Anda di halaman 1dari 14

BIOPSI DAN DIAGNOSIS HISTOPATOLOGI LESI MULUT GANAS DAN PRA-GANAS (Biopsy and Histopathologic Diagnosis of Oral Premalignant

and Malignant Lesions) Catherine F. Poh, DDS, PhD, FRCD(C); Samson Ng, DDS, MSc, FRCD(C); Kenneth W. Berean, MD, FRCPSC; P. Michele Williams, BSN, DMD, FRCD(C); Miriam P. Rosin, BSc, PhD; Lewei Zhang, DDS, PhD, FRCD(C) ABSTRAK Ketepatan hasil diagnosa dari pemeriksaan lesi mulut ganas dan pra-ganas tergantung dari kualitas biopsi yang dilakukan, adekuatnya informasi klinis yang didapatkan serta interpretasi yang tepat dari hasil biopsi. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk meninjau cara-cara (prosedur) untuk mendapatkan sampel biopsi, kriteria-kriteria dalam mendiagnosa dan menggolongkan displasia. Gambaran arsitektural dan sitologi dari epitel menurut WHO yang telah berubah, bahwa displasia itu bersifat khas dan tersedia petunjuk untuk memfollow-up pasien yang mengidap lesi ganas dan pra-ganas. Tulisan ini meninjau pula tentang keuntungan dalam menggunakan layanan pusat dan ahli biopsi oral di British Colombia. Penanganan yang tepat dari pasien yang mengidap lesi ganas dan praganas dimulai dengan melakukan diagnosa yang akurat. Standar baku dalam mendiagnosa terletak pada pemeriksaan histopatologi dari biopsi jaringan yang dicurigai mengalami lesi ganas dan pra-ganas. Sedangkan diagnosa histopatologi yang tepat tergantung pada kemampuan klinis dalam melakukan prosedur biopsi yang benar dan menyediakan informasi klinis yang tepat, dan tergantung pula pada ahli patologi yang memiliki kemampuan menilai dengan tepat hasil dari biopsi tersebut. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk meninjau cara-cara (prosedur) untuk mendapatkan sampel biopsi, kriteria-kriteria dalam mendiagnosa dan menggolongkan displasia. Bagaimana cara untuk mendapatkan biopsi yang tepat Biopsi yang benar tepatnya dilakukan pada jaringan yang dapat mewakili jaringan lain yang mengalami lesi atau perubahan yang signifikan dan memenuhi syarat untuk dilakukan pemeriksaan patologi. Untuk mendapatkan sebuah biopsi yang tepat mencakup 3 faktor penting, yaitu; pemilihan tempat biopsi, prosedur yang dilakukan, pemenuhan syarat dari jaringan biopsi. Pemilihan tempat biopsi Tempat melakukan biopsi harus dipilih secara hati-hati agar dapat dipastikan kita mendapatkan hasil yang tepat. Misalnya pada lesi oral yang dicurigai merupakan lesi ganas dan pra-ganas, terutama pada lesi yang sudah meluas, atau biasanya pada bagian yang tingkat keparahannya melebihi bagian lain. Contohnya lesi pada satu bagian telah mencapai invasi awal SCC (karsinoma sel squamos) sedangkan bagian lain mengalami displasia ringan. Maka biopsi yang tepat sebaiknya dilakukan pada bagian yang mengalami lesi terburuk (misalnya jaringan dengan invasi awal SCC). Bagian dengan lesi yang parah dapat ditentukan berdasarkan atas penampakan klinisnya, hasil pemeriksaan biopsi yang dilakukan, dan penggunaan alat visual tambahan. Pemilihan area dengan leukoplakia atau eritroplakia yang tidak homogen (misalnya sebuah nodus, verrucous atau area yang mengalami indurasi; daerah kemerahan atau mengalami ulserasi) dapat

menambah kemungkinan bahwa biopsi dapat mencakup daerah yang mengalami lesi parah. Melakukan biopsi pada bagian yang berbeda dari lesi, terutama jika lesi tersebut telah meluas atau menampakkan penampakan klinis yang bervariasi, dapat memastikan reliabelnya hasil biopsi. Contohnya lesi dengan ukuran 4 cm, melakukan 2 biopsi dari daerah yang mewakili atau pada daerah yang mengalami penampakan klinis yang berbeda merupakan hal yang tepat. Dalam melakukan biopsi, penggunaan toluidine biru atau teknik visualisasi fluorescence langsung dapat membantu para klinisi menandai daerah yang paling parah atau daerah yang hanya mengalami perubahan signifikan.

Gambar 1: Menggunakan visualisasi fluorescence dan toluidine biru (TB) untuk menyeleksi daerah biopsi. (a) gambaran klinis leukoplakia nonhomogeneus dibawah cahaya putih. (b) lesi yang sama dibawah visualisasi fluorescence secara langsung. Catatan: lesi yang luas, terlihat dengan autofluoresence hijau, adalah lebih besar daripada gambaran klinis lesi yang terlihat dengan mata biasa pada gambar 1a. (c) lesi yang sama yang diwarnai dengan TB yang memperlihatkan TB positif dengan tingkat intensitas pewarnaan TB. Dalam penelitian kami, daerah lesi dengan warna TB yang kuat biasanya menghasilkan histologi yang buruk daripada yang pewarnaannya kurang atau daerah negatif lesi. Jika dokter gigi merasa tidak yakin tentang dimana daerah tempat melakukan biopsi yang paling tepat, maka sebaiknya pasien dirujuk pada klinisi yang ahli pada bidangnya, karena biopsi pada daerah yang salah akan memberikan pengertian yang salah pada pasien maupun dokter gigi.

Prosedur biopsi Klinisi dapat menggunakan sejumlah teknik biopsi, antara lain biopsi scalpel, biopsi punch, biopsi laser atau biopsi pisau elektrik. Untuk melakukan biopsi pada mukosa yang dicurigai mengalami lesi ganas atau pra-ganas, terutama pada eksisi biopsi, sebaiknya dicegah penggunaan laser atau pisau elektrik. Tehnik ini dapat menghasilkan sebuah objek berupa gumpalan yang dapat menghalangi interpretasi histologis dari sampel, terutama penilaian pada bagian tepi. Sedangkan biopsi punch telah dibuktikan menghasilkan lebih sedikit objek penghalang daripada biopsi scalpel. Gambar 2: Langkah-langkah dalam melakukan biopsi punch. (a) Seleksi tempat biopsi dengan menggunakan pewarnaan toluidine blue secara visual. (b) Injeksi anastesi lokal. (c) Foto sebuah punch 5mm yang menggambarkan punch dengan menggunakan bevel 1,5mm (tanda panah) dengan cutting edge untuk estimasi kedalaman. (d) Insersi punch kedalam jaringan dengan menggunakan sebuah gerakan memutar. (e) Gunakan scalpel untuk mengambil sampel biopsi. (f) Tempatkan jaringan pada selembar kertas dengan permukaan jaringan penghubung diletakkan terbalik untuk mencegah sampel melengkung selama fiksasi. (g) Menjahit untuk menutup luka biopsi. (h) Konfirmasi hemostasis daerah biopsi. Langkah-langkah melakukan biopsi punch antara lain: Pemilihan daerah tempat biopsi Gambar 2a Injeksi lokal anastesi Untuk daerah atau lesi dengan vaskularisasi yang tinggi (misalnya lidah atau bibir), sebaiknya

