Anda di halaman 1dari 23

AQIDAH AHLU SUNNAH : ALLAH ADA TANPA TEMPAT Qadli al Qudlat al Imam al Hafizh al Mufassir al Mujtahid Ali ibn

Abdil Kafi as Subki (w756) Membongkar Kekufuran Ibnu Taimiyah


Kitab ini berjudul "ad Durrah al Mudliyyah Fi ar Radd Ala Ibn Taimiyah"; dalam bahasa kita artinya "Mutiara yang bersinar dalam bantahan terhadap Ibnu Taimiyah". Karya: Qadli al Qudlat al Imam al Hafizh al Mufassir al Mujtahid Ali ibn Abdil Kafi as Subki (w 756 H) Seorang ulama besar yang telah mencapai derajat mujtahid mutlaq. Hidup semasa dengan Ibnu Taimiyah dan telah mengkafirkan Ibnu Taimiyah karena kesesatankesesatannya.

Berikut terjemah bebas dari pembukaan kitab tersebut (alenia 2):

Sesungguhnya Ibnu Taimiyah telah membuat perkara-perkara baru dalam dasar-dasar aqidah, merusak pokok-pokok ajaran Islam dan keyakinan-keyakinan di dalamnya; ia "membungkus dirinya (bersembunyi untuk mengelabui orang lain)" dengan mengaku sebagi orang yang memegang teguh al Qur'an dan Sunnah, ia menampakan (seolaholah) sebagai penyeru kepada kebenaran dan membawa petunjuk ke jalan surga, sungguh sebenarnya ia telah keluar dari jalan ittiba' (ikut kepada ajaran al Qur'an dan Sunnah) kepada jalan ibtida' (menjadi ahli bid'ah menyesatkan), ia membawa ajaran "nyeleneh" dengan menyimpang dari ajaran mayoritas umat Islam (Ahlussunnah Wal Jama'ah) dengan menyalahi perkara-perkara yang telah menjadi ijma' (kensensus) di antara mereka, ia membawa ajaran (kufur) mengatakan bahwa Dzat Allah adalah benda yang memiliki susunan-susunan, mengatakan tidak mustahil bahwa Allah membutuhkan kepada anggota-anggota badan, mengatakan alam ini (segala sesuatu selain Allah) menyatu dengan Dzat-Nya, mengatakan bahwa al Qur'an itu baharu dan Allah mengeluarkan huruf-huruf al Qur'an tersebut dari yang semula Dia diam (menurutnya Allah berkata-kata dengan lafazh-lafazh al Qur'an, lalu diam, lalu berkatakata, lalu diam.. demikian seterusnya), mengatakan bahwa Allah memiliki kehendakkehendak yang baharu sesuai dengan apa yang diinginkan oleh para hamba-Nya, bahkan ia mengatakan bahwa alam ini qadim; tidak memiliki permulaan, ...........

Kaum Wahabi Di Atas Keyakinan Abu Jahal Dan Abu Lahab (Lihat bukti scan ini dari buku mereka sendiri!!!!) Waspadalah... waspadalah... Ini Buku Kaum Wahabi... Judul Buku ini "Kayfa Nafham at Tauhid", artinya "bagaimana kita memahami tauhid". "Tauhid" yang maksud di buku ini adalah tauhid ala wahabi.... ingat tauhid ala Wahabi. Berikut ini terjemah yang ditandai dengan garis bawah: Tauhid Abu Jahal dan Abu Lahab Abu Jahal dan Abu Lahab serta mereka yang seagama dengannya dari orang-orang musyrik; mereka semua adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan mentauhidkan-Nya,... mereka tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun. Abu jahal dan Abu Lahab lebih lebih banyak mentauhidkan Allah dan lebih lebih murni keimanannaya terhadap-Nya dari pada orang-orang Islam yang bertawassul dengan para wali dan orang-orang saleh dan mencari syafaat dengan jalan mereka kepada Allah Abu jahal dan Abu Lahab lebih lebih banyak mentauhidkan Allah dan lebih lebih murni keimanannaya dari pada mereka orang-orang Islam yang mengucapkan "La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah"

Dalil bahwa bagi tauhid orang-orang musyrik dan keimanan mereka kepada Allah Konyol... betul2 konyol...!!! Lihat; Allah mencaci Abu Lahab hingga turun surat al Lahab karena kekufuran dan keyakinan syiriknya, sementara kaum Wahabi memuji orang kafir ini..... Hasbunallah!!! Ini adalah bukti nyata bahwa orang-orang Wahabi di atas keyakinan Abu Lahab dan Abu Jahal serta orang-orang musyrik lainnya.

Dalil Kebolehan Mencium Makam Rasulullah Atau Orang-orang Saleh Dari Kitab Wafa' al Wafa (Menohok Ajaran Sesat Wahabi) Terjemah teks yang diberi garis bawah: Wafa al Wafa Bi Akhbar Dar al Musthafa

Karya Imam as Samhudi (W 911 H)

Al Izz bin al Jamaah berkata: Dalam kitab al Ilal dan kitab Sualat Abdullan bin Ahmad bin Hanbal; (Kitab berisi pertanyaan-pertanyaa yang ditanyakan oleh Abdullah kepada ayahnya sendiri; yaitu Imam Ahmad bin Hanbal), sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ali bin as Shuf dari Abdullah, bahwa Abdullah berkata: Saya telah bertanya kepada ayahku tentang orang yang mengusap mimbar Rasulullah untuk tujuan mendapatkan berkah, menciuminya, lalu melakukan hal yang sama terhadap makam Rasulullah supaya mendapatkan pahala dari Allah; ia (Imam Ahmad bin Hanbal) menjawab: Tidak masalah (boleh)

As Subki (Imam Taqiyyuddin Ali bin Abdil Kafi as Subki) dalam risalah bantahannya terhadap Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa larangan mengusap makam Rasulullah bukan perkara yang telah disepakati para ulama. Telah meriwayatkan Abul Husain Yahya bin al Husain ---- dengan sanadnya -----, berkata: Ketika Marwan bin al Hakam (salah seorang khalifah Bani Umayyah) mendatangi makam Rasulullah ia mendapati seseorang tengah duduk di hadapan makam tersebut. Marwan memagang tengkuk orang itu, berkata: Apakah sadar apa yang engkau lakukan ini? Orang itu berbalik menghadap, menjawab: Iya, (saya sadar) saya tidak mendatangi (berhadapan) sebongkah batu dan tembok, saya mendatangi Rasulullah. (saya mendengar Rasulullah bersabda): Janganlah kalian tangisi jika agama ini dipimpin oleh ahlinya, tapi tangisilah jika agama ini dipimpin oleh orang yang bukan ahlinya. (artinya; engkau wahai Marwan bukan seorang yang ahli dalam memimpin agama ini). Orang tersebut ternyata adalah sahabat Rasulullah; yaitu Abu Ayyub al Anshari.

Kemudian sahabat Bilal bin Rubah ketika datang dari Syam (sekarang Lebanon, Siria, Yordani, dan Palestina) ke Madinah untuk tujuan ziarah ke makam Rasulullah maka ia langsung mendatangi makam, menangis di hadapannya, dan membolak-balikan wajahnya di atas makam tersebut. Sanad riwayat ini baik.

