Claudia Aradau
Alain Badiou menjadi terkenal di jagad berbahasa Inggris terutama setelah terjemahan bukunya
mengenai etika. Menyusul penerbitan Ethics: An Essay on the Understanding of Evil, meningkat pula
lah terjemahan dan penafsiran atas karya-karyanya. Buku-bukunya, dari era 1980-an dan 1990-an,
sebagian besar dengan cepat diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, termasuk magnum opus-nya;
Being and Event, yang menetapkan kerangka teoretis Badiou. Lanjutan dari Being and Event, yakni
Logiques des Mondes [The Logic of Worlds], seketika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Saat
terjemahan dan analisis canggih atas konsep-konsep filosofisnya telah berlimpah, karya Badiou telah
dipakai untuk isu-isu politik saat ini. “Befikir melalui aktualitas kita dalam istilah-istilah yang
diberikan Badiou...” (Bosteels 2004: 164) adalah tugas yang perlu diambil oleh Hubungan
Internasional juga. Namun, mengingat penemuan yang relatif baru atas karya-karya Badiou di jagad
berbahasa Inggris, ide-ide teoritisnya hanya sedikit diketahui atas pertanyaan-pertanyaan tentang
politik internasional.
Meski demikian, teori Badiou dan keterlibatan politik selalu terjalin erat. Karya spekulatifnya telah
menyebabkan pembentukan organisasi militan, Organisation politique, yang bekerja untuk intervensi
politik langsung dalam isu-isu kontemporer (antara lain; migrasi, tenaga kerja, perang 'baru',
antiterorisme), sementara peristiwa-peristiwa politik Mei 1968 dan Revolusi Kebudayaan Cina telah
meninggalkan jejak pada perkembangan teoritis Badiou. Intervensi-intervensinya juga berusaha
membongkar opini-opini yang taken-for-granted tentang peristiwa politik saat ini dan memikirkan
kembali kegentingan saat ini dari perjuangan sans papiers dan intervensi di Kosovo hingga perang di
Irak atau terpilihnya Nikolas Sarkozy sebagai presiden Perancis.
Badiou mendefinisikan petualangan filosofis dan politisnya sebagai rekonstruksi dari konsep-konsep
dan dari bidang filsafat. Tujuannya adalah merekonstruksi konsep-konsep untuk inovasi politik radikal.
Dalam wawancara dengan Bruno Bosteels berjudul ‘Can Change be Thought?’ Badiou menyatakan
karyanya membidik pada pemahaman bagaimana kejadian-kejadian baru dalam situasi tertentu:
Pertanyaan filosofis unik saya, kalau saya boleh katakan, adalah berikut ini: dapatkah kita berfikir
bahwa ada sesuatu yang baru (new) dalam situasi (situation) tertentu, bukan di luar situasi itu maupun di
tempat lain yang baru, tetapi dapatkah kita benar-benar memikirkan hal-hal baru dan
memperlakukannya dalam situasi itu? Sistem jawaban filosofis yang saya uraikan, apa pun tingkat
kerumitannya, adalah disubordinatkan pada pertanyaan itu sendiri dan bukannya pada yang lain
(Badiou dan Bosteels 2005: 252).
Bagi Badiou, pertanyaannya adalah bukan 'what happens that is important' (apa yang penting yang
sedang terjadi?), tapi ‘what happens that is new?’ (apa yang baru yang sedang terjadi?) Pertanyaan
demikian ini lebih terkait dengan change (perobahan), dengan new (yang baru), sehingga tampaknya
bisa menempatkan Badiou ke dalam turunan Louis Althusser, Michel Foucault dan Gilles Deleuze.
