Anda di halaman 1dari 11

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA



2.1. Karotenoida

Karotenoida merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning, jingga,merah
jingga, dan bersifat larut dalam minyak. Struktur dasar karotenoida terdiri dari
ikatan hidrokarbon tidak jenuh yang dibentuk oleh 40 atom C atau 8 unit isoprena
dan memiliki dua buah gugus cincin. Karotenoida dibagi menjadi empat golongan,
yaitu (1) karotenoida hidrokarbon C
40
H
56
seperti alfa, beta, gamma karoten dan
likopen; (2) xantofil dan derivat karoten yang mengandung oksigen dan hikdroksil
antara lain kriptosantin, C
40
H
55
OH dan lutein, C
40
H
54
(OH)
2
; (3) asam karotenoida
yang mengandung gugus karboksil; dan (4) ester xantofil asam lemak (Meyer, H.,
1966).

Karotenoida juga dikenal sebagai poliena yang dibentuk oleh unit-unit
isoprena. Senyawa hidrokarbon karotenoida juga banyak ditemukan mengandung
gugus hidroksil, karbonil, oxiran dan gugus epoksi. Ada beberapa karakteristik
umum yang paling dari karotenoida (Sebrell, W.H dan R.S. Harris, 1954) :
1. Kristal pigmen padat
2. Mempunyai susunan unit isopren pada bagian tengah dari molekul jadi gugus
metil menempati posisi -1,6 atau -1,5 dan dengan penyusunan tersebut
memungkinkan terjadinya pemecahan pada bagian tengah sehingga
menghasilkan vitamin A
3. Mengandung banyak ikatan rangkap karbon-karbon yang terkonjugasi
4. Mengandung paling tidak satu trimetil sikloheksinil atau cincin -ionon
5. Mempunyai konfigurasi trans
Universitas Sumatera Utara

Karotenoida terdapat dalam kloroplas (0.5%) bersama-sama dengan klorofil
(9.3%) terutama pada bagian permukaan atas daun, dekat dengan dinding sel
palisade (Winarno, F.G., 1997). Karena warnanya mempunyai kisaran dari kuning
sampai merah, maka deteksi panjang gelombangnya diperkirakan antara 430 480
nm (Schwartz, S.J dan J.H.V. Elbe, 1996). Menurut Meyer (1966) sifat fisika dan
kimia karotenoida adalah larut dalam minyak dan tidak larut dalam air, larut dalam
kloroform, benzena, karbon disulfida dan petroleum eter, tidak larut dalam dalam
etanol dan metanol dingin, tahan terhadap panas apabila dalam keadaan vakum,
peka terhadap oksidasi, autooksidasi dan cahaya, dan mempunyai ciri khas absorpsi
cahaya. Adanya ikatan ganda menyebabkan karotenoida peka terhadap oksidasi
yang akan lebih cepat dengan adanya sinar dan katalis logam, khususnya tembaga,
besi, dan mangan (Walfford, J., 1980).

Kadar karoten dalam minyak kelapa sawit berkisar 500-700 terutama dan
karoten dengan karoten sebagai jumlah yang paling sedikit. Telah dilaporkan
bahwa karoten memegang peranan penting sebagai anti oksidan dalam fasa minyak
dengan menjerap radikal bebas (Ammawath, W dan Y.B.C. Man, 2009), prekursor
vitamin A dimana -karoten mempunyai aktivitas provitamin A yang tertinggi
(Goh, S.H., dkk, 1985 ), meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan
mengkomunikasikan sel (Voet, D., 1995).

