Anda di halaman 1dari 6

Robert Keohane dan Joseph Nye menjelaskan bahwa dalam hubungan interdependen akan selalu terdapat biaya, interdependensi

membatasi otonomi, tetapi adalah tidak mungkin untuk menetukan keuntungan dari sebuah relasi yang melebihi biaya. Hal ini akan sangat tergantung pada nilai para aktor seperti kondisi alamiah dari sebuah relasi interdependent yang dipengaruhi oleh hubungan timbal balik. Kita juga harus berhati-hati agar tidak mendefiniskan interdependensi hanya pada setiap relasi mutual-dependensi yang seimbang. Ini suatu hal yang asimetris dalam dependensi, ketika para aktor menyediakan sumber-sumber pengaruh dalam berhubungan antara satu aktor dengan lainnya. Aktor yang less-dependent biasanya dapat menggunakan hubungan interdependensi sebagai power resources dalam melakukan negosiasi pada suatu isu. Power dapat dipahami sebagai kemampuan aktor untuk membuat aktor lain melakukan sesuatu yang tidak mereka inginkan. Power dapat dimaknai dalam pengertian memegang kendali akan hasil dan tujuan. Dengan kata lain, penilaiannya menjadi tidak sederhana. Kita dapat melihat bahwa power resources yang dimiliki membuat aktor memiliki potential ability, atau kita dapat melihat pengaruh aktor pada pola hasil. Ketika kita mengatakan interdependensi asimetris didapatkan dari power resources, maka kita akan berpikir bahwa power mengendalikan resources atau berpotensi untuk mempengaruhi hasil. Untuk memahami peranan dari power pada interdependensi kita harus membedakan dua hal, yaitu sensitivity dan vulnerabilty. Sensitivity melibatkan tingkat responsivitas dalam framework kebijakan, berapa cepat perubahan pada suatu negara dapat membawa perubahan pada negara lainnya, dan seberapa kuatkah efek perubahannya? Pengukuran tidak hanya tergantung pada volume yang melintasi batas negara tetapi juga dipengaruhi oleh biaya perubahan transaksi yang terjadi di masyarakat atau pemerintah. Sensitivity interdependence tercipta dari interaksi melalui framework kebijakan. Sensitivity berasumsi bahwa framework tidak berubah. Pada faktanya sejumlah kebijakan yang tidak berubah merefleksikan kesulitan akan perumusan kebijakan baru dalam waktu singkat, atau ini juga merefleksikan komitmen pada sejumlah pola dari sistem domestik dan internasional. Aspek vulnerability pada interdependensi tergantung pada kemampuan relatif dan biaya dari alternatif kemungkinan yang akan dihadapi aktor. Dalam pengertian

biaya dependensi, sensitivity adalah tindakan peningkatan biaya dari pihak luar dalam rangka untuk mengubah situasi. Vulnerability dapat dijelaskan sebagai keterikatan aktor untuk mendapatkan biaya yang diakibatkan oleh pihak eksternal bahkan setelah kebijakan telah diubah. Hal ini mengindikasikan bahwa sensitivity interdependenceakan sedikit lebih tidak penting dibandingkan vulnerability interdependence dalam penyediaan power resources bagi para aktor. Jika satu aktor dapat mengurangi risiko biaya dengan mengubah kebijakannya, baik pada level domestik maupun internasional, maka pola sensitivity tidak dapat dijadikan panduan yang baik bagipower resources. Vulnerability interdependence juga termasuk pada aspek strategis dimana sensitivity secara politik menjadi tidak begitu penting. Sejumlah fenomena historis yang mampu menggambarkan kondisi internasional pada saat itu adalah banyaknya perang yang terjadi dengan tindakan yang begitu anarkis, kejam, biadab, hingga mengorbankan sekitar jutaan jiwa. Perang merupakan pengalaman terburuk bagi setiap insan manusia, khususnya tentara-tentara muda yang dikenakan wajib militer dan terbantai berjuta-juta, terutama dalam peperangan garis depan pihak Barat. Salah satu contoh konkritnya adalah Perang Somme (Perancis) yang terkenal di bulan Juli-Agustus tahun 1916. Bahkan peristiwa tersebut dianggap sebagai tragedi berdarah. (Gilbert, 1995:258) Realita yang terjadi di masa lampau ini menimbulkan asumsi publik yang mengatakan bahwa Dunia Barat sudah gila, jutaan orang terbunuh dengan sia-sia. (Gilbert, 1995:257) Namun, hal ini justru menjadi pemicu terjadinya perang berkelanjutan dari Perang Dunia I sampai Perang Dingin. Menanggapi kejadian tak berprikemanusiaan tersebut, maka muncul jawaban idealis yang mampu menjadikannya sebagai teori awal hubungan internasional, yaitu idealisme. Idealisme ini tidak jauh berbeda dengan liberalisme di mana perdamaian abadi dijadikan solusi mutlak terhadap peperangan ataupun kejahatan yang menghantui negara-negara. Secara historis, teori liberalisme mulai populer dan diperdebatkan pada tahun 1920, masa Amerika Serikat dan Inggris berdiri tegak dengan prinsip-prinsip demokratis. Peperangan hebat yang terjadi ketika itu mampu melatarbelakangi asumsi dasar konsep liberalisme. Konsep ini jauh mengedepankan sikap optimisme dan positivisme dalam dirir seorang manusia. Manusia yang dimaksud tergolong