Bagi dia, politik (yang dipahami sebagai inovasi, sebagai 'yang baru') adalah bukan ekspresi dari
realitas, tapi proses pemisahan dari realitas (Badiou 2005). Di jantung karya teoretis Badiou, ada
oposisi antara Being dan Event, antara 'apa yang terjadi' dan 'apa yang kita dapat mengetahui di satu
pihak, dan di pihak lain apa yang kita bisa ikut campur dan mengubahnya'. Melalui konseptualisasi
kreatif tentang bagaimana 'new' terjadi dalam suatu situation, Badiou menawarkan kerangka teoretis
paling menantang yang tersedia saat ini untuk memahami transformasi dan perlawanan dalam politik.
Revolusi Kebudayaan, bahkan dalam kebuntuannya, memberi kesaksian atas ketidakmungkinan secara
sungguh-sungguh dan secara global untuk membebaskan politik dari kerangka partai-negara yang
memenjarakannya. Itu menandai pengalaman yang tak tergantikan tentang kejenuhan, karena kehendak
kekerasan untuk menemukan jalan politik baru, untuk meluncurkan kembali revolusi, dan untuk
menemukan bentuk-bentuk baru perjuangan pekerja di bawah kondisi formal sosialisme ternyata
berakhir dengan kegagalan ketika dihadapkan dengan pemeliharaan yang diperlukan, demi ketertiban
umum dan penolakan perang, dari kerangka umum partai-negara (Badiou 2006c: 321).
Pada 1968, Badiou turut mendirikan organisasi berorientasi Maois bernama Union des communists de
France marxistesleninistes (UCFML). Sejak 1985, ia menjadi salah satu anggota terkemuka
Organisation politique bersama para filsuf; Sylvain Lazarus dan Natasha Michel. Ia berkontribusi
untuk buletin mereka La distance politique (yang kemudian berganti nama menjadi Le Journal
politique). Akibat kegagalan partai politik, Organisation politique mewakili penemuan politik atas
organisasi pasca-partai yang menggali kemungkinan aksi politik tanpa bergantung pada representasi
partai (yang sering korup) atau gerakan massa (yang sering gampang kelelahan) (Hallward 2002).
Kesetiaan pada peristiwa-peristiwa politik yang telah membentuk trayek intelektual Badiou ini
kemudian terjalin dengan kesetiaannya kepada tiga master filsafat: Sartre, Lacan dan Althusser. Dari
Sartre, ia mengambil ide tentang 'kebebasan subjektif' sebagai 'ketiadaan'. Dari Lacan, ia melakukan
analisis logika universal tentang subjek. Meski kritis terhadap teori Althusser, dia berfikir bahwa upaya
Althusser untuk menteorikan subjektivitas tanpa subjek adalah mengagumkan (Badiou 1998a: 67-76).
Namun, mereka-mereka yang tertarik menempatkan Badiou dalam konteks Filsafat Perancis pasca-
1968 akan menemukan ia mewawancarai Michel Foucault atau menyumbang tulisan pada Cahiers de
la psychanalyse di mana Derrida dan Lacan juga ikut berkontribusi. Teori Badiou menawarkan jawaban
atas masalah-masalah yang sedang diperdebatkan dalam konteks filsafat pasca-1968. Salah satu krisis
ini menyangkut peran Marxisme dan peran metafisika. Dari Marxisme, Badiou mengambil ide revolusi
dan pemahaman bahwa ada 'kemiripan antara ambisi politik emansipatoris dan kerja kapital', yang
mendorongnya menyimpulkan bahwa 'kita adalah saingan terhadap kapital' dalam perjuangan
universalisme melawan universalisme dan bukan partikularisme lawan universalisme (Badiou, 1998b:
120). Dari perdebatan tentang tujuan akhir metafisika, Badiou melibatkan diri dengan kehilangan-
kepercayaan pada kebenaran menurut tradisi hermeneutika dan pada penggantinya oleh wacana dan
pendapat.
