Anda di halaman 1dari 21

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Bells Palsy ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita dengan wajah asimetrik. Sejak itu semua kelumpuhan n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bells palsy. Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi anatomi menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan banyak faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun.Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin. Diagnosis Bells Palsy dapat ditegakkan dengan adanya kelumpuhan n.fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab lain kelumpuhan n. fasialis perifer.1,2

1.2 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan ini adalah untuk memahami dengan lebih mendalam mengenai definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan, diagnosis, penatalaksanaan, pencegahan, komplikasi dan prognosis Bells palsy.

BAB II BELLS PALSY

2.1 Definisi Bells palsy merupakan paresis nervus fasialis perifer yang penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) dan bersifat akut, bisa akibat proses non-supuratif, non-neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang mulanya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.1,2

2.2 Epidemiologi Bells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemikan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bells palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bells palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding nondiabetes. Bells palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bells palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat. Di Indonesia, insiden Bells palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bells palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan.3

2.3 Anatomi Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu : Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator palpebrae (n.II), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian depan lidah. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.

Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang mengantarkan rasa kecap dari dua pertiga bagian lidah dan sensasi kulit dari dinding anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut kecap pertama-tama melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke korda timpani dimana ia membawa sensasi kecap melalui nervus fasialis ke nukleus traktus solitarius. Serabut-serabut sekretomotor menginnervasi kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial major dan kelenjar sublingual serta kelenjar submaksilar melalui korda tympani. Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens, dan serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian ventrolateral nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus kortikospinal. Karena posisinya yang berdekatan (jukstaposisi) pada lantai ventrikel IV, maka nervus VI dan VII dapat terkena bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk ke meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok tajam ke depan dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada sudut ini (genu) terletak ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena sangat dekat dengan genu. Nervus fasialis terus berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion genikulatum untuk memberikan percabangan ke
3

ganglion pterygopalatina, yaitu nervus petrosus superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal memberi persarafan ke m. stapedius yang dihubungkan oleh korda timpani. Lalu n. fasialis keluar dari kranium melalui foramen stylomastoideus kemudian melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang melayani otot-otot wajah, m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus venter posterior. Lokasi cedera nervus fasialis pada Bells palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Jika lesinya berlokasi di bagian proksimal ganglion genikulatum, maka paralisis motorik akan disertai gangguan fungsi pengecapan dan gangguan fungsi otonom. Lesi yang terletak antara ganglion genikulatum dan pangkal korda timpani akan mengakibatkan hal serupa tetapi tidak mengakibatkan gangguan lakrimasi. Jika lesinya berlokasi di foramen stilomastoideus maka yang terjadi hanya paralisis fasial (wajah).4

Gambar 1 : Nervus fasialis4

2.4 Etiologi Banyak kontroversi mengenai etiologi dari Bells palsy, tetapi ada 4 teori yang dihubungkan dengan etiologi Bells palsy yaitu : Teori Iskemik vaskuler

Nervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan regulasi sirkulasi darah di kanalis fasialis. Teori infeksi virus

Virus yang dianggap paling banyak bertanggungjawab adalah Herpes Simplex Virus (HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV (khususnya tipe 1). Teori herediter

Bells palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan atau keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis.

Teori imunologi

Dikatakan bahwa Bells palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi. Umumnya penyebab Bells Palsy dapat dikelompokkan sbb : 1. Kongenital Anomali kongenital (sindroma Moebius) Trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)

2. Didapat Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis) Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll.) Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus) Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll.)
5

Sindroma paralisis n. fasialis familial

Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan BP antara lain : sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor genetic.1,2,5

2.5 Patofisiologi Para ahli menyebutkan bahwa pada Bells palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bells palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer. Perubahan patologik yang ditemukan pada n. fasialis adalah sbb : Tidak ditemukan perubahan patologik kecuali udem Terdapat demielinisasi atau degenerasi mielin. Terdapat degenerasi akson Seluruh jaringan saraf dan jaringan penunjang rusak

Perubahan patologik ini bergantung kepada beratnya kompresi atau strangulasi terhadap n. fasialis
6

Karena adanya suatu proses yang dikenal awam sebagai masuk angin atau dalam bahasa inggris cold. Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bells palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bias terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bells palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.Kelumpuhan pada Bells palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun disitu. Apapun sebagai etiologi Bells palsy, proses akhir yang dianggap bertanggungjawab atas gejala klinik Bells palsy adalah proses edema yang selanjutnya menyebabkan kompresi nervus fasialis. Gangguan atau kerusakan pertama adalah endotelium dari kapiler menjadi edema dan permeabilitas kapiler meningkat, sehingga dapat terjadi kebocoran kapiler kemudian terjadi edema pada jaringan sekitarnya dan akan terjadi gangguan aliran darah sehingga terjadi hipoksia dan asidosis yang mengakibatkan kematian sel. Kerusakan sel ini mengakibatkan hadirnya enzim proteolitik, terbentuknya peptida-peptida toksik dan pengaktifan kinin dan kallikrein sebagai hancurnya nukleus dan lisosom. Jika dibiarkan dapat terjadi kerusakan jaringan yang permanen.1,2,5

2.6 Manifestasi Klinis

Gambar 2 : Gejala klinis Bells palsy Biasanya timbul secara mendadak, penderita menyadari adanya kelumpuhan pada salah satu sisi wajahnya pada waktu bangun pagi, bercermin atau saat sikat gig/berkumur atau diberitahukan oleh orang lain/keluarga bahwa salah satu sudutnya lebih rendah. Bells palsy hampir selalu unilateral. Gambaran klinis dapat berupa hilangnya semua gerakan volunter pada kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena, ekspresi akan menghilang sehingga lipatan nasolabialis akan menghilang, sudut mulut menurun, bila minum atau berkumur air menetes dari sudut ini, kelopak mata tidak dapat dipejamkan sehingga fisura papebra melebar serta kerut dahi menghilang. Bila penderita disuruh untuk memejamkan matanya maka kelopak mata pada sisi yang lumpuh akan tetap terbuka (disebut lagoftalmus) dan bola mata berputar ke atas. Keadaan ini dikenal dengan tanda dari Bell (lagoftalmus disertai dorsorotasi bola mata). Karena kedipan mata yang berkurang maka akan terjadi iritasi oleh debu dan angin, sehingga menimbulkan epifora. Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang lumpuh tidak mengembung. Disamping itu makanan cenderung terkumpul diantara pipi dan gusi sisi yang lumpuh. Selain kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, tidak didapati gangguan lain yang mengiringnya, bila paresisnya benar-benar bersifat Bells palsy.1,2

Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi.

Lesi di luar foramen stilomastoideus

Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang. Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus.

Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)

Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.

Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)

Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b), ditambah dengan adanya hiperakusis.

Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)

Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c) disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka. Ramsay Hunt Syndrome adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlibat di membran timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.

Lesi di daerah meatus akustikus interna

Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c), (d), ditambah dengan tuli sebagai akibat dari terlibatnya nervus akustikus.

Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons

Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda terlibatnya nervus trigeminus, nervus akustikus, dan kadang-kadang juga nervus abdusens, nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus.
9

Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa Bells palsy, beberapa bulan pasca awitan, dengan manifestasi klinik: air mata bercucuran dari mata yang terkena pada saat penderita makan. Nervus fasialis menginervasi glandula lakrimalis dan glandula salivatorius submandibularis. Diperkirakan terjadi regenerasi saraf salivatorius tetapi dalam perkembangannya terjadi salah jurusan menuju ke glandula lakrimalis. 6 2.7 Pemeriksaan Umumnya diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik adanya kelumpuhan n. fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab lain dan kelumpuhan n. fasialis perifer. Adalah penting untuk mengetahui onset dari paralisis (sudden atau delayed), durasi, dan tahap proresinya. Juga penting untuk mengetahui sama ada paralisisnya komplit atau inkomplit. Anamnesa : Rasa nyeri Gangguan atau kehilangan pengecapan Riwayat penyakit keluarga, Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di ruangan terbuka atau di luar ruangan Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain Gejala-gejala tambahan seperti hilang pendengaran, ottorhea, otalgia, vertigo, nyeri kepala, pandangan kabur, parestesia Riwayat penyakit dahulu seperti DM, kehamilan, gangguan autoimun, kanker Riwayat trauma Riwayat operasi seperti parotidektomi, ryhtidectomi

