Anda di halaman 1dari 18

5

BAB II
TINJAUAN TEORI

1. PENYAKIT CHIKUNGUNYA
A. DEFINISI
Chikungunya adalah penyakit yang ditandai dengan demam mendadak, nyeri pada
persendian terutama sendi lutut, pergelangan, jari kaki dan tangan serta tulang belakang
yang disertai ruam (kumpulan bintik-bintik kemerahan) pada kulit. Gejala lainnya yang
dapat dijumpai adalah nyeri otot, sakit kepala, menggigil, kemerahan pada konjunktiva,
pembesaran kelenjar getah bening di bagian leher, mual, muntah dan kadang-kadang disertai
dengan gatal pada ruam. Belum pernah dilaporkan adanya kematian karena penyakit ini
(Suharto, 2007).

B. ETIOLOGI
Penyakit chikungunya merupakan penyakit yang klasik yang telah lama dikenal di
masyarakat yang disebabkan oleh gigitan nyamuk terutama jenis aedes aegypti, aedes
albopictus dan jenis aedes lainnya seperti ae.africanus, ae.lutheochephalus, ae. opok, ae.
furcifer, ae. taylor, ae. cordeillieri. secara bionomik chikungunya termasuk
keluarga togaviridae, sub keluarga dari alphavirus, yang terdiri dari virus-virus;
chikungunya, semliki forest, onyong-nyong, getah virus, easter equine ensefalitis, ross river
virus, western equine ensefalitis virus, virus sendai dan lain-lain, yang masih memiliki
hubungan saudara dengan sub keluarga flavivirus yang terdiri dari virus dengue (demam
berdarah), virus ensafalitis jepang (japanese enchephalitis), virus demam kuning (yellow
fever) (Widodo, 2010).
Penyebab penyakit ini adalah sejenis virus, yaitu alphavirus dan ditularkan lewat
nyamuk aedes aegypti. Nyamuk yang sama juga menularkan penyakit demam berdarah
dengue. Meski masih bersaudara dengan demam berdarah, penyakit ini tidak mematikan.
Penyakit chikungunya disebarkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Penyakit chikungunya
6

disebabkan oleh sejenis virus yang disebut virus chikungunya. Virus chikungunya ini masuk
keluarga togaviridae, genus alphavirus. Sejarah chikungunya di Indonesia, penyakit ini
berasal dari daratan Afrika dan mulai ditemukan di Indonesia tahun 1973 (Wikipedia, 2004).

C. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia, KLB penyakit Chikungunya pertama kali dilaporkan dan tercatat pada
tahun 1973 terjadi di Samarinda Provinsi Kalimantan Timur dan di DKI Jakarta, Tahun 1982
di Kuala Tungkal Provinsi Jambi dan tahun 1983 di Daerah Istimewa Yogyakarta. KLB
Chikungunya mulai banyak dilaporkan sejak tahun 1999 yaitu di Muara Enim (1999), Aceh
(2000), Jawa Barat ( Bogor, Bekasi, Depok ) pada tahun 2001, yang menyerang secara
bersamaan pada penduduk di satu kesatuan wilayah (RW/Desa ). Pada tahun 2002 banyak
daerah melaporkan terjadinya KLB Chikungunya seperti Palembang, Semarang, Indramayu,
Manado, DKI Jakarta , Banten, Jawa Timur dan lain-lain. Pada tahun 2003 KLB
Chikungunya terjadi di beberapa wilayah di pulau Jawa, NTB, Kalimantan Tengah. Tahun
2006 dan 2007 terjadi KLB di Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Selatan. Dari tahun 2007
sampai tahun 2012 di Indonesia terjadi KLB Chikungunya pada beberapa provinsi dengan
149.526 kasus tanpa kematian. Penyebaran penyakit Chikungunya biasanya terjadi pada
daerah endemis Demam Berdarah Dengue. Banyaknya tempat perindukan nyamuk sering
berhubungan dengan peningkatan kejadian penyakit Chikungunya. Saat ini hampir seluruh
provinsi di Indonesia potensial untuk terjadinya KLB Chikungunya. KLB sering terjadi pada
awal dan akhir musim hujan. Penyakit Chikungunya sering terjadi di daerah sub urban.