Setelah Rasulullah dimakamkan maka datanglah Fatimah (putri Rasulullah), ia berdiri di hadapan makam, lalu mengambil segenggam tanah dari makam tersebut, ia letakan pada kedua matanya, ia menangis lalu berkata:

Apa yang akan diraih oleh orang yang mencium tanah Muhammad; adalah bahwa ia tidak akan penah mencium sepanjang masanya sesuatu yang lebih berharga dari pada tanah tersebut. Telah ditimpakan kepadaku berbagai musibah (termasuk wafatnya Rasulullah); yang musibah-musibah jika tersebut ditimpakan pada siang maka ia seluruh siang akan menjadi malam (artinya musibah tersebut sangat berat).

Al Khathib bin Hamalah menyebutkan bahwa sahabat Abdullah bin Umar bin khattab telah meletakan tangan kanannya di makam mulia Rasulullah. Lalu Bilal bin Rubah juga telah meletakan kedua pipinya di atas makam Rasulullah. al Khathib juga telah menyebutkan riwayat dari kitab Sualat Abdullah bin Ahmad (sebagaimana yang telah kita sebutkan di atas). Ia (al Khathib) berkata: Tidak diragukan lagi bahwa tenggelam dalam rasa cinta menjadikan itu (mengusap makam) perkara yang boleh. Tujuan dari pada itu semua adalah untuk penghormatan dan memuliakan. Sungguh derajat manusia itu bertingkat, sebagaimana dahulu di masa Rasulullah masih hidup manusia itu bertingkat (berbeda-beda); ada sebagian mereka ketika melihat Rasulullah mereka tidak dapat menahan dirinya (karena cinta) maka langsung memburu Rasulullah, ada sebagian lainnya yang kalem (berhati-hati; tidak grasa-grusu) maka mereka dapat menahan dirinya. Yang jelas semua itu adalah baik.

Al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani berkata: Sebagian ulama dalam mengambil kesimpulan/intisari (istinbath) tentang mengapa disyariatkan mencium hajar aswad adalah dengan dengan dasar kebolehan mencium segala sesuatu yang berhak untuk dimuliakan; baik manusia atau lainya. Adapun tentang anjuran mencium tangan manusia (yang mulia) penjelasannnya telah lalu bahwa termasuk bentuk adab. Sementara anjuran terhadap selain manusia adalah dengan dasar (di antaranya) riwayat bahwa Imam Ahmad ditanya tentang mencium mimbar Rasulullah dan makamnya; beliau memandang itu bukan masalah (artinya boleh).

Sementara kaum Wahabi berkata bahwa orang yang ziarah ke makam para wali Allah adalah orang-orang musyrik (dalam istilah buruk mereka "Quburiyyun")... terlebih lagi yang mencium makam mereka!!!!

Lebih parah lagi, "imam besar tanpa tanding" mereka; Ibnu Taimiyah, mengatakan bahwa perjalanan ziarah ke makam Rasulullah untuk tujuan ziarah adalah perjalanan maksiat; tidak boleh mengqasar shalat dalam perjalanan tersebut.... nau'dzu billah!!!!

heh... wahabi khabits...!!! Lihat; sahabat Abdullah bin Umar bin Khattab meletakan tangan di atas tanah makam Rasulullah....!!! lihat; sahabat Bilal bin Rubah meletakan ke dua pipinya di atas tanah makam Rasulullah...!!!! apakah kalian akan mengatakan dua sahabat mulia ini orang-orang musyrik??????

Kaum Wahabi Telah Mengoyak Kitab al Adzkar Karya Imam An Nawawi (Mengungkap Kejahatan Wahabi)

Bismillah, as Shalat wa as salam ala Rasululillah, Kaum wahabi benar-benar kaum Talafi (pengganti Salafi), kaum PERUSAK. Silahkan anda lihat bukti scan ini untuk menunjukan demikian BURUK-nya mereka; menyebarkan kebohongan untuk tujuan menebar AJARAN SESAT; mereka merubah kitab-kitab ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah supaya sejalan dengan "perut" dan hawa nafsu mereka. Bukti scan ini dari tulisan (pengakuan) Syekh Abdul Qadir al Arna'uth yang telah melakukan tahqiq terhadap kitab karya Imam an Nawawi; "al Adzkar". Ternyata hasil tahqiq-nya tersebut "digondol" (dicuri) oleh gerombolan Wahabi dari Riyadl Saudi yang menamakan diri mereka sebagai "LAJNAH AL BUHUTS AL ILMIYYAH WA AD DA'WAH WA AL IRSYAD". Anda tahu apa yang dilakukan oleh lajnah al buhuts at takfiriyyah ini???? Mereka "mengoyak" tulisan Imam an Nawawi; lihat.. sebuah bab semula berjudul: [ Pasal: Dalam menjelaskan tentang ziarah ke makam Rasulullah ] (Anda tahu; kandungan makna dari penamaan bab ini?? adalah berisi ungkapan betapa besar Imam an Nawawi mencintai dan mengagungkan Rasulullah....!!!) Tapi.... ternyata; kaum Wahabiyyah Talafiyyah telah merubah judul bab tersebut menjadi:

[ Pasal: Dalam menjelaskan ziarah ke masjid Rasulullah ]

"(Anda tahu dengan pemalsuan tangan-tangan jahat Wahabi ini betapa besar "luka yang ditorekan mereka kepada "hati" seorang Imam terkemuka sekelas Imam an Nawawi??? Apakah anda tidak merasakan bahwa tangan-tangan jahat tersebut tidak hanya melukai seorang Imam an Nawawi... tapi; PERHATIKAN... bukankah itu melukai Rasulullah???? Lalu apakah anda sebagai umat Rasulullah tidak merasa dilukai ketika ???Rasulullah dilukai oleh tangan-tangan jahat itu Apakah anda tahu bahwa Rasulullah besabda: /

"Barangsiapa yang datang berziarah ke makamku maka wajiblah ia mendapatkan )syafa'atku" (HR. al Bazzar dan lainnya Orang-orang Wahabi yang tidak tahu diri itu harus menjawab "pertanyaan panjang" ini, [ ;dan harus mempertanggungjawabkan itu semua di hadapan Rasulullah kelak

: [ ]1/100 [ ]1/101 : ! [ ]1/109 : : [ ]1/111 ][ 551 " " " " : . " . ][588 ": ".

" ] [488 " " : " . " " : ] " " [ 4/684 : . " : ][144 " . " "[ ]2/137 [ ]3-2 . . [ :]231 (1371) : Membasmi Atau Menyuburkan "TBC"?! Ziarah Kubur Kok Dibilang "TBC"?! Kalau !!"Bgtu Ajarannya, Bukan "Salafi" Tapi "Talafi

Kelompok yang membawa jargon "Berantas TBC" (Tahayul, Bid'ah, Churafat) yang belakangan semakin menyebar di masyarakat benar-benar tidak dapat ditolerir. Masa !!!?orang yang ziarah kubur mereka klaim sebagai ahli bid'ah, sesat, musyrik dan kafir Ya kalau begitu namanya bukan memberantas TBC, tapi membuat TBC-TBC baru. Dan pengakuan bahwa mereka sebagai "Salafi" jauh panggang dari api, mereka lebih cocok disebut "Talafi" (Kaum Perusak).