Badiou telah menulis sejumlah karya filsafat, mulai dari magnum opus-nya berupa Being and Event
(serta kelanjutan dan perbaikannya, yakni Logiques des mondes, yang diterbitkan dalam bahasa
Perancis pada 2006); hingga koleksi dan esai pendek seperti; Manifesto for Philosophy; Saint Paul;
Ethics; dan Metapolitics. Namun demikian, karyanya terbentang jauh ke domain yang lebih besar:
puisi, teater, psikoanalisis, matematika, dan teori politik. Intervensinya terhadap Sarkozy, tokoh yang
terpilih menjadi Presiden Perancis (2007- ?), De quoi Sarkozy est-il le nom? [Pemaknaan terhadap
Sarkozy] menjadi buku best-seller, dengan lebih dari 20.000 eksemplar terjual di Perancis saja dalam
satu tahun.
Konsekuensi-konsekuensi Politik
Evil
Evil (kejahatan) adalah salah satu konsep yang muncul kembali sejak peristiwa serangan 9/11.
“Tanggung jawab kita kepada sejarah...,” begitu dikatakan Presiden Bush di balik serangan teroris 11
September 2001, “...sudah jelas, yakni: membalas serangan-serangan ini dan mengenyahkan jagad
evil” (Bush 2001). Teori Badiou tentang new jelas menolak Evil sebagai titik awal dari politik proteksi.
Teorinya justru menawarkan pemahaman berbeda tentang aksi politik dan mengkritik ideologi baru
tentang Evil. Menurut Badiou, Evil tidak dapat menjadi titik awal politik, karena aksi politik dimulai
dengan suatu event atau Good (Kebaikan).
Lalu, apa itu Evil? Bukan sekadar kategori klasifikasi ke dalam Good dan Evil, atau normal dan
abnormal, Evil merupakan modifikasi dari truth-event. Saat cap Evil dalam 'perang melawan teror'
belakangan ini telah menutup pemahaman dengan cara menyediakan jalan pintas pada pemahaman
tentang dunia, konsep Badiou tentang Evil memungkinkan kita menaksir lagi apa yang dipertaruhkan
dalam debat tentang Evil ini. Apa yang disebut sebagai 'self-evidence' atau bukti-diri dari Evil dalam
masyarakat kontemporer mengarah pada pemahaman Good sebagai lawan kata bagi Evil. Apa pun yang
bukan Evil, haruslah Good. Situasi ini terkait dengan kegagalan gerakan-gerakan sosial pada 1960-an
dan ucapan 'end of history' oleh Francis Fukuyama tentang akhir dari Perang Dingin. Liberalisme
tampaknya menjadi ideologi dominan yang menandai 'akhir zaman' itu, karena kritik terhadap
liberalisme langsung dibungkam, kekeliruan-kekeliruannya disembunyikan oleh kemungkinan-
kemungkinan imanjiner yang lebih buruk. Diagnosis Badiou yang tak kenal lelah, adalah: Evil
digunakan tidak hanya sebagai label yang membagi dunia menjadi 'kami' dan 'mereka', tetapi sebagai
strategi yang benar-benar konservatif yang berupaya membekukan kritik dan transformasi masyarakat
liberal:
Tentu, kata mereka, kita mungkin tidak hidup dalam kondisi Goodness yang sempurna. Tetapi kita
beruntung bahwa kita tidak hidup dalam kondisi Evil. Demokrasi kita memang belum sempurna. Tapi,
itu lebih baik daripada kediktatoran berdarah-darah. Kapitalisme memang tidak adil. Tapi itu bukan
kriminal seperti Stalinisme. Kita biarkan jutaan orang Afrika meninggal karena AIDS, tetapi kita tidak
membuat deklarasi nasionalis rasis seperti yang dilakukan Milosevic. Kami memang membunuh warga
Irak dengan pesawat kami, tetapi kami tidak menggorok leher mereka dengan parang seperti yang
dilakukan di Rwanda, dan sebagainya (Badiou 2002b).
