Anda di halaman 1dari 13

[Glitterfy.

com - *Glitter Words*]


Beranda
Rabu, 11 April 2012
makalah perkembangan manusia Purba Di Indonesia
Pendahuluan
Penemuan - penemuan fosil di dunia banyak disumbang oleh Indonesia. Hal ini dikarenakan
Indonesia merupakan wilayah tropis dan mempunyai iklim yang cocok di huni manusia kala
itu. Penemuan penemuan fosil sangat bergua bagi perkembangan ilmu sejarah sekarang ini.
Baik dalam hal menjelaskan kehidupan manusia kala itu,. Hewan yang pernah hidup dan
bagaimana evolusi manusia hingga menjadi sekarang ini. Indonesia banyak menyumbang
fosil manusia manusia purba. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dijelaskan
perkembangan manusia purba dari mulai bagaimana menemukannya,cirri-ciri dari manusia
purba dan tempat ditemukanya,sampai evolusi manusia mulai dari pertama kali muncul
hingga menjadi manusia sekarang ini.
Dilihat dari hasil penemuan di Indonesia maka dapat dipastikan Indonesia mempunyai
banyak sejarah peradapan manusia mulai saat manusia hidup. Dengan begitu ilmu sejarah
akan terus berkembang sejalan dengan fosil- fosil yang ditemukan. Makalah ini dibuat untuk
mengetahui lebih jelas dan terperinci mengenai fosil- fosil manusia purba yang ditemuakan di
Indonesia. Penemuan penemuan terbaru juga termasuk di dalamnya. Hal ini bermanfaat
untuk mengetahui perkembangan fosil terbaru yang ditemukan seperti Homo Moernman.
Dijelaskan pula tempat penemuan dan bentuk penemuannya agar isi makalah ini dapat
dipercaya kebenaranya.





A. Perkembangan Fosil Manusia Purba di Indonesia
Penemuan manusia purba diawali dengan kegiatan excavasi / penggalian di tempat-tempat
yang diyakini terdapat fosil-fosil manusia purba. penggalian dilakukan dengan teknik
arkeologi agar fosi tidak mengalami kerusakan. setelah digali, maka fosil akan dibersihkan
dengan bahan-bahan kimia tertentu, agar unsur-unsurnya tdk mengalami kerusakan. Langkah
selanjutnya adalah merekonstruksi / menyusun lagi fosil-fosil seprti pada saat ditemukan.
Penelitian ilmiah mengenai fosil dimulai pada akhir abad ke-19. Penelitian Paleoantropologi
manusia purba di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu 1889-1909, 1931-1941,
dan 1952 hingga sekarang.
Eugone Dubois menduga bahwa manusia purba pasti hidup di daerah tropis. Menurutnya, hal
ini disebabkan perubahan iklim sepanjang sejarah tidak banyak dan di daerah tropis pula
monyet serta kera masih banyak yang hidup. Ketika datang ke Indonesia, Eugone Dubois
mulai menyelidiki gua-gua di Sumatera Barat. Namun, hanya tulang-tulang subresen yang
ditemukan.
Penemuan Eugena Dubois : Dia adalah yang pertama kali tertarik meneliti manusia purba di
Indonesia setelah mendapat kiriman sebuah tengkorak dari B.D Von Reitschoten yang
menemukan tengkorak di Wajak, Tulung Agung.yang menyebabkan Dubois memindahkan
kegiatan penelitiannya ke daerah Jawa. Fosil kiriman itu dinamai Homo Wajakensis,
termasuk dalam jenis Homo Sapien (manusia yang sudah berpikir maju). homo sapiens
dengan isi volum otak kira-kira 1450 cm kubik hidup sekitar 15.000 hingga 150.000 tahun
yang lalu. Temuan Dubois pertama, 1889, berupa fosil atap tengkorak Pithecanthropus
Erectus (phitecos = kera, Antropus Manusia, Erectus berjalan tegak) ditemukan di daerah
Trinil, pinggir Bengawan Solo, dekat Ngawi, , tahun 1891. Volume otak Pithecanthropus
erectus diperkirakan sekitar 770 - 1000 cm kubik. Bagian tulang-belulang fosil manusia
purba yang ditemukan tersebut adalah tulang rahang, beberapa gigi, serta sebagian tulang
tengkorak.Temuan lainnya adalah Pithecanthropus Mojokertensis, ditemukan di daerah
Mojokerto dan Pithecanthropus Soloensis, ditemukan di daerah Solo.