Kita dudukan persoalan ziarah kubur ini dengan sedikit dalil saja. Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa di antara doa Nabi Musa yang ia pintakan kepada Allah:

" ".

"Ya Allah dekatkanlah (makam) aku ke Tanah Bayt al Maqdis meskipun sejauh lemparan batu". Kemudian Rasulullah bersabda :

" "

"Demi Allah, jika aku berada di dekat kuburan Nabi Musa niscaya akan aku perlihatkan kuburannya kepada kalian di samping jalan di daerah al Katsib al Ahmar" (H.R. al Bukhari dan Muslim) Faedah Hadits: Tentang hadits ini al Imam al Hafizh Waliyyuddin al 'Iraqi berkata dalam kitabnya Tharh at-Tatsrib: "Dalam hadits ini terdapat dalil kesunnahan untuk mengetahui kuburan orang-orang yang saleh untuk berziarah ke sana dan memenuhi hak-haknya".

Dan dengan dasar hadits ini, juga berbagai hadits lainnya, menjadi tradisi di kalangan para ulama Salaf dan Khalaf bahwa ketika mereka menghadapi kesulitan atau ada keperluan mereka mendatangi kuburan orang-orang saleh untuk berdoa di sana dan mengambil berhaknya dan setelahnya permohonan mereka dikabulkan oleh Allah. Al Imam asy-Syafii ketika ada keinginan yang ingin terkabul seringkali mendatangi kuburan Abu Hanifah dan berdoa di sana hingga dikabulkan doanya oleh Allah. Al Imam Abu Ali al Khallal seringkali mendatangi makam al Imam Musa ibn Jafar as Shadiq. Al Imam Ibrahim al Harbi dan al Imam al Mahamili mendatangi kuburan al Imam Maruf al Karkhi sebagaimana diriwayatkan oleh al Hafizh al Khathib al Baghdadi dalam kitabnya Tarikh Baghdad. Karena itu para ahli hadits seperti al Hafizh Syamsuddin Ibn al Jazari mengatakan dalam kitabnya yang berjudul 'Uddah al Hishn al Hashin :

" ".

"Di antara tempat dikabulkannya doa adalah kuburan orang-orang yang saleh ".

Al Hafizh Ibn al Jazari sendiri sering mendatangi kuburan Imam Muslim ibn al Hajjaj, penulis Sahih Muslim dan berdoa di sana sebagaimana disebutkan oleh Syekh Ali al Qari dalam Syarh al Misykat.

Allah tidak dikatakan bagi-Nya "di luar", "di dalam", "menempel", dan atau "terpisah" (Mewaspadai Ajaran Sesat Wahabi)

Kaum Musyabbihah (wahabi sekarang) memiliki kerancuan yang sangat menyesatkan, menyebutkan jika Allah ada tanpa tanpa tempat dan tanpa arah berarti sama dengan menafikan wujud Allah. Kemudian dari kesesatan mereka ini, mereka menarik kesimpulan sesat lainnya, mereka berkata: Pendapat yang mengatakan bahwa Allah tidak di dalam alam ini, juga tidak di luar alam ini adalah pendapat yang sama saja dengan menafikan wujud Allah.

Cukup untuk membantah kesesatan mereka ini dengan mengatakan bahwa Allah bukan benda; Dia bukan benda berbentuk kecil juga bukan benda berbentuk besar. Dan oleh karena Dia bukan benda maka keberadaan-Nya dapat diterima bahwa Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Tidak dikatakan bagi-Nya di dalam alam ini, juga tidak dikatakan bagi-Nya di luar alam ini. Inilah keyakinan yang telah ditetapkan oleh para ulama terkemuka dikalangan Ahlussunnah dari empat madzhab. Dan inilah pula keyakinan kaum Asyariyyah dan kaum al-Maturidiyyah sebagai kaum Ahlussunnah Wal Jamaah, di mana mereka telah menetapkan keyakinan tentang kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya, yang didasarkan kepada firman-Nya dalam QS. asy-Syura: 11. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Allah dengan semua sifat-sifat-Nya sama sekali tidak sama dengan makhluk-Nya. Sifat-sifat makhluk seperti; baru, gerak, diam, berkumpul, berpisah, bertempat, menempel dengan alam, terpisah dari alam, dan lainnya, ini semua adalah sifat-sifat yang mustahil bagi Allah.

Al-Imm al-Hfizh Ibn al-Jawzi al-Hanbali dengan sangat tegas mengatakan bahwa Allah tidak boleh disifat dengan menempel atau terpisah dari sesuatu. Simak tulisan beliau berikut ini:

Bila ada yang berkata bahwa menafikan arah dari Allah sama saja dengan menafikan keberadaan-Nya, kita jawab kesesatan ini: Jika kalian berpendapat bahwa segala yang

ada itu harus menerima sifat menempel dan terpisah maka pendapat kalian ini benar, namun demikian bahwa Allah mustahil dari sifat menempel dan terpisah juga benar dan dapat diterima. Jika mereka berkata: Kalian memaksa kami untuk menetapkan sesuatu yang tidak dapat dipahami!, kita jawab: Jika kalian bermaksud dengan sesuatu yang dapat dipahami itu adalah adalah sesuatu yang dapat dikhayalakan dan digambarkan oleh akal, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah tidak boleh dibayangkan seperti itu karena Allah bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran. Sesungguhnya, segala apapun yang dikhayalkan dan digambarkan oleh akal pastilah merupakan benda yang memiliki warna dan memiliki ukuran, karena khayalan dan gambaran akal itu hanya terbatas pada segala sesuatu yang diindra oleh mata. Khayalan dan gambaran akal ini tidak dapat membayangkan apapun kecuali segala apa yang pernah diindra oleh mata karena gambaran adalah buah dari penglihatan dan indra. Kemudian jika mereka berkata bahwa pemahaman tersebut tidak dapat diterima oleh akal, maka kita jawab: Telah kita jelaskan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah dapat diterima oleh akal. Dan sesungguhnya akal sehat itu tidak memiliki alasan untuk menolak terhadap sesuatu yang logis. Ketahuilah, ketika anda tidak dapat meraih apapun dalam pikiran anda kecuali sesuatu yang pasti merupakan benda atau sifat-sifat benda maka dengan demikian secara logis nyatalah akan kesucian Allah dari dari menyerupai makhluk-Nya. Dan jika anda mensucikan Allah dari segala apa yang ada dalam pikiran dan bayangan anda maka seharusnya demikian pula anda harus mensucikan adanya Allah dari tempat dan arah, juga mensucikan-Nya dari perubahan atau berpindah-pindah (Lihat al-Bz al-Asyhab, h. 59).

Dalam pembahasan ini, setelah penjelasan yang sangat luas, asy-Syaikh Ibn Hajar alHaitami berkata sebagai berikut:

Karena itu al-Ghazali mengatakan bahwa keharusan dari sesuatu yang memiliki sifat menempel dan terpisah adalah bahwa sesuatu tersebut pastilah merupakan benda dan pasti membutuhkan kepada tempat. Dan dua hal ini; menempel dan terpisah tentunya tidak boleh dinyatakan bagi Allah karena Dia bukan benda. Pendekatannya, seperti benda keras (al-jamd; semacam batu) tidak kita katakan bahwa benda itu pintar juga tidak kita katakan bahwa dia itu bodoh, karena tuntutan dari adanya sifat ilmu adalah keharusan adanya sifat hidup. Dan jika sifat hidup itu tidak ada (seperti batu tersebut) maka secara otomatis dua hal tersebut; yaitu pintar dan bodoh juga dinafikan darinya (lihat al-Ilm Bi Qawthi al-Islm pada tulisan pinggir (hmisy) kitab al-Zawjir, j. 2, h. 43-44).

