Anda di halaman 1dari 35

1

BAB I PENDAHULUAN

Perdarahan uterus abnormal merupakan suatu penyakit, dimana salah satunya adalah Disfungsional Uterine Bleeding (Perdarahan Uterus

Disfungsional). Perdarahan Uterus Disfungsional (PUD) merupakan suatu perdarahan dari uterus yang tidak ada hubungannya dengan sebab organik, dimana terjadi perdarahan abnormal di dalam atau diluar siklus haid oleh karena gangguan mekanisme kerja poros hipotalamus-hipofisis-ovarium- endometrium (Hestiantoro & Wiweko, 2007). Perdarahan disfungsional dapat terjadi pada setiap umur antara menarche dan menopause. Tetapi, kelainan ini lebih sering dijumpai sewaktu masa permulaan dan masa akhir fungsi ovarium. Dua pertiga dari wanita-wanita yang dirawat di rumah sakit untuk perdarahan disfungsional berumur di atas 40 tahun, dan 3 % di bawah 20 tahun. Angka Kejadian PUD yaitu 10% dari kunjungan poliklinis ginekologik, sekitar 20% terjadi pada kelompok usia remaja, 50% berusia 40-50 tahun dan sisanya berada pada usia reproduks (Badziad, 2003). PUD dapat terjadi pada siklus haid yang ovulatorik, anovulatorik, maupun dalam keadaan folikel persisten. PUD pada siklus ovulatorik sering terjadi pada masa reproduksi sedangkan PUD pada siklus anovulatorik sering terjadi pada masa perimenars dan perimenopause, dan PUD pada keadaan folikel persisten sering terjadi masa perimenopause (Badziad, 2003). Diagnosis PUD merupakan sebuah diagnosis ekslusi, yaitu untuk menegakkan diagnosa Pendarahan Uterus Disfungsional, kita harus

menyingkirkan terlebih dahulu semua kelainan organik , sistemik, faktor obatobatan, setelah tidak ditemukannya semua kelainan tersebut baru dapat ditetapkan sebagai diagnosa PUD (Wijknjosastro, 2002). Penanganan atau penatalaksanaan perdarahan uterus disfungsional sangat komplek, jadi sebelum memulai terapi harus disingkirkan kemungkinan kelainan organik. Adapun tujuan penatalaksaan perdarahan uterus disfungsional adalah menghentikan perdarahan serta memperbaiki keadaan umum penderita

(Wijknjosastro, 2002).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1.

Definisi Perdarahan Uterus Disfungsional (PUD) atau Dysfunctional Uterine Bleeding adalah perdarahan abnormal yang dapat terjadi di dalam siklus maupun di luar siklus menstruasi, karena gangguan fungsi mekanisme pengaturan hormon (hipotalamus-hipofisis-ovarium-endometrium), tanpa kelainan organ. PUD dapat terjadi pada siklus ovulatorik, siklus anovulatorik, dan pada keadaan folikel persisten. Diagnosis PUD merupakan sebuah diagnosis ekslusi (Hestiantoro & Wiweko, 2007; Behera et al., 2010).

2.

Etiologi Secara garis besar, kondisi PUD dapat terjadi pada siklus ovulasi (pengeluaran sel telur/ovum dari indung telur), tanpa ovulasi maupun keadaan lain, misalnya pada wanita premenopause (folikel persisten). Sekitar 90% perdarahan uterus difungsional (perdarahan rahim) terjadi tanpa ovulasi (anovulation) dan 10% terjadi dalam siklus ovulasi. Patologi PUD bervariasi. Gambaran penting salah satu kelompok PUD adalah gangguan aksis hipotalamuspituitariovarium sehingga menimbulkan siklus anovulatorik. Kurangnya progesteron meningkatkan stimulasi estrogen terhadap endometrium. Endometrium yang tebal berlebihan tanpa pengaruh progesteron, tidak stabil dan terjadi pelepasan irreguler. Secara umum, semakin lama anovulasi maka semakin besar resiko perdarahan yang berlebihan. Ini adalah bentuk PUD yang paling sering ditemukan pada gadis remaja. Korpus luteum defektif yang terjadi setelah ovulasi dapat menimbulkan PUD ovulatori. Hal ini menyebabkan stabilisasi endometrium yang tidak adekuat, yang kemudian lepas secara irreguler. Pelepasan yang irreguler ini terjadi jika terdapat korpus luteum persisten dimana dukungan progestogenik tidak menurun setelah 14 hari sebagaimana normalnya, tetapi terus berlanjut diluar periode tersebut. Ini disebut PUD ovulatori.

3.

Klasifikasi a. Perdarahan Uterus Disfungsional pada Remaja Etiologinya diperkirakan karena disfungsi dari mekanisme kerja hipotalamus - hipofisis yang mengakibatkan anovulasi sekunder. Pada masa ini ovarium masih belum berfungsi dengan baik dan pada remaja yang mengalami perdarahan disfungsional sistem mekanisme siklus feedback yang normal belum mencapai kematangan. Kenaikan kadar estrogen tidak menyebabkan penurunan produksi FSH dan oleh karena itu produksi estrogen berjalan terus dan bertambah banyak. Kadar estrogen yang berfluktuasi dan berlangsung tanpa

keseimbangan progesteron mengakibatkan pertumbuhan endometrium yang berlebihan dan tidak teratur diikuti oleh pelepasan yang tidak beraturan dari lapisan-lapisan endometrium sehingga terjadi perdarahan yang beragam baik dalam hal jumlah dan lamanya maupun dalam hal frekuensi atau panjang siklusnya. b. Perdarahan Uterus Disfungsional pada Masa Reproduksi Ada tiga macam perdarahan disfungsional sebagai berikut : 1) Perdarahan teratur siklusnya namun jumlahnya melebihi normal (hypermenorrhoe), terjadi pada masa haid, dimana hal tersevut bisa selalu terjadi atau tidak. Perdarahan semacam ini sering terjadi dan haidnya biasanya anovulasi. Biasanya 90% disebabkan oleh lesi organik dan kadang-kadang bisa terjadi pada ketegangan psikologi dan pada pemeriksaan histologi endometrium menunjukkan tandatanda pengaruh gestagen yang tidak cukup. 2) Perdarahan berulang atau intermitten yang terjadi di luar siklus haid,misalnya terjadi pada masa pertengahan antara dua masa haid atau dalam fase post menstruasi. Yang pertama disebabkan penurunan kadar estrogen akibat peristiwa ovulasi dan perubahan fungsi folikel de Graff menjadi korpus luteum, dan yang kedua disebabkan oleh involusio yang terlambat atau persistensi dari

