berbagai
pengalaman dan pemahaman atas nuansa perilaku manusia.

6. Kontak Sosial

Manusia adalah mahluk berakal. Selain itu, manusia adalah mahluk sosial.
Seseorang bisa meninggalkan keluarga atau teman, tapi bisakah ia meninggalkan
masyarakat secara umum? Jawabnya adalah ‘tidak.’ Kapan pun dan di mana pun
seseorang pergi, ia harus mengakui dan menerima pengaruh dari masyarakat terhadap
dirinya. Orang bisa saja menghindari atau menjaga jarak dari setiap orang, tapi tidak bisa
menjauh dari tetangga. Dalam masyarakat manusia, tidak ada peluang untuk tidak
melakukan kontak dengan orang lain.
Karena ini sudah menjadi aturan yang mapan, bagaimana kontak sosial ini bisa
dijaga? Secara sosial, orang harus menjaga hubungan baik dengan orang-orang
sekitarnya. Orang harus bisa hidup berdampingan dengan orang lain. Dalam semangat
hidup berdampingan ini lah kualitas-kualitas semacam toleransi, kesabaran, saling
membantu, tidak egois, menghargai diri sendiri, dan sejenisnya, bisa dipraktikkan dan
dijaga.
Sebagai mahluk sosial, manusia harus mendapatkan kemuliaan-kemuliaan yang
cenderung sempurna. Semakin sempurna seseorang, semakin banyak respek dan apresiasi
sosial yang ia bisa dapatkan dari masyarakat. Seorang anak tumbuh secara bertahap
menjadi dewasa juga di dalam masyarakat. Mungkin saja, saat masih anak-anak,
seseorang melakukan tindakan yang keliru. Mungkin saja saat remaja ia menunjukkan
kemarahan terhadap keortodoksan, kemasyarakatan, serta beban sosial. Tapi, anak kacil
atau anak muda ini setahap demi setahap bisa dilatih menjadi ‘manusia keluarga’ dan
kemudian menjadi individu yang matang seutuhnya. Untuk bisa menjadi manusia
semacam ini, ia harus mengakui serta turut memikul beban tanggung jawab dalam
masyarakat. Ia tidak bisa berperialku kekanakan, atau melepas tanggung jawab, atau
mencoba beraksi seperti remaja saat masa itu sudah lewat.
Hubungannya dengan berbagai anggota masyarakat juga harus melalui cara-cara
tertentu yang telah disepakati, seperti ia telah menjadi ayah bagi anak-anaknya, menjadi
paman bagi beberapa kemenakan, menjadi teman bagi beberapa orang, menjadi majikan
atau pegawai, menjadi penghutang atau pemberi utang, dan lain-lain. Juga, semakin besar
isu dalam hidup yang harus dihadapinya seiring dengan perkembangan usia dan power,
pada akhirnya saat usianya tua ia harus dengan penuh martabat bisa melepas tempatnya
di dalam masyarakat. Sudah waktunya bagi ia untuk memberikan tanggung jawab pada
mereka-mereka yang lebih kompeten secara mental dan fisik. Bisa saja misalnya ia
meyerahkan tanggung jawab pada anak-anaknya yang sekarang sudah dewasa atau pada
orang lain yang ia bisa andalkan.
Poin utama yang harus diingat dalam hubungan ini adalah orang harus berperilaku
natural berdasarkan usianya dalam kelompok usia yang beragam. Rasanya kurang pas
jika ada anak muda yang terlalu serius atau orang tua yang masih cengengesan. Tentu,
perimbangan harus ada anak muda agar selalu ceria tapi juga bisa serius atau orang tua
sesekali bergelak tawa lepas. Tapi, semua variasi ini harus dijaga agar tetap normal
menurut usia orang terkait dan tidak membuat mereka tampil sangat berbeda dari pola-
pola sosial yangt berlaku di masyarakat.
Intinya adalah ada keseragaman dalam keberagaman. Begitu beragamnya individu