D. BIONOMIK VEKTOR
Bionomik vektor sangat penting diketahui karena berhubungan dengan tindakantindakan
dalam pencegahan dan pemberantasannya yang berhubungan dengan tempat perindukan,
kebiasaan mengigit, tempat istirahat, jarak terbang dan siklus hidup.
1. Tempat Perindukan (Breeding Place)
Tempat perindukan utama adalah tempat-tempat penampungan air di dalam dan di luar
sekitar rumah. Nyamuk A. aegypti tidak berkembang biak di genangan air yang langsung
7

berhubungan dengan tanah. Jenis-jenis tempat perindukan nyamuk A. aegypti dapat
dikelompokan sebagai berikut:
a. Tempat penampungan air (TPA), untuk keperlakuan sehari-hari seperti drum,
tengki reservoir, tempayan, bak mandi, WC, ember dan lain- lain.
b. Tempat penampungan bukan keperluan sehari-hari seperti tempat minum burung,
vas bunga, perangkap semut, barang-barang bekas (ban, kaleng, botol, plastik dan
lain-lain).
1) Tempat minum hewan piaraan
Tempat minum hewan piaraan yang dimaksud adalah tempattempat minum
hewan piaraan yang dimiliki oleh responden yang berada di lingkungan
sekitar rumah baik di dalam rumah maupun di luar rumah, misalnya: tempat
minum burung, tempat minum ayam, dan hewan piaraan yang lain.
2) Barang barang bekas
Barangbarang bekas yang dimaksud adalah barangbarang yang sudah tidak
terpakai yang dapat menampung air, yang berada di dalam maupun di luar
rumah responden. Barang barang tersebut antara lain: kaleng, ban bekas,
botol, pecahan gelas, dll.
3) Vas bunga
Vas bunga yang dimaksud adalah vas bunga yang berisi air yang terletak di
dalam rumah responden yang memungkinkan nyamuk A. aegypti
berkembangbiak di dalam vas bunga tersebut.
4) Perangkap semut
Perangkap semut yang dimaksud adalah tempat perangkap semut yang berisi
air yang biasanya diletakkan dibawah kaki meja untuk mencegah semut
semut naik keatas meja yang berisi makanan yang terletak di dalam rumah
responden.
5) Penampungan air dispenser
Penampungan air dispenser yang dimaksud adalah tempat penampungan air
yang menyatu dengan dispenser yang terletak dibawah alat yang digunakan
8

untuk mengalirkan air di dalam wadah/galon dispenser, letaknya di dalam
rumah responden.
6) Pot tanaman air
Pot tanaman air yang dimaksud adalah pot pot berisi air yang digunakan
sebagai media tanaman air untuk hidup, yang terletak di dalam maupun di
luar rumah responden.
7) Tempat penampungan air ilmiah seperti lubang pohon, pelepah daun,
tempurung kelapa, talang penampungan air hujan (Suroso, 2000 dan
Soedarmo, 1988).
2. Kebiasaan Mengigit (Feeding Habit)
Nyamuk A. aegypti lebih menyukai darah manusia dari pada binatang
(antropofilik). Darahnya diperlukan untuk mematangkan telur jika dibuahi oleh nyamuk
jantan sehingga menetas. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan perkembangan
telur mulai dari nyamuk menghisap darah sampai telur dikeluarkan biasanya bervariasi
antara 3-4 hari. Jangka waktu tersebut satu siklus gonotropik (Suroso, 2000 dan
Soedarmo, 1988). Nyamuk ini aktif pada siang hari dan mengigit di dalam dan diluar
rumah. Mempunyai dua puncak aktifitas dalam mencari mangsa yaitu mulai pagi hari dan
petang hari yaitu antara pukul 09.00 10.00 WIB dan 16.00 - 17.00 WIB.
3. Tempat Istirahat (Resting Place)
Tempat yang disayangi nyamuk untuk beristirahat selama menunggu bertelur
adalah tempat yang gelap, lembab dan sedikit angin. Nyamuk A. aegypti biasanya
hinggap di dalam rumah pada benda-benda yang bergantungan seperti pakaian, kelambu
(Suroso, 2000 dan Soedarmo, 1988)
4. Jarak Terbang (Flight Habit)
Pergerakan nyamuk A. aegypti dari tempat perindukan ke tempat mencari mangsa
dan tempat istirahat ditentukan oleh kemampuan terbang nyamuk A. aegypti betina
adalah rata-rata 40-100 meter. Namun secara pasif karena angin dapat terbang sejauh 2
km (Depkes RI, 1992).