korpus luteum yang terus menghasilkan progesteron walaupun dalam kadar yang lebih rendah beberapa hari setelah proses degenerasi pada endometrium dimulai, sehingga perdarahan endometrium yang terjadi bisa banyak sekali. Hypermenorrhoe yang demikian bisa juga terjadi disebabkan produksi progesteron oleh korpus luteum yang tidak mencukupi dan perdarahan telah dimulai beberapa hari sebelum haid (perdarahan premenstruasi). 3) Yang jarang adalah episode perdarahan yang cukup banyak yang terjadi pada sembarang waktu dalam siklus haid dan tidak disertai ovulasi. Penyebabnya belum jelas, tetapi keadaan kongesti lokal dalam pelvis misalnya oleh karena kurang gerak badan, rangsangan seksual yang tidak memuaskan, akibat disharmoni dan

ketidakbahagiaan pernikahan dan pengaruh psikologis, semuanya dapat menjadi faktor predisposisi bagi terjadinya disfungsi ovarium yang pada akhirnya bisa menyebabkan produksi estrogen terganggu sedemikian rupa dan jauh melebihi kadar ambang proliferasi. Kadar estrogen yang jauh daripada kadar ambang ini bisa menyebabkan perdarahan pada endometrium. c. Perdarahan Uterus Disfungsional pada Masa menjelang menopause. Beberapa tahun menjelang menopause fungsi ovarium mengalami

kemunduran karena secara histologi di dalam korteks ovarium hanya tersisa sedikit jumlah folikel primordial yang resisten terhadap gonadotropin. Sekalipun terus terangsang oleh gonadotropin akan tetapi folikel tersebut tidak akan mampu menghasilkan jumlah estrogen yang cukup. Kekurangan estrogen yang berkelanjutan pada akhirnya akan menuju pada kemunduran peristiwa-peristiwa yang fungsinya bergantung pada kecukupan estrogen seperti ovulasi, menstruasi, kekuatan jaringan vagina dan vulva. Masa ini dikenal dengan masa klimaterium. Dalam periode ini timbullah gejala-gejala kekurangan estrogen seperti hypermenorrhoe dan haid yang tidak teratur.

4.

Patofisiologi Ovarium memiliki dua unit endokri terkait folikel penghasil estrogen selama paruh pertama siklus dan korpus luteum yang mengeluarkan progesteron dan estrogen selama paruh terakhir siklus. Unit- unit ini secara sekuensial dipicu oleh hubungan hormonal siklis anatara hipotalamus hipofisis anterior dan kedua unit endokrin ovarium (Sherwood, 2001) Fungsi gonad secara langsung dikontrol oleh hormon- hormon gonadotropik hipofisis anterior, follicle stimulating hormon (FSH) dan luiteinizing hormon (LH). Kedua hormon ini diatur oleh gonadotropin releasing hormone (GnRH) hipotalamus yang sekresinya pulsatif (Sherwood, 2001) .

Gambar II. 1. Axis Hipatalamus- Hipofisis- Ovarium (Farabe, 2010)

Selama fase folikel (paruh pertama siklus ovarium) folikel ovarium mengeluarkan estrogen dibawah pengaruh FSH dan LH. Kadar estrogen yang rendah namun terus meningkat tersebut menghambat sekresi FSH, yang menurun selama bagian terakhir fase folikel dan secara inkomplit menekan sekresi LH yang terus meningkat selama fase folikel. Pada saat pengeluaran estrogen mencapai puncaknya, kadar estrogen yang tinggi tersebut memicu lonjakan sekresi LH pada peretengahan siklus. Lonjakan LH ini menyebakan ovulasi folikel yang matang. Sekresi estrogen merosot sewaktu folikel mati pada ovulasi (Sherwood, 2001).

Sel- sel folikel lama diubah menjadi korpus luteum yang mengeluarkan progesteron serta estrogen selama fase luteal (paruh terakhir siklua ovarium). Progesteron sangat menghambat FSH dan LH, yang terus menurun selama fase luteal. Korpus luteum berdegenerasi dalam waktu sekitar dua minggu apabila ovum yang dikeluarkan tidak dibuahi dan tidak tertanam di uterus. Kadar estrogen dan progesteron menurun secara tajam pada korpus luteum berdegenerasi, sehingga pengaruh inhibitorik pada sekresi FSH dan LH lenyap. Kadar kedua hormon hipofisis anterior ini kembali meningkat dan merangsang berkembangnya folikel- folikel baru seiring dimulainya fase folikel (Sherwood, 2001). Fase- fase diuterus yang terjadi pada saat bersamaan mencerminkan pengaruh hormon- hormon diovarium pada uterus. Pada awal fase folikel, lapisan endometrium yang kaya akan pembuluh darah terlepas (fase haid uterus). Pelepasan ini terjadi akibat merosotnya estrogen dan progesteron ketika korpus luteum tua berdegenerasi pada akhir fase luteal sebelumnya. Pada akhir fase folikel, kadar estrogen yang meningkat menyebabkan endometrium menebal (fase proliferasi uterus). Setelah ovulasi, progesteron dari korpus luteum menimbulkan perubahan vaskuler dan sekretorik diendometrium yang telah dirangsang oleh estrogen untuk menghasilkan linkungan yang ideal untuk impalntasi (fase sekretorik). Sewaktu korpus luteum berdegenerasi, dimulailah fase folikel dan fase haid uterus yang baru (Sherwood, 2001).

Gambar II. 2. Siklus Menstruasi (Himro, 2011) Gangguan perdarahan pada perdarahan uterus disfungsional dapat berupa gangguan panjang siklus, gangguan jumlah dan lamanya perdarahan berlangsung dan gangguan keteraturan. Gangguan panjang siklus umumnya akibat disfungsi hipotalamus dan dapat berupa : a. b. Oligomenore : panjang siklus haid lebih dari 35 hari Polimenore : siklus haid kurang dari 21 hari.

Gangguan jumlah dan lama perdarahan dapat berupa a. Hipomenore : haid dengan perdarahan ringan dan berlangsung hanya beberapa jam sampai 2 hari saja. b. c. d. Hipermenore : haid yang teratur dengan jumlah darah yang banyak Menoragia : perdarahan haid yang lama, lebih dari 6 hari. Menometroragia : perdarahan yang banyak dan lama, lebih lama dari 14 hari (Corbacioglu, 2011; Wijknjosastro, 2002 ). Siklus mens yang normal, berasal dari penurunan kadar estrogen dan progesterone. Estrogen berfungsi dalam pertumbuhan kelenjar dan vaskularisasi endometrium, sedangkan progesteron terutama

mempengaruhi bagian stroma endometrium. Pada siklus mens normal, estrogen dan progesteron akan menstabilkan epitel endometrium, stroma dan vaskularisasi (Corbacioglu, 2011) a. Siklus anovulatori Karakteristik pada perdarahan anovulatori bersifat ireguler, banyak dan lama. Perdarahan yang terjadi pada siklus anovulatorik ini dikarenakan tidak terjadinya ovulasi, maka korpus luteum tidak terbentuk. Sehingga kadar progesteron akan rendah dan estrogen berlebihan. Tingginya kadar estrogen menyebabkan terjadi proliferatif endometrium, arteri spiralis dan vena kapiler mengalami dilatasi berlebihan dan jumlahnya meningkat. Karena kadar progesteron yang rendah, maka proliferatif endometrium tersebut tidak diimbangi dengan matrik stroma. Sehingga terjadi perdarahan yang disebabkan

