Anda di halaman 1dari 56

1

LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. H
Umur : 70 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku Bangsa : Bugis
Agama : Islam
Alamat : JL. veteran
Pekerjaan : Pensiunan

II. ANAMNESIS
Keluhan utama :
Selaput putih pada kedua mata
Anamnesis Terpimpin :
Dialami sejak 1 tahun yang lalu, dirasakan muncul perlahan-lahan dirasakan
berpasir pada mata kiri dan mata kanan (+). Awalnya mata berwarna
kemerahan (+) sejak setahun yg lalu, perih (+), gatal (-), rasa mengganjal (+),
rasa berpasir (+), mata berair (+), kotoran mata yang berlebihan (-),
penglihatan menurun (+) dirasakan sejak 5 bulan yang lalu, dirasakan
perlahan-lahan yang semakin memberat, pasien seperti melihat kabut yang
menghalangi pandangannya, terasa panas (-) dan silau (+) pada saat cahaya
terang atau sinar matahari. Riwayat penggunaan kacamata (-), riwayat benda
asing masuk mata (-), riwayat Hipertensi (-), riwayat diabetes melitus (-) ,
riwayat sering terpapar sinar matahari karena pekerjaan (+), riwayat keluhan
yang sama dengan keluarga (-).

2






III. PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI
A. Inspeksi
OD OS
Palpebra Edema (-) Edema (-)
Silia Sekret (-) Sekret (-)
Apparatus Lakrimalis Lakrimasi (-) Lakrimasi (-)
Konjungtiva Hiperemis (+) di nasal,
tampak selaput bentuk
segitiga di daerah nasal,
dengan apeks melewati
limbus tapi belum
mencapai pupil

Hiperemis (+) di nasal,
tampak selaput bentuk
segitiga di daerah nasal,
dengan apeks melewati
limbus tapi belum
mencapai pupil
Bola Mata Normal Normal
Mekanisme Muskular
- ODS
- OD
- OS
Ke segala arah



Ke segala arah
Kornea Jernih Jernih
Bilik Mata Depan Kesan Normal Kesan Normal
3



B. Palpasi
Pemeriksaan OD OS
Tensi Okuler Tn Tn
Nyeri Tekan (-) (-)
Massa Tumor (-) (-)
Glandula PreAurikuler Tidak Ada Pembesaran Tidak Ada Pembesaran

C. Tonometri
TOD = 14,6 mmHg
TOS = 17,3 mmHg
D. Visus
VOD : 6/12 PH 6/12
VOS : 6/9,6 PH 6/9,6
E. Campus visual : Tidak dilakukan pemeriksaan
F. Color sense : Tidak dilakukan pemeriksaan
G. Light sense : Tidak dilakukan pemeriksaan
H. Penyinaran oblik
OD OS
Konjungtiva Hiperemis (+) di nasal,
tampak selaput bentuk
segitiga di daerah nasal
lewat limbus tapi belum
mencapai pupil
Hiperemis (+) di nasal,
tampak selaput bentuk
segitiga di daerah nasal
lewat limbus tapi belum
mencapai pupil
Iris Coklat, kripte (+) Coklat, kripte (+)
Pupil Bulat, Sentral, RC (+) Bulat, Sentral, RC (+)
Lensa Keruh Keruh
4

Kornea Jernih Jernih
Bilik Mata Depan Kesan Normal Kesan Normal
Iris Coklat, Kripte (+) Coklat, Kripte (+)
Pupil Bulat, Sentral, RC (+) Bulat, Sentral, RC (+)
Lensa Keruh Keruh

I. Diafanoskopi : Tidak dilakukan pemeriksaan
J. Oftalmoskopi
FOD : Reflaks fundus (+), papil N II batas tegas, CDR = 0,3, A/V = 2/3
makula refleks fevea (+), retina perifer kesan normal
FOS : Reflaks fundus (+), papil N II batas tegas, CDR = 0,3, A/V = 2/3
makula refleks fevea (+), retina perifer kesan normal
K. Slit lamp
o SLOD : konjungtiva bulbi hiperemis (+) di nasal, tampak selaput
segitiga di bagian nasal melewati limbus tapi belum mencapai pupil,
BMD kesan normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+),
lensa keruh.
o SLOS : konjuntiva bulbi hiperemis (+) di nasal , tampak selaput
segitiga di bagian nasal melewati limbus tapi belum mencapai pupil,
BMD kesan normal, iris coklat kripte (+), pupil bulat sentral RC (+),
lensa keruh.

L. RESUME
Seorang laki-laki umur 70 tahun, datang ke poli mata RSWS dengna keluhan
adanya selaput putih pada kedua mata yang di sadari sejak 1 tahun yang lalu
dan di rasakan muncul perlahan-lahan. Awalnya mata berwarna kemerahan
(+)sejak setahun yg lalu, perih (+), rasa mengganjal (+), rasa berpasir (+) pada
kedua mata, mata berair (+). Penglihatan menurun (+) dirasakan sejak 5
5

bulan yang lalu, dirasakan perlahan-lahan yang semakin memberat, pasien
seperti melihat kabut yang menghalangi pandangannya, silau (+) pada saat
cahaya terang atau sinar matahari. Dari pemeriksaan oftalmologi pada inspeksi
ODS: konjungtiva tampak selaput berbentuk segitiga dinasal melewati limbus
kornea, lensa keruh. VOD: 6/12 PH 6/12 , VOS: 6/9,6 PH 6/9,6. Dari
penyinaran oblik ODS: konjungtiva hiperemis (+) terdapat selaput bentuk
segitiga dari arah nasal ke kornea dengan apeks sudah mencapai limbus dan
melewati limbus. SLOD: konjungtiva hiperemis (+), tampak selaput bentuk
segitiga dari arah nasal ke kornea dengan apeks sudah melewati limbus, kornea,
jernih, BMD dalam batas normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC
(+), lensa keruh. SLOS: konjungtiva hiperemis (+), tampak selaput bentuk
segitiga dari arah nasal ke kornea dengan apeks melewati limbus, kornea jernih,
BMD normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+), lensa keruh.

M. DIAGNOSIS
ODS Pterigium Stadium II + ODS Katarak senil Imatur

N. TERAPI
C. Hyalub 6x1 gtt ODS

O. ANJURAN
ODS Eksisi pterigium + graft konjungtiva
ODS Ekstraksi lensa + IOL

P. DISKUSI
Dari hasil anamnesis pada pasien ini, ditemukan keluhan utama adanya
selaput putih pada kedua mata kanan dan kiri yang dialami sejak + 1 tahun
terakhir yang disebabkan tumbuhnya selaput yang awalnya mata berwarna
6

kemerahan (+). Rasa perih (+), kadang-kadang mata merah (+), air mata
berlebihan (+), rasa mengganjal (+). Riwayat sering terpapar sinar matahari (+),
Penglihatan menurun (+) dirasakan sejak 5 bulan yang lalu, dirasakan
perlahan-lahan yang semakin memberat, pasien seperti melihat kabut yang
menghalangi pandangannya, silau (+) pada saat cahaya terang atau sinar
matahari.
Pada pemeriksaan oftalmologi, VODS : 6/9,6 PH 6/9,6, 6/19 PH 6/19,
TODS : Tn . Pada mata kanan dan kiri ditemukan selaput segitiga di nasal,
dengan apeks melewati limbus, belum mencapai pupil, kornea jernih, BMD
kesan normal, iris coklat, kreipte (+), pupil bulat, sentral, RC (+) dan lensa
keruh.
Berdasarkan hasil anamnesis dan hasil pemeriksaan oftalmologi
tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien menderita ODS Pterigium Stadium II
+ ODS Katarak Senil Imatur.
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif, berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke
kornea dengan puncak segitiga di kornea. Timbunan atau benjolan ini membuat
penderitanya agak kurang nyaman karena biasanya akan berkembang dan
semakin membesar ke daerah kornea. Pterigium umumnya asimptomatis atau
akan memberikan keluhan berupa mata berair dan tampak merah serta mungkin
menimbulkan astigmat akibat adanya perubahan bentuk kornea akibat adanya
mekanisme penarikan oleh pterigium serta terdapat pendataran dari pada
meridian horizontal pada kornea. Sinar ultraviolet terutama sinar UVB beserta
polutannya merupakan pencetus terjadinya inflamasi kronik sebagai penyebab
pertumbuhan jaringan pterigium, selain itu kekeringan okular dan polusi
lingkungan dapat berperan serta dalam progresivitas pterigium dan
rekurensinya. Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan
pemberian obat-obatan jika pterigium masih derajat 1 dan 2, sedangkan
7

tindakan bedah dilakukan pada pterigium yang melebihi derajat 2. Tindakan
bedah juga dipertimbangkan pada pterigium derajat 1 dan 2 yang telah
mengalami gangguan penglihatan. Lindungi mata dengan pterigium dari sinar
matahari, debu dan udara kering dengan kacamata pelindung. Bila terdapat
tanda radang berikan air mata buatan dan bila perlu dapat diberi steroid.
Pemakaian air mata artifisial ini diperlukan untuk membasahi permukaan okular
dan untuk mengisi kerusakan pada lapisan air mata.
Umumnya pterigium bertumbuh secara perlahan dan jarang sekali
menyebabkan kerusakan yang bermakna, karena itu prognosis adalah baik.
Dari anamnesis pasien mengeluh penglihatan kabur, ditemukan visus
menurun pada ODS yang dialami secara perlahan lahan. Visus menurun dapat
terjadi akibat adanya gangguan pada media refrakta, maupun pada retina.
Pasien juga mengeluhkan penglihatannya bertambah buruk pada saat berada di
ruangan yang terang atau terkena sinar matahari karena fotofobia (+). Gejala-
gejala ini dapat timbul akibat adanya kekeruhan pada lensa mata atau yang
biasa disebut katarak. Penyebab katarak dapat bermacam-macam. terkait
dengan usia pasien yaitu 70 tahun dan tidak ada riwayat trauma, penyakit
sistemik, misalnya stress, maka kemungkinan pada pasien ini terjadi age
related cataract, sehingga diagnosis pasien ini adalah katarak senil, yaitu
kekeruhan lensa akibat proses penuaan.
Pada pemeriksaan fisis, didapatkan:
- Ketajaman penglihatan menurun dimana visus ODS : 6/9,6 dan 6/19
- Dari pemeriksaan segmen anterior ditemukan palpebra edema (-),
konjungtiva hiperemis (-), kornea tampak jernih, BMD normal, iris
coklat; kripte (+), pupil bulat;sentral, RC(+), lensa keruh.
- Pemeriksaan Segmen posterior didapatkan refleks fundus (+), papil N
II batas tegas, CDR = 0,3, A/V = 2/3 makula reflex fovea (+), retina
perifer.
8