Tabel 2.1. Beberapa Jenis dan Komposisi Karoten di Dalam Minyak Kelapa
Sawit

Jenis-jenis
karoten
Komposisi
(%)
-Carotene 0,33
-Carotene 0,83
Neurosporene 0,29
-Zeacarotene 0,74
-Zeacarotene 0,23
Lycopene 1,3
(Wei, P.C., dkk, 2005)

Jenis-jenis
karoten
Komposisi
(%)
Phytoene 1,27
Cis--Carotene 0,68
Phytofluene 0,06
-Carotene 56,02
-Carotene 35,16
Cis- -Carotene 2,49
-Carotene 0,69
Universitas Sumatera Utara
2.1.1. Metode-Metode Memperoleh Karotenoida

Metode memperoleh karotenoida dari minyak sawit dapat dilakukan dengan
berbagai metode yaitu dengan menyabunkan CPO dengan natrium hidroksida
metanolik 2-3% selama beberapa jam pada suhu 30-40
0
C sehingga hampir 98%
minyak terkonversi menjadi ester. Gliserin yang terbentuk kemudian dipisahkan
dengan cara dekantasi dan produk penyabunan diuapkan pada suhu 100 - 110
0
C
dalam keadaan vakum bertekanan 0,001 0,0001 mmHg sehingga karotenoida
tertinggal sebagi residu (Blaizot, P., 1956). Metode esktraksi dengan menggunakan
pelarut petroleum eter : aseton ( 1 : 3 ) untuk mengekstraksi karotenoida dari
minyak sawit mentah (Sahidin, S.S., dkk, 2001).

Penggunaan CO
2
cair sebagai pelarut dapat digunakan untuk memperoleh
karotenoida konsentrat melalui sistem Supercritical Fluid Extraction dimana
sampel yang ditempatkan dalam bejana ektraksi pada suhu 40
0
C dan tekanan 30
MPa, kemudian gas CO
2
didinginkan pada -5
0
C sebelum pompa HPLC digunakan
untuk memompa CO
2
cair ke ekstraktor secara terus menerus pada kondisi spesifik
ekstraksi dengan laju alir yang konstan 5 mL/menit sehingga diperoleh ekstrak
karotenoida konsentrat (Wei, P.C., dkk, 2005).

Karotenoida konsentrat dari minyak sawit juga banyak diperoleh melalui
proses adsorpsi menggunakan adsorben polimer sintetis diikuti dengan ekstraksi
pelarut. Adsorben yang digunakan adalah kopolimer stirena divinil benzena. Proses
tersebut pertama dimulai dengan mencampurkan adsorben dengan IPA
(isopropanol) kemudian diaduk selama 15 menit. Adsorben dipisahkan dari IPA
dan dikeringkan dalam temperatur kamar sehingga dapat digunakan dalam proses
adsorpsi. Selanjutnya minyak kelapa sawit dilarutkan dalam IPA (isopropanol).
Adsorben kemudian dimasukkan ke dalam kolom diikuti dengan minyak kelapa
sawit. Karotenoida kemudian diekstraksi dengan n-heksana untuk memisahkannya
dari adsorben. Karotenoida dipekatkan sampai sekitar 15.000 ppm dengan %
recovery 30-62 % dengan variasi yang paling sesuai adalah pada 1,5 jam dan
temperatur 40
0
C (Latip, R.A., 2000).
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, dapat juga digunakan campuran abu sekam padi dan silika gel
sebagai adsorben berdasarkan metode kromatografi adsorpsi dimana adsorben
dimasukkan ke dalam kolom yang diikuti dengan metil ester kasar dan dielusi
dengan menggunakan pelarut n-heksan kemudian eluat dipekatkan dengan gas N
2
dengan perolehan 3754,55 g/gram dan % recovery adalah 28,8 %

(Zulkipli,
2007).