manusia rasional, dan ketika mereka memakai alasan-alasan pada hubungan internasional mereka dapat membentuk organisasi internasional bagi keuntungan semua pihak. Bukti nyata kerjasama yang diadakan adalah berdirinya Liga BangsaBangsa sebagai wadah pemersatu ide-ide perdamaian dunia. Tradisi liberal erat kaitannya dengan prinsip negara liberal modern. Tokoh terkemuka yang mengutarakan kondep ini adalah John Locke, filosof abad 17. Locke melihat adanya potensi besar bagi kemajuan manusia dalam civil society di mana kebebasan atau kepentingan individu sangat dijunjung tinggi. Locke juga berpendapat bahwa negara harus mampu menjamin kebebasan warga negaranya dan mengizinkan mereka hidup bahagia tanpa campur tangan pihak lain. Prinsip ini berhubungan dengan landasan dasar negara konstitusional di mana kesejahteraan dan penghormatan hak warga negara menjadi hal esensial dalam hukum nasional suatu negara.Kaum liberal pun sepakat bahwa dalam jangka panjang, kerjasama berdasarkan kepentingan timbal balik akan berlaku. Hal ini didasari oleh modernisasi yang terus menerus meningkatkan ruang lingkup dan kebutuhan kerjasama. (Zacher dan Matthew, 1995:119) kunsi dasar konsep liberalisme ialah keyakinan terhadap kemajuan. Sebagai penguat argumen ini, Jeremy Bentham, seorang filosof Inggris abad 18 emunculkan istilah hukum internasional sebagai landasan kokoh berdirinya negara liberal modern. Sebagai perluasan, Immanuel Kant, filsuf Jerman abad 18, berpikir bahwa negara konstitusional yang saling menghargai akan disebut republik

1978:8-36) Seiring perkembangan zaman, liberalisme ini telah mengalami peyorasi makna karena sifat dasarnya yang begitu utopis. Penjabaran dari terminologi tersebut akan membagi liberalisme menjadi beberapa aliran: Karl Deutsch berpendapat bahwa interdependence sebagai interlocking relations, berasal dari pembagian kerja diantara unit-unit politik yang highly specialized. Kemudian dia membedakan antara interdependensi dari pola hubungan yang mutual responsiveness diantara unit-unit politik yang ada yang mungkin tidak saking tergantung antara satu dengan lainnya, dapat bertindak secara mandiri tanpa perlu bantuan dari aktor lainnya. Disebabkan perluasan dari interdependensi yang meningkat, begitu juga dengan insentif untuk negara agar mengambil tindakan militer untuk

mengurangieconomic vulnerability yang mereka miliki [Gilpin 1981, 140-41 : Liberman 1996]. Senada dengan argumen di atas, Alexander Hamilton menyebutkan bahwa ,melakukan proteksi pada sektor industri dalam negeri dari kompetisi produk asing akan menjaga Amerika Serikat dari keamanan pada bahaya eksternal dan meningkatkan frekuenasi ancaman yang lebih sedikit kepada keamanan negara dari negara lain baru kemudian menetapkan kebijakan perdagangan [Earle 1986, 235].Kemudian Kenneth Waltz [1970, 205,222] menyebutkan bahwa. interdependensi yang tertutup adalah tertutupnya kontak dan interaksi yang akan meningkatkan adanya kemungkinan konflik. Mitos interdependensi menegaskan keyakinan palsu akan kondisi yang dikatakan dapat meuwjudkan perdamaian, Dengan demikian interdependensi yang tinggi diantara para aktor juga dapat menyebabkan konflik. Struktur model realisme milik Kenneth Waltz berasumsi bahwa military power mendominasi hierarki yand ada. Sejak military power secara efektif digunakan untuk berbagai tujuan politik, dari sanalah struktur internasional terbentuk. Hak ini mengimplikasikan bahwa sistem internasional memiliki beberapa jenis struktur yang berbeda-beda tergantung isu wilayah dan distribusi dari resources dapat digunakan untuk mempengaruhi hasil akhir, Jika power diasumsikan kepada perbandingan yang sempurna, ketika terjadi konflik antara negara besar dan negara kecil, maka negara besar pasti akan menang. Pengalaman Amerika Serikat di Vietnam dan pengalaman Uni Soviet di Afghanistan dan Chechnya membuktikan bahwa asumsi ini tidak selalu benar. Dengan melakukan perubahan pada pola asumsi maka penjelasan akan power akan menjadi lebih dalam. Namun demikian, perlu dipahami bahwa konsep interdependence tidak menolak asumsi dasar realis tetapi memperluas asumsinya. Isu struktur tidak menyatakan bahwa struktur tidak signifikan tetapi menunjukkan bahwa sistem internasional terdiri dari lebih Konsep Interdependensi ini mencoba membangun cara pandang baru akan hubungan antara negara dalam politik internasional. Pada konsep realisme hubungan antar negara selalu dilihat dari kacamata threat dan security ketika pola interaksi negara yang satu selalu menganggap negara lainnya sebagai musuh. Pendekatan yang digunakan juga selalu mengukur perbandingan antara military power antara satu aktor dengan aktor lainnya. Sehingga pola yang terjadi antara