Oleh karena itu diagnosis dari pasien ini adalah ODS Katarak Senil imatur
Adapun terapi definitif untuk katarak senil adalah ekstraksi lensadan
sekaligus dilakukan pemasangan IOL

















9

PTERIGIUM

I. DEFENISI

Pterigium merupakan kelainan yang paling sering terjadi pada mata yang
patogenesisnya masih belum jelas.
1
Pterigium (L. Pterygion = sayap) adalah suatu
proses degeneratif dan hiperplastik dengan fibrovaskular berbentuk segitiga (sayap)
yang muncul pada konjungtiva, tumbuh terarah dan menginfiltrasi permukaan kornea
antara lain lapisan stroma dan membrana Bowman.
2-4
Pterigium pertama kali
ditemukan oleh Susruta (India) dokter ahli bedah mata pertama di dunia 1000 tahun
sebelum masehi.
4
Pterigium dapat bervariasi bentuknya dari yang kecil, lesi atrofi
sampai lesi fibrovaskular besar yang tumbuh agresif dan cepat yang dapat merusak
topografi kornea, dan yang selanjutnya, mengaburkan bagian tengah optik kornea.
5
Dulu penyakit ini dianggap sebagai suatu kondisi degeneratif, pterigium juga
menampilkan ciri-ciri seperti tumor, seperti kecenderungan untuk menginvasi
jaringan normal dan tingkat rekurensi yang tinggi setelah reseksi, dan dapat hidup
berdampingan dengan lesi premalignan sekunder.
6
Banyak literatur melaporkan
faktor-faktor etiologi berikut yang mungkin menjadi penyebab terjadinya pterigium:
radiasi ultraviolet (UV), radang mata kronis, efek toksik zat kimia. Baru-baru ini,
beberapa virus juga memiliki kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi.
1-3,7


II. EPIDEMIOLOGI DAN INSIDENS

Pterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak bagian
dunia, dengan prevalensi yang dilaporkan berkisar antara 0,3%-29%. Studi
epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap paparan sinar matahari yang
kronis, dengan meningkatnya prevalensi geografis dalam peri-khatulistiwa garis
lintang 37
0
utara dan selatan khatulistiwa 'sabuk pterigium'.
8

10

Sebuah studi epidemiologis oleh Gazzard dkk melaporkan orang berkulit hitam
(usia 40-84 tahun) di Barbados, yang terletak di daerah tropis 13 utara khatulistiwa,
memiliki tingkat prevalensi yang sangat tinggi (23,4%) sedangkan tingkat prevalensi
orang kulit putih di perkotaan (usia 40-101 tahun) Melbourne, Australia kurang dari
(1,2%). Prevalensi pterigium orang kulit putih lebih dari 40 tahun di pedesaan
Australia (6,7%), dan di perkotaan orang Cina Singapura yang lebih dari 40 memiliki
tingkat prevalensi (6.9%). Penelitian ini juga melaporkan orang Indonesia lebih dari
40 tahun, tingkat prevalensinya di Sumatera (16,8%) yakni lebih tinggi daripada
semua ras lainnya yang telah dipelajari sebelumnya, kecuali dengan penduduk kulit
hitam dari Barbados.
9
Secara umum studi lain pterigium, prevalensi pterigium di Sumatera meningkat
seiring bertambahnya usia.
9
Hal yang jarang terjadi untuk seseorang menderita
pterigium sebelum usia 20 tahun. Pasien lebih dari dari 40 tahun memiliki prevalensi
tertinggi untuk terjadinya pterigium, sementara pasien berusia 20-40 tahun dilaporkan
memiliki insiden tertinggi terjadinya pterigium.
10
Hal yang berbeda dengan beberapa
studi dimana pterigium ditemukan lebih banyak pada laki-laki.
9


Tingkat rekurensi pada pasca ekstirpasi di Indonesia berkisar 35 % - 52 %.
Data di RSCM angka rekurensi pterigium mencapai 65,1 % pada penderita dibawah
usia 40 tahun dan sebesar 12,5 % diatas 40 tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian
terdahulu yang menyebutkan bahwa kekambuhan pasca transplantasi limbal sel
sebesar 14 % dan kekambuhan pasca bare sclera sebesar 40-75 % serta conjungtival
graft sebesar 3-5%.
3

III. ANATOMI KONJUNGTIVA

Konjungtiva adalah membran mukosa tembus cahaya yang melapisi permukaan
aspek posterior dari kelopak mata dan anterior bola mata. Nama konjungtiva
(conjoin: bergabung) diberikan kepada membran mukosa ini karena fakta bahwa ia
menhubungkan bola mata dengan kelopak mata. Membentang dari pinggir kelopak
11

mata ke limbus, dan membungkus ruang kompleks yang disebut sakus konjungtiva
yang terbuka di depan fisura palpebral.
2

Konjungtiva dapat dibagi menjadi 3 bagian (Gam. 1): Konjungtiva
palpebralis. Bagian ini melapisi permukaan dalam kelopak mata dan melekat kuat
pada tarsus. Konjungtiva palpebralis terbagi 3 yakni konjungtiva marginal, tarsal,
orbital.
2,11
Konjungtiva marginal membentang dari tepi kelopak mata sekitar 2 mm
pada bagian belakang kelopak sampai ke alur dangkal, yakni sulkus subtarsalis.
Bagian ini sebenarnya zona transisi antara kulit dan konjungtiva lebuih tepatnya.
Konjungtiva tarsal tipis, transparan dan banyak mengandung vaskular. Bagian ini
melekat kuat pada seluruh tarsal kelopak mata atas. Pada kelopak mata bawah, hanya
melekat pada setengah bagian tarsal. Konjungtiva orbital terletak longgar antara tarsal
dan forniks.
2

Konjungtiva bulbaris. melekat longgar pada sclera dan melekat lebih erat
pada limbus kornea. Di sana epitel konjungtiva bergabung dangan epitel kornea.
2,11
.
Bagian ini dipisahkan dari sklera anterior oleh jaringan episcleral dan kapsul Tenon.
Terdapat sebuah dataran tinggi 3 - mm dari konjungtiva bulbaris sekitar kornea
disebut konjungtiva limbal.
2

Konjungtiva fornix, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan
konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada
struktur sekitarnya, konjungtiva fornix ini melekat secaralonggar dengan struktur
dibawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta muskulus rektus.
Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva fornix dapat bergerak bebas
bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi.
11
Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan yaitu epitel, lapisan
adenoid, dan lapisan fibrosa.
2

1. Epitel. Lapisan sel epitel di konjungtiva bervariasi pada masing-masing daerah
dan dalam bagian-bagian sebagai berikut: Konjungtiva marginal memiliki 5
lapis epitel sel gepeng bertingkat. Konjungtiva tarsal memiliki 2 lapis epitel:
lapisan superficial terdiri dari sel-sel silinder dan lapisan dalam terdiri dari sel-
12

sel datar. Konjungtiva forniks dan bulbaris memiliki 3 lapis epitel: lapisan
superfisial terdiri dari sel silindris, lapisan tengah terdiri dari sel polyhedral dan
lapisan dalam terdiri dari sel kubus. Limbal konjungtiva memiliki lagi lapisan
yang banyak (5 sampai 6 lapis) epitel berlapis gepeng.
2. Lapisan adenoid. Lapisan ini disebut juga lapisan limfoid dan terdiri dari
retikulum jaringan ikat halus dengan jerat dimana terdapat limfosit. Lapisan ini
paling pesat perkembangannya di forniks. Lapisan ini tidak ditemukan ketika
bayi lahir tapi akan berkembang setelah 3-4 bulan awal kehidupan. Hal ini
menjelaskan bahwa peradangan konjungtiva pada bayi tidak menghasilkan
reaksi folikuler.
3. Lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat kolagen dan serat elastis. Lapisan
ini lebih tebal dari lapisan adenoid, kecuali di daerah konjungtiva tarsal, di mana
lapisan ini sangat tipis. Lapisan ini mengandung pembuluh dan saraf dari
konjungtiva. Lapisan ini bersatu dengan mendasari kapsul Tenon di daerah
konjungtiva bulbar.

Konjungtiva berisi dua jenis kelenjar, yakni kelenjar sekresi musin dan kelenjar
lakrimalis aksesoris. Kelenjar ini terdiri dari sel goblet (kelenjar uniseluler yang
terletak di dalam epitel), Crypts of Henle (terdapat di konjungtiva tarsal) dan kelenjar
Manz (ditemukan dalam konjungtiva limbal). Kelenjar-kelenjar ini mensekresi mucus
yang penting untuk membasahi kornea dan konjungtiva. Kelenjar lakrimalis aksesoris
terdiri dari: Kelenjar Krause (terdapat pada jaringan ikat subconjunctival forniks,
sekitar 42 buah di atas forniks dan 8 buah di bawah forniks) dan kelenjar Wolfring
(terdapat di sepanjang batas atas tarsus superior dan sepanjang batas bawah tarsus
inferior).
2,12
13


Gambar 1. Konjungtiva terdiri dari konjungtiva bulbaris, konjungtiva forniks,
konjungtiva palpebralis.dikutip dari kepustakaan 11


Gambar 2. Vaskularisasi Konjungtiva dikutip dari kepustakaan 2
14

Plica semilunaris merupakan lipatan seperti bulan sabit berwarna merah muda
dari konjungtiva yang terdapat di kantus medial. Batas bebas lateralnya berbentuk
cekung. Korunkula adalah massa kecil, oval, merah muda, terletak di canthus bagian
dalam. Pada kenyataannya, massa ini merupakan potongan modifikasi kulit dan
ditutupi dengan epitel gepeng bertingkat dan berisi kelenjar keringat, kelenjar sebasea
dan folikel rambut.
2
Arteri yang memperdarahi konjungtiva berasal dari tiga sumber yakni arkade
arteri perifer palpebra, arkade arteri marginal kelopak mata, dan arteri ciliaris anterior
(Gam. 2). Konjungtiva palpebralis dan forniks diperdarahi oleh cabang-cabang dari
arkade arteri perifer dan marginal palpebra. Konjungtiva bulbar diperdarahi oleh dua
set pembuluh darah yaitu: arteri konjungtiva posterior yang merupakan cabang dari
arteri kelopak mata, dan arteri konjungtiva anterior yang merupakan cabang dari
arteri ciliaris anterior. Cabang terminal arteri konjungtiva posterior membentuk
anastomosis dengan arteri konjungtiva anterior dan membentuk arkade pericorneal.
Vena konjungtiva bermuara ke dalam vena pleksus kelopak mata dan beberapa
mengelilingi kornea dan bermuara ke vena ciliaris anterior. Sistem limfatik
konjungtiva tersusun dalam dua lapisan, yakni superficial dan profunda. Sistem ini
dari sisi lateral bermuara ke limfonodus preaurikuler dan sisi medial bermuara ke
limfonodus submandibular.
2,12
Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan
nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang
relatif sedikit.
12


IV. ETIOLOGI
Etiologi pterigium sepenuhnya diketahui. Tetapi penyakit ini lebih sering pada
orang tinggal di iklim panas. Oleh karena itu, anggapan yang paling mungkin adalah
pengaruh efek berkepanjangan faktor lingkungan seperti terpapar sinar matahari
(sinar ultraviolet), panas, angin tinggi dan debu. Baru-baru ini, beberapa virus juga
memiliki disebut-sebut sebagai faktor etiologi mungkin.
1-3,7

15

Efek merusak dari sinar UV menyebabkan penurunan sel induk limbal pada
kornea, yakni menyebabkan terjadinya insufisiensi limbal. Hal ini mengaktifkan
faktor pertumbuhan jaringan yangmenginduksi angiogenesis dan proliferasi sel.
1

Radiasi cahaya UV tipeB menjadi faktor lingkungan yang paling signifikan dalam
patogenesis pterigium. Penelitian terbaru telah melaporkan bahwa gen p53 dan
human papillomavirus dapat juga terlibat dalam patogenesis pterigium.
8


V. KLASIFIKASI
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium,
progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera, yaitu:
13
1. Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas 3:
Tipe I: Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau
menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas <2 mm dari kornea.
Stockers line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan
kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering mengalami
inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami
keluhan lebih cepat.
Tipe II: disebut juga pterigium tipe primer advanced atau pterigium
rekuren tanpa keterlibatan zona optic. Pada tubuh pterigium sering
nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4
mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear
film dan menimbulkan astigmat.
Tipe III: pterigium primer atau rekuren dangan keterlibatan zona optic.
Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona optic
membedakan tipe ini dengan tipe yang lain. Lesi mengenai kornea >4mm
dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus
rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas
16

ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata
serta kebutaan.
2. Berdasarkan stadium pterigium dibagai ke dalam 4 stadium yaitu:
7,13

Stadium 1 : invasi minimum, pertumbuhan lapisan yang transparan dan
tipis, pertumbuhan pembuluh darah yang tipis hanya terbatas pada limbus
kornea.
Stadium 2: lapisan tebal, pembuluh darah profunda tidak kelihatan dan
menginvasi kornea tapi belum mencapai pupil.
Stadium 3:lapisan tebal seperti daging yang menutupi pupil, vaskularisasi
yang jelas
Stadium 4: pertumbuhan telah melewati pupil.
3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:
2,13

Pterigium progresif: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrate di
kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)
Pterigium regresif:tipis,atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk
membrane, tetapi tidak pernah hilang.
4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus
diperiksa dengan slitlamppterigium dibagi 3 yaitu:
13

T1(atrofi):pembuluh darah episkleral jelas terlihat.
T2(intermediet):pembuluh darah episkleral sebagian terlihat.
T3(fleshy,opaque):pembuluh darah tidak jelas.

VI. PATOFISIOLOGI
Meskipun paparan sinar ultraviolet kronis memainkan peran utama,
patogenesis pterigium belum sepenuhnya dipahami. Infeksi virus, mekanisme
imunologi, remodeling matriks ekstraseluler, faktor pertumbuhan, sitokin,
antiapoptotic mekanisme, dan faktor angiogenik berbagai semuanya telah terlibat
dalam pathogenesis.
8,14
Patogenesis pterigium ditandai dengan degenerasi kolagen
17

dan elastotic proliferasi fibrovaskular yang menutupi epitel.
4, 5
Radiasi sinar UV dapat
menyebabkan mutasi pada gen seperti gen supresor tumor p53, sehingga berakibat
pada terekspresinya gen ini secara abnormal pada epitel pterigium. Temuan ini
menunjukkan bahwa pterigium bukan hanya lesi degeneratif, tetapi bisa menjadi
manifestasi dari proliferasi sel yang tak terkendali. Matriks metalloproteinase (MMP)
dan jaringan inhibitor MMPs (TIMPs) pada pinggir pterigium mungkin bertanggung
jawab untuk proses inflamasi, tissue remodeling, dan angiogenesis yang menjadi ciri
pterigium, serta perusakan lapisan Bowman dan invasi pterigium ke dalam kornea.
1,6,8

Sinar UV menyebabkan mutasi pada gene suppressor tumor TP53 di sel basal limbal
dan fibroblast elastic gene di epitel limbal (gambar 3). Karen kerusakan pada program
apoptosis p53 oleh sinar UV, mutasi juga terjadi pada gen lainnya. Hal ini
menyebabkan multistep perkembangan pterigium dan tumor sel limbal oleh ekspresi
p53 pada sel epitel limbal.
12,15

Mutasi pada gen TP53 atau family TP53 pada sel basal limbal juga
menyebabkan terjadinya produksi berlebih dari TGF- melalui jalur p53-Rb-TGF-.
Oleh karena itu, pterigium merupakan tumor secreting TGF-. Banyaknya sekresi
TGF- oleh sel pterigium dapat menjelaskan macam-macam perubahan jaringan dan
ekspresi MMP yang terjadi pada pterigium. Pertama, sel pterigium (sel epitel basal
limbal) menghasilkan peningkatan MMP-2, MMP-9, MTI-MMP, dan MT2-MMP,
yang menyebabkan terputusnya perlekatan hemidesmosom. Awalnya, sel pterigium
akan bermigrasi secara sentrifugal ke segala arah menuju ke adjacent dan limbal
corneal, limbus, dan membrane konjungtiva. Karena produksi TGF- oleh sel ini,
terjadi penipisan jumlah lapisan pada daerah di atas, dan tidak ada massa tumor
yang nampak tapi sebagai tumor yang tidak kelihatan. Selanjutnya, setelah perubahan
pada seluruh sel basal limbus berkembang dan semua hemidesmosom lepas dari sel-
sel ini, terjadi migrasi sel ke kornea diikuti oleh epitel konjungtiva, yang
mengekspresikan 6 jenis MMP dan berkontribusi terhadap penghancuran lapisan
bowman pada kornea. Sebagai tambahan, TGF- yang diproduksi oleh sel pterigium
menyebabkan peningkatan monosit dan pembuluh darah kapiler dalam lapisan epitel
18

dan stroma. Kemudian, sekelompok fibroblast normal berkumpul dibawah invasive
epitel limbus di depan tepi yang rusak dari lapisan Bowman dan diaktivasi oleh jalur
TGF--bFGF untuk memproduksi MMP-1 dan MMP-3 yang juga membantu dalam
penghancuran lapisan bowman. Beberapa sitokin-sitokin ini mengaktivasi fibroblast
untuk bermigrasi untuk membentuk pulau kecil fibroblast yang memproduksi MMP 1
dan juga berperan dalam penghancuran membran bowman.
15
Semua proses di atas
dapat dilihat pada gambar. 4.
15


19


Gambar 3. Kemungkinan jalur yang berperan dalam proses munculnya pterigium
dikutip dari kepustakaan 15.




20


Gambar 4. Patogenesis invasif pterigium dikutip dari kepustakaan 15

Tseng dkk juga berspekulasi bahwa pterigium mungkin dapat terjadi pada
daerah yang kekurangan limbal stem cell.
1,6,8
Limbal stem cell adalah sumber
regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi
conjungtivalization pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah
pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi inflamasi kronis, kerusakan
membrane mbuhan jaringan fibrotic. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan
karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium merupakan manifestasi
dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Kemungkinan
akibat sinar UV terjadi kerusakan stem cell di daerah interpalpebra.
6,12

21



Gambar 5. A. Patogenesis pterigium: kerusakan limbal fokal oleh karena sinar UV
memicu migrasi mutasi limbal stem cell ke central kornea. B. defisiensi limbal stem
cell menyebabkan conjungtivalization kornea dari segala arah dikutip dari
kepustakaan 6

Patogenesis pterigium bisa bisa melibatkan respon inflamasi, seperti sejumlah
besar limfosit infiltrasi sebagian besar sel-T (CD3 +), ditemukan di substantia propria
spesimen pterigium. Hasil ini menunjukkan bahwa mekanisme imunologi, mungkin
dari tipe hipersensitivitas 1, 3 dan 4 dapat berkontribusi pada patogenesis
pterigium.
6,16

VII. GAMBARAN KLINIS
Pterigium lebih sering terjadi pada pria tua yang melakukan pekerjaan di luar
rumah. Ptrygium mungkin terjadi unilateral atau bilateral. Penyakit ini muncul
sebagai lipatan segitiga konjungtiva yang mencapai kornea, biasanya di sisi nasal.
22

tetapi juga dapat terjadi di sisi temporal. Deposisi besi kadang-kadang terlihat pada
epitel kornea anterior disebut garis Stocker. Pterigium terdiri dari tiga bagian
Apeks (bagian apikal pada kornea),
Collum (bagian limbal), dan
Corpus (bagian scleral) membentang antara limbus dan yang canthus
2

Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian kepalanya menginvasi bagian
tengah kornea. Kekuatan tarikan yang terjadi pada kornea dapat menyebabkan
astigmatisme kornea. Pterigium lanjut yang menyebabkan skar pada jaringan
konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan mengganggu motilitas okular, pasien
kemudian akan mengalami penglihatan ganda atau diplopia.
2,11


Gambar 6. Pterigium

VIII. DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah, gatal,
mata sering berair, gangguan penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan adanya
riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah
dengan pajanan sinar matahari yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwyat trauma
sebelumnya.
12

23

Pemeriksaan fisik
Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskuler pada
permukaan kojungtiva. Pterigium dapat memberikan gambaran vaskular dan tebal
tetapi ada juga pterigium yangb avaskuler dan flat. Pterigium paling sering ditemukan
pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan
pterigium pada daerah temporal.
2,12
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah topografi
kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme ireguler yang di
sebabkan oleh pterigium.
12

IX. PENATALAKSANAAN

Karena kejadian pterigium berkaitan dengan aktivitas lingkungan, penanganan
pterigium asimptomatik atau dengan iritasi ringan dapat diobati dengan kacamata
sinar UV-blockking dan salep mata. Anjurkan pasien untuk menghindari daerah
berasap atau berdebu sebisa mungkin. Pengobatan pterigium yang meradang atau
iritasi dengan topikal dekongestan atau kombinasi antihistamin dan atau
kortikosteroid topikal ringan empat kali sehari.
5
Bedah eksisi adalah satu-satunya pengobatan yang memuaskan, yang dapat
diindikasikan untuk: (1) alasan kosmetik, (2) perkembangan lanjutan yang
mengancam daerah pupil (sekali pterigium telah mencapai daerah pupil, tunggu
sampai melintasi di sisi lain), (3) diplopia karena gangguan di gerakan okular.
2

Tujuan utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya mengeluarkan pterigium
dan untuk mencegah terjadinya rekurensi.
8
Berbagai teknik bedah yang digunakan
saat ini untuk pengelolaan pterigium.
4,12

1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan
permukaan sclera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi
pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%.
4,8,12

24

2. Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, dimana
teknik ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relative kecil.
2,12

3. Sliding flap : dibuat

insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk
memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
4. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas eksisi
untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan
pada bekas eksisi.
12

5. Conjungtival graft: menggunakan free graft yang biasanya diambil dari
konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka
kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat
jaringan.
2,4,8,12


Rekurensi menjadi masalah setelah dilakukan bedah eksisi yakni sekitar 30-
50%. Tapi hal ini dapat di minimalisir dengan cara berikut:
2,8
1. Penggunaan mitomicin C intra dan post operasi
2. Post poerasi beta iradiasi
3. Conjungtival autograft
4. Limbal and limbalconjunctival transplantation
5. Amniotic membrane transplantation
6. Cultivated conjunctival transplantation
7. Lamellar keratoplasty
8. Fibrin glue

X. DIAGNOSIS BANDING
Pterigium harus dibedakan dari pseudopterigium. Pseudopterigium
adalah lipatan konjungtiva bulbar yang melekat pada kornea. Hal ini terbentuk karena
adhesi dari konjungtiva bulbar dengan ulkus kornea marjinal. Hal ini biasanya terjadi
pada luka bakar akibat zat kimia pada mata.
2

25

Selain itu pterigium juga didiagnosis banding dengan pingekulum yang
merupakan lesi kuning keputihan pada konjungtiva bulbar di daerah nasal atau
temporal limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa karenairitasi maupun
karena air mata yang kurang baik. Pada umumnya tidak diperlukan terapi tetpi pada
kasus tertentu dapat diberikan steroid topikal.
12


XI. KOMPLIKASI

Komplikasi pterigium meliputi iritasi, kemerahan, diplopia, distorsi
penurunan visus dan skar pada konjungtiva , kornea dan otot rektus medial.
Komplikasi pasca operasi termasuk infeksi, diplopia dan terbentuknya jaringan parut.
Retina detachment, perdarahan vitreous dan perforasi bola mata meskipun jarang
terjadi.
4,10

Komplikasi pasca operasi akhir radiasi beta pterygia dapat meliputi: Scleral
dan / atau kornea yang menipis atau ektasia dapat muncul beberapa tahun atau bahkan
puluhan tahun setelah perawatan. Beberapa kasus bisa sangat sulit untuk ditangani.
10

Komplikasi yang paling umum dari operasi pterigium adalah rekurensi. Bedah eksisi
sederhana memiliki tingkat rekurensi tinggi sekitar 50-80%. Tingkat rekurensi telah
berkurang menjadi sekitar 5-15% dengan penggunaan autografts konjungtiva / limbal
atau transplantasi membran amnion pada saat eksisi.
2,10
Pada kesempatan langka,
degenerasi ganas dari jaringan epitel yang melapisi sebuah pterigium yang ada dapat
terjadi.
10

XII. PROGNOSIS

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakn
pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterigium
rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva auto graft atau
transpalantasi membrane am
26

KATARAK

I. PENDAHULUAN
Katarak berasal dari bahasa Yunani (Katarrhakies), Inggris (Cataract), dan
Latin (Cataracta) yang berarti air terjun.Dalam bahasa Indonesia disebut bular
dimana penglihatan seperti tertutup air terjun akibat lensa yang keruh.Katarak ialah
setiap kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan
lensa) lensa, denaturasi protein lensa atau akibat kedua-duanya.
17
Katarak umumnya merupakan penyakit pada usia lanjut, namun dapat juga
merupakan kelainan kongenital, atau penyulit penyakit mata lokal
menahun.Bermacam-macam penyakit mata dapat mengakibatkan katarak seperti
glaukoma, uveitis, dan retinitis pigmentosa. Selain itu, katarak dapat berhubungan
dengan proses penyakit intraokular lainnya.
17
Berdasarkan usia penderitanya, katarak dapat diklasifikasikan menjadi katarak
kongenital, katarak juvenile dan katarak Senil. Diantara ketiganya, katarak Senil
merupakan jenis katarak yang paling sering terjadi.
17
Katarak Senil adalah kekeruhan lensa yang terdapat pada usia lanjut, yaitu
usia di atas 50 tahun. Katarak Senil dapat dibagi kedalam 4 stadium, yaitu katarak
insipien, katak imatur, katarak matur dan katarak hipermatur.Katarak insipient
merupakan stadium katarak yang paling awal dan belum menimbulkan gangguan
visus.Pada katarak imatur, kekeruhan belum mengenai seluruh bagian lensa
sedangkan pada katarak matur, kekeruhan telah mengenai seluruh bagian lensa.
Sementara katarak hipermatur adalah katarak yang mengalami proses degenerasi
lanjut, dapat menjadi keras atau lembek dan mencair.Selain itu, klasifikasi katarak
senil berdasarkan lokasinya dalam tiga zona lensa dibagi menjadi tiga yaitu kapsul,
korteks, dan nukleus.
17,18
Katarak hanya dapat diatasi melalui prosedur operasi. Akan tetapi jika gejala
katarak tidak mengganggu, tindakan operasi tidak diperlukan.
19

27

II. EPIDEMIOLOGI
Katarak memiliki derajat kepadatan yang sangat bervariasi dan dapat
disebabkan oleh berbagai hal, biasanya akibat proses degenatif. Sebagian besar kasus
katarak yaitu 90% adalah katarak senil. Pada penelitian yang dilakukan di Amerika
Serikat didapatkan prevalensi katarak sebesar 50% pada mereka yang berusia 65-75
tahun dan meningkat lagi sekitar 70% pada usia 75 tahun. Katarak kongenital, katarak
traumatik dan katarak jenis jenis lain lebih jarang ditemukan.
18,20
Di Indonesia sendiri, katarak merupakan penyebab utama kebutaan dimana
prevalensi buta katarak 0,78% dari 1,5% menurut hasil survei. Walaupun katarak
umumnya adalah penyakit usia lanjut, namun 16-20% buta katarak telah dialami oleh
penduduk Indonesia pada usia 40-54 tahun yang menurut kriteria Biro Pusat
Satatistik (BPS) termasuk dalam kelompok usia produktif. Berbeda dengan kebutaan
lainnya, buta katarak merupakan kebutaan yang dapat direhabilitasi dengan tindakan
bedah. Namun pelayanan bedah katarak di Indonesia belum tersedia secara merata
yang mengakibatkan timbunan buta katarak mencapai 1,5 juta, terutama diderita oleh
penduduk berpenghasilan rendah.
21
III. ANATOMI DAN FISIOLOGI LENSA


Gambar 7: Bentuk dan posisi lensa. Lensa berbentuk bikonveks, berada pada fossa
hyaloid, dan membagi mata menjadi segmen anterior dan posterior.
20

28











Gambar 8: Anatomi Lensa
( Dikutip dari kepustakaan No.18 )
Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskuler, tak berwarna dan hampir
transparan sempurna yang memiliki fungsi untuk mempertahankan kejernihan,
refraksi cahaya, dan memberikan akomodasi. Lensa memiliki ukuran tebal sekitar 4
mm dan diameter 9 mm. Lensa tidak memiliki suplai darah atau inervasi setelah
perkembangan janin dan hal ini bergantung pada humor aquous untuk memenuhi
kebutuhan metaboliknya serta membuang sisa metabolismenya. Lensa terletak
posterior dari iris dan anterior dari korpus vitreous.Posisinya dipertahankan oleh
zonula zinni yang terdiri dari serat-serat yang kuat yang menyokong dan
melekatkannya pada korpus siliar.Lensa terdiri dari kapsula, epithelium lensa, korteks
dan nukleus.Kapsul lensa adalah membran semipermeabel yang menyebabkan air dan
elektrolit dapat masuk.Nukleus lensa lebih tebal dari korteksnya. Semakin
bertambahnya usia, laminar epitel supkapsuler terus diproduksi sehingga lensa
semakin besar dan kehilangan elastisitasnya. Fungsi utama lensa adalah
memfokuskan berkas cahaya ke retina melalui kemampuan akomodasinya.Lewat
kemampuan ini, kita mampu melihat benda yang jauh ataupun yang dekat. Namun
seiring dengan bertambahnya usia, lensa dapat mengalami berbagai gangguan seperti
kekeruhan, gangguan akomodasi, distorsi dan dislokasi.
18,19,20,22
29

Lensa terus bertumbuh seiring dengan bertambahnya usia. Saat lahir,
ukurannya sekitar 6,3 mm pada bidang ekuator dan 3,5 mm anteroposterior serta
memiliki berat sekitar 135 mg (0-9 tahun) 255 mg (40-80 tahun). Ketebalan relatif
dari korteks meningkat seiring usia. Pada saat yang sama, kelengkungan lensa juga
ikut bertambah, sehingga semakin tua usia lensa memiliki kekuatan refraksi yang
semakin bertambah. Namun, indeks refraksi semakin menurun juga seiring usia, hal
ini mungkin dikarenakan adanya partikel-partikel protein yang tidak larut. Maka
lensa yang menua dapat menjadi lebih hiperopik atau miopik tergantung pada
keseimbangan faktor-faktor yang berperan.
20
Lensa berfungsi untuk merefraksikan sinar, mempertahankan kejelasannya,
serta untuk akomodasi. Lensa dapat merefraksikan sinar karena indeks refraksinya
berbeda dari aquous dan vitreus yang ada disekelilingnya (normalnya sekitar 1,3
secara sentral dan 1,36 secara perifer). Pada posisi ketika lensa tidak berakomodasi,
lensa memberikan kontribusi sebesar 10-20 Dioptri dari kira-kira 60 Dioptri dari
kekuatan refraksi konvergen rata-rata mata manusia.
18









Gambar 9: Bagianbagian lensa terdiri dari kapsul, epithelium lensa, korteks dan
nukleus.