9

E. Siklus Hidup Nyamuk
Siklus hidup nyamuk A. aegypti mengalami metamorfosa sempurna dengan tahap telur,
larva, pupa dan dewasa.
1. Telur
Nyamuk A. aegypti betina suka bertelur diatas permukaan air pada dinding
vertikal bagian dalam tempat-tempat yang berisi air jernih dan terlindung dari
cahaya matahari langsung. Tempat air yang dipilih adalah tempat air di dalam
rumah dan dekat. Telur A. aegypti berwarna hitam seperti sarang tawon
(Soedarmo, 1988). Telur diletakkan satu persatu di tempat yang gelap, lembab
dan tersembunyi di dalam rumah dan bangunan, termasuk di kamar tidur, kamar
mandi, kamar kecil, maupun dapur. Perkembangan embrio biasanya selesai
dalam 48 jam di lingkungan yang hangat dan lembab. Begitu poses emberionasi
selesai, telur akan menjalani masa pengeringan yang lama (lebih dari satu tahun).
Telur akan menetas pada waktu yang sama. Kapasitas telur untuk menjalani masa
pengeringan akan membantu mempertahankan kelangsungan spesies selama
kondisi iklim buruk (Suroso, 2003).
2. Larva
Telur yang tidak menetas karena keadaan lingkungan yang tidak sesuai
membentuk larva yang dilapisi kista dapat bertahan lebih dari setahun berbentuk
oval dan berwarna putih. Larva A. aegypti menempel di permukaan dinding
vartikel sampai pada waktu menetas (Suroso, 2003). Perkembangan larva
tergantung pada suhu, ketersediaan makanan dan kepadatan larva pada sarang.
Pada kondisi yang optimum, waktu yang dibutuhkan mulai dari penetasan sampai
kemunculan nyamuk dewasa akan berlangsung sedikitnya selama 7 hari termasuk
dua hari untuk masa menjadi pupa, sedangkan pada suhu yang rendah
membutuhkan beberapa minggu untuk kemunculan nyamuk dewasa. Habitat
alami larva jarang ditemukan, tetapi dapat ditemukan di lubang pohon, pangkal
daun dan tampurung kelapa. Selain di tempat alami larva dapat juga ditemukan
pada kendi air, kaleng, pot bunga, botol, tempat penampung air terbuat dari
logam dan kayu, ban (Suroso, 2003). Pada daerah yang panas dan kering, tangki
air diatas, tangki penyimpanan air di tanah dan septic tank bisa menjadi tempat
10

habitat larva yang utama dan pada wilayah yang persediaan airnya tidak teratur,
penghuni menyimpan air untuk kegunaan rumah tangga sehingga memperbanyak
jumlah habitat yang ada untuk larva (Suroso, 2003).
3. Pupa
Pupa nyamuk A. aegypti bentuk tubuhnya bengkok, dengan bagian kepala
dada lebih besar dibandingkan dengan bagian perutnya, sehingga tampak seperti
tanda baca koma. Pada bagian punggung (dorsal) dada terdapat alat pernapasan
seperti terompet. Pada ruas perut ke-8 terdapat sepasang alat pengayuh yang
berguna untuk berenang. Alat pengayuh tersebut berjumbai panjang dan bulu
pada ruas perut tidak bercabang. Pupa adalah bentuk tidak makan, tampak
gerakannya lebih lincah bila dibandingkan dengan larva. Waktu istirahat posisi
pupa sejajar dengan bidang permukaan air (Soegeng, 2006).
4. Nyamuk Dewasa
Nyamuk Aedes larva dan nyamuk dewasa banyak ditemukan disepanjang
tahun di semua kota di Indonesia sesaat setelah menjadi dewasa akan kawin
dengan nyamuk betina yang sudah dibuahi dan akan menghisap darah dalam
waktu 24-36 jam. Darah merupakan sumber protein yang esensial untuk
mematangkan telur (Depkes RI, 2004).

F. Lingkungan mempengaruhi penularan Chikungunya
Lingkungan biologi yang mempengaruhi penularan Chikungunya terutama adalah
banyaknya tanaman hias dan tanaman pekarangan yang mempengaruhi pencahayaan dan
kelembaban di dalam rumah. Kelembaban yang tinggi dan kurangnya pencahayaan dalam
rumah merupakan tempat yang disenangi oleh nyamuk untuk istirahat. Lingkungan fisik
yaitu seperti ketinggian tempat, curah hujan, temperatur dan kelembaban.
1. Variasi Musiman
Pola berjangkit virus Chikungunya tidak jauh beda dengan virus dengue yaitu
dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-32C) dengan
kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu
yang lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat,
11

maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda di setiap tempat. Pada musim hujan
tempat perkembangbiakan A. aegypti yang pada musim kemarau tidak terisi, mulai terisi
air. Telur telur yang belum sempat menetas pada waktu singkat akan menetas. Selain
itu pada musim hujan semakin banyak tempat tempat penampungan air alamiah yang
terisi air hujan yang dapat digunakan sebagai tempat perkembangan nyamuk ini. Karena
itu pada musim penghujan popolasi nyamuk A. aegypti meningkat. Dengan bertambahnya
populasi nyamuk merupakan salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan virus
Chikungunya. Faktor lain yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus
Chikungunya sangat kompleks, yaitu pertumbuhan penduduk yang tinggi, urbanisasi
yang tidak terencana dan tidak terkendali, tidak adanya kotrol vektor nyamuk yang
efektif di daerah endemis dan peningkatan sarana transportasi (Depkes RI, 2004).
2. Ketinggian Tempat
Ketinggian tempat berpengaruh terhadap perkembangan nyamuk. Wilayah
dengan ketinggian diatas 1000 meter dari permukaan laut tidak ditemukan nyamuk A.
aegypti karena ketinggian tersebut suhu terlalu rendah sehingga tidak memungkinkan
bagi kehidupan nyamuk (Soedarmo, 1988).
3. Curah Hujan
Hujan akan menambah genangan air sebagai tempat perindukan dan menambah
kelembaban udara. Temperatur dan kelembaban selama musim hujan sangat kondusif
untuk kelangsungan hidup nyamuk yang terinfeksi (Suroso, 2003).
4. Temperatur
Virus Chikungunya hampir sama dengan virus dengue yaitu hanya endemik di
daerah tropis dimana suhu memungkinkan untuk perkembangbiakan nyamuk. Suhu
optimum pertumbuhan nyamuk adalah 25C 27C. Pertumbuhan akan terhenti sama
sekali bila suhu kering dari 10 C atau lebih dari 40C (Suroso, 2003).


G. MEKANISME PENULARAN
Virus Chikungunya ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes SPP
Nyamuk lain mungkin bisa berperan sebagai vektor namun perlu penelitian lebih lanjut.
Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus Chikungunya pada saat menggigit manusia
12

yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum demam sampai 5 hari setelah demam
timbul. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari
(extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat
gigitan berikutnya. Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4-7 hari
(intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit.

H. TANDA DAN GEJALA
1. Demam. Biasanya demam tinggi mencapai 39-40C selama lima hari, timbul mendadak
disertai menggigil dan muka kemerahan.
2. Sakit persendian. Nyeri sendi merupakan keluhan yang sering muncul sebelum timbul
demam dan dapat bermanifestasi berat, sehingga kadang penderita merasa lumpuh
sebelum berobat. Sehingga ada beberapa orang yang menamainya sebagai demem tulang
atau flu tulang. Sendi yang sering sering dikeluhkan: sendi lutut, pergelangan , jari kaki
dan tangan serta tulang belakang.
3. Nyeri otot. Nyeri bisa pada seluruh otot atau pada otot bagian kepala dan daerah bahu.
Kadang terjadi pembengkakan pada otot sekitar mata kaki.
4. Bercak kemerahan (ruam) pada kulit. Bercak kemerahan ini terjadi pada hari pertama
demam, tetapi lebih sering pada hari ke 4-5 demam. Lokasi biasanya di daerah muka,
badan, tangan, dan kaki, terutama badan dan lengan. Kadang ditemukan perdarahan pada
gusi.
5. Sakit kepala. Sakit kepala merupakan keluhan yang sering ditemui, conjungtival injection
dan sedikit fotophobia.
6. Kejang dan penurunan kesadaran. Kejang biasanya pada anak karena panas yang terlalu
tinggi, jadi bukan secara langsung oleh penyakitnya.
7. Gejala lain. Gejala lain yang kadang dijumpai adalah pembesaran kelenjar getah bening
di bagian leher dan kolaps pembuluh darah kapiler. Selain itu, kadang dijumpai mata
merah yang diikuti dengan gejala flu. Sehingga banyak orang awam yang mengira ini
adalah penyakit demam biasa. Gejala yang timbul pada anak-anak sangat berbeda seperti
nyeri sendi tidak terlalu nyata dan berlangsung singkat. Ruam juga lebih jarang terjadi.
Tetapi pada bayi dan anak kecil timbul. Bedanya dengan demam berdarah dengue, pada
Chikungunya tidak ada perdarahan hebat, renjatan (shock) maupun kematian.
13

I. Ciri-Ciri Nyamuk Chikungunya
1. Nyamuk A. aegypti berukuran kecil dibanding nyamuk lain. Ukuran badan 3-4 mm,
berwarna hitam, dengan hiasan bintik bintik putih di badannya, dan pada kakinya
warna putih melingkar,Nyamuk dapat hidup berbulan bulan.
2. Nyamuk ini aktif pada siang hari dan mengigit di dalam dan diluar rumah. Mempunyai
dua puncak aktifitas dalam mencari mangsa yaitu mulai pagi hari dan petang hari yaitu
antara pukul 09.00 10.00 WIB dan 16.00 - 17.00 WIB.
3. Nyamuk bertelur di air bersih, Telur nyamuk Aedes diletakkan induknya menyebar,
berbeda dengan telur nyamuk lain yang dikeluarkan berkelompok, dan dapat bertahan
lama dalam kekeringan (dapat > 1 tahun)
4. Terbang hampir tidak berbunyi, sehingga manusia yang diserang tidak mengetahui
kehadirannya; menyerang dari bawah atau dari belakang; terbang sangat cepat.
5. Nyamuk A. aegypti betina suka bertelur diatas permukaan air pada dinding vertikal
bagian dalam tempat-tempat yang berisi air jernih dan terlindung dari cahaya matahari
langsung. Tempat air yang dipilih adalah tempat air di dalam rumah dan dekat. Telur
A. aegypti berwarna hitam seperti sarang tawon (Soedarmo, 1988).
6. Hidup dalam dan sekitar tempat tinggal manusia sehingga banyak kontak dengan
manusia. A. aegypti adalah spesies nyamuk tropis dan sub tropis (Suharto, 2007).
7. Nyamuk ini berkembang biak di dalam air bersih dan tempat - tempat gelap yang
lembab, baik di dalam maupun di dekat rumah. Tempat yang sering dijadikan sarang
untuk bertelur adalah Tempat minum hewan piaraan (tempat minum burung, tempat
minum ayam, dan hewan piaraan yang lain), drum, batok kelapa, kaleng-kaleng bekas,
pot bunga, ember, tempat penampungan air pada lemari es, ban-ban bekas dan botol-
botol kosong, Penampungan air dispenser,talang atap rumah yang tergenang sisa air
hujan, dan nyamuk Aedes Aegypti tidak berkembang biak di genangan air yang
langsung berhubungan dengan tanah (Depkes RI, 2003).
8. Aedes Aegypti akan menghisap darah dalam waktu 24-36 jam
9. Ketinggian tempat berpengaruh terhadap perkembangan nyamuk. Wilayah dengan
ketinggian diatas 1000 meter dari permukaan laut tidak ditemukan nyamuk A. aegypti
karena ketinggian tersebut suhu terlalu rendah sehingga tidak memungkinkan bagi
kehidupan nyamuk
14

10. Endemik di daerah tropis dimana suhu memungkinkan untuk perkembangbiakan
nyamuk. Suhu optimum pertumbuhan nyamuk adalah 25C 27C. Pertumbuhan akan
terhenti sama sekali bila suhu kering dari 10 C atau lebih dari 40C


J. PEMERIKSAAN LABORATORIUM.
Deteksi dini dan diagnosis yang teratur memainkan peran penting dalam
mengontrol infeksi virus ini secara efektif. Pemeriksaan melihat perkembangan IgM melalui
enzyme linked immunosorbent assay (MAC-ELISA) telah menjadi serologi yang major
karena teknik pemeriksaan ini sangat cepat dan reliabel (Sudeep, A .B and Parashar D
2008). Teknik pemeriksaaan lain yang bisa dilakukan untuk mendeteksi dan
mengindentifikasi antigen virus adalah teknik immunofluorescent antibodi secara tidak
langsung (Sudeep, A .B and Parashar D 2008). Reverse transcription polymerase chain
reaction (RT-PCR) juga telah dikenal sangat berguna dalam mendiagnosa virus chikungunya
(CHIKV) dengan cepat (Sudeep, A .B and Parashar D 2008). Malah RT-PCR juga
merupakan teknik mendeteksi m-RNA yang paling sensitif. Dibandingkan dengan 2 teknik
lain yang sering digunakan untuk menkuantifikasi m-RNA level yaitu Northen blot analysis
dan RNase protection assay, RT-PCR dapat digunakan untuk menkuantifikasi m-RNA level
dari jumlah sampel yang kecil. Malah kombinasi RT- PCR dan nested PCR terbukti efisien
untuk deteksi spesifik dan mengenotip CHIKV (Yulfi, H., 2006.)
K. KOMPLIKASI
Penyebab morbiditas yang tertinggi adalah dehidrasi berat, ketidakseimbangan elektrolit
dan hipoglikemia. Beberapa komplikasi lain yang dapat terjadi meskipun jarang berupa
gangguan perdarahan, komplikasi neurologis, pneumonia dan gagal nafas.