dipilih anastesi yang mengandung vasokonstriksi untuk meminimalisasi terjadinya perdarahan (misalnya lidokain yang mengandung epinephrin 1:50.000 atau 1:100.000). Anastesi sebaiknya diinjeksi pada tempat yang berdekatan dengan daerah tempat biopsi (gambar 2b) karena injeksi langsung pada daerah tempat biopsi akan menyebabkan distorsi artefak pada spesimen. Menentukan ukuran biopsi Diameter biopsi mukosa sebaiknya berukuran minimal 3 mm. Sejak fiksasi formalin hasil biopsi menyebabkan terjadinya penyusutan, maka untuk memastikan didapatkannya ukuran sampel yang edekuat maka direkomendasikan ukuran untuk biopsi punch adalah sebesar 4 atau 5 mm. Sedangkan kedalaman biopsi minimal 2 mm. Namun lesi oral praganas dan SCC lebih sering membutuhkan biopsi yang lebih dalam, hal ini disebabkan karena pada lesi ini terjadi penebalan garis epitel dan hiperkeratosis, sehingga kedalaman yang direkomendasikan adalah 4 atau 5 mm. Bevel dari cutting edge yang berukuran 1,5 mm (gambar 2c) dapat digunakan sebagai penunjuk kedalaman biopsi. Pengambilan sampel biopsi dengan biopsi punch Pada biopsi punch, punch dimasukkan secara perlahan pada mukosa dengan gerakan rotasi untuk mendapatkan potongan dengan kedalaman yang tepat (gambar 2d). Forcep jaringan dan scalpel digunakan untuk mengangkat sampel biopsi (gambar 2e). Jaringan yang telah dibiopsi kemudian ditempatkan pada potongan kertas yang bersih dengan permukaan jaringan penghubung diletakkan terbalik selama 1 menit (gambar 2f), hal ini untuk memastikan sampel terletak datar selama dilakukan fiksasi dan untuk mempersiapkan sampel untuk dilakukan pengujian (merupakan langkah penting). Setelah itu sampel diletakkan pada larutan fiksasi buffer formalin netral 10%. Banyaknya larutan fiksasi sebaiknya minimal 20 kali lebih besar dari ukuran sampel untuk mencegah kesalahan fiksasi atau terjadinya autolisis. Tidak ada larutan fiksasi yang dapat menggantikan fiksasi formalin. Alkohol, larutan desinfeksi permukaan, larutan anastesi lokal atau larutan kumur tidak dapat memfiksasi jaringan dengan tepat untuk pemeriksaan histologi. Memastikan hemostasis Jika memungkinkan, daerah tempat biopsi sebaiknya dijahit untuk menutup luka dan memastikan perolehan hemostasis yang tepat (gambar 2g dan 2h). Syarat dari jaringan yang dibiopsi Sampel biopsi sebaiknya selalu disertai dengan informasi klinis yang berhubungan dengan sampel misalnya riwayat dari displasia atau SCC, faktor resiko dari pasien, lokasi lesi, penampakan lesi, ukuran dan durasinya. Lagipula ketika sampel ini diambil, maka setiap sampel harus diletakkan dalam keadaan terpisah, dan diletakkan pada tempat yang telah diberi label. Jika memungkinkan pada sampel disertakan foto berwarna dari lesi tersebut untuk memfasilitasi kepentingan klinis dan korelasi patologis, kemudian sampel dan dokumentasi yang telah dibuat dikirim melalui kurir untuk meminimalisasi tertundanya pelaksanaan diagnosa dan mencegah terjadinya pembekuan jika sampel diletakkan dalam mailbox atau dibawa tanpa pengaturan suhu pada musim dingin. Makna displasia yang digunakan dalam laporan patologi dan manajemennya Evaluasi patologi tentang adanya displasia epitel dan tingkatannya (ringan, sedang, parah dan karsinoma in situ [CIS];gambar 3) digunakan untuk menilai resiko keganasan dari lesi oral praganas. Displasia tingkat rendah (ringan atau sedang) dan tingkat tinggi (displasia parah atau CIS) memiliki resiko yang berbeda untuk menjadi kanker jika tidak dirawat. Oleh karena itu maka displasia biasanya ditangani secara berbeda. Di BC, pasien dengan displasia tingkat tinggi dirujuk untuk menghilangkan lesi, sedangkan pasien dengan tingkat displasia yang rendah

diperiksa lebih jauh menggunakan peralatan tambahan. Pada masa yang akan datang, informasi dari hasil follow up yang dikumpulkan dengan menggunakan teknologi akan digunakan untuk mengevaluasi displasia tingkat rendah dengan kemungkinan yang besar untuk berprogresi menjadi kanker, hasilnya akan menjadi acuan mutu untuk melakukan intervensi dini dan monitoring lesi ini.

Gambar 3: Urutan gambaran histologi kanker mulut. Squamous Cell Carcinoma (SCC) yang dipercaya berasal dari perkembangan epitel hiperplasia yang mengalami peningkatan derajat displasia pada Carcinoma In Situ (CIS) dan akhirnya menjadi SCC.