(dikutip dari kepustakaan No.20 )


30

a. Kapsul
Kapsul lensa memiliki sifat elastis, terdiri dari substansia lensa yang dapat
mengkerut selama proses akomodasi. Lapis terluar dari kapsul lensa adalah lamella
zonularis yang berperan dalam perlengketan serat-serat zonula.Kapsul lensa anterior
lebih tebal dari kapsul posterior dan terus meningkat ketebalannya selama kehidupan.
Bagian paling tebal dari kapsul lensa terdapat pada bagian anterior dan pre-ekuator
posterior dan yang paling tipis pada daerah kutub posterior sentral yaitu sekitar 2-4
mm. Pinggir lateral lensa disebut ekuator, yaitu bagian yang dibentuk oleh gabungan
kapsul anterior dan posterior yang merupakan insersi dari zonula.
20

b. Serat Zonula
Serat zonula lensa disokong oleh serat-serat zonular yang berasal dari lamina
basalis dari epithelium non-pigmentosa pars plana dan pars plikata korpus siliar.
Serat-serat zonula ini memasuki kapsul lensa pada region ekuatorial secara
kontinue.Seiring usia, serat-serat zonula ekuatorial ini beregresi, meninggalkan lapis
anterior dan posterior.
20

c. Epitel lensa
Epitel lensa terletak tepat di belakang kapsul anterior lensa.Terdiri dari sel-sel
epithelial yang mengandung banyak organel sehingga sel-sel ini secara metabolik
aktif dan dapat melakukan semua aktivitas sel normal termasuk biosintesis DNA,
RNA, protein dan lipid sehingga dapat menghasilkan ATP untuk memenuhi
kebutuhan energi dari lensa. Sel epitel akan mengalami perubahan morfologis ketika
sel-sel epitelial memanjang membentuk sel serat lensa yang sering disertai dengan
peningkatan masa protein dan pada waktu yang sama, sel-sel kehilangan organel-
organelnya, termasuk inti sel, mitokondria dan ribosom. Hilangnya organel-organel
ini dapat menguntungkan karena cahaya dapat melalui lensa tanpa tersebar atau
terserap oleh organel-organel ini, tetapi dengan hilangnya organel maka fungsi
31

metabolik pun akan hilang sedangkan serat lensa bergantung pada energi yang
dihasilkan oleh proses glikolisis.
20

d. Korteks dan nukleus
Nukleus lensa lebih keras daripada korteksnya. Seiring dengan bertambahnya
usia, serat-serat lamellar subepitel terus diproduksi sehingga lensa perlahan-lahan
menjadi lebih besar dan kurang elastis. Nukleus dan korteks terbentuk dari lamellar
konsentrik yang panjang.Garis-garis persambungan (suture line) yang terbentuk dari
penyambungan tepi-tepi serat lamellar tampak seperti huruf Y dengan slitlamp. Huruf
Y ini tampak tegak di anterior dan terbalik di posterior.
20

Transparansi lensa dipertahankan oleh keseimbangan air dan kation (Na,
K).Kedua kation ini berasal dari humor aquous dan vitreus. Kadar kalium di bagian
anterior lebih tinggi dibandingkan posterior sedangkan kadar natrium lebih tinggi di
posterior. Ion K bergerak ke bagian posterior dan keluar ke humor vitreus, dan ion Na
bergerak ke anterior untuk menggantikan ion K dan keluar melalui pompa aktif Na-K
ATP-ase.Transpor aktif asam-asam amino mengambil tempat pada lensa dengan
mekanisme tergantung pada gradient natrium yang dibawa oleh pompa
natrium.Aspek fisiologis terpenting dari lensa adalah mekanisme yang mengatur
keseimbangan air dan elektrolit lensa yang sangat penting untuk menjaga kejernihan
lensa.Karena kejernihan lensa sangat tergantung pada komponen struktural dan
makromolekular, gangguan dari hidrasi lensa dapat menyebabkan kekeruhan lensa.
Telah ditemukan bahwa gangguan keseimbangan air dan elektrolit sering terjadi pada
katarak kortikal, dimana kadar air meningkat secara bermakna.
20
Lensa manusia normal mengandung sekitar 65% air dan 33% protein dan
perubahan ini terjadi sedikit demi sedikit dengan bertambahnya usia. Korteks lensa
menjadi lebih terhidrasi dari pada nukleus lensa.Sekitar 5% volume lensa adalah air
yang ditemukan diantara serat-serat lensa di ruang ekstraseluler.Konsentrasi natrium
dalam lensa dipertahankan pada 20 mm dan konsentrasi kalium sekitar 120 mm.
23
32

Epithelium lensa sebagai tempat transpor aktif lensa bersifat dehidrasi dan
memiliki kadar ion Kalium (K
+
) dan asam amino yang lebih tinggi dari humor aquous
dan vitreus disekelilingnya. Sebaliknya, lensa mengandung kadar ion natrium (Na+),
ion klorida (Cl-) dan air yang lebih sedikit dari lingkungan sekitarnya. Keseimbangan
kation antara di dalam dan di luar lensa adalah hasil dari kemampuan permeabilitas
membran sel-sel lensa dan aktivitas dari pompa (Na
+
, K
+
-ATPase) yang terdapat pada
membran sel dari epithelium lensa dan setiap serat lensa. Fungsi pompa natrium
bekerja dengan cara memompa ion natrium keluar dari dan menarik ion kalium ke
dalam. Mekanisme ini bergantung dari pemecahan ATP dan diatur oleh enzim Na
+
,
K
+
-ATPase.Keseimbangan ini mudah sekali terganggu oleh inhibitor spesifik
ATPase. Inhibisi dari Na
+
, K
+
, ATPase akan menyebabkan hilangnya keseimbangan
kation dan meningkatkan kadar air dalam lensa. Pada perkembangan katarak kortikal
beberapa studi telah menunjukkan bahwa terjadi penurunan aktivitas Na
+
, K
+
-
ATPase, sedangkan yang lainnya tidak menunjukkan perubahan apapun. Dari studi-
studi lain telah diperkirakan bahwa permeabilitas membran sedikit meningkat seiring
dengan perkembangan katarak.
20











Gambar 10 : Transparansi Lensa
(diKutip dari kepustakaan No.20)
33

IV. ETIOLOGI
Penyebab katarak Senil sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti dan
diduga multifaktorial. Beberapa penyebab katarak diantaranya adalah:
4,22
1. Faktor biologi, yaitu karena usia tua dan pengaruh genetic
2. Fungsional, yaitu akibat akomodasi yang sangat kuat sehingga mempunyai efek
buruk terhadap serabu-serabut lensa
3. Faktor imunologik
4. Gangguan yang bersifat lokal pada lensa, seperti gangguan nutrisi, gangguan
permeabilitas kapsul lensa, efek radiasi cahaya matahari.
5. Gangguan metabolisme umum
6. Obat-obatan. Obat yang meniduksi perubahan lensa adalah sebagai berikut:
- Kortikosteroid
- Phenotiazine
- Chlorpromazine
- Amiodarone
- Miotics
- Aspirin
- Obat topical glaukoma
7. Trauma
Kerukakan lensa akibat trauma dapat disebabkan oleh peradangan mekanik, kekuatan
fisikal (radiasi, kimia, elekrik)
8. Merokok

Konsep penuaan :
17
- Teori putaran biologi (A biologic clock)
- Jaringan embrio manusia dapat membelah diri 50 kali kemudian mati
- Imunologis dengan bertambahnya usia akan bertambah cacat imunologik yang
mengakibatkan kerusakan sel
34

- Teori mutasi spontan
- Teori a free radical
- Free radical terbentuk bila terjadi reaksi intermediate reaktif kuat
- Free radical dengan molekul normal mengakibatkan degenerasi
- Free redical dapat dinetralisasi oleh antioksidan dan vit. E
- Teori a cross-link
Ahli biokimia mengatakan terjadi pengikatan bersilang asam nukleat dan molekul
protein sehingga mengganggu fungsi.

Perubahan lensa pada usia lanjut adalah :

a. Kapsul
Menebal dan kurang elastis (1/4 dibanding anak), mulai presbiopia, bentuk lamel
kapsul berkurang atau kabur,dan terlihat bahan granular.
b. Epitel
Makin tipis, sel epitel (germinatif) pada equator bertambah besar dan berat , bengkak
dan vakuolisasi mitokondria yang nyata.
c. Serat lensa
Lebih irregular, pada korteks jelas kerusakan serat sel, brown sclerotic nukleus, sinar
ultraviolet lama kelamaan merubah protein nukleus ( histidin, triptofan, metionin,
sistein, tirosin) lensa, sedang warna coklat protein lensa nukleus mengandung histidin
dan triptofan dibanding normal.
d. Korteks
Tidak berwarna karena kadar asam askorbat tinggi dan menghalangi fotooksidasi dan
sinar tidak banyak mengubah protein pada serat muda.





