Anda di halaman 1dari 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Indeks Massa Tubuh Indeks massa tubuh (IMT) merupakan nilai yang diambil dari perhitungan antara berat badan dan tinggi badan seseorang, serta dapat menjadi indikator adipositas dalam tubuh seseorang. IMT tidak mengukur lemak tubuh secara langsung, tetapi IMT berkorelasi dengan pengukuran lemak tubuh. IMT dihitung berdasarkan berat badan (kg) dibagi kuadrat dari tinggi badan (m) (7,8). Klasifikasi terbaru IMT telah diperkenalkan oleh WHO dan dipublikasikan pada tahun 2000 (8). Klasifikasi tersebut ditunjukkan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Klasifikasi indeks massa tubuh (8). Klasifikasi Underweight Kurus tingkat berat Kurus tingkat sedang Kurus tingkat ringan Normal Overweight Pre-obese Obesitas Obesitas tingkat I Obesitas tingkat II Obesitas tingkat III IMT(kg/m2) Principal cut-off points Additional cut-off points <18,50 <18,50 <16,00 <16,00 16,00 16,99 16,00 16,99 17,00 18,49 17,00 18,49 18,50 24,99 18,50 22,99 23,00 24,99 25,00 25,00 25,00 29,99 25,00 27,49 27,50 29,99 30,00 30,00 30,00 34,99 30,00 32,49 32,50 34,99 35,00 39,99 35,00 37,49 37,50 39,99 40,00 40,00

IMT memberikan ukuran yang baik untuk mengukur tingkat obesitas. Namun, IMT tidak memberikan informasi aktual tentang komposisi tubuh (yaitu proporsi otot, tulang, lemak, dan jaringan lainnya yang membentuk berat badan tubuh total), dan mungkin tidak bisa menjadi indikator paling tepat untuk menentukan status kesehatan bagi kelompok-kelompok tertentu. Sebagai contoh, atlet dengan tulang padat dan otot berkembang dengan baik atau orang dengan bentuk tubuh yang besar mungkin menjadi gemuk apabila diukur dengan standar IMT (yaitu mereka memiliki IMT > 30), tetapi hanya memiliki sedikit lemak di tubuh. Di sisi lain, orang tidak aktif mungkin tampaknya memiliki bobot normal, padahal mereka mungkin memiliki banyak lemak dalam tubuhnya. IMT juga mempunyai keterbatasan, yaitu tidak dapat digunakan bagi anak-anak dalam masa pertumbuhan, wanita hamil, dan orang yang sangat berotot, seperti atlet (9,10,11). Peningkatan konsumsi makanan dengan nutrisi yang kurang tetapi mengandung kadar gula dan saturasi lemak yang tinggi, ditambah dengan aktivitas fisik yang kurang, akan mengakibatkan obesitas. Epidemik obesitas tidak terbatas hanya pada negara industri, tetapi jauh lebih meningkat pada negara berkembang. Obesitas dan overweight merupakan faktor risiko utama untuk sejumlah penyakit kronis seperti diabetes, penyakit jantung, dan kanker. Sebelumnya obesitas hanya dianggap masalah di negara berpenghasilan tinggi, tetapi sekarang jumlah penderita obesitas dan overweight semakin meningkat di negara berpenghasilan rendah dan menengah, khususnya di perkotaan (8). Shekharappa et al. menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara IMT overweight dengan peningkatan denyut jantung. Hirsch et al. menunjukkan bahwa

denyut jantung meningkat dengan peningkatan persentase lemak tubuh. Peningkatan 10% berat badan dikaitkan dengan penurunan stimulasi saraf parasimpatis disertai dengan kenaikan rata-rata denyut jantung. Juga terdapat peningkatan signifikan secara statistik pada tekanan darah sistolik pada subyek yang obesitas jika dibandingkan dengan subyek yang tidak obesitas, dengan peningkatan rata-rata tekanan sistolik darah sebesar 15,4 mmHg. Demikian pula terdapat peningkatan yang signifikan secara statistik pada tekanan darah diastolik pada obesitas bila dibandingkan dengan yang tidak obesitas, dengan peningkatan rata-rata tekanan darah sebesar 6,6 mmHg, juga terdapat korelasi positif antara bertambahnya IMT dengan peningkatan konsisten pada tekanan darah sistolik, diastolik, dan tekanan arteri rata-rata. Faktor yang mengakibatkan peningkatan tekanan darah pada obesitas adalah peningkatan volume darah total dan output jantung yang disebabkan oleh metabolisme meningkat akibat kelebihan berat badan, serta peningkatan resistensi pembuluh darah perifer (12). Tingginya IMT juga memiliki korelasi yang kuat dengan peningkatan trigliserida, kolesterol low-density lipoprotein (LDL), namun diikuti penurunan kolesterol high-density lipoprotein (HDL). Selain itu IMT yang tinggi berhubungan juga dengan kelainan metabolik, dimana resistensi insulin merupakan kuncinya. Sindrom metabolik menunjukkan kumpulan kelainan metabolik yang merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular. Kelainan metabolik ini termasuk resistensi insulin, gangguan toleransi glukosa, diabetes melitus tipe II, dislipidemia, dan peningkatan tekanan darah (13,14,15).

B. Tekanan Nadi Tekanan nadi merupakan hasil dari kekuatan ejeksi jantung dan sirkulasi arteri. Tekanan nadi didapatkan dari hasil pengukuran tekanan darah dan merupakan hasil selisih dari tekanan darah sistolik dan diastolik. Perbedaan tekanan nadi dan tekanan darah adalah bahwa tekanan darah hanya mengukur tekanan maksimal aorta sebelum fase ejeksi dan tekanan minimal aorta setelah fase ejeksi, sedangkan tekanan nadi mengukur selisih antara keduanya yang dapat menggambarkan elastisitas pembuluh darah sebelum fase ejeksi ataupun setelah fase ejeksi (16). Tekanan nadi dihitung dari tekanan darah sistolik dan diastolik. Tekanan darah dapat diukur dengan alat sfigmomanometer. Sfigmomanometer yang biasa digunakan adalah tensimeter air raksa. Terdapat juga tensimeter digital yang biasa digunakan oleh masyarakat karena cara penggunaannya yang mudah (17). Posisi yang terbaik untuk melakukan pengukuran tekanan darah adalah dengan duduk atau berbaring, pasien dalam keadaan relaks, dan tidak diperiksa setelah merokok atau meminum kopi. Setelah pengukuran, dapat diambil data tekanan sistolik, tekanan diastolik, dan tekanan nadi (18,19). Tekanan nadi rendah dapat mengindikasikan stenosis aorta, aterosklerosis, regurgitasi aorta kronis, tirotoksikosis, demam, anemia, kehamilan, kecemasan, blok jantung, diseksi aorta, endokarditis, dan tekanan intrakranial tinggi,

sedangkan, peningkatan tekanan nadi cenderung mengindikasikan percepatan penuaan organ tubuh normal, terutama jantung, otak, dan ginjal (20).

Di tahun-tahun terakhir ini, tekanan nadi, yang menjadi faktor risiko penyakit kardiovaskular, adalah salah satu penanda preklinik penyakit kardiovaskular. Studi Atherosclerosis Risk in Young Adults (ARYA) di Belanda membuktikan bahwa seseorang yang dari masa muda ke dewasa memiliki tekanan arteri dan tekanan nadi yang tinggi menunjukkan tingginya tingkat penebalan lapisan intima-media karotis, yang merupakan faktor risiko penyakit

kardiovaskular (21,22,23). Secara fisiologis, tekanan nadi dipengaruhi oleh dua hal, yaitu curah isi sekuncup dari jantung dan komplians (distensibilitas total) dari percabangan arteri. Faktor ketiga tetapi kurang berperan adalah sifat ejeksi jantung selama periode sistol. Pada umumnya semakin besar curah isi sekuncup, semakin besar pula jumlah darah yang harus ditampung di percabangan arteri pada setiap denyut jantung, dan oleh karena itu, makin besar peningkatan dan penurunan tekanan selama sistol dan diastol akan menyebabkan makin besarnya tekanan nadi. Sebaliknya, makin kecil komplians sistem arteri, makin besar kenaikan tekanan yang akan dipompa ke dalam arteri. Secara singkat, tekanan nadi ditentukan oleh rasio curah isi sekuncup terhadap komplians percabangan arteri (24). Selain itu, faktor-faktor yang juga dapat mempengaruhi tekanan nadi adalah meningkatnya umur, jenis kelamin perempuan, riwayat penyakit jantung sebelumnya, diabetes, hipertensi, dan obesitas. Salah satu faktor yang mempengaruhi nilai tekanan nadi adalah IMT. IMT overweight atau obesitas diketahui berhubungan dengan hiperleptinemia sirkulasi. Leptin secara langsung akan menurunkan distensibilitas arteri, mempengaruhi tonus dan pertumbuhan

pembuluh darah, serta menstimulasi proliferasi sel otot polos vaskular. Selain itu leptin juga akan meregulasi aktivitas saraf simpatis dan vasomotion, termasuk mekanisme dependen dan independen NO (4,25,26,27,28). Eikelis et al. menunjukkan adanya korelasi kuat antara kadar leptin plasma dengan aktivasi sistem saraf simpatis ginjal. Stimulasi simpatis ginjal jangka panjang oleh leptin mengakibatkan peningkatan tekanan darah atau nadi, melalui aktivitas vasokonstriksi dan peningkatan reabsorbsi natrium di tubulus ginjal. Leptin akan menstimulasi sitokin profibriogenik di ginjal yang akan diperkuat oleh faktor pertumbuhan lain seperti angiotensin II. Semua hal tersebut mempunyai peran dalam peningkatan tekanan darah atau nadi. Stevinkel menyebutkan bahwa leptin mempunyai efek stimulasi terhadap sistem reninangiotensin dan sistem saraf simpatis. Leptin juga menstimulasi natriuresis. Halhal tersebut dapat menyebabkan peningkatan resistensi perifer yang

mempredisposisi terjadinya hipertensi. Pada pasien dengan hiperleptinemia, terdapat resistensi efek stimulasi leptin terhadap sekresi natrium, tetapi tidak terhadap sistim saraf simpatis. Hal inilah yang kemungkinan dapat menjelaskan mengapa peningkatan tekanan nadi sering terjadi pada obesitas (4,25,26,27,28). Obesitas telah dihubungkan dengan meningkatnya aktivitas Endothelin-1 (ET-1). Penelitian oleh Cardillo et al. menunjukkan bahwa pada pasien hipertensi, peningkatan IMT dihubungkan dengan peningkatan aktivitas ET-1, sedangkan Mather et al. melaporkan hal yang sama pada pasien DM tipe 2. Disamping itu, leptin yang sering ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada obesitas merupakan zat yang dapat menginduksi ET-1. Pada penelitian mengenai hipertrofi

10

kardiomiosit, leptin merupakan produk gen ob yang diproduksi oleh sel adiposa, berpengaruh terhadap sel kardiomiosit melalui ROS dan ET-1. Produksi ET-1 endogen secara langsung akan meregulasi pulse wave velocity (PWV) arteri besar. Kondisi-kondisi yang menyebabkan upregulasi dari ET-1 akan menyebabkan penurunan distensibilitas arteri (4). Saat menilai tekanan nadi, penilaian massa tubuh juga penting, karena peningkatan massa tubuh meningkatkan prevalensi tekanan darah pada berbagai populasi. Obesitas berkorelasi positif dengan risiko hipertensi di masa depan, dan peningkatan massa tubuh juga akan meningkatkan tekanan nadi individu (4,25,26,27,28).

Anda mungkin juga menyukai