Walaupun diagnosa SCC invasif pada umumnya bersifat terbuka, namun diagnosa patologi dari lesi oral pra-ganas merupakan suatu tantangan. Hasil tinjauan dari kriteria diagnosa displasia ini adalah untuk memperingatkan para dokter gigi akan kompleksnya kriteria lesi ini dan tingkat keparahannya. WHO telah membuat kriteria-kriteria dari displasia, termasuk gambaran arsitektural dan perubahan sitologik pada epitel yang mengalami displasia. Kriteria WHO tentang perubahan pada epitel antara lain: Stratifikasi epitel yang irreguler Hilangnya polaritas dari sel basal Penurunan bentuk dari ridge epitel Peningkatan jumlah dari mitosis Adanya mitosis yang abnormal yang tidak terbatas pada sel basal atau parabasal Keratinisasi dini dari sel tunggal (diskeratosis) Terbentuknya butiran keratin pada ridge epitel Kriteria WHO untuk perubahan sitologik pada epitel: Variasi yang abnormal pada ukuran nukleus (anisonucleosis) Variasi yang abnormal pada bentuk nukleus (nuclear pleomorpisme) Variasi yang abnormal dari ukuran sel (anisositosis) Variasi yang abnormal dari bentuk sel (seluler pleomorpisme) Peningkatan rasio nukleus-sitoplasma Peningkatan ukuran nukleus Gambaran mitosis atipikal Peningkatan jumlah dan ukuran dari nukleolus Hiperkromasi Penggolongan displasia bergantung pada luasnya perubahan displastik sel epitel yang terlibat. Pada kasus displasia ringan, sitologi dan perubahan arsitektural dibatasi oleh 1/3 ketebalan epitel. Sedangkan pada kasus displasia yang parah perubahan displastik mencapai lebih dari 2/3 ketebalan, tapi lebih tipis dari seluruh ketebalan epitel. Sel displasia dari CIS menduduki seluruh ketebalan dari epitel (yang berubah dari bawah ke atas), walaupun membran dasar masih tetap utuh, SCC yang invasif meliputi sel displastik yang meluas hingga stroma jaringan penghubung hingga ke membran dasar. Komplesitas dari kriteria diagnosa ini timbul dari berbagai macam faktor. Penilaian displasia

bersifat subjektif dan terbuka dalam interpretasinya. Misalnya, tidak ada persetujuan umum tentang perubahan jumlah dari intensitas kromatin yang dibutuhkan untuk mengklasifikasikan hiperkromatisme. Perubahan respon seluler dari trauma atau inflamasi dapat meyerupai perubahan pada displasia dan dapat mengacaukan diagnosa. Studi tentang batas relatif dari tiap kriteria histologi atau kombinasi dari kriteria untuk memprediksi progresi resiko kanker pada lesi oral pra-ganas sangat langka. Kelangkaan ini sangat tergantung pada faktor sulitnya mendiagnosa spesimen yang didapat atau faktor spesimen yang tidak dapat diketahui hasilnya dimana hasilnya dapat digunakan untuk melatih ahli patologi atau ahli patologi oral. Kekurangan ini juga bergantung pada kesulitan dalam mengukur secara objektif perubahan pada sel individu. Konsekuensinya, dalam menggolongkan patologi displasia yang akurat membutuhkan pengalaman yang cukup luas. Selanjutnya pengalaman dalam menggolongkan displasia pada suatu organ tidak dapat diaplikasikan ketika menggolongkan displasia pada organ lain. Contohnya seorang ahli patologi yang kaya pengalaman dalam menggolongkan displasia serviks uterus akan merasa tidak percaya diri dalam menggolongkan lesi pada oral. Sedangkan ahli patologi yang memiliki pengalaman terbatas dengan displasia oral akan meremehkan tingkat perubahan yang terjadi pada displasia oral. Jika memungkinkan sampel dari lesi oral pra-ganas yang dicurigai harus segera dikirim atau diperiksa oleh ahli patologi oral atau ahli patologi umum yang memiliki spesialisasi dibidang head and neck. Seorang klinisi harus mendiskusikan kasusnya dengan ahli patologi jika diagnosanya bertentangan dengan bukti klinis yang ada. Jika sampel tidak didiagnosa oleh seorang ahli patologi oral atau ahli patologi head and neck, maka klinisi bisa meminta pendapat kedua dari seorang spesialis. Pentingnya melakukan Follow-up pada kasus displasia Seluruh displasia oral harus di follow-up sedikitnya setahun sekali, walaupun lesi telah sama sekali dieksisi (tidak terlihat lagi sisa lesi secara klinis), dan tanpa memperhatikan apakah pasien telah berhenti menggunakan produk tembakau atau tidak. Banyak bukti yang bisa dilihat bahwa walaupun eksisi sudah dikonfirmasi secara klinis dan histologis, molekul klon dari sel yang telah berubah bisa saja masih ada dan kemudian beresiko menjadi displasia atau SCC. Oleh karena itu sangat penting untuk memfollow-up secara teratur daerah displasia sebelumnya, bahkan walau terlihat normal secara klinis. Follow-up per setengah tahun lebih baik lagi jika dilakukan. Lesi tersebut harus dibiopsi lagi jika perubahan klinis menjadi bukti keganasan. Akibat pemaparan karsinogen oleh karena rokok tembakau yang memiliki efek pada mulut (seluruh kavitas oral terkena), maka penampakan dari displasia pada suatu daerah mulut seringkali menjadi indikasi tanda perluasan suatu displasia atau SCC pada daerah mulut yang lain. Lesi ini bisa saja telah ada sebelumnya, tetapi bisa saja tidak nampak pada saat pemeriksaan. Untuk alasan ini, pemeriksaan follow-up harusnya tidak hanya dilakukan pada daerah bekas displasia, tapi sebaiknya pada seluruh kavitas oral. Pemeriksaan seharusnya dilakukan lebih teliti untuk mengecek perubahan klinis yang sangat kecil. Pada klinik displasia kami, kami menggunakan pemeriksaan visual tambahan secara teratur (toluidine biru dan tehnik visualisasi fluorescence) dalam memfollow-up pasien dengan displasia, hal ini untuk memfasilitasi dalam identifikasi perubahan klinis yang sangat kecil pada pasien dengan lesi pra-ganas atau kanker. Kesimpulan Diagnosa dan penilaian resiko lesi oral pra-ganas membutuhkan sebuah tim yang terdiri dari

klinisi dan ahli patologi yang masing-masing memiliki keahlian dibidangnya. Layanan pusat contohnya layanan biopsi pusat atau klinik displasia memegang peranan penting untuk memfasilitasi proses diagnosa tersebut. Diposkan oleh dogimu di 07.39 Tidak ada komentar:

Terjemahan Jurnal
Lesi White Spot Setelah Perawatan Ortodontik Abstrak Artikel ini menguraikan prevalensi dan distribusi white spot setelah perawatan ortodontik dan membahas penatalaksanaannya dalam fase post-ortodontik. Lesi white spot yang terdemineralisasi seringkali mengganggu setelah perawatan ortodontik, beberapa laporan menyatakan banyak gigi yang terkena, dan kurang lebih sepertiga pasien ortodontik memiliki sekurang-kurangnya satu lesi putih. Sebagian gigi lebih rentan terhadap demineralisasi, terutama gigi insisivus lateral rahang atas dan kaninus rahang bawah. Daerah distogingival permukaan email labial adalah bagian yang paling sering terkena. Pada beberapa minggu pertama setelah alat dilepaskan, terjadi reduksi ukuran lesi white spot yang berlipat ganda akibat remineralisasi, kurang lebih separuh lesi awal mengalami remineralisasi setelah 6 bulan tanpa perawatan khusus. Terdapat berbagai perawatan untuk membantu remineralisasi. Fluorida sebaiknya tidak diberikan dalam konsentrasi tinggi, karena dapat menghambat remineralisasi dan demineralisasi yang mengakibatkan staining yang mengganggu penglihatan. Fluorida konsentrasi rendah dapat membantu remineralisasi, namun dalam penelitian prospektif acak, hal ini tidak dapat dibuktikan. Bahan kasein kalsium fosfat dan stimulasi saliva menggunakan permen karet cukup efektif membantu remineralisasi, namun belum pernah dilakukan penelitian klinis untuk membuktikan manfaat remineralisasi alamiah tersebut. Untuk kasus-kasus parah, dianjurkan untuk melakukan mikroabrasi asam. Sumber: Seminars in Orthodontics, Vol 14, No 3 (September), 2008: pp 209-219 Lesi white spot dan demineralisasi email dapat terjadi selama perawatan dan terkadang, setelah beberapa periode perawatan ortodontik. Fenomena ini menjadi salah satu gangguan klinis sejak bonding braket ortodontik diperkenalkan. Prevalensi fenomena ini bervariasi, mulai dari 4,9% sampai 84% permukaan gigi. Dalam salah satu penelitian longitudinal, Mitchell menemukan prevalensi keseluruhan sebesar 18,5% permukaan gigi dan melaporkan bahwa presentase rata-rata daerah permukaan gigi yang terkena adalah 1,6%. Mizrahi menemukan prevalensi tinggi sebesar 84% yang mencerminkan fakta bahwa beliau mengukur semua lesi email berwarna putih (pra- dan post-perawatan) dan hasil tersebut dipengaruhi oleh kelompok pasien ini memiliki banyak lesi putih terdemineralisasi akibat faktor lingkungan lokal. Dalam suatu penelitian yang membandingkan beberapa bonding agent, Marcusson dkk, menemukan peningkatan lesi putih mulai dari 7,2% sebelum perawatan menjadi 24% dan 40,5% setelah perawatan, tergantung pada jenis bonding agent yang digunakan. Dalam suatu penelitian prospektif terkontrol tentang elastomer yang melepaskan fluoride, Banks dkk, melaporkan prevalensi sebesar 26% pada semua gigi dalam kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan. Beberapa tahun lalu, telah dibuktikan bahwa oral higiene dan pemakaian fluorida topikal selama perawatan dapat mengurangi prevalensi lesi white spot terdemineralisasi post-ortodontik. Dalam tinjauan pustaka sistematik terbaru, Benson dkk, menyimpulkan terdapat beberapa bukti yang

menunjukkan bahwa penggunaan larutan kumur sodium fluorida setiap hari atau semen glass ionomer untuk melekatkan alat dapat mengurangi insiden dan keparahan lesi white spot. Sebelum perawatan, pasien ortodontik mungkin saja memiliki lesi demineralisasi berwarna putih, namun tidak semua lesi putih adalah karies dan lesi yang berhubungan dengan demineralisasi. Luasnya variasi prevalensi yang dilaporkan dipengaruhi oleh variasi metode yang digunakan untuk mengukur dan menilai terjadinya demineralisasi, serta apakah lesi email developmental atau idiopatik lainnya, faktor lingkungan lokal dan aplikasi fluorida selama perawatan disertakan atau dieksklusikan. Keberadaan lesi sebelum perawatan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan lokal. Dalam desain penelitian cross-sectional (pasien ortodontik setelah perawatan dibandingkan dengan kelompok pasien lain yang belum pernah menjalani perawatan ortodontik), sulit untuk membedakan white spot idiopatik dengan demineralisasi, yang meningkatkan pengukuran prevalensi secara semu. Zachrisson dan Zachrisson, serta Zachrisson memanfaatkan desain longitudinal dan hanya mencatat lesi-lesi putih yang baru terbentuk. Meskipun demikian, mereka menemukan prevalensi, masing-masing, sebesar 89% dan 15%. Strateman dan Shannon, serta Mizrahi menggunakan foto untuk mendukung pemeriksaan klinisnya. Hasil penelitian mereka lebih baik jika menghitung gigi-geligi, bukan permukaan gigi, dan mereka menemukan prevalensi sebesar 0% sampai 24%. Gorelick dkk, tidak dapat mendeteksi selisih prevalensi pembentukan lesi white spot jika dihubungkan dengan lama waktu perawatan. Mizrahi menemukan prevalensi lesi yang lebih tinggi setelah perawatan ortodontik pada subyek pria dan wanita, namun tidak ada perbedaan prevalensi opasitas berwarna putih sebelum perawatan. Wisth dan Nord menunjukkan proporsi lesi karies permukaan bukal dan lingual yang lebih tinggi pada individu yang menjalani perawatan ortodontik jika dibandingkan dengan kontrol. Diduga, metode yang digunakan untuk mengukur dan menilai keberadaan demineralisasi lebih mempengaruhi prevalensi yang ditemukan dibandingkan dengan penggunaan band, perlekatan bonding atau medikamen fluorida. Dalam salah satu penelitian di Sheffield, dalam semua kasus penelitian selama lebih dari 5 tahun, prevalensi rata-rata lesi putih terdemineralisasi postortodontik yang dinyatakan sebagai presentase permukaan gigi yang terkena adalah 7,3%. Dari 657 subyek debonding yang diperiksa, 239 (36%) diantaranya memiliki satu atau beberapa lesi yang disebabkan oleh perawatan ortodontik. Dalam penelitian kasus terkontrol tersebut, prevalensi lesi yang disebabkan oleh perawatan ortodontik, secara signifikan, lebih tinggi pada lengkung rahang yang dirawat ortodontik (P < 0.01) dibandingkan dengan lengkung rahang kontrol pada pasien yang sama. Setelah perawatan ortodontik, prevalensi lesi putih terdemineralisasi sangat tinggi. Lokasi White Spot Setelah Perawatan Ortodontik Telah dilakukan beberapa penelitian di lokasi lesi, yaitu pada permukaan email labial. Penelitianpenelitian terdahulu menyelidiki distribusi lesi white spot ini sebagai bagian penyelidikan yang lebih luas. Sebagian penelitian tersebut ditujukan untuk mengkuantifikasi resiko pada pasien ortodontik. Sebagian besar penelitian tersebut memanfaatkan pemberian skor visual secara langsung. Lokasi tepat lesi putih dan perluasannya ke kuadran dan kelompok gigi lain belum diuraikan dalam literatur. Mizrahi memeriksa distribusi lesi email pada permukaan gigi setelah perawatan ortodontik, menggunakan sistem opacity index scoring. Penemuan beliau menunjukkan bahwa setelah perawatan ortodontik cekat, terjadi peningkatan insiden dan keparahan lesi email putih pada permukaan vestibular dan lingual gigi. Terjadi peningkatan prevalensi yang signifikan pada sepertiga servikal dan tengah mahkota gigi. Peningkatan