oleh breakdown stroma endometrium. Keadaan hiperestrogen ini dapat dijumpai pada keadaan folikel persisten (Corbacioglu, 2011). Pada keadaan dimana kadar progesteron yang tinggi, terjadi pertumbuhan stroma endometrium namun tidak diimbangi dengan vaskularisasi yang baik. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kadar estrogen. Vaskuler yang terbentuk terdiri sel endotel yang tipis sehingga rapuh dan menyebabkan terjadinya perdarahan. Rendahnya kadar estrogen ini dijumpai pada keadaan insufficiency folikuler atau folikuler yang pendek (Corbacioglu, 2011). b. Sikulus ovulatori Karakteristik pedarahan pada siklus ovulatari ini, perdarahan bersifat reguler dan perdarahan banyak, dengan 90% keluar pada saat tiga hari pertama menstruasi. Pada perdarahan uterus disfungsional ovulatorik, perdarahan terjadi pada siklus ovulatorik dimana dasarnya adalah ketidak seimbangan hormonal akibat umur korpus luteum yang memendek atau memanjang, insufisiensi atau persistensi korpus luteum. Ketidaknormalan pada korpus luteum ini yang menyebabkan ketidakseimbangan pada estrogen dan progesteron (Corbacioglu, 2011). 5. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis pada perdarahan uterus disfungsional dapat berupa : 1. Perdarahan dapat terjadi setiap waktu dalam siklus haid. 2. Perdarahan akut dan banyak. 3. Perdarahan dapat bersifat ireguler. 4. Pada siklus anovulatari : perdarahan ireguler dan banyak. 5. Pada siklus ovulatori : perdarahan terprediksi, terjadi secara reguler, banyak kadang berkepanjangan (Forman et al., 2008) 6. Penegakan Diagnosis Langkah diagnostik perdarahan uterus disfungsional a. Perdarahan uterus abnormal didefinisikan sebagai setiap perubahan yang terjadi dalam frekuensi, jumlah dan lama perdarahan menstruasi.

b.

Perdarahan uterus abnormal meliputi PUD dan perdarahan lain yang disebabkan oleh kelainan organik.

c.

Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik

menyeluruh untuk

menyingkirkan diagnosis diferensial perdarahan uterus abnormal. d. Pada wanita usia reproduksi, kehamilan merupakan kelainan pertama yang harus disingkirkan. Perdarahan yang terjadi dalam kehamilan dapat disebabkan oleh abortus, kehamilan ektopik atau penyakit trofoblas gestasional. e. Penyebab iatrogenik yang dapat menyebabkan perdarahan uterus abnormal antara lain penggunaan obat-obatan golongan antikoagulan, sitostatika, hormonal, anti psikotik, dan suplemen. f. Setelah kehamilan dan penyebab iatrogenik disingkirkan langkah selanjutnya adalah melakukan evaluasi terhadap kelainan sistemik meliputi fungsi tiroid, fungsi hemostasis, dan fungsi hepar. Pemeriksaan hormon tiroid dan fungsi hemostasis perlu dilakukan bila pada anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala dan tanda yang mendukung. g. Bila terdapat galaktorea maka perlu dilakukan pemeriksaan terhadap hormon prolaktin untuk menyingkirkan kejadian hiperprolaktinemia. h. Bila tidak terdapat kelainan sistemik, maka langkah selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan kelainan pada saluran reproduksi. Perlu ditanyakan adanya riwayat hasil pemeriksaan pap smear yang abnormal atau riwayat operasi ginekologi sebelumnya. Kelainan pada saluran reproduksi yang harus dipikirkan adalah servisitis, endometritis, polip, mioma uteri, adenomiosis, keganasan serviks dan uterus serta hiperplasia endometrium. i. Bila tidak terdapat kelainan sistemik dan saluran reproduksi maka gangguan haid yang terjadi digolongkan dalam perdarahan uterus disfungsional (PUD) (Hestiantoro & Wikeko, 2007). Anamnesis Pada pasien yang mengalami PUD, anamnesis perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding.

10

Menanyakan riwayat menarke, lama dan jumlah darah haid. Selain itu perlu ditanyakan kehidupan keluarga serta latar belakang kehidupan emosialnya.

Gambar II. 3. Anamnesis untuk menyingkirkan dagnosis banding (Hestiantoro & Wikeko, 2007) Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan umum Pemeriksaan umum ditujukan untuk mengetahui kemungkinan adanya kelainan yang menjadi penyebab perdarahan. Perhatikan kemungkinan penyakit metabolik, penyakit sistemik atau penyakit akibat kelainan homeostasis. Menilai: a. Indeks massa tubuh (IMT > 27 termasuk obesitas) b. Tanda-tanda hiperandrogen c. Pembesaran kelenjar tiroid atau manifestasi hipo atau hipertiroid d. Galaktorea (kelainan hiperprolaktinemia) e. Gangguan lapang pandang (karena adenoma hipofisis) f. Faktor risiko keganasan endometrium Menyingkirkan: a. Kehamilan, kehamilan ektopik, abortus, penyakit trofoblas

11

b. Servisitis, endometritis c. Polip dan mioma uteri d. Keganasan serviks dan uterus e. Hiperplasia endometrium f. Gangguan pembekuan darah ( Hestiantoro & Wikeko, 2007) Pemeriksaan ginekologi Dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan kelainan organik yang dapat menyebabkan perdarahan abnormal misalnya : polip seviks, ulkus, perlukaan, erosi, radang, tumor, abortus dan keganasan. Pada wanita yang telah menikah, dapat dilakukan kuret dan pemeriksaan histopatologi, biasanya didapatkan endometrium yang hiperplasia

(Hestiantoro & Wikeko, 2007). Pemeriksaan penunjang

Gambar II. 4. Pemeriksaan Penunjang Untuk Menyingkirkan Diagnosis Banding (Hestiantoro & Wikeko, 2007)

12

7.