Dalam konservatisme di mana Evil disebut-sebut untuk dipertahankan, Badiou berpendapat bahwa Evil
(kejahatan) itu bukannya tiadanya Good (Kebaikan), tapi degradasi dari Good. Oleh karena itu, politik
tidak lagi dapat diawali dari Evil, yang tampaknya menjadi bukti-diri, tetapi harus dimulai dari
konsepsi Good. “Bisa saja ada Evil...,” tulis Badiou dalam Ethics, “... sejauh mendahului Good”
(Badiou 2002a: 71). Good dan Evil hanya dapat difikir dalam situasi politik 'penemuan dan
pelaksanaan atas realita yang benar-benar baru dan konkret” (Badiou 2002b).
Bukannya Evil menjadi keharusan bagi tindakan politik seperti terwujud dalam dunia politik dewasa
ini, Good harusnya menjadi premis tindakan. Good itu timbul bersama produksi kebenaran universal
melalui terjadinya events, sementara Evil muncul melalui kegagalan proses truth untuk muncul sesuai
prinsip-prinsip ekualitas dan universalitas yang memberi mereka isi politik. Evil tidak bisa ditemukan
di sisi mencolok dari pengalaman, tetapi merupakan bentuk pemikiran. Badiou mengklaim bahwa
penting sekali untuk memikirkan events politik seperti Nazisme sebagai Evil. Daripada membekukan
pemikiran dengan cara mencap Evil pada apa yang tampaknya menjadi persyaratan dalam politik
dewasa ini, Badiou justru menawarkan pemahaman tentang kemungkinan-kemungkinan politik bagi
Evil.
Intervensi politik biasanya dimulai dengan penyebutan Evil dan kemudian isolasi terhadap si Evil.
Setelah itu, Good pada gilirannya muncul mengikuti. Bencana kemanusiaan, genocide, terorisme,
keadaan darurat, kelaparan, dan sejenisnya; semua kejadian konkret itu bisa diidentifikasi sebagai Evil.
Karena itu, intervensi kemanusiaan, penegakan HAM dan penciptaan pengadilan internasional,
langkah-langkah anti-terorisme, dan misi bantuan kemanusiaan, bisa diterjemahkan sebagai Good.
Namun, Badiou membalikkan hubungan itu dan berpendapat bahwa kita harus memulai dengan
memikirkan Good; yaitu event dalam suatu situation. Apa jadinya suatu event politik dalam
serangkaian situasi yang diidentifikasi sebagai Evil? Hanya dari posisi event lah kita dapat
mempertimbangkan apa itu Evil.
Simulacrum (peniruan), betrayal (pengkhianatan) dan disaster (bencana) adalah nama-nama dari Evil.
Simulacrum adalah Evil yang dihasilkan dari event yang mencoba menjadi total dan tertulis dalam peti
mati komunitas. Nazisme adalah contoh sangat baik bagi pembalikan fakta Good dengan cara
mengukirkannya ke dalam kekhususan dari suatu komunitas. Events politik perlu diarahkan ke semua
orang dan didasarkan pada kesetaraan tanpa pandang bulu. Di sisi lain, Nazisme justru menciptakan
'komunitas völkisch yang tidak setara dan tidak bebas' (Adorno 2005b), di mana 'kehangatan' dan
kebersamaan dari komunitas itu tampak sebagai pembebasan dari terasingnya dan dinginnya
kapitalisme. Dengan menciptakan komunitas yang tidak setara –bukannya menentukan kesetaraan
tanpa pandang bulu bagi semua orang dengan siapa saja– Nazisme menjadi simulacrum dan Evil.
Simulacrum sebagai event semu yang tertutup pada kekhasan komunitas tertentu mengungkapkan
kontradiksi dari politik identitas. Politik identitas hanya bisa menghasilkan pseudo-event, simulacra,
yang membatasi klaim dan menghambat arah universal dari suatu event. Event tidak pernah dapat
diidentifikasi dengan kekhususan sosial yang telah ditetapkan sebelumnya, dan perlu tetap terbuka.