tertinggi ditemukan pada sepertiga servikal dan tengah mahkota gigi molar satu rahang atas dan bawah, gigi insisivus lateral rahang atas, gigi insisivus lateral dan kaninus rahang bawah, terutama pada permukaan vestibular. Secara umum, literatur tidak menguraikan dengan jelas penelitian-penelitian yang menilai dan mengukur perluasan atau permukaan lesi semacam itu pada gigi yang terkena. Di Sheffield, Samawi menyelidiki pola lokasi dan permukaan lesi email berwarna putih, biasanya ditemukan pada permukaan labial gigi-geligi anterior, setelah perawatan ortodontik menggunakan alat cekat yang di-bonding, mereka menggunakan analisis foto komputerisasi. Desain penelitian tersebut adalah analisis observasional retrospektif pada kasus-kasus perawatan ortodontik di University dental teaching hospital. Penelitian tersebut menggunakan catatan foto digital 23 subyek (274 gigi) yang telah menyelesaikan perawatan ortodontik menggunakan alat cekat. Para subyek telah didiagnosis memiliki lesi email demineralisasi pada gigi-geligi anteriornya. Gambaran foto praperawatan digunakan untuk mengeksklusikan lesi putih yang telah dimiliki subyek. Software komputer digunakan untuk memetakan foto dan membagi setiap permukaan labial gigi menjadi beberapa kuadran (Gambar 1). Pengulangan penelitian dilakukan untuk mengukur random error dan bias sistematik intra-pemeriksa. Hasil pengukuran adalah lokasi dan luas permukaan lesi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa demineralisasi email white spot pasca perawatan ortodonsi disertai oleh suatu pola yang berhubungan dengan luas permukaan labial pada gigigeligi anterior yang terkena. Gambar 1. Lesi white spot terlihat pada permukaan labial gigi insisivus sentralis sampel menggunakan program analisis foto. Ditampilkan juga pembagian permukaan labial menjadi empat kuadran menggunakan program makro. Luas permukaan lesi tergantung pada jenis gigi dan apakah berada dalam lengkung rahang atas ataupun bawah (P = 0.014; Gambar 2). Lesi yang lebih luas ditemukan pada kuadran gingiva terutama pada gigi insisivus sentralis dan lateral rahang atas. Lesi pada kuadran gingiva memiliki luas permukaan rata-rata yang lebih besar dibandingkan dengan lesi pada kuadran oklusal (P = 0.001). Gigi-geligi anterior rahang atas memiliki luas permukaan demineralisasi rata-rata yang lebih besar dibandingkan dengan gigi-geligi anterior pada lengkung rahang bawah. Kuadran distogingiva gigi-geligi insisivus lateral rahang atas lebih sering terkena dibandingkan dengan kuadran mesiogingival kelompok gigi tersebut. Tidak ditemukan selisih yang signifikan antara sisi kanan dan kiri. Gambar 2. Histogram yang menunjukkan presentase kuadran yang memiliki lesi pada setiap kelompok gigi. Mo: mesio-oklusal; do: disto-oklusal; dg: distogingival; mg: mesio-gingival. Remineralisasi dan Regresi White Spot Jelas, metode terbaik selama perawatan ortodontik adalah mencegah pembentukan lesi. Namun, jika telah terbentuk, lesi-lesi awal tersebut terlihat sebagai suatu demineralisasi permukaan bukan suatu lesi sub-permukaan yang memiliki permukaan utuh. Remineralisasi lesi putih ini merupakan suatu fenomena alamiah yang membalik lesi karies awal. Faktor-faktor yang terlibat telah dideskripsikan dalam pembahasan yang ditulis oleh Leach. Mineral email gigi sama dengan mineral dalam lingkungan dan saliva, yang mengandung semua elemen yang dibutuhkan untuk pembentukan kristal hidroksiapatit. Secara alamiah, demineralisasi dan remineralisasi terjadi secara bergantian. Salah satu contohnya adalah maturasi email gigi yang terjadi segera setelah gigi erupsi. Pemeriksaan sekelompok anak berusia 9 tahun menunjukkan 72 lesi putih karies, yang didokumentasikan dengan baik. Enam tahun kemudian, 50% lesi tersebut menghilang, hal

ini menunjukkan terjadinya remineralisasi. Remineralisasi bervariasi antar subyek dan dari setiap bagian dalam rongga mulut. Penelitian-penelitian tersebut menujukkan remineralisasi rata-rata sebesar 20 sampai 30% selama 2 minggu (yang diukur sebagai presentase selisih mineral). Terkadang, besarnya remineralisasi tidak dapat mengatasi demineralisasi secara keseluruhan, meskipun terdapat agen-agen yang efektif. Setelah unsur logam dalam alat ortodontik cekat dilepaskan, terjadi regresi lesi pasca perawatan ortodontik karena terdapat faktor-faktor etiologi lain yang mendukung. Gambar 3. Diagram yang menunjukkan perubahan nilai mean daerah white spot setelah alat cekat dilepaskan sampai 28 minggu dalam salah satu kasus pada penelitian ini. Dengan menggunakan sinar terpolarisasi dan filter/penyaring, kita dapat memperoleh foto lesi white spot tanpa refleksi sinar, yang mempersulit pemrosesan foto. Pengukuran longitudinal ukuran lesi white spot menggunakan metode semacam itu membuktikan bahwa terjadi reduksi ukuran lesi putih dari waktu ke waktu. Diagram dalam Gambar 3 menunjukkan reduksi luas lesi pada beberapa kasus dalam penelitian Sheffield. Diagram tersebut menunjukkan reduksi luas white spot pasca perawatan ortodontik yang berlipat ganda seiring dengan waktu, dapat dipastikan hal ini terjadi akibat remineralisasi email. Dalam salah satu penelitian yang memanfaatkan ukuran lesi sebagai hasil pengukuran dari 9 subyek yang pernah memiliki lesi white spot setelah perawatan ortodontik menggunakan piranti cekat, ukuran rata-rata lesi saat proses debonding adalah 2,72 mm2 (SD + 1,72). Setelah 26 minggu, ukuran rata-ratanya menjadi 1,30 mm2 (SD + 3,40). Dengan menggunakan uji t tak-berpasangan, perubahan tersebut dinyatakan signifikan (P = 0.037). Dalam sebagian besar kasus, reduksi ukuran lesi dengan cepat terjadi selama 12 minggu pertama setelah alat dilepaskan. Dalam empat kasus yang diteliti selama lebih dari 26 minggu, hanya sedikit reduksi yang terjadi. Sebagian besar reduksi terjadi dalam 12 minggu pertama setelah alat dilepaskan. Ukuran lesi mengecil kurang lebih 1/3 setelah 12 minggu dan 1/2 dari ukuran lesi awal setelah 26 minggu. Penelitian terbaru menggunakan fluorosensi sinar menunjukkan bahwa lesi-lesi kecil segera membaik pada 6 minggu setelah debonding (P < 0.01) dan mengalami perbaikan lebih lanjut setelah 6 bulan (P < 0.01) hal ini membuktikan hasil penelitian Willmont, namun menggunakan teknik pencitraan yang berbeda. Jelas bahwa ukuran lesi berwarna putih yang tidak dirawat setelah alat ortodontik cekat dilepaskan, secara alamiah, akan berkurang tanpa perawatan.