Tatalaksana Pada perdarahan uterus disfungsional langkah pertama yang harus dikerjakan adalah memperbaiki keadaan umum, termasuk pengatasan anemia. Langkah kedua adalah menghentikan perdarahan, baik secara hormonal maupun operatif. Setelah keadaan akut teratasi, sebagai langkah ketiga, dilakukan upaya pengembalian fungsi normal siklus haid dengan cara mengembalikan keseimbangan fungsi hormon reproduksi. Untuk ini dapat dilakukan pengobatan hormonal selama 3 siklus berturut-turut. Terapi Terdapat tiga obat- obatan yang digunakan dalam pentalaksanaan PUD yaitu : hormonal, nonsteroid antiinflamatory drugs (NSAID) dan antifibrinolitik. a. Estrogen Estrogen dalam dosis tinggi agar kadarnya meningkat dalam darah dan perdarahan berhenti. Dapat diberikan dipropionas estradiol 2,5 mg, benzoas estradiol 1,5 mg. Kekurangan dari terapi ini adalah setelah suntikan dihentikan perdarahan timbul lagi. Perdarahan akut yang banyak, dapat digunakan adalah EEK (Estrogen ekuin konjugasi) atau valeras estradiol (premarin), dengan dosis 2.5 mg per oral 4x1 dalam waktu 48 jam. EEK merupakan campuran yang terdiri dari estron (50%) dan ekuilin (25%), ditambah dengan 17-hidroksiekuilin, ekuilenin, 17 -estradiol, and 17-dihidroekuilenin dalam bentuk ester sulfat. Pemberian EEK dosis tinggi tersebut dapat disertai dengan pemberian obat anti-emetik seperti promethazine 25 mg per oral atau intra muskular setiap 4-6 jam sesuai dengan kebutuhan. Mekanisme kerja obat ini belum jelas, kemungkinan aktivitasnya tidak terkait langsung dengan endometrium. Obat ini bekerja untuk memicu vasospasme pembuluh kapiler dengan cara mempengaruhi kadar fibrinogen, faktor IV, faktor X , proses agregasi trombosit dan permeabilitas pembuluh kapiler (Hestiantoro & Wikeko, 2007; Rachman, 2004). b. Progesteron Tujuan pemberian progesteron adalah untuk memberikan

keseimbangan pengaruh estrogen. Progesteron yang banyak dipakai adalah

13

jenis

progesteron

yang

alamiah.

Termasuk

jenis

ini

adalah

medroksiprogesteron asetat (MPA) dan diprogesteron. Dosis MPA 10-20 mg perhari (Primolut N), selama 7-10 hari atau norethisteron 3 x 1 tab selama 7-10 hari. Sedangkan jenis progesteron sintetik diantaranya progestin. Obat ini akan bekerja menghambat penambahan reseptor estrogen serta akan mengaktifkan enzim 17-hidroksi steroid dehidrogenase pada sel-sel endometrium, sehingga estradiol akan dikonversi menjadi estron yang efek biologisnya lebih rendah dibandingkan dengan estradiol. Meski demikian penggunaan progestin yang lama dapat memicu efek anti mitotik yang mengakibatkan terjadinya atrofi endometrium. Progestin dapat diberikan secara siklik maupun kontinyu. Pemberian siklik diberikan selama 14 hari kemudian stop selama 14 hari, begitu berulang-ulang tanpa memperhatikan pola perdarahannya (Hestiantoro & Wikeko, 2007). c. Androgen Androgen mempunyai efek yang baik terhadap perdarahan disebabkan oleh hiperplasia endometrium. Terapi ini tidak dapat dilakukan terlalu lama mengingat bahaya virilisasi. Danazol adalah suatu sintetik isoxazol yang berasal dari turunan 17a-etinil testosteron. Obat tersebut memiliki efek androgenik yang berfungsi untuk menekan produksi estradiol dari ovarium, serta memiliki efek langsung terhadap reseptor estrogen di endometrium dan di luar endometrium. Pemberian dosis tinggi 200 mg atau lebih per hari dapat dipergunakan untuk mengobati PUD. Efek samping : peningkatan berat badan, kulit berminyak, jerawat, perubahan suara (Hestiantoro & Wikeko, 2007). d. Gonadotropine Releasing Hormone (GnRH) agonist Obat ini bekerja dengan cara mengurangi konsentrasi reseptor GnRH pada hipofisis melalui mekanisme down regulation terhadap reseptor dan efek pasca reseptor, yang akan mengakibatkan hambatan pada pelepasan hormon gonadotropin. Pemberian obat ini biasanya ditujukan untuk membuat penderita menjadi amenorea. Dapat diberikan leuprolide acetate 3.75 mg intra muskular setiap 4 minggu, namun pemberiannya dianjurkan tidak lebih dari 6 bulan. Apabila pemberiannya melebihi 6 bulan, maka

14

dapat diberikan tambahan terapi estrogen dan progestin dosis rendah (add back therapy). Efek samping: keluhan-keluhan mirip wanita menopause (misalkan hot flushes, keringat yang bertambah, kekeringan vagina), osteoporosis (terutama tulang-tulang trabekular apabila penggunaan GnRH agonist lebih dari 6 bulan) (Hestiantoro & Wikeko, 2007) e. Pil Kontrasepsi Kombinasi Perdarahan haid berkurang pada penggunaan pil kontrasepsi kombinasi akibat endometrium yang atrofi. Dosis yang dianjurkan pada saat perdarahan akut adalah 4x1 tablet selama 4 hari, dilanjutkan dengan 3x1 tablet selama 3 hari, dilanjutkan dengan 2x1 tablet selama 2 hari, dan selanjutnya 1x1 tablet selama 3 minggu. Selanjutnya bebas pil selama 7 hari, kemudian dilanjutkan dengan pemberian pil kontrasepsi kombinasi paling tidak selama 3 bulan. Apabila pengobatannya ditujukan untuk menghentikan haid, maka obat tersebut dapat diberikan secara kontinyu, namun dianjurkan setiap 3-4 bulan dapat dibuat perdarahan lucut. Efek samping dapat berupa perubahan mood, sakit kepala, mual, retensi cairan, payudara tegang, deep vein thrombosis, stroke dan serangan jantung (Hestiantoro & Wikeko, 2007). f. Antifibrinolitik Mekanisme kerjanya menghambat fibrinolisis dan digunakan dalam perdarahan. Antifibrinolitik akan bekerja pada pembuluh darah

endometrium. Asam traneksamat, obat ini bersifat inhibitor kompetitif pada aktivasi plasminogen. Plasminogen akan diubah menjadi plasmin yang berfungsi untuk memecah fibrin menjadi fibrin degradation products (FDPs). Antifibrinolitik ini dapat mengurangi perdarahan secara signifikan, namun dianggap kurang aman dikarenakan efaknya yang dapat menyebabkan tromboemboli (Albers, 2004). g. NSAID (Non Steroid Antiinflamatory Drugs) Secara keseluruhan NSAID menurunkan konsentrasi siklooksigenase sehingga menurunkan konsentrasi prostasiklin dan tromboksan.

Prostasiklin menyebabkan perdarahan dikarenakan efeknya merelaksasi pembuluh darah dan menghambat agregasi trombosit. Dengan pemberian

15

NSAID ini akan menurunkan prostasiklin dan akan menurunkan aliran darah ke uterus. Pemberian NSAID dapat dimulai sejak haid hari pertama dan dapat diberikan untuk 5 hari atau hingga haid berhenti. Efek samping: gangguan pencernaan, diare, ulkus peptikum (Behera, 2013).

Gambar II.5. Manajemen Perdarahan Uterus Disfungsional (Hestiantoro & Wikeko, 2007)

16

Gambar II.6. Manajemen Perdarahan Uterus Disfungsional (Hestiantoro & Wikeko, 2007)

17

BAB III LAPORAN KASUS

A. Identitas Nama No.CM Usia Jenis kelamin Pekerjaan Alamat Agama Suku Bangsa Status : Ny. M : 54 48 - 18 : 50 Tahun : Wanita : Ibu rumah tangga : Wananegara Wetan 3/3 Rembang : Islam : Jawa : Menikah

Nama Suami Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Alamat Agama Tanggal/Jam masuk B. Anamnesis

: Tn. M : 53 tahun : Laki-Laki : Swasta : Wananegara Wetan 3/3 Rembang : Islam : 17 Februari 2013 Pukul 13.14 WIB

(Dilakukan autoanamnesa dan alloanamnesa pada tanggal 19 Februari 2013 pukul 14.00) 1. Keluhan Utama Keluar darah dari jalan lahir 2. Keluhan Tambahan Pusing, lemah 3. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien baru datang ke VK IGD RSMS dengan keluhan keluar darah dari jalan lahir sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit dan dirasakan semakin memberat. Darah yang keluar banyak sebanyak 1

18

pembalut penuh sehingga pasien dapat mengganti pembalut hingga 10 kali dalam sehari. Darah yang keluar berwarna merah coklat, kehitaman dan menggumpal tanpa disertai nyeri perut bagian bawah. Pasien juga merasakan pusing disertai dengan badan terasa lemah sejak 3 hari yang lalu. Pasien memiliki riwayat mens yang tidak teratur dalam sebulan mendapat haid 2 kali dan pada tahun 2013 pasien mengatakan pernah berhenti selama 3 bulan. Pasien memiliki riwayat keputihan sebelumnya dengan warna putih kental, berbau amis dan terasa gatal. Pasien menyangkal adanya riwayat trauma pada alat kelamin wanita. Tidak ada riwayat sering mimisan dan mudah memar pada tubuh pasien. Tidak ada riwayat terjadi perdarahan pada alat kelamin pasien setelah melakukan hubungan seksual. Tidak ada riwayat mengkonsumsi obat obatan, minuman keras, jamu jamuan dan tidak merokok. Pasien pernah menggunakan kontrasepsi KB berupa pil, implant, dan suntik. 4. Riwayat Penyakit Dahulu 1. Penyakit Jantung 2. Penyakit Paru 3. Penyakit Diabetes Melitus 4. Penyakit Ginjal 5. Penyakit Hipertensi 6. Riwayat Alergi 7. Riwayat curetase indikasi PUD 5. Riwayat Penyakit Keluarga 1. Penyakit Jantung 2. Penyakit Paru 3. Penyakit Diabetes Melitus 4. Penyakit Ginjal 5. Penyakit Hipertensi 6. Riwayat Alergi 6. Riwayat Menstruasi 1. Lama haid : 7 hari : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal :diakui 2 minggu yang lalu atas

19

2. Siklus haid 3. Dismenorrhea 4. Jumlah darah haid 7. Riwayat Menikah

: tidak teratur 15 hari : tidak ada : normal (sehari pembalut 2 kali)

Pasien menikah sekali selama 33 tahun. 8. Riwayat Obstetri Test kehamilan (-) P4A2 Anak I Anak II Anak III Anak IV Anak V Anak VI 9. Riwayat KB Pasien mengaku menggunakan KB berupa pil, implant, dan suntik 10. Riwayat Ginekologi 1. Riwayat Operasi 2. Riwayat Keputihan gatal 11. Riwayat Sosial Ekonomi Pasien merupakan wanita yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan suaminya sehari-hari bekerja sebagai swasta (berdagang). : riwayat curetase 2 minggu yang lalu : warna putih kental, berbau amis dan terasa : Perempuan / 8 bulan /spontan / dukun / meninggal : 3 bulan / abortus / tidak kuret : Perempuan / 32tahun / spontan / dukun : 3 bulan / abortus / tidak kuret : Perempuan / 27 tahun / spontan / dukun : Perempuan / 17 tahun / spontan / dukun dan bidan

C. Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum Kesadaran Vital Sign : Tampak lemah : GCS E4M6V5 ( Compos Mentis) : TD: 100/70 mmHg, N: 80 x/menit, RR : 20 x/menit S : 36,9 0C Status Generalis 1. Pemeriksaan kepala Bentuk kepala : mesocephal, simetris

20

Mata

: simetris, konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-, refleks pupil +/+ normal, isokor, diameter 3/3 mm, edema palpebra -/-

Telinga Hidung Mulut 2. Pemeriksaan leher Trakea Gld Tiroid Limfonodi Colli 3. Pemeriksaan Toraks Paru Inspeksi

: discharge -/: discharge -/-, nafas cuping hidung -/: sianosis (-), lidah kotor -/-

: deviasi (-) : tidak teraba : tidak teraba

:dada simetris, ketertinggalan gerak (-), retraksi intercostal (-), pulsasi epigastrium (-), pulsasi parasternal (-)

Palpasi

:vokal fremitus menurun paru kanan = paru kiri ketertinggalan gerak (-)

Perkusi Auskultasi Jantung Inspeksi Palpasi

: redup pada seluruh lapang paru : SD vesikuler, RBH -/-, Wh -/-

: tidak tampak pulsasi ictus cordis di dinding dada : ictus cordis teraba SIC V 2 jari medial LMCS ictus cordis tidak kuat angkat

Perkusi

: batas jantung Kanan atas SIC II LPSD Kiri atas SIC II LPSS Kanan bawah SIC IV LPSD Kiri bawah SIC VI 2 jari lateral LMCS

Auskultasi

: S1>S2, regular, ST -/-

4. Pemeriksaan ekstermitas Superior Inferior : edema (-/-), jari tabuh (-/-), pucat (-/-), sianosis -/: edema (-/-), jari tabuh (-/-), pucat (-/-), sianosis -/-

21

Status Lokalis Abdomen Inspeksi Auskultasi Perkusi Palpasi : Datar : Bising usus (+) normal : timpani : Supel, Nyeri tekan (-) region suprapubik

Pemeriksaan Genitalia Eksterna Perdarahan per vaginam (+) warna merah kehitaman, leukhorrhea (-) Interna Vaginal Toucher - Dinding vagina: teraba licin, nyeri tekan (-), massa (-) - Porsio : ukuran sebesar ibu jari kaki, menghadap ke posterior, permukaan licin dan rata, konsistensi kenyal, porsio tebal, saat digoyangkan porsio mengikuti arah goyangan massa di abdomen. - Ostium uteri eksternum: tertutup - Corpus uteri: uterus teraba sebesar telur ayam, permukaan rata, tidak berbenjol benjol, sulit digerakkan, letak di garis tengah abdomen, nyeri tekan (-) - Adneksa dekstra: massa (-), nyeri tekan (-), ovarium tidak teraba - Adneksa sinistra: massa (-), nyeri tekan (-), ovarium tidak teraba Inspekulo : - Discharge (-) - Dinding vagina : tampak licin, hiperemis (-), massa (-), edem (-), ruggae (-) - Porsio / serviks: ukuran sebesar ibu jari kaki, menghadap posterior, permukaan rata, tidak berbenjol benjol, tampak licin, erosi (-), hiperemis (-) - Ostium uteri eksterna: tertutup, fluksus (+) - Forniks: tidak menonjol