dalam masyarakat tentu bisa menghasilkan aspirasi dan harapan yang beragam pula.
Namun, pada saat yang sama, semua individualitas ini harus lebur ke satu arah untuk
memegang pola-pola hidup yang seragam. Jika tidak, seseorang bisa dianggap tidak
sosial. Meski demikian, itu tidak berarti seseorang harus mengikuti orang-orang lain
dalam perbuatan dan perkataan. Yang pasti, ia jangan sampai melakukan sesuatu yang
bisa menguntungkan diri sendiri tapi menyakiti atau membuat tidak nyaman oang lain.
Dalam konteks ini, kita bisa menyebut contoh unsur-unsur kriminal atau anti-
sosial yang berusaha membawa kehancuran atau keruntuhan martabat pada masyarakat
dengan cara mengikuti naluri jahat. Orang-orang seperti ini, meski sama-sama masuk ke
dalam kasta ‘underground’, sebenarnya pada dasarnya mereka tidak punya kontak sosial
bahkan di antara mereka sendiri. Di sana yang ada hanya ketidak-percayaan serta bantuan
dan kerjasama yang didasarkan pada rasa takut. Kalau toh ada hubungan antar anggota,
itu tidak bisa disebut sebagai kontak sosial yang sejati.
Masyarakat, atau dunia pada umumnya, adalah hakim yang sangat tegas bagi
kepribadian-kepribadian. Tidak setiap orang mendapatkan pengakuan yang memadai di
sini. Hanya mereka-mereka yang memiliki kualitas-kualitas baik asli dan sudah teruji
dalam dunia praktis lah yang bisa mendapatkan pengakuan. Jadi, untuk menjadi bersinar
dalam masyarakat, seseorang harus punya kemenyeluruhan dalam semua kebaikannya.
Jika misalnya punya sedikit cacat di antara semua kebaikan, maka ia sudah tidak
menyeluruh lagi sehingga bakal mendapat celaan dari masyarakat. Misalnya seseorang
terbukti punya ketidak-cocokan antara perkataan dan perbuatan, ia tidak akan bisa
dijadikan pegangan sehingga tidak akan pernh bisa mendapatkan derajad tinggi sebagai
warga yang bertanggung jawab. Jadi, untuk bisa bersinar di mata masyarakat, seseorang
harus memiliki kebaikan-kebaikan yang sangat berakar dalam. Jika tidak, benih-benih
kegelapan bisa saja muncul dari berbagai arah. Selain tidak mungkin untuk terus
menutupi sisi gelap itu, seseorang juga tidak akan bisa terlalu lama lepas dari pandangan
publik. Orang yang berfikir “ia bisa mengakali orang lain dengan berpura-pura menjadi
baik sambil menutupi perbuatannya jahatnya agar bisa berkembang”, itu adalah fikiran
yang sangat bodoh. Sepandai-pandai tupai melompat, suatu saat pasti jatuh juga.
Sepandai-pandai orang menutupi kebusukan, suatu saat baunya tercium juga. Orang-
orang lain akan selalu tahu kejelekan apa yang ia lakukan.
Orang yang benar-benar worldly akan tahu betul bagaimana memelihara
hubungannya dengan baik dalam masyarakat. Bukannya kontak demi kepentingan bisnis
atau kontak karena ikatan keluarga saja, tapi kontak dengan setiap manusia yang
berhubungan dengannya baik dalam tempo dekat maupun tempo yang lebih jauh.
Ada beberapa perilaku dasar yang bisa dilakukan seseorang di depan publik atau
di depan orang yang sama sekali belum ia kenal. Misalnya, memberi senyuman ramah,
bersikap sopan, dan selalu bersabar. Tindakan-tindakan sederhana seperti ini, yang tidak
menuntut ongkos apa pun alias gratis, terbukti punya power besar untuk menciptakan
keajaiban dan membuka jalan bagi tugas-tugas yang berat dan rumit.

Anda mungkin juga menyukai