Betrayal mengacu pada Evil yang merupakan hasil dari kelemahan atau kelelahan dalam subjects, dan
ini mungkin kategori termudah bagi Evil. Subjek, yang perlu setia pada 'new' yang dibawa event, dapat
menarik diri dari partisipasi dalam suatu event atau dapat menolak penafsiran situation dari sudut
pandang suatu event. Betrayal adalah kejahatan dari mantan revolusioner yang meninggalkan cita-cita
mereka untuk diam-diam menerima tatanan kaum dominan.
Akhirnya, disaster mengacu pada absolutisasi dari truth-event. Jika simulacrum adalah penutupan
universalitas di atas kekhasan komunitas, ras atau tradisi tertentu, disaster adalah 'universalisasi
paksaan' dari suatu event (Dews 2004: 112). Seperti situations yang punya unsur-unsur yang tidak
direpresentasikan, event juga punya unsur-unsur yang tidak dapat dianalisis, yakni 'the unnameable'
(yang tidak bisa dinamai). Event harus melawan kemahakuasaan dari truth, mereka tidak dapat
melanjutkan ke 'penataan ulang dunia' tetapi perlu terjadi di dalam dunia. Kondisi unnameable bagi
politik adalah komunitas. Agar event politik bisa berjalan terus sebagai proses, komunitas harus tetap
unnameable dan tidak dikhususkan.
Kesetaraan
Equality (kesetaraan) adalah konsep lain dari Badiou yang rekonseptualisasinya menghasilkan
implikasi penting bagi pemikiran politik dan –mungkin bahkan lebih mendesak– untuk pemikiran ulang
politik internasional. Kesetaraan adalah prinsip yang memberikan konten pada new, pada event yang
terjadi. Bagi Badiou, kesetaraan adalah sekadar prinsip menjadi milik suatu situation saat semua unsur
keaneka-ragaman itu juga jadi milik yang sama. Sebagai prinsip 'yang benar' tentang being-qua-being,
kesetaraan adalah juga satu-satunya prinsip keterlibatan politik. Namun, kesetaraan adalah tepatnya
konsep yang paling meresahkan bagi teori politik internasional serta bagi politik praktis.
Pertama, dengan adanya liberalisme, kesetaraan jadi ditangguhkan dan diubah menjadi tujuan yang
harus dicapai, sementara kebebasan dipandang sebagai hal primer. Liberalisme politik atas kesetaraan
ternyata lebih jauh telah dirusak oleh liberalisme ekonomi. Hanya kesetaraan terbatas yang
diinginkan/dimungkinkan dalam liberalisme, saat ketidak-setaraan itu sendiri dianggap sebagai motor
pembangunan kapitalis. Satu-satunya kesetaraan yang diperkenankan adalah kesetaraan pasar. Kita
semua dapat memasuki pasar dan kita semua terkena terpaan barang yang sama di etalase toko.
Kesamaan dan kesetaraan pasar yang tidak mengecualikan siapa saja (tidak ada 'orang luar' bagi pasar
dalam pandangan neo-liberalisme, setiap orang berpotensi tercaplok ke dalamnya) menghapuskan
bentuk-bentuk ketidaksetaraan yang sangat diperlukan praktik-praktik persaingan pasar bebas. Bagi
Badiou, kesetaraan dari pasar bebas adalah salah satu nihilisme abad ini:
Produk yang sama ditawarkan di mana-mana. Berbekal penawaran komersial universal, 'demokrasi'
kontemporer bisa membentuk subjek dari kesetaraan abstrak seperti ini: konsumen; orang yang –dalam
virtualitasnya sebenarnya berlawanan dengan komoditi itu– adalah seolah-olah identik dengan orang
lainnya dalam kemanusiaan abstrak sebagai daya beli.... Prinsipnya adalah siapa yang mampu membeli –
tak peduli latar belakangnya– apa saja yang dijual, maka ia sudah sederajat dengan orang lain yang juga
mampu membeli (Badiou 2004a: 161).