L. PENANGANAN
Demam Chikungunya termasuk Self Limiting Disease atau penyakit yang sembuh dengan
sendirinya. Tak ada vaksin maupun obat khusus untuk penyakit ini. pengobatannya hanya
bersifat simptomatis dan supportif seperti pemberian analgesik, antipiretik, anti inflamasi.
Pemberian aspirin kepada penderita demam chikungunya ini tidak dianjurkan karena
15

dikuatiri efek aspirin terhadap platelet. Pemberian chloroquine phosphate sangat efektif
untuk arthritis chikungunya kronis. Antibiotika tidak diperlukan pada kasus ini. Penggunaan
antibiotika dengan pertimbangan mencegah infeksi sekunder tidak bermanfaat. Untuk
memperbaiki keadaan umum penderita serta mempercepat kesembuhan dianjurkan banyak
istirahat dan meningkatkan asupan gizi dengan makan makanan yang bergizi, cukup
karbohidrat dan terutama protein serta minum sebanyak mungkin. Perbanyak mengkonsumsi
buah-buahan segar atau minum jus buah segar. Pemberian vitamin peningkat daya tahan
tubuh mungkin bermanfaat untuk penanganan penyakit. Selain vitamin, makanan yang
mengandung cukup banyak protein dan karbohidrat juga meningkatkan daya tahan tubuh.
Daya tahan tubuh yang bagus dan istirahat cukup bisa mempercepat penyembuhan penyakit.
Minum banyak juga disarankan untuk mengatasi kebutuhan cairan yang meningkat saat
terjadi demam. Bila curiga terkena penyakit ini segera cari pertolongan (laporkan) ke
puskesmas, klinik dokter keluarga, dokter terdekat.

M. PENCEGAHAN
Individu yang menderita demam chikungunya ini sebaiknya diisolasi sehingga dapat
dicegah penularannya ke orang lain. Tindakan pencegahan gigitan nyamuk bisa dilakukan
dengan menggunakan obat nyamuk dan repelan tetapi pencegahan yang sebaiknya berupa
pemberantasan sarang nyamuk penular. Pemberantasan sarang nyamuk seharusnya
dilakukan pada seluruh kawasan perumahan bukan hanya pada beberapa rumah sahaja.
Untuk itu perlu diterapkan pendekatan terpadu pengendalian nyamuk dengan menggunakan
metode yang tepat (modifikasi lingkungan, biologi dan kimiawi) yang aman, murah dan
ramah lingkungan (Depkes RI, 2003).
1. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
PSN ini bertujuan mengendalikan populasi nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus sehingga penularan Chikungunya dapat dicegah atau dibatasi. Sasaran
bagi PSN ini adalah semua tempat perkembangbiakan nyamuk penular Chikungunya
seperti:
a. Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari.
b. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari (non-TPA).
c. Tempat penampungan air alamiah.
16

Keberhasilan kegiatan PSN Chikungunya antara lain dapat diukur dengan
Angka Bebas Jentik (ABJ), apabila ABJ 95% diharapkan penularan
Chikungunya dapat dicegah atau dikurangi (Sunoto,1991).
Cara memberantas nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang
tepat melalui Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) adalah kegiatan
memberantas jentik ditempat berkembang biaknya dengan cara :
Kimiawi (Larvasidasi)
Larvasidasi adalah pemberantasan jentik dengan menaburkan bubuk larvasida.
Kegiatan ini tepat digunakan apabila surveilans epidemiologi penyakit penyakit
dan vektor menunjukkan adanya periode berisiko tinggi dan di lokasi dimana
penyakit tersebut mungkin timbul. Terdapat 2 jenis larvasidasi (insektisida) yang
dapat digunakan pada wadah yang dipakai untuk menampung air bersih (TPA)
,Temephos 1% dan Insect Growth Regulators ( Pengatur Pertumbuhan Serangga)
Biologi
Penerapan pengendalian biologis yang ditujukan langsung terhadap jentik
hanya terbatas pada sasaran berskala kecil. Pengendalian dengan cara ini
misalnya dengan memelihara ikan pemakan jentik atau dengan bakteri. Ikan
yang biasa dipakai adalah ikan larvavorus (Gambusia affins, Poecilia reticulata
dan ikan adu), sedang ikan bakteri yang dinilai efektif untuk pengendalian ini
ada 2 spesies yakni bakteri Bacillus thuringiensis serotipe H-14(Bt.H-14) dan
Bacillus sphaericus(Bs) yang memproduksi endotoksin.
Fisik
Pengendalian secara fisik ini dikenal dengan kegiatan 3M Plus (Menguras,
Menutup, Mengubur) yaitu :
1) Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak mandi,
drum dan lain-lain seminggu sekali (M1).
2) Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong air , tempayan
dan lain-lain (M2).
3) Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air
hujan (M3)
Pengasapan (fogging)
17