Penggunaan bahan penjerap arang aktif dan belaching earth dalam larutan n-
heksana dimana minyak sawit dilarutkan terlebih dahulu dengan n-heksana dan
ditambahkan dengan bahan penjerap kemudian diaduk selama beberapa saat.
Karotenoida yang terjerap dilarutkan dengan campuran n-heksana dan aseton untuk
memperoleh karotenoida konsentrat dengan perolehan untuk arang aktif adalah
736,31 g/gram, % recovery sekitar 16,59 % dan untuk bleaching earth adalah
13103 g/gram, % recovery adalah 39,16 %(Serlahwaty, D., 2007) dan
penggunaan bentonit dimana minyak sawit dan adsorben ( 3 : 1 ) dicampurkan
dalam suatu reaktor berpengaduk selama 171 menit. Selanjutnya disaring dengan
menggunakan pompa vakum untuk memisahkan minyak dengan adsorben yang
telah mengandung -karoten. Kemudian, karotenoida pada adsorben didesorpsi
dengan pelarut n-heksana dan dipekatkan dengan N
2
sehingga diperoleh
karotenoida konsentrat sekitar 375,5 m/gram dan % recovery adalah 3,7 %
(Hayuningtyas, R.I.R., 2007). Adapun ringkasan metode yang telah digunakan
dapat dilihat pada Tabel 2.2 di bawah ini
Tabel 2.2. Metode-Metode Memperoleh Karotenoida
Metode Keterangan % yield Peneliti
Saponifikasi NaOH metanolik 2-3% 5-6 % Blaizot, P., 1956
Ekstraksi
pelarut petroleum eter dan
aseton (1 : 3) -
Sahidin, S.S., dkk,
2001
cairan superkritis CO2 - Wei, P.C., dkk, 2005
Adsorpsi
kopolimer stirena divinil
benzena 1,5 % Latip, R.A., 2000
campuran abu sekam padi
dan silika gel (25 : 15) 0,38% Zulkipli, 2007
arang aktif dan bleaching
earth
0,073 % dan
1,31 % Serlahwaty, D., 2007
bentonit 0,0375 %
Hayuningtyas,
R.I.R., 2007

Universitas Sumatera Utara
2.2. Polistirena

Polistirena adalah polimer linear yang secara kimia besifat inert. Polistirena bersifat
kaku, sifat optis yang bagus, tahan terhadap zat alkalis, halida asam dan agen
oksidasi-reduksi (Ulrich, H., 1993). Namun, polistirena dapat dinitrasi dengan uap
asam nitrat dan disulfonasi dengan asam sulfat pekat pada suhu 100
0
C. Polistirena
mempunyai bentuk transparan dan indeks bias (1.60) yang tinggi sehingga dapat
berguna untuk komponen optik plastik dan baik untuk insulator listrik. Gaya tarik
dari polistirena mencapai 8000 psi. Polistirena digunakan untuk injeksi cetakan
seperti pada sisir, kancing, mainan, insulator listrik, lensa, radio, televisi, kulkas
dan panel pencahayaan. Polistirena dapat dibuat melalui polimerisasi stirena
dengan adanya peroksida seperti benzoil peroksida sebagai inisiator. Monomer
stirena dibuat dari benzena dan etilena pada suhu 90
0
C dengan bantuan katalis
AlCl
3
dimana etil benzena dihidrogenasi ke stirena dengan adanya katalis besi
oksida, magnesium oksida atau aluminium oksida pada suhu 600
0
C. Stirena dapat
dipisahkan dengan metode destilasi (Dara, S.S., 1986)

AlCl
3
, 90
0
C
CH
2
CH
3
-H
2
katalis Al
2
O
3
atau MgO
atau Fe
2
O
3
, 600
0
C
CH CH
2
benzena
etilbenzena
stirena
+ CH
2
CH
2
+ H
2
CH
2
polimerisasi
dengan benzoil
peroksida
CH
2
n
polistirena
Gambar 2.1. Reaksi Pembuatan Polistirena

Terdapat kesukaran dalam pemurnian stirena melalui penyulingan karena
monomer mudah terpolimerkan sekalipun pada suhu sedang. Stirena dapat
dipolimerkan dengan menggunakan sinar matahari ataupun katalis dimana derajat
polimerisasinya bergantung pada kondisi polimerisasi. Polistirena merupakan
bahan lentuk-bahang yang bening (kecuali jika ditambahkan pewarna atau pengisi)
Universitas Sumatera Utara
dan dapat dilunakkan pada suhu sekitar 100
0
C. Polistirena tahan terhadap zat
pengarat (korosif) tetapi mudah larut dalam hidrokarbon aromatik dan berklor.
Dalam propanon (aseton), polistirena hanya mengembung (Cowd, M.A., 1991).