35

V. PATOGENESIS
Kekeruhan lensa dapat terjadi akibat hidrasi dan denaturasi protein lensa.
Patogenesis dari katarak terkait usia bersifat multifaktorial dan belum sepenuhnya
dimengerti. Dengan bertambahnya usia lensa, ketebalan dan berat lensa akan
meningkat sementara daya akomodasinya akan menurun. Dengan terbentuknya
lapisan konsentris baru dari kortek, inti nukleusakan mengalami penekanan dan
pengerasan. Proses ini dikenal sebagai sklerosis nuclear. Selain itu terjadi pula proses
kristalisasi pada lensa yang terjadi akibat modifikasi kimia dan agregasi protein
menjadi high-molecular-weight-protein. Hasil dari agregasi protein secara tiba-tiba
ini mengalami fluktuasi refraktif index pada lensa sehingga menyebabkan cahaya
menyebar dan penurunan pandangan. Modifikasi kimia dari protein nukleus lensa
juga menghasilkan pigmentasi progresif yang akan menyebabkan warna lensa
menjadi keruh. Perubahan lain pada katarak terkait usia juga menggambarkan
penurunan konsentrasi glutatin dan potassium serta meningkatnya konsentrasi sodium
dan kalsium.
18, 23
Terdapat berbagai faktor yang ikut berperan dalam hilangnya transparasi lensa.
Sel epithelium lensa akan mengalami proses degeneratif sehingga densitasnya akan
berkurang dan terjadi penyimpangan diferensiasi dari sel-sel fiber. Akumulasi dari
sel-sel epitel yang hilang akan meningkatkan pembentukan serat-serat lensa yang
akan menyebabkan penurunan transparasi lensa. Selain itu, proses degeneratif pada
epithelium lensa akan menurunkan permeabilitas lensa terhadap air dan molekul-
molekul larut air sehingga transportasi air, nutrisi dan antioksidan kedalam lensa
menjadi berkurang. Peningkatan produk oksidasi dan penurunan antioksidan seperti
vitamin dan enzim-enzim superoxide memiliki peran penting pada proses
pembentukan katarak.
24




36

VI. KLASIFIKASI
Berdasarkan usia, katarak dapat diklasifikasikan dalam :
17
1. Katarak kongenital, katarak yang sudah terlihat pada usia di bawah 1 tahun
2. Katarak juvenil, katarak yang terjadi sesudah usia 1 tahun
3. Katarak senil, katarak setelah usia 50 tahun
Pada katarak kongenital, kelainan utama terjadi di nukleus lensa atau nukleus
embrional, bergantung pada waktu stimulus kataraktogenik. Katarak juvenil adalah
katarak yang terdapat pada usia muda yang mulai terbentuk pada usia kurang dari 9
tahun dan lebih dari 3 bulan. Katarak juvenil biasanya merupakan kelanjutan katarak
kongenital.Katarak juvenil biasanya merupakan penyulit penyakit sistemik ataupun
metabolik dan penyakit lainnya seperti katarak metabolik, katarak akibat kelainan
otot pada distrofi miotonik, katarak traumatik, dan katarak komplikata.

Katarak senil adalah kekeruhan lensa dengan nukleus yang mengeras akibat
usia lanjut yang biasanya mulai terjadi pada usia lebih dari 50 tahun. Katarak senil
secara klinik dibedakan dalam 4 stadium yaitu insipien, imatur, matur dan
hipermatur.
18
- Katarak Insipien
Kekeruhan mulai dari tepi ekuator berbentuk jeruji menuju korteks anterior dan
posterior (katarak kortikal). Katarak subkapsular psoterior, kekeruhan mulai terlihat
di anterior subkapsular posterior, celah terbentuk, antara serat lensa dan korteks berisi
jaringan degeneratif (beda morgagni) pada katarak insipient. Kekeruhan ini dapat
menimbulkan poliopia karena indeks refraksi yang tidak sama pada semua bagian
lensa. Bentuk ini kadang-kadang menetap untuk waktu yang lama.
17
- Katarak imatur
Sebagian lensa keruh atau katarak.Merupakan katarak yang belum mengenai seluruh
lapis lensa.Volume lensa bertambah akibat meningkatnya tekanan osmotik bahan
degeneratif lensa. Pada keadaan lensa mencembung akan dapat menimbulkan
hambatan pupil, sehingga terjadi glaukoma sekunder.
17,20


37









Gambar 11: Katarak senile imatur
(Dikutip dari kepustakaan No.20)
- Katarak matur
Bila proses degenerasi berjalan terus maka akan terjadi pengeluaran air bersama-sama
hasil desintegritas melalui kapsul. Di dalam stadium ini lensa akan berukuran normal
kembali. Sehingga iris tidak terdorong ke depan dan bilik mata depan akan
mempunyai kedalaman normal kembali. Kadang pada stadium ini terlihat lensa
berwarna sangat putih akibat perkapuran menyeluruh karena deposit kalium. Bila
dilakukan test bayangan iris atau shadow test akan terlihat negatif.
17









Gambar 12 : Katarak senil mature
(Dikutip dari kepustakaan No.18)


38

- Katarak Hipermatur
Merupakan proses degenerasi lanjut lensa sehingga korteks lensa mencair dan dapat
keluar melalui kapsul lensa. Lensa mengeriput dan berwarna kuning.Akibat
pengeriputan lensa dan mencairnya korteks nukleus lensa tenggelam ke arah bawah
(katarak morgagni). Lensa yang mengecil akan mengakibatkan bilik mata menjadi
dalam. Shadow test memberikan gambaran pseudopositif. Akibat massa lensa yang
keluar melalui kapsul lensa dapat timbul penyulit berupa uveitis fakotoksik atau
glaukom fakolitik.
20







Gambar 13 : Katarak senile hipermatur
(Dikutip dari kepustakaan No.18)

Ada 3 tipe umum age-related cataract yaitu nuklear, kortikal, dan
subkapsular posterior. Pada banyak pasien, lebih dari satu tipe bisa didapatkan.
18
1. Katarak nuclear

Pada dekade keempat kehidupan, produksi serat tekanan pada lensa perifer
menyebabkan pengerasan keseluruhan lensa, terutama inti (nukleus).Inti berubah
warna menjadi coklat kekuningan (brunescent katarak nuklir).Perubahan warna ini
bervariasi dari coklat kekuningan sehingga kehitaman pada seluruh lensa (black
cataract). Oleh karena meningkatnya daya bias lensa,katarak nuklearmenyebabkan
myopia lentikulerdan menghasilkandua titik fokal pada lensa serta menghasilkan
diplopia monokuler. Perkembangan katarak nuklear sangat lambat. Oleh karena
39

terjadinya myopia lentikuler, visus dekat (tanpa kacamata) tetap baik untuk jangka
waktu yang lama.
22








Gambar 14 : Katarak Nuclear
(Dikutip dari kepustakaan No.20)
2. Katarak kortikal

Yaitu kekeruhan pada korteks lensa, ditandai oleh hidrasi lensa. Pada pemeriksaan slit
lamp dapat terlihat vakuola, fisura, pemisahan lamela, dan bentuk kuneiform. Katarak
kortical berkembang lebih cepat berbanding katarak nuklear. Ketajaman visual dapat
meningkat untuk sementara selama perjalanan penyakit ini.Hal ini terjadikarena efek
stenopeic, dimana cahaya yang melalui daerah yang jelas diantaradua radial
opasitas.Derajat gangguan fungsi penglihatan bervariasi. Gejala yang biasanya
muncul yaitu silau akibat sumber cahaya yang terang.
22







Gambar 15 : Katarak kortikal
(Dikutip dari kepustakaan No.20)
40

3. Katarak Subkapsular Posterior
Yaitu terjadinya kekeruhan di bagian posterior dan biasanya terletak sentral.Katarak
ini menyebabkan silau, pandangan kabur pada kondisi cahaya terang, serta
penglihatan dekat menurun.Secara histologi, tipe ini berhubungan dengan migrasi sel-
sel epitel lensa di bagian akuator ke permukaan dalam kapsul posterior.
1
Bentuk
khusus dari katarak kortikal ini dimulai pada sumbu visual. Dimulai dengan satu
kelompok kecil kekeruhan pada granular, dan memperluas ke perifer membentuk
seperti disc. Peningkatan opasitas ini melibatkan nukleus dan
korteks.Perkembangannya sangat cepat dan memperberat ketajaman visual.
Penglihatan jarak jauh memburuk secara signifikan berbanding penglihatan jarak
dekat (bidang dekat-miosis). Penggunaan obat tetes untuk melebarkan pupil dapat
meningkatkan ketajaman visual.
22









Gambar 16 : Katarak Subkapsular posterior
(Dikutip dari kepustakaan No.20)

Selain itu, sekarang lebih cenderung menggunakan Lens Opacities
ClassificationSystem (LOCS) dimana lensa dinilai dari warna nuclear (NC) dan
opasitas nuclear (NO), katarak kortikal, dan katarak subkapsular posterior (P).
25

41


Gambar 17.Lens Opacities Classification System (LOCS) III transparancies.

(Diambil dari Kepustakaan No.25)

Klasifikasi katarak berdasarkan maturitas dari katarak, tingkat kekeruhan atau
perkembangan tidak cukup dalam epidemiologi katarak atau terapeutik studi.Sistem
Klasifikasi Kekeruhan Lensa III (LOCS III) adalah sistem standar yang digunakan
untuk grading dan perbandingan keparahan katarak dan type1-2. Itu berasal dari
LOCS II classification 3, dan itu terdiri dari tiga set foto standar (Gambar).
Klasifikasi ini mengevaluasi empat fitur: opalescence nuklear (NO) warna nuklear
(NC), katarak kortikal (C), katarak posterior subcapsular (P). Nuclear opalesecence
(NO) dan warna nuklir (NC) yang dinilai pada skala desimal 0,1 sampai 6,9,
didasarkan pada seperangkat enam foto standar. Katarak kortikal (C) dan posterior
subcapsular cataract (P) yang dinilai pada skala desimal dari 0,1 sampai 5,9,
berdasarkan satu set lima foto standar masing-masing. Tidak seperti klasifikasi LOCS
II, klasifikasi LOCS III mempersempit skala interval, memungkinkan perubahan kecil
dalam keparahan katarak untuk diamati. Batas toleransi 95% untuk reproduktifitas
dalam-kelas dan antara-kelas juga menyempit dalam klasifikasi LOCS III.
25

42

VII. GEJALA KLINIS

Seorang pasien dengan katarak Senil biasanya datang dengan riwayat
kemunduran secara progesif dan gangguan penglihatan.Penyimpangan penglihatan
bervariasi, tergantung pada jenis dari katarak ketika pasien datang.
7
- Penurunan visus, merupakan keluhan yang paling sering dikeluhkan pasien dengan
katarak Senil.
- Silau, Keluhan ini termasuk seluruh spektrum dari penurunan sensitivitas kontras
terhadap cahaya terang lingkungan atau silau pada siang hari hingga silau ketika
mendekat ke lampu pada malam hari.
- Perubahan miopik, Progesifitas katarak sering meningkatkan kekuatan dioptrik lensa
yang menimbulkan myopia derajat sedang hingga berat. Sebagai akibatnya, pasien
presbiopi melaporkan peningkatan penglihatan dekat mereka dan kurang
membutuhkan kaca mata baca, keadaan ini disebut dengan second sight. Secara khas,
perubahan miopik dan second sight tidak terlihat pada katarak subkortikal posterior
atau anterior.
- Diplopia monocular. Kadang-kadang, perubahan nuclear yang terkonsentrasi pada
bagian dalam lapisan lensa, menghasilkan area refraktil pada bagian tengah dari
lensa, yang sering memberikan gambaran terbaik pada reflek merah dengan
retinoskopi atau ophtalmoskopi langsung. Fenomena seperti ini menimbulkan
diplopia monocular yang tidak dapat dikoreksi dengan kacamata, prisma, atau lensa
kontak.
- Noda, berkabut pada lapangan pandang.
- Ukuran kaca mata sering berubah