Pemberantasan terhadap nyamuk dewasa dilakukan dengan cara
penyemprotan dengan insektisida. Insektisida yang dapat digunakan ialah
insektisida golongan Organophospate, misalnya malathion, fenitrothion.
Pyretroid sintetic, misalnya lamda, sihalotrin, permetrin,Carbamat. Alat yang
digunakan untuk penyemprotan ialah mesin fogg atau mesin ULV (Depkes RI,
2005).

2. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
PHBS merupakan semua perilaku kesehatan yang dilakukan atas kesadaran semua
anggota keluarga dan masyarakat, sehingga keluarga dan masyarakat itu dapat
menolong dirinya sendiri dan berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kesehatan di
masyarakat.

Tujuan PHBS :
a) Meningkatkan pengetahuan, kemauan dan kemampuan anggota masyarakat
untuk melaksanakan PHBS.
b) Meningkatnya masyarakat sehat di desa kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
c) Berperan aktif dalam gerakan PHBS di masyarakat

Manfaat PHBS Bagi Masyarakat
Mampu mengupayakan Lingkungan sehat
Mampu mencegah dan menanggulangi masalah kesehatan
Dapat memanfaatkan yankes yang ada
Mampu mengemb. UKBM ( Posyandu, tabulin, arisan jamban,
ambulan desa dll )

Indikator PHBS
Ada 10 indikator PHBS, antara lain :

1) Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan
18

Pertolongan persalinan pertama pada balita termuda yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan (dokter, bidan, paramedis lainnya) dalam proses lahirnya
janin dari kandungan ke dunia luar dimulai dari tanda-tanda lahirnya bayi,
pemotongan tali pusat dan keluarnya placenta. Rumah tangga dengan
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan: Apabila pertolongan persalinan
pertama pada balita termuda dalam rumah tangga dilakukan oleh tenaga
kesehatan (dokter, bidan, paramedis lainnya) perilaku terkini.
2) Bayi mendapat ASI eksklusif
Bayi termuda usia 0-6 bulan yang mendapat ASI saja sejak lahir sampai 24
jam terakhir. Rumah tangga dengan bayi mendapat ASI eksklusif: Apabila
bayi termuda usia 0-6 bulan yang mendapat ASI saja dalam 24 jam terakhir
perilaku terkini. Menimbang bayi & balita setiap bulan :Kebiasaan
menimbang bayi atau balita setiap bulan mulai umur 1 bulan sampai 5 tahun
di Posyandu atau sarana kesehatan pada tiga bulan terakhir ( perilaku terkini )
3) Penimbangan bayi dan balita
Penimbangan balita dimaksudkan untuk memantau pertumbuhan balita setiap
bulan dan mengetahui apakah balita berada pada kondisi gizi kurang atau gizi
buruk.
4) Mencuci tangan dengan air bersih & sabun
Individu dalam rumah tangga yg berumur > 10 th mempunyai kebiasaan
mencuci tangan dengan air bersih dan sabun sebelum makan/menyuapi anak
atau sebelum menjamah/memegang makanan, sesudah buang air
besar/menceboki anak, setelah membuang kotoran/sampah, setelah
membuang ingus, setiap kali tangan kotor dll.
5) Menggunakan Air bersih
Warga memiliki atau mudah mendapatkan air bersih untuk kebutuhan sehari
hari meliputi air leding, pompa, sumur terlindung, serta mata air terlindung
dan penampungan air hujan. Sumber air dari pompa, sumur dan mata air
terlindung berjarak minimal 10 meter dari tempat penampungan kotoran atau
limbah.
6) Menggunakan jamban sehat
19

Warga masyarakat memiliki atau menggunakan jamban leher angsa dengan
tangki septik atau lubang penampungan kotoran sebagai pembuangan akhir
7) Memberantas jentik di rumah
Individu dalam rumah tangga mempunyai kebiasaan menguras bak mandi
setiap satu minggu sekali, menutup bak penampungan air, mengubur barang-
barang bekas. ( Pendekatan Role Model )
8) Makan buah dan sayur setiap hari
Penduduk 10 tahun ke atas yang mengkonsumsi minimal 5 porsi kombinasi
sayur dan buah dalam setiap hari ( 2 porsi sayur dan 3 porsi buah atau
sebaliknya).
9) Melakukan aktivitas fisik setiap hari
Penduduk 10 tahun ke atas yang beraktivitas fisik sedang atau berat paling
sedikit 30 menit setiap hari
10) Tidak merokok
Anggota rumah tangga umur 10 tahun ke atas tidak boleh merokok didalam
rumah ketika berada bersama dengan anggota keluarga yang lainnya.