Penemuan Selenka dan Tim : Pada 1907-1908, Selenka dan regunya melakukan penyelidikan
dan penggalian di Trinil. Namun, penggalian tersebut tidak membuahkan hasil fosil manusia
purba. Yang ditemukan berupa fosil hewan dan tumbuhan yang dapat menambah referensi
mengenai kehidupan manusia Pithecanthropus Erectus.
Penemuan Ter Haar dan Tim : Antara 1931-1933, Ter Haar dan Oppenoorth melakukan
pencarian di Ngandong, Blora. Dari hasil pencarian, didapat penemuan yang sangat penting
berupa tengkorak dan tulang kering Pithecantropus Erectus. Satu seri tulang tengkorak yang
besar jumlahnya dalam masa pendek dan berada di satu tempat yang tidak begitu luas.
Penemuan Tjokrohandojo : Pada 1926, Tjokrohandojo yang bekerja di bawah pimpinan
Duyfjes menemukan fosil manusia purba anak-anak di daerah Perning, sebelah utara
Mojokerto. Penemuan ini adalah pertama kali ditemukannya fosil tengkorak anak-anak di
lapisan bawah Pleistosen Bawah.
Penemuan Von Koenigswald : Antara 1936-1941, Von Koenigswald menemukan fosil-fosil
rahang, gigi, dan tengkorak Homo Erectus dan Meganthropus Paleojavanicus juga fosil
hewan di daerah Sangiran, Surakarta. Penemuan ini terjadi di lapisan Pleistosen Tengah
maupun Pleistosen Bawah pada satu tempat dan memperlihatkan adanya variasi morfologis.
Perbedaan variasi tersebut, menurut para ahli, memiliki perbedaan pada tingkat rasial,
spesies, maupun genus. Yaitu, varian-varian yang berasal dari masa lalu. Penemuan lain Fosil
tengkorak di Ngandong, Blora. Tahun 1936, ditemukan tengkorak anak di Perning berusia 5
tahun, Mojokerto. . Homo Sapien Soloensis (Homo Soloensis), ditemukan oleh Von
Koenigswald dan Weidenreich di tempat-tempat antara lain : Ngandong Blora, Sangiran dan
Sampung macan (Sragen), lembah Sungai Bengawan Solo tahun 1931 1934.
Penemuan lain tentang manusia Purba ditemukan tengkorak, rahang, tulang pinggul dan
tulang paha manusia Meganthropus, Homo Erectus dan Homo Sapien di lokasi Sangiran,
Sambung Macan (Sragen),Trinil, Ngandong dan Patiayam (kudus).
Penelitian tentang manusia Purba oleh bangsa Indonesia dimulai pada tahun 1952 yang
dipimpin oleh Prof. DR. T. Jacob dari UGM, di daerah Sangiran dan sepanjang aliran
Bengawan Solo.
Semua hasil penemuan fosil-fosil manusia purba pada tahap pertama disimpan di Leiden dan
temuan tahap kedua disimpan di Frankfurt (Jerman Barat). Akibat adanya Perang Dunia II,
pencarian Paleontropologi tertunda. Tahap ketiga baru dimulai setelah Indonesia merdeka
dan penemuan yang didapat disimpan di negara tempat fosil tersebut ditemukan, Indonesia.
B. Jenis dan Ciri fosil manusia purba Indonesia dari yang tertua :
Jenis fosil manusia purba di Indoesia :
Meganthropus Paleojavanicus (Sangiran). Pithecanthropus Robustus (Trinil).
Pithecanthropus Erectus (Homo Erectus) (Trinil). Pithecanthropus Dubius (Jetis).
Pithecanthropus Mojokertensis (Perning). Homo Javanensis (Sambung Macan). Homo
Soloensis (Ngandong). Homo Sapiens Archaic. Homo Sapiens Neandertahlman Asia. Homo
Sapiens Wajakensis (Tulungagung). Homo Modernman.
Ciri-ciri manusia purba yang ditemukan di Indonesia :
1. Ciri Meganthropus :
Hidup antara 2 s/d 1 juta tahun yang lalu
Badannya tegak
Hidup mengumpulkan makanan
Makanannya tumnuhan
Rahangnya kuat
Tulang pipi tebal
Terdapat tonjolan kening yang mencolok
Tonjolan belakang yang tajam.
Tidak memiliki dagu.