VIII. DIAGNOSIS
Gejala pada katarak Senil berupa distorsi penglihatan dan penglihatan yang
semakin kabur.
2
Pada stadium insipien, pembentukan katarak penderita mengeluh
penglihatan jauh yang kabur dan penglihatan dekat mungkin sedikit membaik,
43

sehingga pasien dapat membaca lebih baik tanpa kacamata (second sight).
Terjadinya miopia ini disebabkan oleh peningkatan indeks refraksi lensa pada
stadium insipient.
20
Diagnosis katarak Senil imatur dapat diperoleh dari gejala-gejala klinis yang
dialami serta pemeriksaan oftalmologi.Pasien pada katarak Senil imatur biasanya
datang dengan keluhan mata kabur serta silau.Sebagian besar katarak tidak dapat
dilihat oleh pemeriksa awam sampai menjadi cukup padat (matur atau hipermatur)
dan menimbulkan kebutaan. Katarak pada stadium dini, dapat diketahui melalui pupil
yang dilatasi maksimum dengan oftalmoskop, kaca pembesar atau slit lamp.
17
Diagnosa dari katarak Senil dibuat atas dasar anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Pemeriksaan seluruh tubuh terhadap adanya kelainan-kelainan harus dilakukan
untuk menyingkirkan penyakit sistemik yang berefek terhadap mata dan
perkembangan katarak.
24
a. Pemeriksaan mata yang lengkap harus dilakukan yang dimulai dengan ketajaman
penglihatan untuk gangguan penglihatan jauh dan dekat. Ketika pasien mengeluh
silau, harus diperiksa dikamar dengan cahaya terang.
b. Pemeriksaan adneksa okular dan struktur intraokular dapat memberikan petunjuk
terhadap penyakit pasien dan prognosis penglihatannya. Pemeriksaan yang sangat
penting yaitu tes pembelokan sinar yang dapat mendeteksi pupil Marcus Gunn dan
defek pupil aferent relatif yang mengindikasikan lesi saraf optik atau keterlibatan
difus makula
c. Pemeriksaan slit lamp tidak hanya difokuskan untuk evaluasi opasitas lensa. Tapi
dapat juga struktur okular lain( konjungtiva, kornea, iris, bilik mata depan).
- Ketebalan kornea dan opasitas kornea seperti kornea gutata harus diperiksa hati-hati
- Gambaran lensa harus dicatat secara teliti sebelum dan sesudah pemberian dilator
pupil
- Posisi lensa dan integritas dari serat zonular juga dapat diperiksa sebab subluxasi
lensa dapat mengidentifikasi adanya trauma mata sebelumnya, kelainan metabolik,
atau katarak hipermatur
44

d. Kepentingan ofthalmoskopi direk dan indirek dalam evaluasi dari integritas bagian
belakang harus dinilai. Masalah pada saraf optik dan retina dapat menilai gangguan
penglihatan.
Perbedaan stadium katarak senil dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
17
Insipien Imatur Matur Hipermatur
Kekeruhan lensa Ringan Sebagian Komplit Masif
Cairan Lensa Normal Bertambah (air
masuk)
Normal Berkurang (air+masa
lensa keluar)
Iris Normal Terdorong Normal Tremulans
Bilik Mata
Depan
Normal Dangkal Normal Dalam
Sudut Bilik
Mata
Normal Sempit Normal Terbuka
Shadow Test Negatif Positif Negatif Pseudopos
Visus (+) < << <<<
Penyulit - Glaukoma - Uveitis+glaucoma












45

IX. TERAPI

Katarak Senil penanganannya harus dilakukan pembedahan atau operasi.
Tindakan bedah ini dilakukan bila telah ada indikasi bedah pada katarak senil, seperti
katarak telah mengganggu pekerjaan sehari-hari walapun katarak belum matur,
katarak matur, karena apabila telah menjadi hipermatur akan menimbulkan penyulit
(uveitis atau glaukoma) dan katarak telah telah menimbulkan penyulit seperti katarak
intumesen yang menimbulkan glaukoma.
18,26
Pemeriksaan yang biasanya dilakukan sebagai bagian dari tindakan
preoperatif untuk menentukan kelayakan operasi, teknik operasi, pemasangan IOL,
maupun untuk evaluasi postoperatif.
24
- Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin, fungsi ginjal, dan fungsi hati perlu dilakukan untuk
mengetahui layak tidaknya seseorang dioperasi.
- Pemeriksaan tonometri
Dilakukan untuk memastikan ada tidaknya penyulit seperti glaukoma.
- Biometri
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan kekuatan dioptri lensa inta okular
(IOL) yang sebaiknya dipasangkan pada pasien.

Ada beberapa jenis operasi yang dapat dilakukan, yaitu ICCE ( Intra Capsular
Cataract Extraction) dan ECCE (Ekstra Capsular Cataract Extraction) yang terdiri
dari ECCE konvensional, SICS (Small Incision Cataract Surgery), fakoemulsifikasi
(Phaco Emulsification).
17,19,20

1. Intracapsular Cataract Extraction (ICCE) merupakan teknik pembedahan
dengan cara mengeluarkan seluruh lensa bersama kapsul. Dapat dilakukan pada
zonula zinni yang telah rapuh atau berdegenerasi dan mudah putus. Teknik ini telah
jarang digunakan. Indikasi utama yaitu jika terjadi subluksasi atau dislokasi lensa.
46

Kontraindikasi pada pasien berusia kurang dari 40 tahun yang masih mempunyai
ligament hialoidea kapsular.
20


Gambar 18: Teknik operasi ICCE + implantasi IOL pada bilik mata depan.
A. Jahitan pada muskulus rektus superior; B. Flap konjungtiva; C. Membuat alur;
D. Memotong bagian kornea-skleral; E. Iridektomi peripheral; F. Ekstraksi
kriolens;G&H. insersi IOL Kelman multiflex pada bilik mata depan; I. Jahit kornea-
skleral
(Dikutip dari kepustakaan 20)

2. Ekstra Capsular Cataract Extraction (ECCE) Pengeluaran isi lensa (epithelium,
korteks dan nukleus) melalui kapsul anterior yang dirobek (kapsulotomi anterior)
dengan meninggalkan kapsul posterior. Lensa intraokuler kemudian diletakkan pada
kapsul posterior. Pembedahan ini dapat dilakukan pada pasien dengan katarak
imatur, kelainan endotel, keratoplasti, implantasi lensa intra okular posterior,
implantasi sekunder lensa intra okular, kemungkinan bedah glaukoma, predisposisi
prolaps vitreus, ablasi retina, dan sitoid makular edema.
20
47


Gambar 19: Teknik operasi ECCE + implantasi IOL pada bilik mata belakang.
A. Kapsulotomi anterior dengan teknik Can-opener; B. Pengeluaran kapsul anterior;
C. Memotong bagian kornea-skleral; D. Pengeluaran nukleus (metode pressure and
counter-pressure); E. Aspirasi korteks; F. Insersi inferior haptic IOL pada bilik mata
belakang; G. Insersi PCIOL superior haptic; H. Putar IOL; I. Jahit kornea-skleral.
(Dikutip dari kepustakaan 20)

3. Small Incision Cataract Surgery (SICS) adalah modifikasi dari ekstraksi katarak
ekstrakapsular merupakan salah satu teknik pilihan yang dipakai dalam operasi
katarak dengan penanaman lensa intraokuler. Teknik ini lebih menjanjikan dengan
insisi konvensional karena penyembuhan luka yang lebih cepat, astigmatisme yang
rendah, dan tajam penglihatan tanpa koreksi yang lebih baik.
20

48




Gambar 20: Teknik operasi SICS.
A. Jahit muskulus rectus superior; B. Flap konjungtiva dan buka sclera; C,D&E.
Insisi sclera eksterna dan membuat insisi terowong; F. terowong sclerakornea dengan
pisau berbentuk bulan sabit; G. Insisi kornea interna; H. Side port entry; I. CCC
besar; J. Hydrodissection; K. Prolapsus nukleus pada bilik mata depan; L. Irigasi
nukleus dengan wire vectis; M. Aspirasi korteks; N. Insersi inferior haptic IOL pada
bilik mata depan; O. Insersi superior haptic PCIOL; P. Putar IOL; Q. Reposisi dan
konjungtival flap.(Dikutip dari kepustakaan 20)
49

4. Phaco Emulsification Fakoemulsifikasi merupakan bentuk ECCE yang terbaru
dimana menggunakan getaran ultrasonik untuk menghancurkan nukleus sehingga
material nukleus dan kortek dapat diaspirasi melalui insisi 3 mm.Fakoemulsifikasi
merupakan teknik ekstraksi katarak terbaik yang pernah ada saat ini. Teknik ini di
tangan operator yang berpengalaman menghasilkan rehabilitasi tajam penglihatan
yang lebih cepat, kurang menginduksi astigmatisme, memberikan prediksi refraksi
pasca operasi yang lebih tepat, rehabilitasi yang lebih cepat dan tingkat komplikasi
yang rendah.
20,26


Gambar 21: Teknik operasi fakoemulsifikasi.
A.Membuat kurvalinier capsulirhexis; B. Lakukan hidrodis;
C. Hidrodelineasi; D&E. Emulsifikasi nukleus menggunakan alat dan teknik conquer
(menghancurkan 4 kuadran); F. Aspirasi korteks
(Dikutip dari kepustakaan 20)






Gambar 22.Fakoemulsifikasi menggunakan getaran ultrasonik melalui insisi 2-3 mm.
( Dikutip dari kepustakaan 26 )
50

Tindakan
Operasi
Keuntungan Kerugian
ICCE Tidak perlu dikhawatirkan terjadinya kekeruhan
kapsular, dapat dilakukan tanpa mikroskop
operatif.Teknik ini masih dapat digunakan jika
keutuhan zonular sangat terganggu sehingga lensa
dapat dikeluarkan dengan sempurna
Lamanya penyembuhan, lamanya
rehabilitasi penglihatan, astigmatisme yang
signifikan, inkarserasi iris, kebocoran luka
post-operasi, inkarserasi vitreus serta
edema kornea, kehilangan sel endotelial
pada ekstraksi intrakapsular lebih besar
dibandingkan ekstrakapsular. Teknik ini
juga lebih sulit karena penempatan lensa
intraokular tidak semudah apabila
diletakkan pada kantung kapsular.
ECCE insisi yang lebih kecil sehingga kemungkinan
terjadinya trauma pada endotel kornea lebih kecil.
Penempatan lensa intraokuler juga dapat
dilakukan dengan lebih baik. Syarat untuk
melakukan teknik ini adalah keutuhan zonular
Tergantung kemampuan operator, lamanya
penyembuhan, lamanya rehabilitasi
penglihatan, astigmatisme.
SICS Penyembuhan luka yang lebih cepat,
astigmatisme yang rendah, dan tajam penglihatan
tanpa koreksi yang lebih baik
Tergantung kemampuan operator
Phaco
Emulsification
Luka incisi tidak dijahit, menghasilkan
rehabilitasi tajam penglihatan yang lebih cepat,
kurang menginduksi astigmatisme, memberikan
prediksi refraksi pasca operasi yang lebih tepat,
dan tingkat komplikasi yang rendah
Tergantung kemampuan Operator, relatif
mahal