2. TEORI HEALTH PROMOTION HEALTH EDUCATION
A. MATCH (Multilevel Approach To Community Health)
MATCH is an acronym for Multilevel Approach To Community Health. This planning
model was developed in the late 1980s (Simons-Morton, Parcel, & Bunker, 1988). Like the
precede-proceed model, MATCH has also been used in a variety of setting including in the
development of several intervention handbook created by the Center for Disease Control and
Prevention (Simons-Morton et.al 1995). MATCH is an ecological planning prespective that
recognizes that intervention activities can and should be aimed at a variety of objectives and
individuals (B. Simon-Marton, Personal Communication, October 10, 1999). This is
represented in Figure 4,2 by the various levels of influence. The MATCH fremework is
recognized for emphasizing program implementation (Simons-Morton et.al 1995). " MATCH
is designed to be applied when behavioral and environmental risk and protective factor for
disease or injury are generally known and when general priorities for action have been
determined, thus providing are convenieng way to turn the corner from needs assesment and
20

priority setting to the development of effective programs (Simons-Morton et.al 1995, page
155)
MATCH phases and steps
Phase 1 : Goal Selection
Step 1 : Select health status goals
Step 2 : Select high-priority target population(s)
Step 3 : Identify health behavior goals identifks
Step 4 : Identify environmental factor goals

Explanation of phase 1 : Planners select health status goal based upon several different
factors including the prevalence of the health probelem, the relative importance of the health
problem, the changeability of the health problem. Also, planner need to select to the high-
priority target population, identity the health behaviors most associated with the health status
goals in order to create health behaviorr goals and identify the enveromental factor such as
access, availability of resources, enabling practices and barriers so that environmental goals
can be created.

Phase II : Intervention Planning
Step 1 : Identify the targets of the intervention
Step 2 : Select intervention objectives
Step 3: Identify mediator of the intervention objectives
Step 4: Select intervention approaches

Explanation of phase II : This phase begins with matching of objectives the intervention
targets and intervention actions. Target of intervention actions are those individuals that exert
influence or control over the personal or environmental conditions that are related to the target
health and behavior goals. After identifying the TIAs, the are macthing with health behavioral
and environmental factor identified in phase In. Once this match is made, planner select an
intervention action(s) to be use. Intervention actions commonly used by health educators
include teaching, training, counseling, policy advocacy, consulting, commonity organization,
social marketing, and social action.
21


Phase III : Program Development
Step 1 : Create program units or components
Step 2 : Select of develop curricula and create interventions guides
Step 3 : Develop session plans.
Step 4 : Create or acquire intructional material, product and resources

Explanation of phase III : After the creation of the program components, planners either
select from already developed curiculum or develop their own guides. this would include the
development of individual session or lesson plant and the acquistion or creation of
instructonal materials, product, and resources

Phase IV : Implementation Preparations
Step 1 : Facilitate adoption,imlpementation, and maintenance
Step 2 : Select and train implementors

Explanation of phase IV : Planner prepare for implementation and conduct interventions. To
echive effectif implemntation planner must (a) develop a specific proposal and advocate for
the adoption of change, (b) develop the need, redness and enviromental supports for change,
(c) provide evidence that teh intervention works, (d) identify and select change agents and
opinion leaders and sell them on the need for change, and (e) establish good working
relationships with the decision markers. in addition, depending in who will implement the
program, there may be a need to select, train, support, and monitor those who do the
implementation.

Phase V : Evalution
Step 1 : Conduct process evaluation
Step 2 : Measure impact
Step 3 : Monitor outcome

22

Explanation of phase IV : Planner carry out tree different to types evalution : process
(utility, extant, quality, and effect of implementation immediate learning outcome), impact
(assesing target of mediators such us knowledge), attitudes, and practices), outcome (long-
term effects of the program, usually health behaviors or enviromental factors).

Anda mungkin juga menyukai