22

D. Diagnosis IGD P4A2 post curetase 2 minggu yang lalu dengan perdarahan pervaginam atas indikasi DUB. E. Instruksi dan Terapi VK IGD Pukul 13.14 Pasien datang dipasang Infus RL, cek darah lengkap, PT, APTT, kima klinik Pukul 13.20 Lapor dokter jaga IGD, instruksi : a. IVFD RL 20 tpm makro b. Injeksi Kalnex 3 x 2 Amp c. Injeksi Adona 3 x 1 Amp (drip) d. Rawat ruang teratai F. Pemeriksaan Laboratorium Jenis Pemeriksaan Hemoglobin Leukosit Hematokrit Eritrosit Trombosit MCV MCH MCHC RDW Hitung Jenis Basofil Eosinofil Batang Segmen Limfosit Monosit Kimia Klinik Ureum darah Kreatinin darah (17/02/14) 14.05 12,0 g/dL 8.020/uL (L) 36 % (L) 4,0 391.000/uL 88,9 fL 29,7 pg 33,4% 13,5% 0,5% (L)1,6% (L)0,2% 56,1% 34,0% 7,6% (18/02/13) 20.36 (L)11,3 g/dL 6.850/uL (L) 34 % (L) 3,8 351.000/uL 89,1 fL 30,3 pg 33,7% 13,7% 0,4% 2,9% (L) 0,4% 48,3% (H) 40,4% 7,6% 22,9 0,65 (20/02/14) 17.28 (L)11,3g/dL (H) 11.470/ uL (L) 34 % (L)3,7/uL 330.000/uL 90,1 fL 30,4 pg 33,7% 13,6% 0,2% (L) 0,0 % (L) 0,3 % (H) 84,2 % (L) 8,9 % 7,1 % Nilai Rujukan 12-16 g/dl 480010800/ul 37-47 % 4,2-5,4/ul 150.000450.000/ul 79-99 fL 27-37 pg 33-37% 11,5-14,5 % 0-1% 2-4% 2-5% 40-70% 25-40% 2-8% 14,98-38,52 0,60-1,00

23

Glukosa sewaktu SGOT SGPT LDH Elektrolit Natrium Kalium Klorida Kalsium PT APTT HBsAg

148 13,4 detik 31,4 detik Non reaktif

200

11,5-15,5 26,0-36,0 Non reaktif

Pemeriksaan foto thoraks AP Tgl 19-02-2014 Cor : CTR < 50% Bentuk dan letak jantung normal distal tak tervisualisasi Pulmo : Corakan vaskuler normal Tak tampak bercak pada kedua lapang paru Kesan: Cor tak membesar Tak tampak infiltrate pada kedua lapang paru G. Operasi Histerektomi total dan Salpingooforektomi Bilateral Tgl 20/02/14 pukul 10.50-11.45 jenis anestesi GA Diagnosis pra bedah: P4A2 , 50 tahun dengan perdarahan pervaginam (DUB) berulang. H. Diagnosis Post Histerektomi total dan Salpingooforektomi Bilateral Setelah dilakukan histerektomi total dan salpingoooforektomi bilateral diagnosis P4A2 , 50 tahun post histerektomi total dan salfingooforektomi bilateral atas indikasi PUD berulang.

24

I.

Perkembangan Pasien

Follow Up di Bangsal Teratai Tanggal 18-02-2014 Subjektif Perdarahan berkurang dari awal masuk rumah sakit, ganti pembalut 3 kali. Objektif KU/kes : Sedang/ GCS E4M6V5 TD : 120/70 mmHg N : 88 x/menit RR: 20x/menit S : 36,1 C Status Generalis: - Mata : CA -/-, SI :-/- C: S1>S2 m g- P: SDV +/+, RH -/-, Wh -/Status Lokalis : Reg. Abdomen : Inspeksi: - datar, Perkusi: - timpani Auskultasi: - bising usus (+) normal Palpasi : - supel, nyeri tekan (-) Reg. genitalia eksterna -PPV (+) FA (-) KU/kes : sedang/ GCS E4M6V5 TD : 120/70 mmHg N : 84 x/menit RR: 20 x/menit S : 36,1C Status Assesment P4A2 , 50 tahun dengan perdarahan pervaginam berulang e.c PUD Planning - Infus RL 20 tpm - injeksi adona 3x1 amp - injeksi kalnex 3x2 amp

19-02-2014

Perdarahan masih, ganti pembalut 3 kali.

P4A2 , 50 tahun dengan perdarahan pervaginam berulang e.c PUD

- Infus RL 20 tpm - injeksi adona 3x1 amp - injeksi kalnex 3x2 amp

25

20-02-2014

Generalis: - Mata : CA -/-, SI :-/- C: S1>S2 reg m g- P: SDV +/+, RH -/-, Wh -/Status Lokalis : Reg. Abdomen : Inspeksi : - datar Palpasi : - supel, nyeri tekan (-) Perkusi: - timpani Auskultasi : - BU (+) N Reg. Genitalia externa: - PPV (+), FA() Status vegetatif: BAB: (+), BAK (+ DC), Flatus (+) Perdarahan KU/kes : masih, Sedang/ GCS ganti E4M6V5 pembalut 3 TD : 130/100 kali. mmHg N : 80 x/menit RR: 20 x/menit S : 36,6C Status Generalis: - Mata : CA -/-, SI :-/- C: S1>S2 reg m g- P: SDV +/+, RH -/-, Wh -/Status Lokalis : Reg. Abdomen

P4A2 , 50 tahun dengan perdarahan pervaginam berulang e.c PUD

- Infus RL 20 tpm - injeksi adona 3x1 amp - injeksi kalnex 3x2 amp histerektomi total pro

26

21/02/14

: Inspeksi : - datar Palpasi : - supel, nyeri tekan (-) Perkusi: -timpani Auskultasi : - BU (+) N Reg. Genitalia externa: - PPV (+), FA() Status vegetatif: BAB: (+), BAK (+ ), Flatus (+) Perdarahan KU/kes : Sedang/ GCS E4M6V5 TD : 140/100 mmHg N : 84 x/menit RR: 20 x/menit S : 36,3C Status Generalis: - Mata : CA -/-, SI :-/- C: S1>S2 reg m g- P: SDV +/+, RH -/-, Wh -/Status Lokalis : Reg. Abdomen : Inspeksi : - datar Palpasi : - supel, nyeri tekan (+) daerah bekas operasi Perkusi: -timpani Auskultasi :

P4A2 usia 50 tahun post histerektomi total dan salphingooforektomi bilateral atas indikasi PUD berulang

- Infus RL 20 tpm - injeksi Cefazolin 3x2 gr - injeksi ketorolac 3x30 mg - injeksi kalnex 3x1 amp -PO vit BC/C/SF 2x1

