Anda di halaman 1dari 3

1

I PENDAHULUAN




1.1. Latar Belakang
Zat pewarna merupakan bahan tambahan pangan yang digunakan untuk
memperbaiki penampakan, memperoleh warna produk yang lebih baik serta
membuat warna produk menjadi seragam. Zat pewarna yang digunakan dalam
produk pangan sekarang ini dapat berupa pewarna sintetis maupun pewarna
alami. Dari data yang diperoleh Food and Drug Administration (FDA) diketahui
penggunaan pewarna sintetis mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada
tahun 1955 konsumsi pewarna sintetis masih berkisar 10-15 mg/orang/hari dan
mengalami peningkatan signifikan pada tahun 1975 dimana penggunaannya
mencapai 30-35 mg/orang/hari. Pada tahun 2009 penggunaan pewarna sintetis
telah meningkat 2x lipat dibanding pada tahun 1975 dimana konsumsinya
mencapai 60 mg/orang/hari (Kobylewski, 2010).
Pewarna sintetis banyak digunakan karena memiliki kelebihan mudah untuk
dibuat dan memiliki harga yang murah dengan hasil yang menarik. Namun
pewarna sintetis dapat memberikan efek negatif bagi kesehatan apabila
dikonsumsi dalam jangka waktu lama dan dalam jumlah yang banyak
(Ahaditomo, 1991 dalam Hardiansis, 2003). Oleh karena itu, banyak dilakukan
eksplorasi untuk memperoleh pewarna alami yang tidak berbahaya bagi
kesehatan dan dapat diaplikasikan pada produk pangan secara luas.
Zat pewarna alami dapat diperoleh dari tanaman atau buah yang diekstrak.
Menurut Dhale (2007), produksi zat pewarna alami yang tidak berbahaya bagi
kesehatan ternyata dapat diperoleh dengan cara lain yaitu fermentasi oleh
mikroba. Ketertarikan mengenai pigmen hasil fermentasi mikroba muncul karena
pigmen hasil fermentasi mikroba memiliki kelebihan dibanding pewarna alami
lainnya, yaitu hasil yang diperoleh tidak tergantung pada musim dan kondisi
geografis, serta lebih mudah dikontrol dan diprediksi (Joshi et al., 2003). Salah
satu pewarna alami oleh fermentasi mikroba dapat diperoleh dari fermentasi
angkak.
Angkak merupakan produk hasil fermentasi beras oleh kapang Monascus
purpureus. Selama proses fermentasi, Monascus purpureus akan menghasilkan
metabolit sekunder berupa pigmen sehingga beras yang dihasilkan memiliki
2

warna merah. Menurut Fardiaz dan Zakaria (1996) dalam Purwanto (2008),
pigmen angkak sangat potensial untuk dikembangkan karena tidak
menyebabkan reaksi alergi pada hewan coba. Pigmen merah ini juga memiliki
sifat yang tahan terhadap suhu tinggi (heat stable dan autoclaveable) (Wang dan
Lin, 2007).
Kelebihan lain dari pewarna angkak adalah kemampuannya untuk
menurunkan kolesterol dan trigliserida. Kemampuan ini dikarenakan pada saat
fermentasi beras, Monascus purpureus juga menghasilkan metabolit sekunder
lainnya yaitu lovastatin. Lovastatin merupakan senyawa statin yang merupakan
senyawa inhibitor kompetitif HMG-KoA (3-hidroksi-3 metilglutaril Koenzim A)
reduktase dimana senyawa ini dapat membantu menurunkan kadar kolesterol
(King 2007 dalam Triana dan Nurhidayat, 2009). Herber (1999) mengatakan
bahwa lovastatin dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah sebesar 11-
32% dan kadar trigliserida sebesar 12-19% serta tidak menyebabkan efek
samping. Yang menjadi permasalahan adalah kadar lovastatin yang dihasilkan
pada fermentasi angkak masih rendah (Chiu et al., 2006).
Peningkatan intensitas pigmen merah dan kadar lovastatin dapat dilakukan
dengan metode ko-kultur, yaitu kombinasi dua atau lebih jenis mikroba yang
berbeda pada suatu media fermentasi. Salah satu ko-kultur yang dapat
digunakan adalah Saccharomyces cerevisiae. Shin et al. (1998) telah melakukan
penelitian untuk mengetahui pengaruh ko-kultur Monascus purpureus dengan
berbagai mikroorganisme, dimana penggunaan Saccharomyces cerevisiae
memiliki pengaruh paling tinggi terhadap peningkatan intensitas pigmen merah
yang dihasilkan. Masalah utama dalam fermentasi secara ko-kultur Monascus
purpureus dengan Saccharomyces cerevisiae adalah produksi pigmen dan
lovastatin yang dapat mengalami penurunan akibat penambahan
Saccharomyces cerevisiae terlalu awal atau dalam konsentrasi yang terlalu tinggi
(Lim et al., 2000). Oleh karena itu sangat penting dilakukan penelitian mengenai
interaksi waktu dan konsentrasi penambahan inokulum Saccharomyces
cerevisiae yang tepat sehingga tidak menekan pertumbuhan dari Monascus
purpureus namun dapat meningkatkan intensitas pigmen merah dan kadar
lovastatin.


3

1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian yang diuraikan diatas maka dapat dirumuskan masalah pada
penelitian ini yaitu :
Berapakah konsentrasi dan waktu penambahan inokulum Saccharomyces
cerevisiae yang dapat meningkatkan intensitas pigmen dan kadar lovastatin
selama fermentasi angkak?
Berapa intensitas pigmen dan kadar lovastatin tertinggi yang dihasilkan dari
fermentasi angkak dengan penambahan Saccharomyces cerevisiae?

1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah
Mengetahui konsentrasi dan waktu penambahan inokulum Saccharomyces
cerevisiae yang dapat meningkatkan intensitas pigmen merah dan kadar
lovastatin yang dihasilkan selama fermentasi angkak.
Mengetahui intensitas pigmen dan kadar lovastatin tertinggi yang dihasilkan
dari fermentasi angkak dengan penambahan Saccharomyces cerevisiae.

1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan angkak yang memiliki intensitas
pigmen dan kadar lovastatin yang lebih tinggi dengan penambahan
Saccharomyces cerevisiae dan memberikan informasi tentang pontesi angkak
sebagai alternatif pewarna alami yang mengandung lovastatin.

Anda mungkin juga menyukai