2. Ciri Pithecanthropus :
Hidup antara 2 s/d 1 juta tahun yang lalu
Hidup berkelompok
Hidungnya lebar dengan tulang pipi yang kuat dan menonjol
Mengumpulkan makanan dan berburu
Makanannya daging dan tumbuhan
Tinggi badan sekitar 165 -180 cm
Volume otak 750- 1350 cc
Bentuk tuuh dan anggota badan tegap
Alat pengunyah dan alat tengkuk sangat kuat
Bentuk graham besar dengan rahang yang sangat kuat
Bentuk tonjolan kening tebal
Bentuk hidung tebal
Bagian belakang kepala tampak menonjol
3. Ciri jenis Homo :
Hidup antara 25.000 s/d 40.000 tahun yang lalu
Muka dan hidung lebar
Dahi masih menonjol
Tarap kehidupannya lebih maju dibanding manusia sebelumnya
C. Pembagian Jaman kehidupan Awal Manusia
Zaman dimana adanya kehidupan manusia sehingga merupakan zaman terpenting. Dan
zaman ini dibagi lagi menjadi dua zaman yaitu yang disebut dengan zaman Pleistocen dan
Holocen atau Alluvium dan Dilluvium adalah pembagian zaman menurut Ilmu Geologi.
Jaman ini terdapat pada Zaman Neozoikum.
Jaman ini dibagi menjadi jaman tersier dan kuartier.Jaman tersier berlangsung sekitar 60 juta
tahun,binatang yang berkembang adalah mamalia/binatang menyusui.Jaman kuartier adalah
yang terpenting karena jaman ini dimulai adanya kehidupan manusia.Dan jaman kuartier
masih dibagi lagi ke dalam jaman Pleistosen dan Holosen.Jaman Pleistosen(Dilluvium)
berlangsung kira-kira 3 juta tahun sampai 10 ribu tahun yang lalu.Jaman Pleistosen dimulai
dengan meluasnya lapisan es di kedua kutub bumi yang disebut jaman glasial,kemudian
diselingi dengan jaman mencairnya lapisan es disebut dengan jaman interglasial,keadaan ini
berlangsung silih berganti sampai empat kali.Kalau di daerah tropis jaman glasial berupa
jaman hujan(jaman pluvial),dan diselingi dengan jaman kering(interpluvial).Pada jaman
glasial,permukaan air laut turun dengan drastis,sehingga banyak dasar laut yang kering
menjadi daratan.Di Indonesia dasar laut yang kering di sebelah barat disebut dengan dataran
Sunda,dan menyebabkan kepulauan Indonesia bagian barat menjadi satu dengan benua
Asia,sedangkan yang di sebelah timur disebut dengan dataran Sahul,dan menyebabkan
kepulauan Indonesia di sebelah timur menyatu dengan benua Australia.Sehingga ini semua
mempengaruhi jenis flora-faunanya juga.Manusia yang hidup di jaman Pleistosen adalah
jenis Homo erectus.Jaman Pleistosen berakhir kira-kira 10 ribu tahun sebelum
Masehi.Kemudian diikuti datangnya jaman Holosen(Alluvium) yang masih berlangsung
hingga sekarang.Dan jaman ini muncul manusia jenis Homo sapiens,yang diduga menjadi
nenek moyang manusia sekarang.
Pembagian lapisan Dilluvium menurut V. Koeningswalds ada tiga :
1. Pleistosen Bawah / Lapisan Jetis ( 20 juta 15 juta tahun yang lalu)di lapisan ini ditemukan
fosil manusia purba Meganthropus PaleoJavanicus oleh V. Koeningswald. Selain itu juga
ditemukan fosil Pithecantropus Mojokertensis dan Pithecantropus Robustus
2. Pleistosen Tengah / Lapisan Trinil ( 1,5 juta 500.000 tahun yang lalu)ditemukan fosil
manusia purba Pithecantropus/Homo Erectus dan Pithecanthropus Robustus.
3. Pleistosen Atas/Lapisan Ngandong ( 100.000 50.000 tahun yang lalu)ditemukan fosil
manusia purba Homo Soloensi ( Homo Sapiens Soloensis ) dan Homo Wajakensis ( Homo
Sapiens Wajakensis)
D. Homo Florensiesis, Manusia Purba Kerdil dari Flores
Rentang fosil: Pleistosen Akhir
Klasifikasi ilmia
Kerajaan: Animalia Filum: Chordata
Kelas: Mammalia Ordo: Primates
Famili: Hominidae Genus: Homo
Spesies: H. floresiensis Nama binomial : Homo floresiensis
Homo floresiensis (Manusia Flores, dijuluki Hobbit) adalah nama yang diberikan oleh
kelompok peneliti untuk spesies dari genus Homo, yang memiliki tubuh dan volume otak
kecil, berdasarkan serial subfosil (sisa-sisa tubuh yang belum sepenuhnya membatu) dari
sembilan individu yang ditemukan di Liang Bua, Pulau Flores, pada tahun 2001. Kesembilan
sisa-sisa tulang itu (diberi kode LB1 sampai LB9) menunjukkan postur paling tinggi
sepinggang manusia moderen (sekitar 100 cm).