Perawatan Lesi White Spot Setelah Piranti Cekat Dilepaskan Ogaard dkk, memperingatkan tentang perawatan lesi putih yang tampak pada permukaan labial menggunakan agen fluorida konsentrat, karena langkah ini akan menghambat demineralisasi dan remineralisasi dalam lesi karena terjadi hipermineralisasi permukaan. Mereka menganjurkan proses remineralisasi oleh saliva, karena akan menghasilkan perbaikan yang lebih besar dan penampakan lesi berkurang. Penggunaan fluorida dosis tinggi jelas akan menghambat proses karies, yang ideal untuk lesi karies posterior, namun lesi white spot akibat perawatan ortodontik menimbulkan gangguan kosmetis dan regresi adalah tujuan terapinya. Jika digunakan fluorida dosis tinggi secara lokal, lesi yang terbentuk akan bertahan pada ukuran yang sama dan kemudian menjadi tak terlihat serta terwarnai oleh debris organik. Gambar 4 menunjukkan gigi kaninus kanan rahang bawah yang memiliki lesi white spot akibat perawatan ortodontik, yang dirawat menggunakan varnish fluorida saat proses debonding. Lesi tidak mengalami regresi dan berwarna kecoklatan.

Gambar 4. Menunjukkan gigi kaninus kanan rahang bawah, yang memiliki lesi white spot ortodontik yang dirawat saat debonding menggunakan varnish fluoride dosis tinggi. Lesi belum mengalami regresi dan berwarna kecoklatan. Remineralisasi alamiah juga menghasilkan resistensi yang lebih besar terhadap disolusi/proses pelarutan karena selama remineralisasi, komponen-komponen akan digantikan oleh substansi larut yang memiliki kristal-kristal berukuran lebih besar. Hal ini mengakibatkan penghambatan jalur difusi email oleh kristal hidroksiapatit akibat hipermineralisasi. Namun, para peneliti di bidang ini merekomendasikan proses remineralisasi lesi-lesi berukuran kecil menggunakan sediaan fluorida dosis rendah. Mereka membuktikan bahwa lesi yang ukurannya kurang dari 60 mm dapat diremineralisasi menggunakan sediaan tersebut. Untuk menghindari lesi tertahan dan mempertebal lapisan permukaan, beberapa peneliti menganjurkan aplikasi fluorida dosis rendah untuk meningkatkan remineralisasi sub-permukaan. Lee Linton membuktikan bahwa larutan kumur berfluorida 50 ppm lebih efisiensi untuk remineralisasi dibandingkan dengan larutan kontrol atau larutan kumur biasa yang mengandung 250 ppm. Untuk lesi pada permukaan labial, aplikasi fluorida konsentrat digunakan untuk mencegah perkembangan lebih lanjut. Telah dibuktikan bahwa lesi yang dirawat dengan etsa asam fluorida dapat memicu remineralisasi lesi oleh cairan rongga mulut. Gunakan Larutan Kumur Yang Mengandung Fluorida Dosis Rendah Dalam penelitian yang dilakukan di Sheffield, tujuannya adalah membandingkan proses demineralisasi lesi putih pasca perawatan ortodontik jika diberi perlakuan dengan larutan kumur/pasta gigi, dalam kombinasi formulasi larutan kumur uji yang mengandung fluroida dosis rendah (50 ppm) atau kombinasi larutan kumur/pasta gigi kontrol bebas-fluorida. Desain penelitian adalah eksperimen klinis random-terkontrol, double blind dan prospektif di Klinik Ortodonsi University Dental School. Peserta terdiri dari 26 pasien yang dinyatakan memiliki lesi putih terdemineralisasi pasca perawatan ortodontik, saat piranti cekatnya dilepaskan. Pada awal penelitian, mereka diberi perlakuan secara acak dan blind, yaitu perlakuan dengan larutan kumur/pasta gigi berfluorida atau larutan kumur/pasta gigi kontrol inaktif yang identik dengan perlakuan tanpa fluorida. Analisis foto komputerisasi dari foto-foto terkalibrasi yang diambil di bawah sinar polarisasi digunakan untuk mengukur lesi. Hasil pengukuran tersebut adalah ukuran lesi aktual yang dinilai melalui analisis foto dan ukuran proporsional yang digunakan untuk mengeliminasi kesalahan kalibrasi disebut sebagai selisih presentase reduksi rata-rata (average difference percentage reduction /ADPR). Pengukuran tersebut dilakukan saat proses debonding serta pada 12 dan 26 minggu setelah debonding pada semua peserta. Pada akhir prosedur, terdapat 5 peserta yang dikeluarkan dari penelitian; 12 peserta diberi perlakuan dengan fluorida dosis rendah dan 9 peserta tidak. Setelah membuka kode randomisasi, terdapat 12 peserta yang diberi perlakuan dengan larutan kumur/pasta gigi dosis rendah yang aktif dan 9 peserta lainnya diberi perlakuan kontrol non-aktif. Setelah 12 minggu, ukuran proporsional (ADPR) para peserta yang diberi kombinasi larutan kumur/pasta gigi uji remineralisasi secara blinded([n = 12) adalah 40,0%, dan pada para peserta yang diberi perlakuan kontrol (n = 9) memiliki ADPR sebesar 51,5%. Tidak diperoleh selisih yang signifikan antara kedua kelompok. Maka disimpulkan bahwa ukuran white spot terdemineralisasi pasca perawatan ortodontik berkurang sekitar separuh ukuran awalnya dalam waktu 6 bulan setelah diberi perawatan, namun penggunaan formulasi larutan kumur/pasta gigi berfluorida dalam penelitian ini tidak memberikan manfaat klinis. Gambar 5. Grafik perubahan presentase permukaan labial gigi yang mengalami demineralisasi