Al-Imm al-Hfizh an-Nawawi dalam kitab Raudlah al-Thlibin dalam kutipannya dari pernyataan al-Imm al-Mutawalli berkata:

... atau apa bila seseorang menetapkan sesuatu bagi Allah yang secara Ijma telah ditetapkan bahwa sesuatu tersebut dinafikan dari-Nya, seperti menetapkan warna, menempel, dan terpisah, maka orang ini telah menjadi kafir (Lihat Raudlah al-Thalibn, j. 10, h. 64).

Anda lihat kutipan al-Imm an-Nawawi dari al-Imm al-Mutawalli bahwa seorang yang mensifati Allah dengan sifat-sifat benda telah menjadi kafir. Perlu anda ketahui bahwa al-Imm al-Mutawalli ini adalah seorang yang telah mencapai derajat Ash-hb al-Wujh dalam madzhab Syafii; adalah derajat keilmuan yang sangat tinggi, satu tingkat di bawah derajat para Mujtahid Mutlak.

Penulis kitab ad-Durr ats-Tsamn Wa al-Maurid al-Mun, seorang alim terkemuka, yaitu asy-Syaikh Muhammad ibn Ahmad Mayyarah al-Maliki, menuliskan sebagai berikut:

al-Imm al-Alim Abu Abdillah Muhammad ibn Jalal pernah ditanya apakah Allah tidak dikatakan di dalam alam ini juga tidak dikatakan di luarnya? yang bertanya ini kemudian berkata: Pertanyaan ini; yaitu Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam telah kami dengar dari beberapa guru kami. Ada sebagian orang yang menyanggah hal ini dengan mengatakan bahwa pernyataan tersebut sama juga menafikan dua keadaan yang berlawanan. Ada pula sebagian orang yang mengatakan bahwa Dia Allah adalah segala sesuatu dalam pengertian bahwa Allah menyatu dengan alam. Pendapat terakhir ini disebut-sebut sebagai pendapat al-Imm al-Ghazali. Ada pula pendapat sebagian orang menyatakan bahwa pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang rancu dan sia-sia, serta tidak layak dipertanyakan demikian bagi Allah. Kemudian Ibn Miqlasy disebutkan bahwa ia menjawab demikian atas pertanyaan tersebut, artinya bahwa Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam, sebagaimana ia tuliskan dalam syarh-nya terhadap kitab al-Rislah. Kemudian al-Imm Ibn Jalal menjawab: Akidah yang kita nyatakan dan yang kita pegang teguh serta yang kita yakini sepenuhnya ialah bahwa Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam. Dan sesungguhnya merasa tidak mampu dan merasa lemah untuk meraih Allah maka itu adalah keyakinan yang benar. Keyakinan ini didasarkan kepada dalil-dalil yang sangat jelas baik dengan dalil akal, maupun dalil naql. Adapun dalil naql adalah al-Quran, Sunnah dan Ijma. Dalam alQuran Allah berfirman bahwa Dia Allah sama sekali tidak menyerupai suatu apapun (QS. asy-Syura: 11). Jika Allah dikatakan berada di dalam alam atau berada di luar alam maka akan banyak yang serupa bagi-Nya. Karena jika Allah berada di dalam alam maka berarti Allah adalah bagian dari jenis-jenis alam itu sendiri, dan bila demikian maka berarti Allah wajib memiliki sifat-sifat atau hal-hal yang wajib dimiliki oleh setiap bagian alam tersebut (seperti punah, berubah dan lainnya). Lalu jika dikatakan bahwa

Allah berada di luar alam maka hal ini tidak lepas dari dua kemungkinan, bisa jadi Dia menempel dengan alam tersebut dan bisa jadi Dia terpisah dari alam tersebut. Dan bila terpisah maka hal itu menuntut adanya jarak antara keduanya, baik jarak yang terbatas atau jarak yang tidak terbatas. Dan keadaan semacam ini sama saja menuntut bahwa adanya Allah membutuhkan kepada yang mengkhususkan-Nya dalam keadaan tersebut. Adapun dalil dari hadits adalah sabda Rasulullah:

( )

Allah ada tanpa permulaan, dan tidak ada suatu apapun bersama -Nya. (HR al-Bukhari dan lainnya).

Sementara dalil dari Ijma ialah bahwa seluruh Ahl al-Haq telah sepakat bahwa Allah ada tanpa arah. Tidak boleh dikatakan bagi-Nya di atas, di bawah, di samping kanan, di samping kiri, di depan atau di belakang. Adapun dalil secara akal maka telah sangat jelas bagi anda pada pembahasan di atas dalam makna dari firman Allah QS. asySyura: 11. Adapun pendapat yang menyanggah pernyataan Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam karena sama saja dengan menafikan-Nya adalah pendapat yang tidak benar. Karena sesungguhnya sesuatu yang tidak bisa diterima keberadaannya kecuali dengan adanya salah satu keadaan yang berlawanan (seperti bila tidak di luar, maka ia di dalam) hanya berlaku bagi sesuatu yang terikat oleh dua keadaan tersebut saja. Adapun sesuatu yang tidak disifati dengan dua keadaan tersebut maka hal itu bisa diterima, dan dua keadaan tersebut tidak dikatakan saling bertentangan. Pendekatannya, bila dikatakan tembok ini tidak buta juga tidak melihat, maka pernyataan semacam ini tidak dikatakan saling bertentangan, karena dua keadaan yang bertentangan tersebut tidak berlaku bagi tembok. Maka demikian pula ketika kita katakan bagi Allah bahwa Dia tidak di atas, juga tidak di bawah, atau semacamnya, itu semua bisa diterima oleh akal. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa Allah adalah segala sesuatu dari komponen alam ini, seperti yang dituduhkan kepada al-Ghazali, maka ini adalah pendapat yang berasal dari kaum filsafat yang belakangan diambil sebagai faham oleh beberapa kelompok kaum sufi gadungan. Dan pernyataan semacam ini jauh dari kebenaran. Adapun pendapat yang menuduh bahwa pernyataan Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam sebagai pernyataan yang rancu dan sia-sia serta perkara yang tidak layak dipertanyakan bagi Allah, maka pendapat ini tidak bisa diterima karena telah jelas dalil-dalilnya seperti yang telah dibahas. Dan seandainya benar pendapat Ibn Miqlasy seperti ini, namun demikian ia tidak patut dijadikan rujukan dalam hal ini karena dia bukanlah seorang yang ahli seperti layaknya kaum teolog (dari kalangan Ahlussunnah). Dan sesungguhnya, memang banyak dari antara para ulama fiqih yang tidak benar-benar mumpuni dalam

masalah teologi ini, terlebih lagi sangat mendalam dengan sedetailnya (Lihat ad -Durr al-Tsamn, h. 24-25).