Badiou menolak ketidakpercayaan umum tentang kesetaraan dalam liberalisme dan membuatnya
'mantera untuk politik'. Saat prinsip kepemilikan berada dalam cara yang sama dengan keaneka-
ragaman, kesetaraan tidak dapat menjadi substantif dan harus tetap tidak pandang bulu. Kesetaraan
tidak mengandaikan suatu penutupan, tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang diacu oleh istilah ini,
dan tidak meresepkan wilayah untuk pelaksanaannya (Badiou 1992: 242).
Kesetaraan telah diputus hubungannya dari sosial, dari ide redistribusi, dari solidaritas atau perhatian
negara terhadap perbedaan, karena setiap penggunaan programatik akan memerlukan penutupan
kesetaraan atas identitas atau komunitas tertentu. Bertentangan dengan dogma liberal, kesetaraan ini
tidak boleh disamakan dengan kesetaraan status, kesetaraan upah, dari kesetaraan fungsi, atau bahkan
dengan dinamika kontrak dan reformasi yang seharusnya egaliter (Badiou 2004a: 71). Kesetaraan tidak
akan dapat menjadi objektif dan tidak ada hubungannya dengan sosial. Setiap pendekatan definisional
dan programatik terhadap kesetaraan akan mengubahnya menjadi dimensi tindakan State (Badiou
2004a: 73). Jadi, kesetaraan adalah resep, bukan “apa yang kita inginkan atau apa yang kita
proyeksikan, tapi apa yang kita nyatakan dalam panasnya event, di sini dan sekarang, sebagai sesuatu
yang apa adanya dan bukan sesuatu yang apa harusnya” (Badiou 2004a). Karena itu, kesetaraan tidak
dapat didefinisikan, tapi hanya bisa ditegaskan dalam proses suatu event. Ketika para wanita
meneguhkan kesetaraan dengan kaum pria, ini bukan masalah tentang berapa banyak, kapan dan untuk
siapa. Kesetaraan ditegaskan sebagai tanpa syarat dan tanpa pandang bulu. Satu-satunya pertanyaan
politik yang ada adalah 'Apa yang dapat dilakukan' atas nama prinsip ini? (Hallward 2003: 228).
Intervensi politik inovatif harus setia kepada prinsip kesetaraan tanpa pandang bulu. Dalam membahas
situasi di bekas negara Yugoslavia, Badiou berpendapat bahwa perdamaian abadi memerlukan
pelepasan semua identitas etnis dan agama untuk menciptakan negara yang memperhitungkan semua
orang seperti layaknya satu (Badiou 2006c). Apa yang dibutuhkan dalam situasi pasca-Yugoslavia
sebenarnya adalah kesetiaan pada event pembentukan Yugoslavia melalui perjuangan anti-fasis dalam
Perang Dunia Kedua. Perjuangan anti-fasis adalah perjuangan untuk pembebasan populer yang tidak
peduli 'hanya pada satu orang, atau satu bangsa, tetapi pada semua bangsa dan masyarakat yang ada
dalam perintah monarki represif, semua orang yang memikul beban penindasan, kelas, nasional,
seksual, hingga keagamaan' (Pupovac 2006: 16). Intervensi Organisation politique tentang sans
papiers didasarkan pada resep egaliter yang sama dengan yang berlaku untuk semua orang: 'semua
orang yang ada di sini adalah dari sini'. Dalam intervensi terhadap politik Sarkozy di Perancis, Badiou
(2007) berpendapat bahwa resep bagi politik internasional seharusnya 'hanya ada satu dunia'. Dalam
menghadapi ketidaksetaraan terang-terangan dan asumsi di jantung politik domestik maupun
internasional bahwa ada dunia berbeda yang didasarkan pada budaya, agama dan kesenjangan
ekonomi, ia berpendapat bahwa politik perlu mengikuti konsekuensi-konsekuensi dari pernyataan
tentang ke-Satu-an dunia.
Saat konstitusi internasional didasarkan pada pembubaran batas-batas ketidak-egaliteran dari dalam dan
dari luar, warga negara dan orang asing, pribumi dan orang asing, teori Badiou memungkinkan kita
membawa kembali kesetaraan tanpa pandang bulu itu dengan sekadar memandang internasional
sebagai situasi lain, suatu keaneka-ragaman yang bisa diperhitungkan. Maka, resep bagi kesetaraan
terletak di dalam 'what is' secara internal maupun secara internasional. Mereka pecah dalam keadaan
ketidak-egalitarianan dari divisi, hierarki, dan bentuk-bentuk pemisahan. Dengan menegaskan bahwa
'hanya ada satu dunia' berarti mematahkan semua wacana pemerintahan yang mengklaim bahwa
beberapa orang datang dari dunia berbeda atau bahwa orang yang tinggal di Eropa masih berasal dari
dunia berbeda.
Resep egalitarian merekonstruksi situasi-situasi dengan cara mengganggu pengoperasian kekuasaan.
Mereka bisa sangat menarik, khususnya, untuk studi-studi tentang keamanan, di mana masalah-masalah
keamanan mengecualikan politik kesetaraan. Saat keamanan adalah praktik menciptakan perpecahan
dan memisahkan kategori penduduk, keterlibatan kritis dengan sekuritisasi masalah sosial dan politik
akan sangat diadviskan untuk mempertimbangkan implikas-implikasi politik kesetaraan.
Saya berpendapat, di tempat lain, bahwa 'politik dari keamanan' hanya dapat dimulai dengan prinsip
kesetaraan tanpa pandang bulu (Aradau 2008). Situasi terkait trafficking perempuan yang jadi sorotan
belakangan ini dapat diubah tidak hanya dengan memulai menyebut nama korban dan identifikasi si
Evil, tetapi dengan resep kesetaraan dari tempat elemen yang 'secara internal dikecualikan' itu. Posisi
anomali terkait pekerja seksual migran ilegal, yakni mereka yang bukan pekerja seks atau bukan
korban trafficking menurut count-as-one oleh negara, membuat kesetaraan kerja resep politik yang
mengganggu legitimasi praktik keamanan.
Kesimpulan
Suatu politik event, truth dan subject dapat menginformasikan penelitian dalam bidang Hubungan
Internasional tentang kemungkinan transformasi politik. Teori Badiou tentang event menawarkan alat-
alat konseptual untuk menilai apa yang new dan apa yang inovatif radikal dalam politik global, dan
sekaligus untuk memahami apa yang sekadar modifikasi atas 'what is' dan bukannya pecahan dari
situasi tertentu. Klaim tentang perobahan yang ditimbulkan gerakan anti-globalisasi, cita-cita
kosmopolitan, atau prinsip-prinsip kemanusiaan, perlu dipertimbangkan dalam terangnya event yang
menetapkan kepemilikan sebagai kesetaraan tanpa pandang bulu bagi semua.
Saya telah tunjukkan bagaimana dua konsep; yang menggambarkan korupsi event (Evil) dan yang
menyediakan substansi dasar atas event (equality), bisa datang untuk dituliskan di atas pemikiran
politik internasional. Diskusi singkat ini menunjukkan betapa pertanyaan-pertanyaan tentang kebaruan
politik, tentang subyek, dan tentang politik progresif dapat dipertimbangkan kembali dalam Hubungan
Internasional.