10

Pemeriksaan neurologis Pemeriksaan neurologis ditemukan paresis N.VII tipe perifer. Gerakan volunter yang diperiksa, dianjurkan minimal : Mengerutkan dahi Memejamkan mata Mengembangkan cuping hidung Tersenyum Bersiul Mengencangkan kedua bibir

Untuk mengevaluasi kemajuan motorik penderita Bells palsy memakai SKALA UGO FISCH yaitu dengan menilai kondisi simetris atau asimetris antara sisi sehat dan sisi sakit pada 5 posisi. Tabel 1 : Skala UGO FISCH Posisi Nilai Persentase (%) 0, 30, 70, 100 Istirahat Mengerutkan dahi Menutup mata Tersenyum Bersiul 20 10 30 30 10 Total Skor

Penilaian persentase : 0 % : asimetris komplit, tidak ada gerakan volunteer 30 % : simetris, poor/jelek, kesembuhan yang ada lebih dekat ke asimetris komplit daripada simetris normal 70 % : simetris, fair/cukup, kesembuhan parsial yang cenderung ke arah normal 100% : simetris, normal/komplit
11

Sistem klasifikasi House juga dapat digunakan untuk mengevaluasi tingkat gerakan volunter untuk dapat menilai derajat paralisis fasial.

Tabel 2 : Sistem Klasifikasi HOUSE Grade I II Degree Normal Ringan Penjelasan Gerakan wajah normal, tidak ada sinkinesis Deformitas ringan, sinkinesis ringan, fungsi dahi baik, asimetri ringan III Sedang Kelemahan wajah jelas, ada gerakan dahi, penutupan mata baik, asimetri, terdapat fenomena Bell IV V Sedang-Berat Kelemahan jelas, sinkinesis meningkat, tidak ada gerakan dahi Berat Paralisis fasial sangat jelas, ada sebagian tonus, tidak bisa menutup mata VI Total Paralisis fasial komplit, tidak ada tonus

Pemeriksaan penunjang Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi dan derajat kerusakan n. fasialis sbb: Uji kepekaan saraf (nerve excitability test)

Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi otot-otot wajah kiri & kanan setelah diberi rangsang listrik. Perbedaan rangsang lebih 3,5 mA menunjukkan keadaan patologik dan jika lebih 20 mA menunjukkan kerusakan it fasialis ireversibel. Uji konduksi saraf (nerve conduction test)

Pemeriksaan untuk menentukan derajat denervasi dengan cara mengukur kecepatan hantaran listrik pada n. fasialis kiri dan kanan.

12

Elektromiografi (EMG)

Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya otot-otot wajah. Pemeriksaan ini menghasilkan grafik bacaan aliran listrik yang ditampilkan melalui stimulasi nervus fasial dan merekam eksitabilitas otot-otot fasial yang disuplainya. Perbandingan terhadap sisi kontralateral membantu menentukan perluasan perlukaan saraf dan mempunyai implikasi prognostik. Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah

Gilroy dan Meyer (1979) menganjurkan pemeriksaan fungsi pengecap dengan cara sederhana yaitu rasa manis (gula), rasa asin dan rasa pahit (pil kina).

Elektrogustometri

Pemeriksaan ini membandingkan reaksi antara sisi yang sehat dan yang sakit dengan stimulasi listrik pada 2/3 bagian depan lidah terhadap rasa kecap pahit atau metalik. Gangguan rasa kecap pada BP menunjukkan letak lesi n. fasialis setinggi khorda timpani atau proksimalnya.