27

22/02/14

- BU (+) N Reg. Genitalia externa: - PPV (-), FA(-) Status vegetatif: BAB: (-), BAK (+DC), Flatus (+) Perdarahan KU/kes : Sedang/ GCS E4M6V5 TD : 130/100 mmHg N : 80 x/menit RR: 20 x/menit S : 36,3C Status Generalis: - Mata : CA -/-, SI :-/- C: S1>S2 reg m g- P: SDV +/+, RH -/-, Wh -/Status Lokalis : Reg. Abdomen : Inspeksi : - datar Palpasi : - supel, nyeri tekan (+) daerah bekas operasi Perkusi: -timpani Auskultasi : - BU (+) N Reg. Genitalia externa: - PPV (-), FA(-) Status vegetatif: BAB: (-), BAK (+DC), Flatus (+)

P4A2 usia 50 tahun post histerektomi total dan salphingooforektomi bilateral atas indikasi PUD berulang

- Infus RL 20 tpm - injeksi Cefazolin 3x2 gr - injeksi ketorolac 3x30 mg - PO Asam mefenamat 3x500 mg -PO vit BC/C/SF 2x1 - Boleh pulang

28

BAB IV PEMBAHASAN

1.

Apakah diagnosis pasien ini sudah tepat? Pada saat di IGD, diagnosis pasien ini adalah P4A2 post curetase 2 minggu yang lalu dengan perdarahan pervaginam atas indikasi DUB. a. P4A2 , sudah tepat karena pasien pernah melahirkan sebanyak 4 kali dan pernah mengalami keguguran sebanyak 2 kali namun kurang lengkap dikarenakan tidak dicantumkan usia dari pasien . b. post curetase 2 minggu yang lalu dengan perdarahan pervaginam atas indikasi DUB, kurang tepat dikarenakan 1. Anamnesis: Pasien datang dengan keluhan keluar darah dari jalan lahir sejak 2 bulan yang lalu dan dirasakan semakin memberat. Darah yang keluar banyak sebanyak 1 pembalut penuh sehingga pasien dapat mengganti pembalut hingga 10 kali dalam sehari. Darah yang keluar berwarna merah coklat, kehitaman dan menggumpal tanpa disertai nyeri perut bagian bawah. Pasien juga merasakan pusing disertai dengan badan terasa lemah sejak 3 hari yang lalu. Pasien menyangkal adanya riwayat trauma pada alat kelamin wanita. Tidak ada riwayat sering mimisan dan mudah memar pada tubuh pasien. Tidak ada riwayat terjadi perdarahan pada alat kelamin pasien setelah melakukan hubungan seksual. Tidak ada riwayat mengkonsumsi obat obatan, minuman keras, jamu jamuan dan tidak merokok. Pasien memiliki riwayat kuretase 2 minggu yang lalu atas indikasi perdarahan uterus disfungsional. 2. Pemeriksaan fisik Hanya dilakukan pemeriksaan abdomen saja tiddak dilakukan pemeriksaan bimanual maupun inspekulo, hasil pemeriksaan abdomen tidak didapatkan adanya kelainan. Pemeriksaan inspekulo dan bimanual dilakukan ketika pasien sudah masuk di bangsal teratai. Setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan bimanual dan inspekulo maka diagnosis yang tepat pada pasien ini adalah P4A2 usia 50 th

29

dengan perdarahan pervaginam berulang e.c PUD dan riwayat kuretase 2 minggu yang lalu. 3. Pemeriksaan penunjang Tidak dilakukan pemeriksaan USG 2. Penatalaksanaan a. Tatalaksana VK IGD Medikamentosa 1. Pasien diberikan injeksi Kalnex 3x2 Amp Kalnex atau biasa disebut juga asam traneksamat, obat ini bersifat inhibitor kompetitif pada aktivasi plasminogen. Plasminogen akan diubah menjadi plasmin yang berfungsi untuk memecah fibrin menjadi fibrin degradation products (FDPs). Antifibrinolitik ini dapat

mengurangi perdarahan secara signifikan. Pemberian injeksi kalnex pada pasien ini sudah tepat dikarenakan pasien mengeluhkan keluar perdarahan dari jalan lahir dengan jumlah yang banyak sehingga kalnex dapat berperan sebagai efek antifibrinolitik yang dapat mengentikan perdarahan secara signifikan. 2. Pasien diberikan injeksi adona 3x1 amp Adona atau biasa disebut juga carbazochrome merupakan obat hemostatik yang diindikasikan untuk perdarahan karena penurunan resistensi kapiler dan meningkatnya permeabilitas kapiler.

Carbazochorome merupakan derivate dari semikarbozon yang berfungsi untuk menghentikan perdarahan dengan memperbaiki permeabilitas kapiler. Pemberian injeksi adona pada pasien ini sudah tepat, hal ini didasarkan pada salah satu penyebab PUD adalah gangguan pada vaskularisasi endometrium. Gangguan vaskularisasi ini diakibatkan oleh rendahnya kadar estrogen yang menyebakan endotel vaskuler endometrium tipis, rapuh dan mudah berdarah. Sehingga dengan pemberian adona ini, dapat memperbaiki gangguan pada vaskuler dari endometrium dan mengurangi perdarahan.

30

b. Tatalaksana Teratai Tatalaksana di teratai sudah tepat yaitu dengan terus memonitoring tanda vital, hasil laboratorium, pasien telah di konsulkan pada spesialis yang terkait dan sudah diberikan pengobatan sesuai dengan instruksi spesialis. Di teratai juga telah dilakukan persiapan operasi untuk pasien ini separti, cek hasil laboratorium ulang, EKG, serta rontgen thorax mengingat usia pasien yang sudah lanjut. c. Tatalaksana Instalasi Bedah Sentral Tindakan explorasi laparotomi atas indikasi PUD berulang dengan jenis operasi total abdominal histerektomi dan bilateral salphingooforektomi. Waktu operasi 20 februari 2014 jam 10.50 11.45 WIB. Keputusan tindakan operasi sudah sesuai dengan indikasi terapi bedah untuk PUD menurut panduan tatalaksana perdarahan uterus disfungsional yang

diterbitkan Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia jika terapi medikamentosa tidak berhasil mengentikan perdarahan dilakukan terapi pembedahan histerektomi. Keputusan ini sesuai dengan Standar

Operasional prosedur RSMS karena perdarahan uterus yang tidak respon terhadap terapi konservatif. Jenis operasi yang dipilih sesuai karena usia pasien yang melebihi 40 tahun sehingga dikerjakan total histerektomi dan BSO (bilateral salphingooforektomi). d. Tatalaksana Teratai post Operasi 1) Sudah sesuai untuk monitoring dan memulihkan keadaan pasien baik secara klinis maupun secara laboratories, dan menjaga keseimbangan elektrolit dengan pemberian RL. 2) Mengurangi keluhan post operasi seperti nyeri dan pembertian profilaksis antibiotik dan pemberian vitamin. a) Injeksi ketorolac Ketorolac adalah obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID). Indikasi penggunaan ketorolac adalah untuk inflamasi akut dalam jangka waktu penggunaan maksimal selama 5 hari. Ketorolac selain digunakan sebagai anti inflamasi juga memiliki efek anelgesik yang bisa digunakan sebagai pengganti morfin pada keadaan pasca operasi