Politik, dalam teori dan praxis Badiou, dimulai dengan resep jelas yang suplementer bagi situasi
dengan cara menegaskan kesetaraan tanpa pandang bulu bagi semua orang dengan siapa saja. Jika
perjumpaan mendadak dengan karya Badiou dapat dianggap sebagai suatu event, maka kesetiaan pada
event ini berarti memikirkan lebih banyak situasi dalam istilah yang ditawarkan Badiou dan
mengusulkan resep politik tentang kesetaraan tanpa pandang bulu terhadap 'what is' dan apa yang
dianggap sebagai ketidak-egalitarianan atau perbedaan yang dianggap perlu.
Karya-karya Badiou
Badiou, Alain (2002a) Ethics. An Essay on the Understanding of Evil, London: Verso. Buku ini
sebenarnya ditujukan untuk siswa SMA di Perancis dan ditulis, menurut pengakuan Badiou, dalam
waktu kurang dari dua minggu. Meski gayanya sangat polemik, buku ini berusaha mengeksplisitkan
aplikasi ontologi Badiou terhadap isu-isu politik saat ini, khususnya intervensionisme liberal pada
1990-an. Ethics juga memperkenalkan pertanyaan-pertanyaan tentang Evil, yang bagi Badiou dipahami
bukan hanya sebagai lawan kata dari Good, tetapi sebagai transformasi dari Good.
Badiou, Alain (2004a) Infinite Thought. Truth and the Return of Philosophy, London: Continuum.
Oliver Feltham dan Justin Clemens mengumpulkan serangkaian esai yang mengeksplorasi saling
keterkaitan antara filsafat dengan politik, psikoanalisis, hasrat, atau film. Jika filsafat 'difikiran
berdasarkan syarat tertentu', oleh karena itu dikaitan dengan apa yang terjadi di tempat lain, maka
filsafat juga mengusulkan 'alat-alat' untuk membedah apa yang terjadi untuk menolak apa yang sekadar
diberikan.
Badiou, Alain (2006c) Polemics, trans. Steve Corcoran, London: Verso. Ini adalah kumpulan esai yang
mencakup serangkaian intervensi yang dibuat Badiou tentang isu-isu politik saat ini dan ide-ide politik
yang taken-for-granted. Esai tentang serangan 9/11, kerusuhan di banlieues Perancis, atau fungsi
demokrasi sekarang ini, semuanya membentuk terobosan filosofis dengan pengetahuan dan dengan
norma-norma atas situasi politik kita belakangan ini.
Badiou, Alain (2006a) Being and Event, trans. Oliver Feltham, London: Continuum. Meskipun
magnum opus Badiou diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris 20 tahun setelah penerbitannya dalam
bahasa Perancis, itu tidak akan berhenti mengejutkan orang-orang yang baru membacanya.
Mengemban muatan yang sama dalam maksud dan 'bobot' dengan Being and Time karya Heidegger,
buku ini mungkin tampak mengintimidasi bagi mereka-mereka yang tidak akrab dengan karya Badiou.
Namun, membaca buku itu adalah cara terbaik untuk menjelaskan konsep-konsep dan rincian kerangka
filosofisnya.
Literatur Sekunder
Hallward, Peter (2004) Badiou. Subject to Truth, Minneapolis: University of Minnesota Press. Buku
tulisan Hallward ini adalah pengantar paling komprehensif untuk karya Badiou di belahan bumi Anglo-
Saxon. Hallward mendokumentasikan konteks historis tulisan Badiou dan menawarkan diskusi jelas
atas filsafat Badiou, menunjukkan pertanyaan-pertanyaan yang harus diajukan dan inkonsistensi yang
harus jadi pertimbangan.
Aradau, Claudia (2008) Rethinking Trafficking in Women. Politics out of Security, Basingstoke:
Palgrave Macmillan. Buku ini mempertimbangkan kembali situasi trafficking perempuan melalui teori
Badiou tentang event dan menawarkan pemahaman tentang bagaimana politik inovatif juga dapat
muncul dari tempat sekuritisasi.