2.2.1. Reaksi Sulfonasi

Sulfonasi adalah suatu reaksi untuk memodifikasi bahan polimer yang memiliki
cincin aromatik sebagai rantai utamanya. Karena sulfonasi termasuk ke dalam
reaksi elektrofilik maka reaksi ini sangat bergantung pada tipe gugus yang terikat
pada cincin aromatis dimana polimer dengan gugus difenil eter dapat disulfonasi di
bawah kondisi dingin karena adanya efek donasi elektron dari gugus eter. Sulfonasi
dari polimer aromatis bisa menjadi sangat kompleks karena reversibilitasnya.
Untuk itu, reproduksibilitas dengan menggunakan kondisi reaksi yang sama bisa
menjadi hal yang sangat sulit ( Pinto, B.P., 2006).

Sulfonasi benzena dengan asam sulfat berasap (H
2
SO
4
+SO
3
) menghasilkan
asam benzena sulfonat
+ SO
3
H
2
SO4
40
0
C
SO
3
H
+
SO
3
H
asambenzenasulfonat (50%)

Gambar 2.2. Reaksi Pembuatan Asam Benzensulfonat

Sulfonasi bersifat mudah balik dan menunjukkan efek isotop kinetik yang
sedang dimana ion benzenonium antara dalam sulfonasi dapat kembali ke benzena
atau terus ke asam benzenasulfonat dengan hampir sama mudahnya. Gugus asam
sulfonat mudah digantikan oleh anekaragamn gugus lain. Oleh karena itu,asam
arilsulfonat merupakan zat antara yang bermanfaat dalam sintesis (Fessenden, R.J
dan J.S. Fessenden, 1986).

Sulfonasi polistirena telah banyak dipelajari oleh banyak peneliti meskipun
hanya sedikit literatur yang membahas tentang reaksi sulfonasi dan sifat termal
Universitas Sumatera Utara
dari produk yang dihasilkan. Secara umum, sulfonasi bahan polimer dapat
dilakukan dengan reaksi heterogen dimana bahan polimer dan agen sulfonasi
berada dalam fasa yang berbeda atau dengan reaksi homogen dalam pelarut
hidrokarbon atau pelarut terklorinasi. Senyawa seperti H
2
SO
4
dan SO
3
adalah agen
sulfonasi untuk berbagai bahan polimer termasuk polistirena. Agen sulfonasi lain
yang bisa digunakan adalah kompleks dari trietil fosfat bersama sulfur trioksida
dan kompleks asetil sulfat dalam larutan dikloroetana. Adapun reaksi sulfonasi
polistirena dengan menggunakan agen sulfonasi asetil sulfat :
HO
-
- SO
3
H
+
+
asetil sulfat
asetat anhidrat
asamasetat
CH
3
C
O
CH
3
C
O
O
CH
3
C
+
O
CH
3
C
O
O
-
+
SO
3
H
CH
3
C
OH
O
CH
3
C
O
-
O
CH
3
C
OSO
3
H
O


CH
2
CH CH
2
CH CH
2
CH
SO
3
H SO
3
H
x
CH
3
-CO-OSO
3
H +
+ CH
3
COH
O
polistirena
asetil sulfat
polistirena sulfonat
(PS-SO
3
H, 6,24%)
asam asetat
n
CH
2
CH

Gambar 2.3. Reaksi Sulfonasi Polistirena dengan Asetil Sulfat

Bahan polimer yang telah tersulfonasi dianggap sebagai senyawa makromolekul
yang mengandung gugus sulfonik SO
3
H dengan sifat kimia dan mekanik yang
disukai sehingga banyak diaplikasikan dalam industri seperti untuk bahan penukar
ion, membran untuk ultrafiltrasi dan plasticizers untuk komposit konduktif
(Martins, C.R., dkk, 2003).





Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Polistirena sulfonat

Polistirena sulfonat P(S-SS)
x
banyak diproduksi dengan sulfonasi post-polimerisasi
dari polistirena yang menangkap gugus asam sulfonik pada posisi para dari cincin
fenil dan dapat menghasilkan distribusi yang hampi acak, x mewakili derajat
sulfonasi. Sifat unik dari polistirena sulfonat ini adalah kekuatannya, sifat
hidrofiliknya dan konduktivitas proton mulai dari penggabungan dari asam sulfonik
pada level yang bervariasi. Keistimewaannya ini digunakan secara meluas untuk
berbagai aplikasi seperti adhesif, membran fuel cell, transfer ion dalam sistem
pemurnian elektromigrasi, katalis. Adanya sintetis senyawa ini dalam ukuran kecil
memberikan keuntungan karena dapat meningkatkan area permukaan spesifik
(Zhou, N.C., dkk, 2006).

2.3. Adsorpsi

Adsorpsi merupakan proses satu arah dengan suhu rendah dan adsorben yang
digunakan dapat diperoleh kembali. Adsorpsi merupakan proses yang selektif dan
hanya merupakan proses satu arah. Bila ada dua larutan dua zat atau lebih, zat yang
satu akan diserap lebih kuat daripada yang lain. Zat-zat yang dapat menurunkan
tegangan permukaan antara, lebih kuat diserap. Makin kompleks zat terlarut, makin
kuat diserap oleh adsorben. Makin tinggi suhu, makin kecil daya serap. Namun
demikian pengaruh suhu tidak sebesar pada adsoprsi gas (Sukardjo, 1985).

Adsorpsi pada fase padat diklasifikasikan ke dalam adsorpsi fisika (fisisorpsi)
dan adsorpsi kimia (kemisorpsi). Dalam adsorpsi fisik , molekul gas tertahan pada
permukaan padatan yang relatif lemah karena terjadi ikatan intermolekular Van der
Waals. Dalam kemisorpsi, reaksi kimia terjadi pada permukaan padatan dan gas
tertahan pada permukaan padatan yang relatif merupakan ikatan kimia yang kuat.
Adsorpsi fisika tidak terlalu spesifik misalnya, N
2
secara fisik akan teradsorpsi
pada permukaan padatan yang tersedia dengan temperatur yang cukup rendah.
Kemisorpsi sama seperti reaksi kimia yang bersifat lebih spesifik. Seperti N
2

Universitas Sumatera Utara
dikemisorpsi pada suhu kamar pada Fe, W, Ca dan Ti tetapi tidak pada Ni, Ag, Cu
atau Pb (Levine, I.R., 2002).

2.3.1. Sifat-Sifat Umum Proses Adsorpsi

Proses adsorpsi suatu bahan tergantung pada berbagai faktor yang dapat dibagi
dalam 5 kategori yaitu (Sukmariah dan Kamianti,1990) :
1. Adsorpsi adalah proses kesetimbangan proses kesetimbangan antara
konsentrasi pada satu bidang permukaan dan konsentrasi lain di bidang mana
komponen itu terkandung. Jadi keadaaannya adalah reversibel.
2. Banyaknya komponen yang diadsorpsi sebanding dengan luas permukaan zat
adsorben.
3. Daya adsorpsi tiap jenis adsorben terhadap suatu zat berbeda, bahkan cara
pembuatan adsorben yang berbeda menyebabkan daya adsorpsi yang
berlainan.
4. Daya adsorpsi akan berkurang bila suhu bertambah tinggi
5. Adsorpsi diikuti oleh pengeluaran panas(energi).

Adsorpsi hidrokarbon tak jenuh dalam substrat logam merupakan sebuah
interaksi fisik lemah, dimana lebih didominasi oleh gaya Van der Waals. Ikatan
hidrokarbon tak jenuh dengan logam pertama kali dikembangkan oleh Dewar,
Chatt dan Duncanson yang sekarang dikenal sebagai model DCD yang didasarkan
pada konsep orbital terdepan . Pada model ini, interaksi ditunjukkan dengan adanya
donasi muatan dari orbital tertinggi yang terisi ke logam dan substansi
backdonation dari muatan logam yang terisi ke orbital
*
terendah yang tidak terisi
(Nilson, A dan L.G. Petterson, 2008).