Pernyataan bahwa Allah tidak di dalam alam dan tidak di luar alam juga telah diungkapkan oleh salah seorang pimpinan kaum teolog di kalangan Ahlussunnah, yaitu al-Imm Abu al-Muain an-Nasafi, demikian pula telah disebutkan oleh asy-Syaikh alQunawi, al-Allmah asy-Syaikh al-Bayyadli, dan para ulama terkemuka lainnya. (Lihat Isyrt al-Marm Min Ibrt al-Imm, h. 197-198).

Al-Hfizh asy-Syaikh Abdullah al-Harari menuliskan:

Setelah adanya penjelasan yang sangat terang ini maka janganlah engkau tertipu dengan kesesatan kaum Mujassimah hingga mereka memalingkanmu dari akidah tanzh kepada akidah tasybh. Biasanya mereka berkata: Pernyataan bahwa Allah ada tanpa tempat, tanpa bentuk, tidak menempel dengan alam atau tidak terpisah dari alam adalah pendapat yang sama sekali tidak bisa dipahami. Kita katakan kepada mereka: Di antara makhluk saja ada sesuatu yang wajib kita percayai keberadaannya, padahal sesuatu tersebut tidak dapat kita bayangkan. Tetapi demikian, akal kita menetapkan keberadaan sesuatu tersebut. Yaitu adanya satu waktu sebelum diciptakannya cahaya dan kegelapan. Sesungguhnya, cahaya dan kegelapan adalah makhluk Allah, sebelumnya tidak ada, lalu kemudian menjadi ada karena diciptakan oleh Allah, seperti dalam berfirman-Nya:

1 : ( )

Dan Dia Allah yang telah menciptakan segala kegelapan dan cahaya (QS. al-Anam: 1).

Dengan ayat ini kita wajib beriman bahwa kegelapan dan cahaya adalah makhluk Allah. Ini artinya kita wajib meyakini bahwa ada suatu waktu; di mana Allah belum menciptakan kegelapan dan belum menciptakan cahaya. Dalam hal ini akal manusia tidak akan bisa membayangkan adanya suatu waktu yang di dalamnya tidak ada kegelapan juga tidak ada cahaya. Jika pada makluk saja ada sesuatu yang harus kita percayai semacam ini yang tidak dapat digambarkan dan dibayangkan oleh akal maka

terlebih lagi tentang Allah. Artinya, jika keberadaan sesuatu yang tidak bisa dibayangkan oleh akal dapat diterima oleh akal, maka demikian pula dapat diterima jika Allah tidak dapat dibayangkan oleh akal; bahwa Dia ada tanpa bentuk, tanpa tempat, tanpa arah, tidak menempel atau di dalam alam dan juga tidak di luar alam. Bahkan adanya Allah tidak dapat dibayangkan oleh akal harus lebih diterima dibanding waktu yang tidak ada kegelapan dan cahaya di dalamnya tersebut. Karena waktu tersebut adalah makhluk, sementara Allah adalah Khliq, dan Dia sendiri telah berfirman dalam QS. asy-Syura: 11 bahwa Dia sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya (Lihat Sharh al-Bayn F ar-Radd Al Man Khlaf al-Qurn, J. 1, h. 107).

Ingat, Aqidah Rasulullah, para sahabat, dan mayoritas umat Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah bahwa ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH.

Lagi (Bag. 2); adz Dzahabi Menohok Ajaran Sesat Wahabi [[[ Masalah Tabarruk ]]]

Lihat, kitab ini berjudul: Siyar A'lam an-Nubala' Karya adz Dzahabi; salah seorang murid Ibnu Taimiyah, yang seringkali menjadi rujukan Wahabi Ini terjemah yang ditandai:

"Abdullah bin Ahmad (anak Imam Ahmad ibn Hanbal) berkata: Saya telah melihat ayahku (Imam Ahmad ibn Hanbal) mengambil sehelai rambut dari rambut-rambut Rasulullah, lalu ia meletakan rambut tersebut di mulutnya; ia menciuminya. Dan aku juga melihatnya meletakan rambut tersebut di matanya, dan ia juga mencelupkan rambut tersebut pada air lalu meminumnya untuk tujuan mencari kesembuhan dengannya. Aku juga melihat ayahku mengambil wadah (bejana/piring) milik Rasulullah, beliau memasukannya ke dalam dalam air, lalu beliau minum dari air tersebut. Aku juga melihatnya meminum dari air zamzam untuk mencarikesembuhan dengannya, dan dengan air zamzam tersebut ia mengusap pada kedua tangan dan wajahnya.

Aku (adz Dzahabi) katakan: Mana orang yang keras kepala mengingkari Imam Ahmad?? Padahal telah jelas bahwa Abdullah (putra Imam Ahmad) telah bertanya kepada ayahnya sendiri (Imam Ahmad) tentang orang yang mengusap-usap mimbar Rasulullah dan ruang (makam) Rasulullah; lalu Imam Ahmad menjawab: "Aku tidak melihat itu suatu yang buruk (artinya boleh)". Semoga kita dihindarkan oleh Allah dari faham-faham sesat Khawarij dan para ahli bid'ah".

Anda tahu? Sebenarnya yang ahli bid'ah itu adalah kaum Wahhabi, karena mereka memandang sesat terhadap sesuatu yang telah disepakati kebaikannya.... tabarruk ko dibilang bid'ah; tabarruk itu dari zaman Rasulullah masih hidup sudah ada.

Adz Dzahabi Menohok Ajaran Wahabi [[[ Masalah Tabarruk ]]] Lihat ini kitab berjudul: Mu'jam asy Syuyukh Karya adz Dzahabi; salah seorang murid Ibnu Taimiyah Ini terjemah yang ditandai: "Imam Ahmad pernah ditanya tentang mengusap makam nabi dan menciumnya; dan beliau melihat bahwa melakukan perkara itu bukan suatu masalah (artinya boleh)".

"Jika dikatakan: Bukankah para sahabat tidak pernah melakukan itu? Jawab: Karena mereka melihat langsung Rasulullah dan bergaul dengannya, mereka mencium tangannya, bahkan antar mereka hampir "ribut" karena berebut sisa/tetesan air wudlunya, mereka membagi-bagikan rambut Rasulullah yang suci pada hari haji akbar, bahkan apa bila Rasulullah mengeluarkan ingus maka ingusnya tidak akan pernah jatuh kecuali di atas tangan seseorang (dari sahabatnya) lalu orang tersebut menggosokgosokan tangannya tersebut ke wajahnya".

"Tidakkah engkau melihat apa yang dilakukan oleh Tsabit al Bunani?, beliau selalu mencium tangan Anas ibn Malik dan meletakannya pada wajahnya, beliau berkata: Inilah tangan yang telah menyentuh tangan Rasulullah. Perkara-perkara semacam ini

tidak akan terjadi pada diri seorang muslim kecuali karena dasar cintanya kepada Rasulullah". Semoga kita dikupulkan bersama Rasulullah dan para sahabatnya kelak. Amin.

Cara Mudah Membantah Ajaran Sesat Wahhabi (Pelajari Dan Sebarkan) Anda katakan kepada mereka:

Ajaran agama kalian itu baru, dirintis oleh Muhammad ibn Abdul Wahhab. Buktinya, tidak ada seorang muslim-pun sebelum Muhammad Ibn Abdul Wahhab yang mengharamkan perkataan: Yaa Muhammad (Wahai Muhammad).... Bahkan orang yang oleh Muhammad ibn Abdul Wahhab disebutnya sebagai Syaikh al -Islam; yaitu Ahmad ibn Taimiyah telah membolehkan mengucapkan Ya Muhammad bagi orang yang sedang kesusahan karena tertimpa semacam lumpuh pada kakinya (al-Khadar). Ibn Taimiyah mengatakan bahwa dianjurkan bagi orang yang tertimpa semacam kelumpuhan pada kaki yang tidak dapat digerakan untuk mengucapkan Yaa Muhammad. Yang dimaksud al-khadar pada kaki di sini bukan artinya kesemutan, juga bukan lumpuh yang permanen, tapi yang dimaksud adalah lumpuh sementara karena terlalu lama duduk atau semacamnya. Rekomendasi Ibn Taimiyah ini ia dasarkan kepada apa yang telah dilakukan oleh sahabat Abdullah ibn Umar, bahwa suatu ketika sahabat yang mulia ini tertimpa al-khadar pada kakinya, lalu ada orang yang berkata kepadanya: Sebutkan orang yang paling engkau cintai!!, kemudian Abdullah ibn Umar berkata: Yaa Muhammad.

Anda katakan kepada kaum Wahhabi: Ibn Taimiyah yang kalian sebut sebagai syaikh al-Islam membolehkan perkara di atas, sementara kalian menamakan itu sebagai kekufuran. Dalam hal ini, bahkan Ibn Taimiyah sendiri terbebas dan tidak sejalan dengan apa yang kalian yakini. Dengan dasar apa kalian mengaku sebagai bagian dari orang-orang Islam?! Kalian bukan orang-orang Islam, karena kalian mengkafirkan seluruh umat Islam yang mengucapkan Ya Muhammad..., padahal tidak ada seorangpun yang mengharamkan perkataan Ya Muhammad... kecuali kalian sendiri yang pertamakali mengharamkannya. Dan sesungguhnya barangsiapa mengkafirkan umat Islam maka dia sendiri yang kafir, karena umat ini akan senantiasa akan berada dalam agama Islam hingga hari kiamat. Imam al Bukhari dalam kitab Shahih meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda: ( )

Senantiasa urusan umat ini akan selalu dalam kebenaran hingga datang kiamat, atau hingga datang urusan Allah (HR. al Bukhari)

Jika mereka berkata: Ibn Taimiyah tidak berkata demikian!!, maka anda katakan kepada mereka: Ada buktinya, itu ditulis oleh Ibn Taimiyah dalam bukunya berjudul al Kalim ath Thayyib. Para ulama yang menuliskan biografi Ibn Taimiyah mengatakan bahwa al Kalim ath Thayyib benar-benar sebagai salah satu dari karya-karyanya, di antaranya disebutkan oleh Shalahuddin ash-Shafadi; salah seorang yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri dan banyak mengambil darinya.

Kemudian salah seorang pemuka kaum Wahhabi; al Albani, juga mengakui bahwa al Kalim ath Thayyib adalah salah satu karya Ibn Taimiyah, dan bahkan ia membuat catatan tambahan (taliq) terhadap kitab tersebut, walaupun ia berkata bahwa sanad tentang perkataan sahabat Abdullah ibn Umar tersebut adalah dlaif. Namunbegitu, walaupun al-Albani menilai sanad tentang perkataan Ibn Umar tersebut dlaif tetapi penilaiannya itu sama sekali tidak memberikan pengaruh apapun, oleh karena Ibn Taimiyah telah mengutip riwayat itu dalam kitabnya tersebut dengan menamakannya Fasal: Tentang kaki apa bila terkana al-khadar, lalu ia menamakan kitabnya tersebut dengan al-Kalim ath-Thayyib, artinya Perkataan yang baik (Lihat kitab, h. 73).

Bahkan, seandainya benar sanad riwayat tersebut berkualitas dlaif (seperti yang sangka al Albani); tetapi Ibn Taimiyah telah jelas-jelas membolehkan hal itu yang karenanya ia mengutip dalam kitabnya tersebut, dan ia namakan dengan al Kalim ath Thayyib. Dari sini anda katakan kepada mereka: Dengan demikian siapa sebenarnya yang telah kafir, apakah Ibn Taimiyah yang kalian sebut sebagai Syaikh al -Islam atau kalian sendiri?! Secara tersirat sebenarnya orang-orang wahhabi tersebut telah mengkafirkan Ibn Taimiyah; baik mereka sendiri sadar atau tidak. Sampai di sini tentu mereka tidak berani untuk mengatakan Ibn Taimiyah kafir, juga mereka tidak akan mengatakan bahwa mereka sendiri sebagai orang-orang kafir. Mereka tidak akan memiliki jawaban untuk ini. Dari sini kita katakan kepada mereka: Jika demikian, maka benar bahwa ajaran agama kalian itu adalah ajaran yang baru. Karena dengan pendapat kalian yang mengharamkan perkataan Ya Muhammad... berarti kalian telah mengkafirkan seluruh umat Islam dari semenjak masa Rasulullah hingga masa kita sekarang ini. Dan bahkan baik disadari oelh kalian atau tidak; kalian telah mengkafirkan imam utama kalian, yaitu Ibn Taimiyah yang jelas-jelas telah membolehkan perkataan Ya Muhammad... saat kaki terkena al-khadar. Mereka akan terdiam seribu bahasa tidak memiliki argumen.

Terlebih dari pada itu semua, tentang penilaian al-Albani yang mengklaim sanad riwayat perkataan Ibn Umar tersebut sebagai sanad yang dlaif, penilaiannya sama sekali tidak dapat dijadikan landasan, karena dia seorang yang tidak memiliki otoritas untuk melakukan penilaian hadits; dlaif atau shahih. Dia bukan seorang hafizh alhadits, bahkan ia akui sendiri bahwa ia tidak hafal walaupun hanya sepuluh buah hadits saja dengan sanad-sanadnya. Ia hanya mengaku-aku bagi dirinya sendiri bahwa dia adalah muhaddits kitab bukan muhaddits hifzh.

Kemudian jika orang-orang Wahhabi berkata: Ibn Taimiyah meriwayatkan perkataan Ibn Umar tersebut dari seorang perawi yang masih diperselisihkan (Mukhtalaf fih), maka anda katakan kepada mereka: Ibn Taimiyah jelas-jelas meriwayatkannya dalam kitabnya tersebut, itu artinya sebagai bukti bahwa ia menganggap baik perkataan Ya Muhammad..., baik riwayat tersebut shahih atau tidak shahih. Karena seorang yang meriwayatkan sesuatu yang batil sementara ia tidak mengingkarinya itu artinya ia menganggap baik sesuatu tersebut dan menyeru kepadanya.

Kisah tentang perkataan sahabat Abdullah ibn Umar di atas diriwayatkan oleh al Hafizh Ibn as Sunny (Lihat Amal al Yaum Wa al Laylah, h. 72-73), juga oleh al Bukhari dalam kitab al Adab al Mufrad (Lihat h. 324) dengan jalur sanad selain sanad Ibn as Sunny. Demikian pula telah diriwayatkan oleh al Hafizh al Kabir Imam Ibrahim al Harbi; seorang yang dalam ilmu dan sikap wara-nya serupa dengan Imam Ahmad ibn Hanbal, dalam kitab Gharib al Hadits, yang juga dengan jalur sanad selain sanad Ibn as-Sunny (Lihat Gharib al Hadits, j. 2, h. 673-674). Diriwayatkan pula oleh al Hafizh an Nawawi (Lihat al Adzkar, h. 321), oleh al Hafizh Ibn al Jazari dalam kitab al Hishn al Hashin dan dalam kitab Iddah al Hishn al Hashin (Lihat h. 105), dan oleh asy Syaukani; seorang yang dalam beberapa masalah sejalan pemahaman Wahabi. Lihat -wahai orang-orang Wahabi-, asy Syaukani meriwayatkannya dalam Tuhfah adz-Dzakirin (Lihat, h. 267), sementara kalian menganggap perkataan Ya Muhammad... sebagai kekufuran?! Wahai kaum Wahhabi hendak lari kemana kalian?! Jelas tersingkap kedok sesat ajaran kalian. Lihat pula, Ibn Taimiyah sebagai imam kalian, dan sebagai imam utama dari Muhammad ibn Abd al-Wahhab yang banyak mengambil faham sesatnya telah meriwayatkannya dalam karyanya sendiri yang ia namakan dengan al -Kalim athThayyib.

Jika orang-orang Wahhabi berkata: Kita yang benar, sementara Ibn Taimiyah tidak benar, ia telah menghalalkan perbuatan syirik dan kufur, kita katakan kepada mereka: Itu berarti kalian telah mengkafirkan imam terkemuka kalian sendiri yang merupakan referensi utama bagi kalian dalam akidah tasybih (penyerupaan Allah dengan makhlukNya) dan dalam banyak kesesatannya. Dan itu berarti merupakan pengakuan dari diri kalian sendiri bahwa kalian mengikuti seorang yang kalian anggap sebagai orang kafir,

padahal dia adalah rujukan utama kalian dalam berbagai permasalahan akidah yang kalian yakini. Lihat, kalian telah mengikuti Ibn Taimiyah dalam penyataan kufurnya bahwa Kalam Allah dan Kehendak-Nya adalah baharu dari segi materi (al-Afrad) dan qadim dari segi jenis (al-Jins/an-Nau). Kalian juga mengikutinya dalam keyakinannya bahwa jenis alam ini azaly (tidak bermula) ada bersama Allah bukan sebagai makhluk. Lihat, dengan kekufurnya ini kalian telah menjadikan dia sebagai ikutan dan sandaran dalam segala keyakinan kalian yang nyata-nyata hal itu menyalahai kebenaran, sementara kalian menyalahi dia pada perkara di mana ia telah sesuai dengan kebenaran di dalamnya; yaitu dalam kebolehan mengucapkan kata Yaa Muhammad... ketika dalam keadaan sulit atau saat tertimpa musibah.

Kemudian kita katakan pula kepada mereka; Pengakuan bahwa kalian sebagai kelompok salafi adalah bohong besar. Siapakah di antara ulama Salaf yang melarang mengatakan kata Yaa Muhammad... saat dalam kesulitan? Karena itu haram bagi kalian mengaku sebagai kaum Salafi, karena penamaan ini menipu banyak orang awam, padahal kalian sedikirpun tidak berada di atas keyakinan Ulama Salaf, juga tidak di atas keyakinan Ulama Khalaf, tetapi kalian datang dengan membawa agama dan ajaran yang baru. Sesungguhnya mengucapkan kata Yaa Muhammad... untuk tujuan meminta tolong (istigatsah) adalah perkara yang telah disepakati kebolehannya oleh para ulama Salaf dan ulama Khalaf; baik di masa Rasulullah masih hidup atau setelah beliau wafat.

Adapun yang dilarang dalam syariat adalah mengucapkan kata Yaa Muhammad... di hadapan wajah Rasulullah di masa hidupnya untuk tujuan memanggilnya, yaitu setelah turun firman Allah:

( 63 :)

Janganlah kalian menjadikan panggilan terhadap Rasulullah di antara kalian seperti sebagian kalian memanggil sebagian yang lainnya (QS. An -Nur: 63).

Sebab diharamkan perkara tersebut adalah karena ada suatu kaum yang bersifat kasar memanggil Rasulullah dari laur rumahnya dengan mengatakan Wah ai Muhammad (Ya Muhammad) keluarlah engkau kepada kami...!!. Dari sebab ini kemudian Allah mengharamkan perkara ini karena untuk memuliakan Rasulullah.

Adapun tentang seorang sahabat yang buta yang bertawassul dengan Rasulullah supaya ia mendapatkan kesembuhan dari butanya; yang kemudian Rasulullah mengajari sahabat buta tersebut beberapa kalimat doa untuk ia bacakan; maka bacaannya tersebut tidak dibacakan hadapan Rasulullah. Doa tersebut yaitu:

Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dan aku menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu; Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad sesungguhnya saya denganmu menghadap kepada Tuhan saya dalam kebutuhanku ini.

Dalam riwayat hadits ini Rasulullah berkata kepada sahabat buta tersebut: Pergilah ke tempat wudlu, berwudlu-lah, lalu kerjakan shalat dua rakaat, kemudian berdoalah dengan membaca doa-doa itu (HR. Ath Thabarani, lihat al Mujam al Kabir, j. 9, h. 1718 dan al Mujam ash Shagir, h. 201-202). Sahabat buta tersebut kemudian keluar dari majelis Rasulullah, beliau berwudlu, lalu shalat dua rakaat, dan membacakan doa yang berisi tawassul dengan Rasulullah tersebut. Setelah beliau menyelesaikan itu semua maka beliau datang kembali menghadap Rasulullah dalam keadaan sudah dapat melihat. Dengan demikian doa yang dibacakan oleh sahabat buta tersebut tidak dihadapan Rasulullah pada masa hidup beliau saat itu. Dari sini kita katakan kepada kaum Wahabi; Kalian telah mengambil pendapat Ibn Taimiyah dalam karyanya berjudul at Tawassul Wa al Wasilah bahwa tawassul hanya boleh dilakukan dengan orang yang hadir di hadapan dan dalam keadaan masih hidup, namun terhadap tawassul atau istighatsah dengan yang sudah meninggal; yang padahal itu oleh Ibn Taimiyah sendiri juga dikatakan sebagai perkara baik, seperti bertawassul dengan Rasulullah setelah wafatnya; kalian menyalahinya, bahkan kalian mengklaim bahwa perkara tersebut adalah syirik dan kufur?! Alangkah naifnya kalian, betul-betul jauh dari kebenaran.

Kemudian dari pada itu, kita katakan pula kepada mereka untuk membantah pendapat mereka yang telah mengatakan bahwa Allah berada di arah atas; atau berada di arsy; Seseorang yang dalam posisi berdiri, apakah dari segi jarak posisi kepalanya lebih dekat kepada arsy dibanding seorang yang sedang dalam posisi sujud? Mereka pasti menjawab bahwa yang dalam posisi berdiri lebih dekat kepada arsy. Lalu kita katakan kepada mereka: Kalian telah menjadikan arsy sebagai tempat bagi Allah, padahal ada

hadits Rasulullah yang menolak pemahaman sesat kalian ini; adalah riwayat Imam Muslim bahwa Rasulullah bersabda:

( ) Seorang hamba yang paling dekat kepada Allah adalah saat dia dalam posisi sujud, maka hendaklah kalian memperbanyak doa (pada posisi tersebut) (HR. Muslim).