Uji Schirmer

Pemeriksaan ini menggunakan kertas filter khusus yang diletakkan di belakang kelopak mata bagian bawah kiri dan kanan. Penilaian berdasarkan atas rembesan air mata pada kertas filter;berkurang atau mengeringnya air mate menunjukkan lesi n. fasialis setinggi ggl. genikulatum

Elektroneurografi (ENoG)

Pemeriksaan yang membandingkan potensial pembangkit pada sisi yang mengalami paresis dengan sisi yang sehat.

Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bells palsy. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan jika dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang, stroke, sklerosis multipel dan AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien Bells palsy akan menunjukkan adanya penyangatan (Enhancement) pada nervus fasialis, atau pada telinga, ganglion genikulatum.2,4,6
13

2.8 Diagnosis

Diagnosa Topik : Letak Lesi Pons-meatus akustikus internus Meatus akustikus internus-ganglion genikulatum Ganglion genikulatumN. Stapedius N.stapedius-chorda tympani Chorda tympani Infra chorda tympanisekitar foramen stilomastoideus + + + + + Kelainan Gangguan Gangguan Hiposekresi Hiposekresi saliva + lakrimalis +

motorik pengecapan pendengaran + + + tuli/hiperakusis + Hiperakusis + Hiperakusis + -

+ +

+ +

+ +

Diagnosa klinis : Ditegakkan dengan adanya paresis N.VII perifer dan bukan sentral. Umumnya unilateral Diagnosa etiologi : Sampai saat ini etiologi Bells palsy yang jelas tidak diketahui.

Diagnosa banding : 1. Semua paralisis n. fasialis perifer yang bukan Bells Palsy 2. Kelumpuhan n. fasialis sentral yang mudah dikenal; bila dahi dikerutkan tidak terlihat asimetri, karena otot-otot dahi mempunyai inervasi bilateral 3. Otitis Media Supurativa dan Mastoiditis 4. Herpes Zoster Oticus (Ramsay Hunt Syndrome) 5. Trauma kapitis
14

6. Sindroma Guillain Barre 7. Miastenia Gravis 8. Tumor Intrakranialis 9. Lyme Disease 10. AIDS 11. Sarkoidosis 3,4,5

2.9 Penatalaksanaan Terapi pertama yang harus dilakukan adalah penjelasan kepada penderita bahwa penyakit yang mereka derita bukanlah tanda stroke, hal ini menjadi penting karena penderita dapat mengalami stress yang berat ketika terjadi salah pengertian. 1. Istirahat terutama pada keadaan akut 2. Medikamentosa Dari tinjauan terbaru menyimpulkan bahwa pemberian kortikosteroid dalam 7 hari pertama efektif untuk menangani Bells palsy. Pemberian kortikosteroid (prednison dengan dosis 40 -60 mg/hari per oral atau 1 mg/kgBB/hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan setelah 7 hari kemudian), dimana pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien. Dasar dari pengobatan ini adalah untuk menurunkan kemungkinan terjadinya kelumpuhan yang sifatnya permanen yang disebabkan oleh pembengkakan nervus fasialis di dalam kanal fasialis yang sempit dan mepercepat reinervasi. Penemuan genom virus di sekitar nervus fasialis memungkinkan digunakannya agenagen antivirus pada penatalaksanaan Bells palsy. Acyclovir (400 mg selama 10 hari) dapat digunakan dalam penatalaksanaan Bells palsy yang dikombinasikan dengan prednison atau dapat juga diberikan sebagai dosis tunggal untuk penderita yang tidak dapat mengkonsumsi prednison. Penggunaan Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus.

15

3. Fisioterapi Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada stadium akut.Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh.

4. Penanganan mata Bagian mata juga harus mendapatkan perhatian khusus dan harus dijaga agar tetap lembab, hal tersebut dapat dilakukan dengan pemberian pelumas mata setiap jam sepanjang hari dan salep mata harus digunakan setiap malam.

5. Latihan wajah Komponen lain yang tidak kalah pentingnya dalam optimalisasi terapi adalah latihan wajah. Latihan ini dilakukan minimal 2-3 kali sehari, akan tetapi kualitas latihan lebih utama daripada kuantitasnya. Sehingga latihan wajah ini harus dilakukan sebaik mungkin. Pada fase akut dapat dimulai dengan kompres hangat dan pemijatan pada wajah. Hal ini berguna untuk meningkatkan aliran darah pada otot-otot wajah. Kemudian latihan dilanjutkan dengan gerakan-gerakan wajah tertentu yang dapat merangsang otak untuk tetap memberi sinyal untuk menggerakkan otot-otot wajah. Sebaiknya latihan ini dilakukan di depan cermin. Gerakan yang dapat dilakukan berupa : tersenyum, mencucurkan mulut, kemudian bersiul, mengatupkan bibir, mengerutkan hidung, mengerutkan dahi. Gunakan telunjuk dan ibu jari untuk menarik sudut mulut secara manual. Mengangkat alis secara manual dengan keempat jari. Setelah melakukan terapi tersebut sebagian penderita akan sembuh total dan sebagian akan meninggalkan gejala sisa yang dapat berupa: Kontraktur : Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga plika nasolabialis lebih jelas terlihat dibanding pada sisi yang sehat. Bagi pemeriksa yang belum berpengalaman mungkin bagian yang sehat ini yang disangkanya lumpuh, sedangkan bagian yang lumpuh disangkanya sehat. Sinkinesia (associated movement) : Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri, selalu timbul gerakan bersama. Bila pasien disuruh memejamkan mata, maka otot orbikularis oris pun akan ikut berkontraksi dan sudut mulut terangkat. Bila ia disuruh menggembungkan pipi, kelopak mata ikut merapat.

16

Spasme spontan : Dalam hal ini otot-otot wajah bergerak secara spontan, tidak terkendali. Hal ini disebut juga tic facialis. akan tetapi tidak semua tic facialis merupakan gejala sisa dari Bells palsy.

6. Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat menimbulkan komplikasi lokal maupun intracranial. Tindakan operatif dilakukan apabila : Tidak terdapat penyembuhan spontan Tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednisone pada pemeriksaan elektrik terdapat denervasi total. Beberapa tindakan operatif yang dapat dikerjakan pada bell's palsy antara lain dekompresi n.fasialis yaitu membuka kanalis fasialis pars piramidalis mulai dari foramen stilomastoideum, nerve graft, operasi plastik untuk kosmetik (muscle sling, tarsoraphi).1,7

2.10 Pencegahan Terdapat beberapa cara yang dapat mencegah Bell's Palsy yaitu : Jika berkendaraan motor, gunakan helm penutup wajah full untuk mencegah angin mengenai wajah Jika tidur menggunakan kipas angin, jangan biarkan kipas angin menerpa wajah langsung. Arahkan kipas angin itu ke arah lain. Jika kipas angin terpasang di langitlangit, jangan tidur tepat di bawahnya. Dan selalu gunakan kecepatan rendah saat pengoperasian kipas Kalau sering lembur hingga malam, jangan mandi air dingin di malam hari. Selain tidak bagus untuk jantung, juga tidak baik untuk kulit dan syaraf Bagi penggemar naik gunung, gunakan penutup wajah / masker dan pelindung mata. Suhu rendah, angin kencang, dan tekanan atmosfir yang rendah berpotensi tinggi menyebabkan Bell's Palsy Setelah berolah raga berat, jangan langsung mandi atau mencuci wajah dengan air dingin Saat dalam pengobatan, jangan membiarkan wajah terkena angin langsung. Tutupi wajah dengan kain atau penutup.7