31

ringan dan sedang. Efeknya menghambat biosintesis prostaglandin. Kerjanya sintetase). menghambat Selain enzim siklooksogenase sintese (prostaglandin juga

menghambat

prostaglandin,

menghambat tromboksan A2. Ketorolac tromethamine memberikan efek anti inflamasi dengan menghambat pelekatan granulosit pada pembuluh darah yang rusak, menstabilkan membrane lisosom dan menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear dan makrofag ke tempat peradangan. b) Injeksi cefazolin Cefazolin merupakan generasi pertama cephalosporin, cara kerja dari obat ini adalah menginaktivasi dinding sel bakteri pada proses pembelahan sel bakteri dan berperan penting pada aktivasi autolysis pada sel bakteri yang akan mengakibatkan lisisnya bakteri. Oleh karena itu, cefazolin banyak digunakan untuk infeksi serta sebagai profilaksis infeksi pascaoperasi. c) Asam mefenamat Asam mefenamat termasuk dalam golongan non steroid anti inflammatory drug yang berfungsi menurunkan konsentrasi

prostasiklin. Prostasiklin menyebabkan perdarahan dikarenakan efeknya merelaksasi pembuluh darah dan menghambat agregasi trombosit. Dengan pemberian NSAID ini akan menurunkan konsentrasi prostasiklin dan akan menurunkan aliran darah ke uterus. 3. Diagnosis Akhir a. Ketepatan Diagnosis P4A2 usia 50 tahun post histerektomi total dan salphingooforektomi bilateral atas indikasi PUD berulang, dinilai Diagnosis yang ada sudah tepat dikarenakan: 1) P4A2 usia 50 tahun, sudah tepat karena pasien berusia 50 tahun, sudah pernah melahirkan sebanyak 4 kali dan pernah mengalami abortus sebanyak 4 kali 2) Post histerektomi total dan salphingooforektomi bilateral atas indikasi PUD berulang sudah tepat karena terdapat:

32

a.

Anamnesis Pasien datang dengan keluhan keluar darah dari jalan lahir sejak 2 bulan yang lalu dan dirasakan semakin memberat. Darah yang keluar banyak sebanyak 1 pembalut penuh sehingga pasien dapat mengganti pembalut hingga 10 kali dalam sehari. Darah yang keluar berwarna merah coklat, kehitaman dan menggumpal tanpa disertai nyeri perut bagian bawah. Pasien juga merasakan pusing disertai dengan badan terasa lemah sejak 3 hari yang lalu. Pasien menyangkal adanya riwayat trauma pada alat kelamin wanita. Tidak ada riwayat sering mimisan dan mudah memar pada tubuh pasien. Tidak ada riwayat terjadi perdarahan pada alat kelamin pasien setelah melakukan hubungan seksual. Tidak ada riwayat mengkonsumsi obat obatan, minuman keras, jamu jamuan dan tidak merokok. Pasien memiliki riwayat kuretase 2 minggu yang lalu atas indikasi perdarahan uterus

disfungsional. b. Pemeriksaan Fisik Hanya dilakukan pemeriksaan abdomen saja tiddak dilakukan pemeriksaan bimanual maupun inspekulo, hasil pemeriksaan abdomen tidak didapatkan adanya kelainan. Pemeriksaan inspekulo dan bimanual dilakukan ketika pasien sudah masuk di bangsal teratai dan tidak didapatkan adanya kelainan pada kedua pemeriksaan tersebut.

33

KESIMPULAN

1. Diagnosis pada kasus ini saat datang ke VK IGD RSMS adalah Para 4 Abortus 2, post curetase 2 minggu yang lalu dengan perdarahan pervaginam atas indikasi DUB. 2. Diagnosis 1 jam setelah masuk RS menjadi Para 4 Abortus 2, usia 50 tahun, dengan perdarahan pervaginam berulang e.c PUD 3. Sebelum dilakukan operasi histerektomi, dilakukan evaluasi terhadap kondisi ibu dengan mengevaluasi secara klinis dan laboratories. 4. Dilakukan tindakan eksplorasi laparotomy dengan jenis operasi total abdominal histerektomi dan bilateral salpingooforektomi untuk mengentikan perdarahan dan sebelumnya terapi konservatif dianggap gagal untuk menghentikan perdarahan. 5. Post operasi dilakukan monitoring dan memulihkan keadaan pasien baik secara klinis maupun secara laboratories, dan menjaga keseimbangan elektrolit dengan pemberian RL. 6. Mengurangi keluhan post operasi seperti nyeri dan pembertian profilaksis antibiotik dan pemberian vitamin. 7. Dua hari post operasi pasien diperbolehkan untuk pulang dan disarankan control rutin di poli kandungan dan kebidanan.

34

DAFTAR PUSTAKA

Albers,

Janet.

2004.

Abnormal

Uterine

Bleeding.

Available

from

http://www.aafp.org/afp/2004/0415/p1915.html [Accessed 29 Maret 2014] Badziad A. 2003. Gangguan Haid. Endokrinologi Ginekologi edisi kedua, Media Aesculapius FK UI, Jakarta. Behera, Millie. A., Thomas, MP. 2010. Dysfuctional Uterine Bleeding. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/257007 [Accessed 10 Maret 2014] Behera, Millie. A., Thomas, MP. 2013. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/257007 [Accessed 2 April 2014] Corbacioglu, Aytul. 2011. The Management of Dysfunctional Uterine Bleeding. Available from: http://www.intechopen.com/books/update-on-

mechanisms-of hormone- [Accessed 29 Maret 2014] Farabee, M.J. 2010. The Reproductive System. Availabe From

www.estrellamountain.edu/faculty [Accessed 2 April 2014] Forman, Alayna, et. al. 2008. Abnormal Uterine Bleeding. Available from : http://www.arhp.org/publications-and-resources/clinical-factsheets/abnormal-uterine-bleeding [Accessed 2 April 2014] Hestiantoro, A. Wiweko, B. 2007. Panduan Tatalaksana Perdarahan Uterus Disfungsional. Himpunan Endokrinologi-Reproduksi dan Fertilitas

Indonesia POGI, Jakarta. Himro. 2011. Menstrua Cycle- Gynecology Lecture. Available from : http://dentistryandmedicine [Accessed 29 Maret 2014] Rachman, A. 2004. Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopouse. Available From : buk.depkes.go.id/index.php?option=com .[Accessed 2 April 2014] Sherwood, Lurence. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. EGC : Jakarta Wijknjosastro. 2002. Haid dan Siklusnya. Ilmu Kandungan. Yayasan Bina Pustaka, Jakarta.

35

Anda mungkin juga menyukai