satu aktor dengan aktor lainnya dalam kacamata realisme selalu melihat dalam perspektif konflik. Sebagai hasilnya maka terbentuk satu logika security, yaitu kondisi alamiah dari negara perang (states of war) : sejauh ini manusia hidup tanpa adanya satu kekuatan yang mampu menyatukan mereka semua, manusia selalu berada dalam kondisi bersaing, seorang manusia selalu bersaing dengan manusia lainnya. Sedangkan pada konsep interdependensi ini pola hubungan antara aktor bergeser dari saling meningkatkan military power menjadi ketergantungan antara satu aktor dengan lainnya. Isu security kemudian juga menjadi meluas yang tadinya hanya berkisar pada aspek power, military forces, warfare berubah menjadi aspek economy, resources. Pola hubungan antar aktor tidak lagi berbicara kondisi states of war tetapi juga dependence between states, ketergantungan antara satu aktor dengan aktor lainnya. Robert Keohane dan Joseph Nye menjelaskan bahwaInterdependensi dalam politik internasional dipengaruhi oleh situasi oleh efek resiprokal [timbal balik] antara berbagai negara atau antara aktoraktor di berbagai negara. Efek ini biasanya didapatkan sebagai hasil dari transaksi internasional aliranuang, barang, orang dan pesan komunikasi yang melintasi batas-batas wilayah. Dari sisi lainnya Kenneth Waltz berasumsi bahwa military power mendominasi hierarki yand ada. Sejak military power secara efektif digunakan untuk berbagai tujuan politik, dari sanalah struktur internasional terbentuk. Keohane dan Nye melihat dari sisi bahwa antara aktor-aktor dalam politik internasional akan terjadi suatu hubungan timbal balik melalui transaksi sosial-ekonomi-budaya yang terjadi dalam upaya penciptaan perdamaian dan stabilitas antar aktor, sedangkan Waltz [1970, 205,222] menyebutkan bahwa. interdependensi yang tertutup adalah tertutupnya kontak dan interaksi yang akan meningkatkan adanya kemungkinan konflik. Mitos interdependensi menegaskan keyakinan palsu akan kondisi yang dikatakan dapat meuwjudkan perdamaian, Dengan demikian interdependensi yang tinggi diantara para aktor juga dapat menyebabkan konflik. Pada titik inilah Keohane-Nye dan Waltz berbeda pendapat mengenai interdependensi, bagi Keohane-Nye, interdependensi adalah salah satu metode untuk membangun perdamaian dan stabilitas antara aktor, tetapi bagi Waltz interdependensi yang berlebihan juga menjadi faktor utama penyebab konflik.

Kesimpulan Keohane dan Nye mencoba membangun paradigma baru dalam pola relasi para aktor dalam politik international, mereka mencoba menggeser paradigma realisme yang menjadikan negara dalam kondisi state of war menjadi pola relasi yang lebih memiliki banyak kemungkinan diluar kemungkinan konflik dan perang. Keohane dan Nye mencoba menjelaskan kemungkinan adanya dependence daninterdependence antara para aktor dikarenakan perbedaan power dan resources. Paradigma baru ini menggeser cara pandang realisme yang tidak memungkinkan adanya interaksi antara aktor melainkan dalam pendekatan military power. Dengan adanya paradigma interdependence, munculnya pola-pola relasi antara aktor yangless-conflict dapat diwujudkan sebagai cara pandang baru dalam melihat relasi antar negara. berjalan seimbang bagi masingmasing negara. Karena pasti ada salah satu negara yang lebih diuntungkan sementara yang lain berada dibawahnya. akan terjadi diskriminasi ekonomi yang mayoritas dirasakan oleh negara yang berkedudukan lebih rendah. Misalnya saja kerjasama antara Indonesia dan Amerika. Sejatinya kerjasama yang diraih akan menguntungkan kedua negara tersebut. Akan tetapi, faktanya Amerika sebagai negara maju akan memperoleh keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan Indonesia. Bagaimanapun juga, teori ini merupakan sebuah teori yang sering dipakai untuk menjelaskan fenomena kerjasama, baik bilateral, regional, maupun multilateral. Hasil dari penelitian nantinya ditentukan oleh fakta-fakta serta indikator yang digunakan dalam meneliti sebuah teori

Anda mungkin juga menyukai