Para pakar antropologi dari tim gabungan Australia dan Indonesia berargumen menggunakan
berbagai ciri-ciri, baik ukuran tengkorak, ukuran tulang, kondisi kerangka yang tidak
memfosil, serta temuan-temuan sisa tulang hewan dan alat-alat di sekitarnya. Usia seri
kerangka ini diperkirakan berasal dari 94.000 hingga 13.000 tahun yang lalu.
1. Penemuan
Liang Bua, tempat ditemukannya seri fosil H. floresiensis.
Liang Bua, tempat ditemukannya sisa-sisa kerangka ini, sudah sejak masa penjajahan
menjadi tempat ekskavasi arkeologi dan paleontologi. Hingga 1989, telah ditemukan banyak
kerangka Homo sapiens dan berbagai mamalia (seperti makhluk mirip gajah Stegodon,
biawak, serta tikus besar) yang barangkali menjadi bahan makanan mereka. Di samping itu
ditemukan pula alat-alat batu seperti pisau, beliung, mata panah, arang, serta tulang yang
terbakar, yang menunjukkan tingkat peradaban penghuninya.
Kerja sama penggalian Indonesia-Australia dimulai tahun 2001 untuk mencari jejak
peninggalan migrasi nenek moyang orang Aborigin Australia di Indonesia. Tim Indonesia
dipimpin oleh Raden Pandji Soejono dari Puslitbang Arkeologi Nasional (dulu Puslit
Arkenas) dan tim Australia dipimpin oleh Mike Morwood dari Universitas New England.
Pada bulan September 2003, setelah penggalian pada kedalaman lima meter (ekspedisi
sebelumnya tidak pernah mencapai kedalaman itu), ditemukan kerangka mirip manusia tetapi
luar biasa kerdil, yang kemudian disebut H. floresiensis. Tulang-tulang itu tidak membatu
(bukan fosil) tetapi rapuh dan lembab. Terdapat sembilan individu namun tidak ada yang
lengkap. Diperkirakan, Liang Bua dipakai sebagai tempat pekuburan. Untuk pemindahan,
dilakukan pengeringan dan perekatan terlebih dahulu.Individu terlengkap, LB1, diperkirakan
adalah betina, ditemukan pada lapisan berusia sekitar 18.000 tahun, terdiri dari tengkorak,
tiga tungkai (tidak ada lengan kiri), serta beberapa tulang badan. Individu-individu lainnya
berusia antara 94.000 dan 13.000 tahun. Walaupun tidak membatu, tidak dapat diperoleh sisa
material genetik, sehingga tidak memungkinkan analisis DNA untuk dilakukan. Perlu
disadari bahwa pendugaan usia ini dilakukan berdasarkan usia lapisan tanah bukan dari
tulangnya sendiri, sehingga dimungkinkan usia lapisan lebih tua daripada usia kerangka.
Pendugaan usia kerangka dengan radiokarbon sulit dilakukan karena metode konservasi
tulang tidak memungkinkan teknik itu untuk dilakukan.
2. Ciri-ciri Kontroversi
Salinan tengkorak H. floresiensis LB1 dibandingkan dengan tengkorak manusia yang
terkena mikrosefali yang pernah hidup di Pulau Kreta.
Pendapat bahwa fosil ini berasal dari spesies bukan manusia ditentang oleh kelompok peneliti
yang juga terlibat dalam penelitian ini, dimotori oleh Prof. Teuku Jacob dari UGM.
Berdasarkan temuannya, fosil dari Liang Bua ini berasal dari sekelompok orang katai Flores,
yang sampai sekarang masih bisa diamati pada beberapa populasi di sekitar lokasi penemuan,
yang menderita gangguan pertumbuhan yang disebut mikrosefali (kepala kecil). Menurut
tim ini, sisa manusia dari Liang Bua merupakan moyang manusia katai Homo sapiens yang
sekarang juga masih hidup di Flores dan termasuk kelompok Australomelanesoid. Kerangka
yang ditemukan terbaring di Liang Bua itu menderita microcephali, yaitu bertengkorak kecil
dan berotak kecil.
Perdebatan yang terjadi sempat memanas, bahkan sampai membuat Liang Bua dan beberapa
gua di sekitarnya dinyatakan tertutup untuk peneliti asing. Sepeninggal Prof. Jacob (wafat
2007), lokasi penemuan kembali dapat diakses bagi penelitian.
Pada bulan September 2007, para ilmuwan peneliti Homo floresiensis menemukan petunjuk
baru berdasarkan pengamatan terhadap pergelangan tangan fosil yang ditemukan. Penemuan
tersebut menunjukkan bahwa Homo floresiensis bukan merupakan manusia modern
melainkan merupakan spesies yang berbeda. Hal ini sekaligus menjadi jawaban terhadap
tentangan sejumlah ilmuwan mengenai keabsahan spesies baru ini karena hasil penemuan
menunjukkan bahwa tulang Homo floresiensis berbeda dari tulang Homo sapiens (manusia
modern) maupun manusia Neandertal.
Dua publikasi pada tahun 2009 memperkuat argumen bahwa spesimen LB1 lebih primitif
daripada H. sapiens dan berada pada wilayah variasi H. erectus. Publikasi pertama yang
dimuat di Anthropological Science membandingkan LB1 dengan spesimen H. sapiens (baik
normal maupun patologis) dan beberapa Homo primitif. Hasil kajian morfometri ini
menunjukkan bahwa H. floresiensis tidak dapat dipisahkan dari H. erectus dan berbeda dari
H. sapiens normal maupun patologis karena mikrosefali. Hasil analisis kladistika dan
statistika morfometri terhadap tengkorak dan bagian tulang lainnya dari individu LB1
(betina), dan dibandingkan dengan manusia modern, manusia modern dengan mikrosefali,
beberapa kelompok masyarakat pigmi di Afrika dan Asia, serta tengkorak hominin purba
menunjukkan bahwa H. floresiensis secara nyata memiliki ciri-ciri berbeda dari manusia
modern dan lebih dekat kepada hominin purba, sebagaimana dimuat dalam jurnal
Significance. Meskipun demikian, kedua kajian ini tidak membandingkan H. floresiensis
dengan kerangka manusia kerdil Flores yang menderita mikrosefali.
3. Perbandingan tengkorak Homo Floresiensis dengan Homo Sapiens
Hobbit Flores, Species Baru Hominin. Homo floresiensis, sering disebut juga dengan hobbit
Flores, masih terus berlangsung. Selama ini ada dua arus pendapat. Pertama, yang
menganggap Homo floresiensis sebagai spesies baru dari hominin, sering disebut Hobbit,
pendapat ini dimotori oleh para peneliti dari Australia, seperti antropolog Peter Brown,
Michael Morwood, dan para koleganya. Pendapat kedua mengatakan, Homo floresiensis
bukan merupakan spesies baru, tetapi merupakan bagian dari spesies manusia modern dari
bangsa Homo erectus yang menderita sindroma kekerdilan dan penyakit microchepaly,
penyakit yang menyebabkan pengerdilan volume otak dan ukuran tubuh, pendapat ini
dimotori Profesor Teuku Jacob dan para koleganya dari Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Dengan menggunakan metode penelitian analisa statistik terhadap kerangka fosil yang
ditemukan, para peneliti meyakini Homo floresiensis merupakan sebuah spesies baru dari
manusia kuno, atau hobbit, yang bertubuh mini, dan bukan versi manusia modern yang
terkena penyakit sehingga tubuhnya menjadi kerdil dan kemudian diturunkan secara genetis.
Sehingga Homo floresiensis merupakan generasi manusia yang belum sempurna jika
dibandingkan dengan generasi Homo erectus, dan generasi manusia sempurna Homo sapiens
yang kini mendiami bumi. Detail lengkap dari hasil penelitian ini baru akan dipublikasikan
dalam Jurnal Significance, terbitan Royal Statistical Society, pada edisi bulan Desember
mendatang. Fosil Homo florensiensis pertama kali ditemukan pada tahun 2003 oleh
sekelompok peneliti Australia dan Indonesia, di Liang Bua, Nusa Tenggara Timur.