berwarna putih seiring dengan waktu (DWL%t) pada empat gigi dalam satu subyek dari penelitian klinis random di Sheffield. Tanda hitam tebal menunjukkan perubahan proporsi dari waktu ke waktu sebagai nilai rata-rata lesi pada keempat gigi, yaitu gigi insisivus sentralis dan lateralis kanan rahang atas dan bawah. Dari kurva rata-rata, presentase permukaan gigi yang terkena pada 0. 12 dan 26 minggu berhasil diidentifikasi. Sehingga, selisih antara 0 sampai 12 minggu dan 0 sampai 26 minggu dapat dihitung. Untuk kasus ini, presentase reduksi rata-rata adalah 6,2% (11,8 5,6) dan 7.5% (11,8 4,3), masing-masing, pada 12 dan 26 minggu. Pada 21 subyek yang menjalani pengukuran secara lengkap, dalam bentuk presentase daerah labial gigi total, ukuran rata-rata lesi saat proses debonding adalah 8,1% (SD + 3,7). Setelah 12 minggu, ukuran rata-rata lesi berkurang menjadi 4,6% (SD + 2,6), yang merupakan reduksi signifikan (P = 0). Setelah 26 minggu, ukuran rata-rata lesi adalah 3,5% (SD + 2,1), dinyatakan sebagai reduksi yang sangat signifikan (P < 0.003). Secara statistik, lesi putih terdemineralisasi yang terbentuk setelah perawatan ortodontik berkurang seiring dengan waktu, hal ini merefleksikan remineralisasi atau perubahan permukaan email lainnya. Gambar 5 menunjukkan diagram kombinasi ukuran lesi terhadap waktu setelah proses debonding dari salah satu kasus dalam penelitian ini. Namun, penelitian ini tidak membuktikan efek terapeutik sediaan fluorida dosis rendah (< 50 ppm) seperti yang ditemukan oleh peneliti lainnya. Besar sampel yang digunakan tidak cukup untuk mendeteksi selisih proporsi lesi yang lebih dari 30%, antara kedua kelompok. Harus dipertimbangkan bahwa perekrutan peserta lebih banyak dalam penelitian ini tidak dapat membuktikan efek klinis penggunaan fluorida dosis rendah karena ukuran lesi rata-rata kedua kelompok, yang dikombinasikan menggunakan beberapa pertimbangan, adalah 3,06 mm2 saat debonding dan 1,32 mm2 saat pencatatan akhir. Secara klinis dan visual, efek terapeutik kurang dari 30% dinyatakan tidak signifikan. Dalam penelitian klinis tersebut, pengurangan ukuran dari waktu ke waktu diukur sebagai proporsi yang digambarkan dalam bentuk diagram menunjukkan reduksi ganda daerah lesi putih yang ditemukan dalam penelitian longitudinal sebelumnya dan dilaporkan dalam penelitian karies. Reduksi tersebut sama dengan hasil penelitian yang dilaporkan menggunakan teknik pengukuran berbeda, yaitu fluorosensi sinar kuantitatif (quantitative light-induced fluoroscence/QLF) dalam suatu penelitian in vitro serupa. Hasil analisis foto sinar tampak dan metodologi fluorosensi laser menunjukkan reduksi ukuran lesi yang sama setelah debonding, diduga disebabkan oleh remineralisasi permukaan email. Baru-baru ini, para peneliti yang menggunakan metode fluorosensi sinar untuk mengukur luas lesi tidak dapat membuktikan manfaat klinis antara pembersihan oleh profesional atau instruksi oral higiene saja. Namun, mereka membuktikan reduksi ukuran lesi secara alamiah dalam kedua kelompok seiring dengan waktu. Penggunaan Casein Phosphopeptide Amorphous Calcium Phosphate (CPP-ACP) Pada tahun 1980an, Reynold menarik perhatian dengan mengungkapkan fakta bahwa kalsium fosfat amorf kasein fosfopeptida, yang merupakan salah satu produk dari kasein susu, mampu masuk ke dalam permukaan email dan mempengaruhi proses karies. CPP-ACP adalah suatu sistem pengangkutan dimana ion kalsium dan fosfat yang tersedia bebas dapat melekat pada email dan berubah bentuk menjadi kristal kalsium fosfat. Ion kalsium dan fosfat bebas keluar dari CPP-ACP, masuk ke dalam enamel rod dan membentuk kristal apatit. Telah diproduksi sejumlah media untuk menghasilkan CPP-ACP, seperti water-based mousse, krim topikal,