Kalian mengatakan bahwa metode takwil sama dengan tathil; artinya menurut kalian memberlakukan takwil sama saja dengan mengingkari wujud Allah dan mengingkari sifat-sifat-Nya; atau dalam istilah kalian at-tawil tathil. Ini artinya ketika kalian menolak takwil maka berarti sama saja kalian mengakui bahwa keyakinan kalian adalah keyakinan batil, karena keyakinan kalian berseberangan dengan pemahaman zahir (literal) hadits tersebut.

Adapun kami kaum Ahlussunnah memahami firman Allah:

5 : ( )

dan seluruh ayat-ayat atau hadits-hadits Nabi yang secara zahir (literal) seakan bahwa Allah memiliki tempat dan arah, atau seakan bahwa Allah memiliki anggota badan, atau seakan bahwa Allah memiliki bentuk (batasan), atau bergerak, dan pindah, atau sifatsifat apapun yang seakan bahwa Allah serupa dengan makhuk-Nya; ini semua kita pahami dengan metode takwil, baik dengan metode takwil Ijmali atau takwil tafshili, sebagaimana hal itu telah dicontohkan oleh beberapa orang dari ulama Salaf, yang kemudian diikuti oleh para ulama Khalaf. Kita katakan; Makna teks-teks semacam itu semua bukan dalam makna zahirnya, tetapi itu semua memiliki makna-makna yang sesuai bagi keagungan Allah yang sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Inilah yang dimaksud dari perkataan sebagian ulama Salaf Bila Kayf Wa La Tasybih. Ulama Ahlussunnah mengatakan bahwa makna Bila Kayf yang dimasud adalah bahwa ayat ayat dan hadits-hadits mutasyabihat semacam yang telah disebutkan di atas tidak dipahami dalam pengertian benda atau sifat-sifat benda. Inilah pemahaman yang benar dari maksud perkataan ulama Salaf dan ulama Khalaf Bila Kayif, tidak seperti yang dipahami oleh orang-orang Wahabi; dalam mulutnya mereka mengatakan Bila Kayf, tapi dalam hati mereka meyakini adanya kayf (sifat benda).

Sesungguhnya metode takwil tafshili telah berlakukan oleh para ulama Salaf sekalipun tidak oleh semua mereka. Imam Ahmad ibn Hanbal misalkan, telah mentakwil firman Allah: Wa Jaa Rabbuka (QS. Al-Fajr: 22) dengan mengatakan bahwa yang dimaksud jaa dalam ayat tersebut adalah datangnya pahala dari Allah, dalam riwayat lainnya beliau mengatakan bahwa yang dimaksud adalah datangnya perintah Allah (Lihat al Bidayah Wa an Nihayah, j. 10, h. 327. Imam al Baihaqi mengatakan sanad riwayat ini tidak memiliki cacat sedikitpun). Sementara kalian wahai kaum Wahabi mengatakan dalam mamahami ayat tersebut bahwa Allah turun secara indrawi. Dalam keyakinan kalian bahwa Allah pindah dari arsy ke bumi sebagaimana para Malaikat turun secara indrawi; yaitu turun dengan pindah dari arah atas ke arah bumi pada hari kiamat kelak. Seandainya Imam Ahmad berkeyakinan seperti keyakinan kalian maka tentu beliau tidak akan mentakwil ayat di atas; tentu beliau akan memahami ayat tersebut sesuai zahirnya seperti yang kalian pahami, tapi terbukti beliau telah melakukan takwil. Perkataan Imam Ahmad ini telah diriwayatkan oleh Imam al-Bayhaqi dan disahehkannya dalam kitab Manaqib al-Imam Ahmad.

Demikian pula firman Allah Yauma Yuksyafu An Saq (QS. Al-Qalam: 42) oleh sebagian ulama Salaf telah ditakwil secara tafshili; mereka mengatakan yang dimaksud kata as-Saq dalam ayat ini adalah huru-hara (kesulitan) yang teramat dahsyat, (artinya bahwa Allah akan mengangkat huru-hara tersebut di hari kiamat kelak dari orang-orang mukmin) (Lihat Fath al Bari, j. 13, h. 428, al Asma Wa as Shifat, h. 345). Sementara kalian wahai orang-orang Wahabi memaknai makna saq pada ayat ini dengan mengatakan bahwa Allah memiliki betis sebagaimana manusia memiliki betis yang merupakan salah satu anggota badannya. Bagaimana kalian mensucikan Allah dari menyerupai makhluk-Nya dengan keyakinan kalian yang rusak ini?! Dengan demikian menjadi jelas bahwa pengakuan kalian sebagai para pengikut Imam Ahmad ibn Hanbal adalah bohong besar.

Sementara itu Imam al Bukhari telah menyebutkan takwil bagi dua ayat dari al Quran. Pertama; beliau mentakwil firman Allah:

) 88 : (

Imam al Bukhari mengatakan bahwa makna al Wajh dalam ayat tersebut adalah al Mulk; artinya kerajaan atau kekuasaan (lihat Shahih al Bukhari, tafsir Surat al Qasas). Takwil ayat ini demikian juga telah disebutkan oleh Imam Sufyan ats Tsauri dalam kitab

Tafsir-nya (Lihat Tafsir al Quran al Karim, h. 194). Kedua; Imam al Bukhari mentakwil firman Allah:

56 : ( )

Ayat ini ditakwil oleh beliau dalam makna al mulk wa as sulthan artinya kerajaan dan kekuasaan (Lihat Shahih al Bukhari, Tafsir Surat Hud). Imam al Bukhari tidak pernah mentakwil ayat ini seperti yang kalian yakini dalam pengertian bahwa Allah bersentuhan. Benar, makna literal dari ayat tersebut seakan Allah menyentuh setiap ubun-ubun dari segala binatang, tapi memaknainya seperti demikian ini jelas merupakan tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya), karena Allah tidak disifati dengan menyentuh, dan atau disentuh; sebab menyentuh maupun disentuh adalah dari tanda-tanda makluk.

Adapun takwil hadits riwayat Imam Muslim yang telah kita sebutkan di atas adalah bahwa makna al Qurb di sini bukan dalam pengertian dekat dari segi jarak. Demikian pula dengan redaksi-redaksi hadits yang seakan Allah berada atau bertempat di arah atas; itu semua tidak boleh dipahami secara literal (harfiah), tetapi harus dipahami dengan metode takwil. Dengan demikian bagaimana kalian mengatakan bahwa metode takwil sama saja dengan tathil (menafikan atau mengingkari sifat-sifat Allah)?! Juga dengan dasar apa kalian mengatakan bahwa metode takwil adalah kufur?!

Anda katakan kepada mereka: Jika kalian tidak memahami hadits riwayat Imam Muslim ini dengan makna zahirnya (harfiah) maka berarti kalian telah melakukan takwil, dan bila demikian maka berarti kalian telah menyalahi diri kalian sendiri yang anti terhadap takwil. Kaian mengatakan: Takwil adalah tathil, sementara kalian sendiri memberlakukan takwil.

Anda mungkin juga menyukai