Dari hasil rekonstruksi diketahui fosil ini merupakan kerangka dari manusia yang memiliki
tubuh mini, volume otak kecil, dan mirip dengan hominin, yaitu bangsa manusia kuno. Dari
uji karbon terhadap fosil temuan, spesies ini diperkirakan hidup di Flores sekitar 18.000
tahun yang lalu. Jika Anda menonton seri film Lord of The Ring, manusia hominin ini
disebut dengan hobbit yang bertubuh kecil. Para peneliti dari Universitas Medis Stony Brook
yang dipimpin William Jungers dan Karen Baad melakukan penelitian terhadap kerangka
fosil Homo floresiensis berjenis kelamin perempuan yang diberi code LB1 dan diberi nama
penelitian Little Lady of Flores atau Flo, menyimpulkan fosil itu merupakan spesies hasil
evolusi hobbit. Penelitian meliputi fosil bagian tengkorak, rahang, telapak tangan, kaki, dan
telapak kaki, yang dibandingkan dengan ukuran fosil-fosil manusia temuan lainnya. Hasil
penelitian menunjukkan, kapasitas otak LB1 diperkirakan hanya sekitar 400 cm saja, yang
sebanding dengan ukuran otak Simpanse atau Siamang berkaki dua di Afrika. Ukuran
tengkorak dan tulang rahang Homo floresiensis, juga lebih primitif dari ukuran fosil manusia
modern normal yang ditemukan daerah dimanapun.
Temuan fosil Homo floresiensis relatif lengkap, sehingga para ilmuwan dapat melakukan
rekonstruksi sosoknya, yang dapat dibandingkan dengan sosok manusia modern. Tulang paha
dan tulang betisnya jauh lebih pendek daripada yang dimiliki manusia modern, bahkan jika
dibandingkan dengan temuan fosil manusia kerdil serupa di Afrika Tengah, Afrika Selatan,
dan manusia kerdil negritto di Kepulauan Andaman dan Filipina. Sehingga para peneliti
berspekulasi ini merupakan bagian dari sebuah rantai evolusi dari bangsa hominid, yang
menyebar di berbagai lokasi dunia pada masa lalu. Sulit dipercaya proses evolusi
dipengaruhi juga dengan kemampuan gerak agar lebih ekonomis, spesies ini
mengembangkan paha dan kaki yang lebih pendek, agar dapat berjalan kaki lebih baik dan
efektif pada waktu itu.
Analisis statistik dari Jungers dengan persamaan regresi yang dia kembangkan, menunjukkan
rata-rata tinggi Homo floresiensis sekitar 106 cm, jauh lebih pendek dari rata-rata tinggi
manusia modern kerdil yang rata-rata memiliki tinggi 150 cm. Rekonstruksi menunjukkan
sosok fisik LB1, juga jauh berbeda dengan umumnya orang kerdil serupa yang ditemukan di
Asia Tenggara maupun Afrika, baik pada tinggi maupun ukuran tubuh.




Penutup
Kesimpulan :
Penemuan manusia purba diawali dengan kegiatan excavasi / penggalian di tempat-tempat
yang diyakini terdapat fosil-fosil manusia purba. Di Negara Indonesia sendiri telah banyak
ditemuakan berbagai macam fosil manusia purba seperti di daerah Jawa Timur dan Jawa
Tengah. Fosil fosil tersebut terbagi atas tiga jenis yaitu Megantruphus, pithechantripus, dan
Homo dengan berbagai macam subjenis. Di daerah Nusa Tenggara ditemukan pula jenis baru
manusia purba yang telah berevolusi karena terkena penyakit gangguan pertumbuhan yang
disebut mikrosefali (kepala kecil). Penemuan penemuan tersebut menambah pengetahuan
terutama di bidang ilmu sejarah sekarang ini.










Daftar Pustaka
Organisasi.Org Komunitas & Perpustakaan Online Indonesia
http://haristepanus.files.wordpress.com/2010/08/manusiapurba1.jpg
http://berita.balihita.com/wp-content/uploads/2010/03/Sejarah-Penemuan-Fosil-Manusia-
Purba-Manusia-Kera-Manusia-Modern-Teori-Perkembangan-Evolusi-Antar-Waktu-
Arkeologi-Biologi.jpg http://www.tempointeraktif.com
Wikipedia.com
http://1.bp.blogspot.com/_fvNIDfAGps/S0NlFM1jYEI/AAAAAAAAAbg/Ov_HssRmMaE/s
320/homofloresiensis.jpg
http://kantungklontang-bagox.blogspot.com/2012/04/makalah-perkembangan-manusia-purba-
di.html

Anda mungkin juga menyukai