permen karet, larutan kumur, dan tablet bebas-gula. Bahan-bahan tersebut dijual dengan merek Recaldent. Beberapa penelitian tentang pengaruh CPP-ACP menunjukkan peningkatan remineralisasi email sesuai-dosis dalam lesi yang terdemineralisasi. Gambar 6. Pasien E memakai retainer termoplastik yang diisi oleh Recaldent GC Tooth Mousse (krim CPP-ACP) dan dipakai pada malam hari sebagai bagian dari prosedur retensi. Di Sheffield, dikembangkan penelitian klinis menggunakan mousse (GC Tooth Mousse; Recaldent, Newport Pagnell, UK) untuk merawat lesi pasca ortodontik menggunakan retainer termoplastik sebagai metode penghantaran. Gambar 6 menunjukkan pasien yang memakai retainer termoplastik dimana mousse CPP-ACP sebesar biji polong diaplikasikan secara merata. Pasien memakai mousse pada malam hari dan retainer selama tidur. Gambar 7. (A) Gambar intraoral kiri pasien E saat alat cekat dilepaskan (debonding). (B) Gambar intraoral kiri pasien E tiga bulan setelah debonding dan memakai retainer termoplastik dan Recaldent GC Tooth Mousse (casein phosphopeptide amorphous calcium phosphate, atau krim CPP-ACP) diaplikasikan sebelum istirahat. Gambar 7 menunjukkan kondisi gigi-geligi saat proses debonding, terlihat lesi white spot, dan 3 bulan setelah perawatan. Terlihat jelas bahwa lesi telah mengecil namun belum ada penelitian serupa yang membuktikan bahwa regresi tersebut lebih besar dibandingkan regresi yang terjadi secara alamiah. Gambar 8 menunjukkan foto intraoral seorang pasien yang menjalani perawatan serupa pada 1 minggu, 4 minggu, dan 12 minggu setelah debonding. Sejauh ini, tidak ada efek merugikan dari bahan-bahan tersebut dan beberapa laporan penelitian in vitro juga meyakinkan bahwa remineralisasi email membawa manfaat bagi pasien yang memiliki white spot demineralisasi pasca perawatan ortodontik. Gambar 8. (A) Pasien H saat debonding. (B) Pasien H 1 minggu setelah perawatan menggunakan CPP-ACP mousse. (C) Pasien H, 4 minggu setelah perawatan menggunakan CPP-ACP mousse. (D) Pasien H, 12 minggu setelah perawatan menggunakan CPP-ACP mousse. Permen Karet untuk Memicu Remineralisasi Untuk beberapa waktu, konsumsi permen karet dianjurkan untuk membantuk remineralisasi email. Pada pasien non-ortodontik, mengunyah permen karet yang mengandung sorbitol selama 20 menit, 5 kali sehari selama 3 minggu, menunjukkan remineralisasi signifikan pada email yang terdemineralisasi jika dibandingkan dengan kontrol yang tidak mengkonsumsi permen karet. Penggunaan xylitol sebagai salah satu pemanis alternatif lebih unggul dibandingkan dengan sorbitol karena berpotensi mengandung sifat anti-karies. Telah dibuktikan bahwa xylitol dapat mempengaruhi proses demineralisasi dan remineralisasi email secara langsung. CPP-ACP digunakan dalam formulasi permen karet untuk meningkatkan remineralisasi. Beberapa penelitian in vitro menemukan peningkatan remineralisasi, namun metodologi sebagian eksperimen tersebut dipertanyakan. Telah disetujui bahwa efek remineralisasi yang diperoleh dari permen karet menghasilkan stimulasi saliva dalam jumlah besar. Konsumsi permen karet bebas-gula dianjurkan setelah piranti ortodontik lepasan ataupun cekat dilepaskan, meskipun belum ada informasi kuantitatif yang menunjukkan efek menguntungkan yang signifikan, dibandingkan dengan remineralisasi alamiah. Terdapat beberapa indikasi bahwa efek semacam itu ada.

Mikro-abrasi Mikro-abrasi memiliki berbagai aplikasi dan digunakan secara luas untuk menghilangkan defek email non-karies superfisial. Baru-baru ini, teknik mikro-abrasi juga dianjurkan untuk membersihkan lesi putih demineralisasi pasca perawatan ortodontik. Beberapa penelitian kuantitatif menilai keberhasilan teknik mikro-abrasi dalam memperbaiki tampilan kosmetis lesi email terdemineralisasi pasca perawatan ortodontik. Keefektifannya dalam mengatasi berbagai lesi email hanyalah anekdotal dan empiris. Murphy dkk, melakukan suatu penelitian untuk mengkuantifikasi perubahan luas lesi email demineralisasi pasca perawatan ortodontik setelah mikro-abrasi. Kelompok penelitian terdiri dari 8 pasien ortodontik yang memiliki berbagai lesi email dekalsifikasi setelah terapi ortodontik cekat. Pada setiap pasien, dipilih dua daerah demineralisasi secara acak untuk diberi perlakuan. Mikro-abrasi dilakukan pada lesi-lesi tersebut menggunakan asam hidroklorik 18% dan teknik pumis. Dilakukan pemotretan lesi terstandardisasi sebelum dan segera setelah mikro-abrasi. Digunakan software pengolah-foto untuk mengkuantifikasi ukuran daerah lesi yang terlihat mengalami demineralisasi , dalam satuan mm2, sebelum dan setelah mikro-abrasi. Luas permukaan labial secara keseluruhan setiap gigi juga ditentukan dan daerah yang mengalami demineralisasi dinyatakan sebagai presentase permukaan gigi keseluruhan. Foto-foto dianalisis kembali satu bulan kemudian untuk menentukan repeatabilitas metode tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa mikro-abrasi mengurangi email yang terdemineralisasi secara signifikan ( < 0.001) Reduksi rata-rata ukuran lesi setelah perawatan adalah 83% (D + 2%; kisaran 61-92%). Metodologi kuantifikasi dinyatakan memiliki repeatabilitas yang tinggi. Gambar 9 menunjukkan foto lesi sebelum dan sesudah aplikasi teknik mikro-abrasi dalam penelitian. Mikro-abrasi terbukti sebagai salah satu metode perawatan efektif untuk memperbaiki kosmetik lesi email terdemineralisasi pasca perawatan ortodontik. Gambar 9. Foto klinis yang menunjukkan lesi white spot parah-jangka panjang yang dirawat menggunakan teknik mikro-abrasi. (A) Gigi insisivus sentralis rahang atas sebelum mikro-abrasi. (B) Gigi insisivus sentralis rahang atas setelah mikro-abrasi. KESIMPULAN Prevalensi lesi putih terdemineralisasi setelah perawatan ortodontik sangat tinggi. 1. Lesi yang berukuran lebih besar ditemukan pada kuadran gingiva, terutama pada gigi insisivus sentralis dan lateral rahang atas. Lesi-lesi pada kuadran gingiva memiliki luas permukaan ratarata yang lebih besar dibandingkan dengan lesi pada kuadran oklusal. 2. Jelas bahwa ukuran lesi putih yang tidak dirawat setelah alat ortodontik cekat dilepaskan akan berkurang secara alamiah tanpa perawatan apapun. 3. Untuk lesi white spot pada permukaan labial gigi setelah perawatan ortodontik, aplikasi agen fluorida konsentrat tidak dianjurkan. Prosedur tersebut akan membatasi potensi remineralisasi sehingga ukuran white spot tidak berkurang secara alamiah dan tidak terlihat akibat proses staining. 4. Untuk lesi pada permukaan lainnya, aplikasi fluorida konsentrat dianjurkan untuk mencegah perkembangan lebih lanjut. 5. Materi casein phosphopeptide amorphous calcium phosphate berpotensi meningkatkan remineralisasi. Sejauh ini, tidak ada efek membahayakan dari materi tersebut dan beberapa laporan penelitian in vitro menyatakan bahwa remineralisasi email bermanfaat bagi pasien yang memiliki lesi white spot terdemineralisasi pasca perawatan ortodontik.

6. Konsumsi permen karet bebas-gula dianjurkan setelah alat ortodontik cekat dilepaskan, meskipun belum ada informasi kuantitatif yang menunjukkan efek klinis yang lebih besar dibandingkan remineralisasi alamiah. Terdapat beberapa indikasi bahwa efek semacam itu ada. 7. Mikro-abrasi merupakan salah satu metode perawatan yang efektif untuk perbaikan kosmetis lesi email terdemineralisasi pasca perawatan ortodontik.

Anda mungkin juga menyukai