17

2.11 Komplikasi Crocodile tear phenomenon : Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul beberapa bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum. Synkinesis : Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri; selalu timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan timbul gerakan (involunter) elevasi sudut mulut, kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi. Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah. Hemifacial spasm : Timbul kedutan pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal hanya mengenai satu sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini. Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian. Kontraktur : Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga lipatan nasolabialis lebih jelas terlihat pada sisi yang lumpuh dibanding pada sisi yang sehat. Terjadi bila kembalinya fungsi sangat lambat. Kontraktur tidak tampak pada waktu otot wajah istirahat, tetapi menjadi jelas saat otot wajah bergerak.8

18

2.12 Prognosis Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bells palsy cenderung memiliki prognosis yang baik. Dalam sebuah penelitian pada penderita Bells palsy, 85% memperlihatkan tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian. Tahap kesembuhan pasien dapat dibahagikan ke dalam 3 kelompok : Pemulihan fungsi motorik wajah sempurna tanpa gejala sisa Pemulihan fungsi motorik wajah tidak sempurna tetapi tidak memiliki kelainan yang nyata pada mata yang tidak terlatih Gejala sisa neurologis permanen yang jelas secara klinis dan kosmetik

Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bells palsy adalah : Usia di atas 60 tahun Paralisis komplit Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh, Nyeri pada bagian belakang telinga dan Berkurangnya air mata. Pada umumnya prognosis Bells palsy baik. Sekitar 80-90% penderita sembuh dalam waktu 6 minggu sampai 3 bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya punya perbedaan peluang 10-15 % antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme hemifasial. Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23 % kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bells palsy kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis. 2,8

19

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan Bells Palsy ialah kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya dengan lokasi lesi pada kanalis fasialis. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa dan jarang pada anak. Diagnosis dapat ditegakkan secara klinik setelah kausa yang jelas untuk lesi n.fasialis perifer disingkirkan. Terapi yang dianjurkan saat ini ialah pemberian prednison, fisioterapi dan kalau perlu operasi. Pada umumnya prognosis Bells palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Berbeda dengan stroke, Bell's Palsy hanya menyerang syaraf wajah. Sedangkan fungsi tubuh berjalan normal. Namun ada beberapa kasus di mana Bell's Palsy menyerang syaraf otak, sehingga ada penderita yang tidak mampu berbicara jelas seperti penderita stroke. Walau demikian, pikirannya masih sangat jernih dan dia masih dapat berkomunikasi dengan cara menulis.

3.2 Saran Usahakan agar tidak terkena udara dingin maupun air dingin secara langsung, khususnya pada daerah wajah dan kepala Hindari keadaan-keadaan yang dapat memperburuk prognosis Bells Palsy Segera konsultasikan ke dokter apabila setelah terapi tidak ada perbaikan, untuk mencegah adanya gejala sisa Bells Palsy

20

Daftar Pustaka 1. Bells 2. Bells Palsy. Palsy. 2008. [online] Available at :

http://emedicine.medscape.com/article/1146903-overview [Accessed 2012 March 30] 2008[online] Available at :

http://www.fpnotebook.com/neuro/Cn/BlsPlsy.htm [Accessed 2012 March 30] 3. Bells Palsy. 2009. [online] Available at : http://www.irwanashari.com/260/bellspalsy.html [Accessed 2012 March 31] 4. Bells Palsy. 2011. [online] Available at :

http://freshlifegreen.blogspot.com/2011/02/bells-palsy.html [Accessed 2012 March 30] 5. Bells Palsy. 2010. [online] Available at : http://coolhendra.blogspot.com/2010/08/bellpalsy.html [Accessed 2012 March 31] 6. Bells Palsy. 2009. [online] Available at :

http://www.scribd.com/dewifelayati/d/48425761-bells-palsy [Accessed 2012 March 31] 7. Bells Palsy. 2009. [online] Available at : http://praktekku.blogspot.com/2009/02/bellspalsy.html [Accessed 2012 April 01] 8. Bells Palsy. 2008. [online] Available at :

http://binhasyim.wordpress.com/2008/04/05/bells-palsy/ [Accessed 2012 April 01]

21

Anda mungkin juga menyukai