51

Lensa Intraokuler
Lensa intraokuler adalah lensa buatan yang ditanamkan ke dalam mata pasien
untuk mengganti lensa mata yang rusak dan sebagai salah satu cara terbaik untuk
rehabilitasi pasien katarak.
20
Sebelum ditemukannya Intra Ocular Lens (IOL), rehabilitasi pasien pasca
operasi katarak dilakukan dengan pemasangan kacamata positif tebal maupun
Contact lens (kontak lensa) sehingga seringkali timbul keluhan-keluhan dari pasien
seperti bayangan yang dilihat lebih besar dan tinggi, penafsiran jarak atau kedalaman
yang keliru, lapang pandang yang terbatas dan tidak ada kemungkinan menggunakan
lensa binokuler bila mata lainnya fakik.
IOL terdapat dalam berbagai ukuran dan variasi sehingga diperlukan
pengukuran yang tepat untuk mendapatkan ketajaman penglihatan pasca operasi yang
maksimal. Prediktabilitas dalam bedah katarak dapat diartikan sebagai presentase
perkiraan target refraksi yang direncanakan dapat tercapai dan hal ini dipengaruhi
oleh ketepatan biometri dan pemilihan formula lensa intraokuler yang sesuai untuk
menentukan kekuatan (power) lensa intraokuler. Faktor-faktor biometri yang
mempengaruhi prediktabilitas lensa intraokuler yang ditanam antara lain panjang bola
mata (Axial Length), kurvatura kornea (nilai keratometri) dan posisi lensa intraokuler
yang dihubungkan dengan kedalaman bilik mata depan pasca operasi. Prinsip alat
pengukuran biometri yang umum digunakan untuk mendapatkan data biometri yaitu
dengan ultrasonografi (USG) atau Partial Coherence Laser Interferometry (PCI).
20





Gambar 23. Jenis-jenis IOL: A, Kelman multiflex (IOL bilik mata depan); B, Singh
& Worsts iris claw; C, IOL bilik mata belakang Modified C-loop type)
(Dikutip dari kepustakaan

20 )
52

Axial length adalah faktor yang paling penting dalam formula mengukur
kekuatan IOL. Kekuatan kornea sentral merupakan faktor kedua yang penting dalam
formula menghitung kekuatan IOL, dengan kesalahan 1,0 D akan menghasilkan
kesalahan refraksi postoperasi sebanyak 1,0 D. Kekuatan kornea sentral dapat diukur
dengan menggunakan keratometer atau topografi kornea yang dapat mengukur
kekuatan kornea secara langsung.
Untuk mendapatkan IOL yang cocok dan sesuai dengan kebutuhan pasien
diperlukan suatu pengukuran yang akurat dan ini merupakan tanggung jawab ahli
bedah untuk mempertimbangkan kebutuhan pasien tentunya dengan melakukan
beberapa pemeriksaan. Untuk formula yang akan digunakan tergantung kepada ahli
bedah akan tetapi pengukuran biometri harus dilakukan seakurat mungkin. Jika pada
hasil ditemukan suatu kecurigaan atau nilai diluar batas normal maka pengukuran
harus diulang kembali.Selain itu pemeriksaan sebaiknya dilakukan pada kedua mata
untuk memantau adanya perbedaan yang sangat besar antara kedua mata.

Berikut ini adalah komplikasi besar intraoperatif yang ditemukan selama
operasi katarak, yaitu :
20,22
Kamera okuli anterior dangkal atau datar
Ruptur kapsul
Edema kornea
Perdarahan atau efusi suprakoroid
Perdarahan koroid yang ekspulsif
Tertahannya material lensa
Gangguan vitreous dan inkarserasi ke dalam luka
Iridodialisis
Berikut ini merupakan komplikasi besar post operatif yang ditemukan segera
selama operasi katarak, yang sering terlihat dalam beberapa hari atau minggu setelah
operasi, yaitu :
20,26
Kamera okuli anterior datar atau dangkal karena luka robek
Terlepasnya koroid
53

Hambatan pupil
Hambatan korpus siliar
Perdarahan suprakoroid
Edem stroma dan epitel
Hipotoni
Sindrom Brown-Mc. Lean (edem kornea perifer dengan kornea sentral jernih sangat
sering terlihat mengikuti ICCE)
Perlekatan vitreokornea dan edem kornea yang persisten
Perdarahan koroid yang lambat
Hifema
Tekanan intraokuler yang meningkat (sering karena tertahannya viskoelastis)
Edem makular kistoid
Terlepasnya retina
Endoptalmitis akut
Sindrom uveitis-glaukoma-hifema (UGH)
Berikut ini adalah komplikasi besar post operatif yang lambat, terlihat dalam
beberapa minggu atau bulan setelah operasi katarak :
20,26

Jahitan yang menginduksi astigmatismus
Desentrasi dan dislokasi IOL
Edem kornea dan keratopati bullous pseudopakia
Uveitis kronis
Endoptalmitis kronis






54

DAFTAR PUSTAKA


1. Dzunic B, Jovanovic P, et al. Analysis of pathohistological characteristics of
pterigium . BOSNIAN JOURNAL OF BASIC MEDICAL SCIENCE.
2010;10(4):308-13.
2. Khurana KA. Diseases of the Conjunctiva. In:, Khurana KA, editors.
Comprehensive Ophthalmology 4
th
ed. New Delhi: New Age International.
2007. p. 51 - 82.
3. Swastika AM, Inakawati S. Perbedaan Kekambuhan Paska Ekstirpasi
Pterigium Metode Bare Sclera Dengan Transpalantasi Limbal Stem Sel.
Medical Faculty of Diponegoro University. 2008; 1-18.
4. Raju KV, Chandra A, Doctor R. Management of Pterigium- A Brief Review.
Kerala Journal of Ophthamology. 2008;10(4):63-5.
5. Jharmarwala M, Jhaveri R. Pterigium: A New Surgical Technique. Journal Of
The Bombay Ophthamologists Association. 2008;11(4):129-30.
6. Chui J, Coroneo TM, et al. Ophthalmic Ptrygium A Stem Cell Disorder with
Premalignant Features. The American Journal of Pathology. 2011;178(2):817-
27.
7. Sharma KA, Wali V, Pandita A. Cornea-Conjungtival Auto Grafting in
Pterigium Surgery. Postgraduate Department of Opthalmology, Govt.
Medical College, Jammu. 2004;6(3):149-52.
8. Ang KPL, Chua LLJ, Dan HTD. Current concepts and techniques in
pterigium treatment. Curr Opin Ophthalmol. 2006; 18: 308313.
9. Gazzard G, Saw MS, et al. Pterigium in Indonesia: prevalence, severity, and
risk factors. Br J Ophthalmol .2002;86:134146.
10. Fisher PJ. Pterigium. Updated : 2012. Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview. Accessed July
7,2012.
55

11. Lang KG, Lang EG. Conjunctiva. In:, Lang KG, Gareis O, Lang EG, Recker
D, Wagner P, editors. Ophthalmology: A Pocket Textbook Atlas 2
nd
ed. New
York: Thieme Stuttgart. 2006. p. 67 - 72.
12. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Updated : 2009.
Available from: URL: repository.usu.ac.id. Accessed July 7 ,2012.
13. Witcher PJ, Eva RP. Conjunctiva. In: Vaughan & Asburys General
Ophthalmology 17
th
ed. New York: Mc Graw Hill Company. 2007. p. 67 -
72.
14. Garg P. Pathogenesis of Pterigium: role of Eph receptors and ligans ephrins.
Can J Ophthamol. 2009;44(2):138-40.
15. Dushku N, John KM, Schultz SG, Reid WT. Pterygia Pathogenesis: Corneal
Invasion by Matrix Metalloproteinase Expressing Altered Limbal Ephitelial
Basal Cells. Arch Ophthamol. 2001;119:695-706.
16. Redy VS, Mitra SK, Kumar V. Ophthocare in Pterigium and Dacryocytis. The
Antiseptic. 1998;95(11):1-4.
17. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-4 . Jakarta:Balai Penerbit
FKUI; 2011. 204-215.
18. Lang, Gerhard K. Opthalnology. A Short Textbook. Thieme Stuttgart : New
York. 2000.p.165-168; 170-179
19. Galloway NR, Galloway PH, Browning AC, editors. Common Eye Disease
and Their management. 3
rd
Edition. London: Springer; 2006.p.81-90.
20. Khurana AK, editor. Comprehensive Ophthalmology. 4
th
Edition. New Delhi:
New Age International; 2007.p.167-172; 175-201
21. Pujiyanto, T. Faktor-Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian
Katarak Senil. Tesis Magister. Semarang: Universitas Diponegoro;
2004.hal.1-15.
22. Sundaram V, Barsam A, Alwitry A, Khaw PT, editors. Training in
Ophthalmology. New York: Oxford University Press; 2009.p.237-250.
56

23. Khalilullah, Said Alvin. 2010. Patologi dan Penatalaksanaan pada Katarak
Senil.
24. Zulkifli, MS. 2009. Katarak Senil. Available from : www.blogsehat.com
25. Chylack L.T, Wolfe J.K, Singer D.M dkk, The Lens Opacities Classifications
System III, Archives of Ophthalmology, Vol 111, Juni, 1993,p. 831-836
26. Khaw PT, Shah P, Elkinhton AR, editors. ABC of Eyes. 4
th
Edition. London:
BMJ Books; 2004.p.40-51.
27. Lang .G. Lens. In Ophthalmologi : A Docket Text Book Atlas secont Edition.
Thieme Stutgent : germany 200Gp.170-5
28. Coombest. A. Gartry. D. Cataract Surgery. Fundamentals of Clinical
Ophalmologi .BMJ : London, 2003. P.11-15

Anda mungkin juga menyukai