2.4. Kalsium

Unsur golongan IIA dapat membentuk kompleks dengan 6H
2
O, seperti
Mg(H
2
O)
6
Cl
2
mengindikasikan bahwa unsur ini memberikan ikatan melalui
kontribusi orbital d sekalipun energi tinggi. (Madan, R.D., 2003). Untuk logam
kalsium, energi orbital d lebih tinggi dari unsur transisi lainnya. Pemakaian ba
Universitas Sumatera Utara
mungkin sedikit berbeda dengan kalsium dalam tingkat besar lobe orbital (4d dan
3d orbital). Sifat ini perlu dikaji untuk mendapatkan reaktifitas dan stabilitas
sebagai bahan pemantap senyawa dengan ikatan tidak jenuh (Shriver, D.E., dkk,
1990).

Kemampuan untuk menukar basa berhubungan dengan kekuatan basa logam
tersebut : semakin tinggi tingkat kebasaan, semakin mudah menukar basa. Untuk
logam golongan , dimana sifat kebasaan meningkat dari lithium ke natrium dan ke
kalium, lebih mudah unutk menukar kalium daripada untuk menukar lithium. Pada
logam golongan II, sifat kebasaan meningkat dari magnesium ke stronsium ke
barium; dimana lebih mudah untuk menukar barium daripada untuk menukar
magnesium ( Rizvi, S., 2003).

2.5. Alkena

Alkena adalah senyawa hidrokarbon yang mengandung satu atau lebih ikatan
rangkap karbon-karbon. Alkena yang paling sederhana adalah etena dengan rumus
C
2
H
4.
Ikatan rangkap terkonjungasi adalah ikatan rangkap yang dipisahkan oleh
masing-masing satu ikatan tunggal. Adanya ikatan rangkap terkonjungasi dalam
suatu molekul akan memberikan sifat fisik dan kimia yang khusus. Banyak
molekul yang mengandung sistem ikatan rangkap terkonjungasi mengadsorpsi
panjang gelombang spesifik dari sinar tampak (Stoker, H.S dan E.B. Walker,
1991).

Ikatan rangkap karbon-karbon mempunyai dua bagian yaitu ikatan sigma yang
dibentuk karena tumpang tindih dari dua orbital sp
2
dan ikatan pi yang dibentuk
karena tumpang tindih dari dua orbital p. Kekuatan ikatan dari ikatan rangkap
alkena lebih besar daripada ikatan tunggal karbon-karbon (Murry, J.M., 1994).

Alkena (etilena) adalah ligan dihapto yang dapat mendonorkan dua elektron
karena adanya orbital terisi ke logam dan orbital
*
dari ligan dapat menerima
densitas elektron dari orbital logam terisi. Adanya ikatan logam-alkena karena
donasi elektron dari orbital yang terisi ke logam dan penerimaan densitas
Universitas Sumatera Utara
elektron ke dalam orbital
*
antibonding dari ligan disebut dengan model Dewar-
Chatt. Keseluruhan ikatan dijelaskan dalam teori molekul orbital dimana dalam
kompleks alkena, terjadinya backbonding tergantung dari sifat alkena, logam dan
ligan lainnya. Logam-logam yang mempunyai orbital d dengan tingkat energi yang
tinggi mengalami backbonding karena adanya kelebihan densitas elektron pada
orbital
*
alkena sehingga menghasilkan komples yang dikenal sebagai
metalocyclopropana. Antara hidrokarbon polimer dengan hidrokarbon dapat terjadi
interaksi. Interaksi ini diperkuat oleh adanya interaksi antara ikatan dengan
orbital LUMO dari logam kalsium sehingga kalsium polistiren sulfonat dapat
berfungsi sebagai adsorben. (Shriver, D.E., dkk, 1990).

CH
2
CH
2
M


Gambar 2.4. Struktur Metallocyclopropana

















Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai