Anda di halaman 1dari 7

ANNISA F.

SHARFINA (18)
0907101010023

III. Reaksis Anafilaktik
a. Definisi
Sampai saat ini belum ada definisi klinis anafilaksis yang diterima di seluruh dunia.
Definisi anafilaksis terbaru dibuat oleh World Allergy Organization (WAO) yang pada
tahun 2004 mendefinisikan anafilaksis sebagai suatu reaksi hipersensitifitas yang berat dan
mengancam jiwa. Terminologi anafilaksis alergi digunakan apabila reaksi tersebut
diperantarai oleh mekanisme imunologis, yaitu IgE, IgG dan kompleks imun-komplemen.
Reaksi anafilaksis yang diperantarai oleh antibodi IgE, disebut anafilaksis alergi IgE-
mediated. Reaksi anafilaksis non alergi, sebelumnya disebut reaksi anafilaktoid atau reaksi
pseudo alergi, adalah jika anafilaksis disebabkan oleh penyebab non imunologis.8 Definisi
ini cukup membantu para klinisi, tenaga medis emergensi dan tenaga kesehatan lainnya
yang sering menghadapi pasien yang menunjukkan salah satu gejala dari pola tanda dan
gejala anafilaksis, mendiagnosanya, dan kemudian memberikan terapi (Simon, 2006).
b. Insidensi
Insidensi anafilaksis secara pasti belum diketahui, sebagian besar disebabkan oleh
belum jelasnya definisi dari sindrom itu sendiri. Anafilaksis yang fatal relatif jarang, pada
individu yang benar-benar mengalami anafilaksis, hampir 1% terjadi kematian. Bentuk
yang lebih ringan lebih sering terjadi. Insidensi anafilaksis di Amerika Serikat per tahun
diperkirakan 30 kasus per 100.000 orang per tahun (81.000 kasus per tahun). Suatu survey
di Australia menyebutkan 0,59% dari anak-anak berusia 3-17 tahun mengalami sedikitnya
satu kejadian anafilaksis (Sampson dan Leung, 2004).
Suatu penelitian epidemiologi menyebutkan anafilaksis sekarang lebih sering terjadi
pada komunitas daripada di pusat kesehatan. Angka kejadiannya meningkat pada individu
dengan status sosioekonomi baik. Insiden tertinggi terjadi pada anak-anak dan remaja.
Sampai usia 15 tahun, predileksinya adalah pada laki-laki, namun setelah usia 15 tahun,
predileksinya pada wanita. Terdapat kecenderungan perbedaan faktor pencetus pada
kelompok usia yang berbeda-beda, sebagai contoh, anafilaksis fatal yang dicetuskan oleh
makanan puncaknya terjadi pada remaja dan dewasa muda, sedangkan anafilaksis fatal
yang dicetuskan oleh sengatan serangga, zat-zat yang digunakan untuk diagnostik, dan
obat-obatan terjadi terutama pada usia pertengahan dan dewasa lanjut (Sampson dan Leung,
2004).
c. Patofisiologi
Seperti dibahas diatas anafliaksis alergi selain berdasarkan mekanisme imunologik
juga dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan sistem saraf otonom. Sistem parasimpatik
(kholinergik) dan sistem simpatik (adrenergik) mempunyai efek yang berlawanan terhadap
organ sasarannya, sehingga keadaan inipun akan mempengaruhi terhadap keseimbangan
antara sel mediator dan sel sasarananya (otot polos).
Reaksi alergi dimulai ketika alergen melewati barier epitel dan atau endotel dan
kemudian berinteraksi dengan 2 molekul antibodi IgE sitotropik yang berikatan dengan sel
(cell bound IgE antibodies) sehingga menimbulkan rangkaian peristiwa biokimia. Kekuatan
barier alami seperti kulit atau saluran cerna harus dapat ditembus, dan alergen ini harus
mencapai sel yang tersensitisasi di jaringan (sel mast) atau darah (basofil) (Simon, 2006)
Peristiwa tersebut termasuk aktivasi proesterase (E) menjadi esterse aktif () yang
menyebabkan agregarsi mikrotubuli dalam sitoplasma mastosit. Mikrotubuli angat
diperlukan untuk pergerakan butir-butir yang mengandung beberapa mediator tertentu ke
arah tepi sel sehingga dapat dilepaskan ke luar sel, yaitu histamin, SRS-A dan ECF-A.
Sebaliknya pembentukan mikrotubuli akan dihambat oleh pembentukan cAMP dari ATP
oleh adenilsiklase karena mikrotubuli akan bercerai-berai. Lagi pula cAMP dalam sito
plasma dalam keadaan seimbang dengan konsentrasi cGMP. Dengan demikian degranulasi
tersebut tergantung dari konsentrasi cAMP dan cGMP (Simon, 2006).
Maka apapun yang menyebabkan kenaikan kadar cGMP atau penurunan cAMP akan
menimbulkan degranulasi. Perangsangan saraf parasimpatis (misalnya N. Vagus) akan
mendorong produksi asetilkolin yang akan mengubah enzim guanilatsiklase menjadi aktif.
Enzim aktif ini akan mengubah GTP menjadi cGMP. Sedangkan efek perangsangan
parasimpatis ini akan dihambat oleh antagonisnya yaitu atropin (Simon, 2006)
Dengan mekanisme yang sama perangsangan saraf simpatis akan mempengaruhi
konsentrasi cAMP. Perangsangan saraf simpatis sendiri akan mengakibatkan 2 jenis efek
karena adanya 2 jenis reseptor yang berbeda. Perangsangan melalui reseptor -adrenergik
akan menghasilkan penurunan cAMP dalam sel mastosit, sedangkan perangsangan melalui
-adrenergik akan meningkatkan konsentrasi cAMP yaitu melalui pengaktifan enzim
adenilatsiklase sehingga ATP akan diubah menjadi cAMP (Simon, 2006).
Dengan demikian jelaslah bahwa sistem saraf otonom dapat mempengaruhi
degranulasi mastosit melalui pengaturan cGMP dan cAMP. Namun sebaliknya juga dapat
diatur oleh adanya aktifitas enzim fosfodiesterase yang akan menghancurkan keduanya
cAMP dan cGMP (Simon, 2006).
Reseptor untuk adrenergik dan dapat dirangsang oleh molekul yang sama dengan
efek berbeda. Norepinefrin yang dihasilkan oleh ujung saraf noradrenergik misalnya akan
mempengaruhi reseptor dengan efek yang berbeda. Perangsangan reseptor akan lebih
besar efeknya dari pada perangsangan reseptor . Sebaliknya epinefrin yang dihasilkan oleh
kelenjar adrenal akan memberi efek lebih besar apabila merangsang reseptor . Belakangan
ditemukan adanya 2 jenis reseptor adrenergik 1 dan 2 yang penyebarannya pada sel-sel
jaringan tidak merata. Misalnya reseptor 2lebih banyak terdapat pada jaringan paru-paru.
Keadaan ini dimanfaatkan untuk pengobatan asma bronkhiale dengan salbutamol yang
merupakan agonis untuk reseptor 2 (Simon, 2006).
Oleh karena keseimbangan siklik nukleotida juga mempengaruhi keadaan sel
sasaran, maka dasar pengobatan alergi juga memperhatikan keadaan fisiologik sel
sasarannya. Apabila sel sasarannya otot polos terjadi peningkatan kadar cAMP maka otot
polos tersebut ada dalam keadaan relaksasi. Keadaan tersebut juga terjadi pada sel sasaran
lainnya, misalnya sel kelenjar sehingga akan terjadi pengecilan pembuluh darah dan
pengurangan sekresi kelenjar. Keadaan tersebut dapat mengrangi gejala alergi (Simon,
2006).
d. Gambaran Klinis
Tanda dan gejala klinis anafilaksis (Simons, 2008)
1. Kutan / subkutan / jaringan mukosa
a. Flushing, pruritus, urtikaria, angioedema, ruam morbiliform
b. Pruritus pada bibir, lidah, palatum; edema pada bibir, lidah dan uvula
c. Pruritus periorbita, eritema dan edema, eritema konjungtiva
2. Saluran pernafasan
3. Laring: pruritus dan nyeri tenggorokan, disfagia, disfoni, suara serak, pruritus di
kanalis aurikularis eksterna
4. Paru-paru: nafas pendek, dispnea, rasa berat di dada, batuk, mengi / bronkospasme
(penurunan PEF)
5. Hidung: Pruritus, hidung tersumbat, hidung berair, bersin
6. Kardiovaskular
a. Hipotensi
b. Near syncope, pingsan, penurunan kesadaran
c. Nyeri dada, disritmia
7. Gastrointestinal: Mual, nyeri atau kram perut, muntah, diare
8. Kontraksi uterus pada wanita
Gambaran klinis dari anafilaksis dapat bervariasi, namun kompensasi dari
sistem pernafasan dan kolapsnya kardiovaskular menjadi hal yang penting karena
kelainan yang mengenai kedua sistem organ ini paling sering berakibat fatal (Simons,
2008). Gambaran patologis dari anafilaksis meliputi urtikaria dan angioedema, serta
yang bersifat fatal meliputi hiperinflasi paru akut, edema dan perdarahan intraalveolar,
kongesti visera dan edema laring. Hipotensi akut diakibatkan oleh dilatasi vasomotor
dan atau disritmia jantung (Sampson dan Leung, 2004). Onset dari gejalanya
bergantung dari penyebab reaksi, yaitu reaksi dari alergen yang ditelan (makanan, obat-
obatan) mengalami onset yang lambat (bermenit-menit sampai 2 jam) dibandingkan
dengan alergen yang disuntikkan (sengatan serangga, obat-obatan) dan cenderung lebih
banyak mengalami gejala gastrointestinal. Waktu rata-rata sampai terjadinya henti nafas
atau henti jantung pada alergi makanan sekitar 30 menit, pada sengatan serangga
sekitar 15 menit, dan pada obat-obatan seperti media kontras mencapai 5 menit (Simon,
2006).
e. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah
a. Uji Coomb untuk penderita anemia
b. Antibodi IgE total serum
c. Antibodi IgE spesifik dalam RAST (Radioallergosorbent test)
d. Antibodi IgM dan IgG spesifik
e. Antibodi antinuklear (ANA) pada SLE yang diduga diinduksi oleh
obat-obatan
f. Uji kulit
g. Uji tusuk (Prick test/Scratch test)
h. Uji tempel (Patch test)
i. Uji provokasi : Dilakukan setelah keadaan gawat darurat teratasi
j. Pemeriksaan darah lengkap : hemokonsentrasi
k. Pemeriksaan SGOT , CPK (fosfokinase kreatin), LDH
(dehidrogenase laktat)
2. Foto toraks : Emfisema (hiperinflasi), atelektasis atau edema paru
3. EKG : Perubahan EKG bersifat sementara (kecuali pada infark
miokardium), Depresi gelombang S-T, Bundle branch block, Fibrilasi
atrium, Berbagai aritmia ventrikular.
(Lieberman et. al., 2005)
f. Diagnosis
Riwayat penggunaan obat, makanan, gigitan binatang atau transfusi. Diagnosis
anafilaksis bergantung dari anamnesis yang tepat dan hati-hati. Untuk dapat menggali
anamnesa yang tepat, penting untuk mengetahui manifestasi dari anafilaksis. Manifestasi
tersering dari anafilaksis adalah mengenai kulit, kolaps kardiovaskular, dan syok. Tidak
adanya manifestasi pada kulit tidak menyingkirkan diagnosis anafilaksis.2 Alergi yang
berbeda dapat menimbulkan respon yang berbeda-beda, meskipun imunobiologis dan
patofisiologi anafilaksis yang terjadi pada dasarnya sama. Pada anamnesis perlu diketahui
kapan serangan terjadi, aktivitas yang sedang dilakukan sebelum serangan terjadi, terapi
yang diberikan selama serangan, respon terhadap terapi tersebut, dan lamanya serangan.
Bila serangan bukan pertama kalinya maka hal-hal tersebut perlu ditanyakan dari masing-
masing serangan (Lieberman et. al., 2005; Simon, 2006)
Anamnesis harus dapat menggali kemungkinan penyebab dari serangan. Perlu
ditanyakan riwayat konsumsi makanan dan obat-obatan sebelum timbul serangan,
kemungkinan tersengat serangga, aktivitas saat serangan terjadi, lokasi kejadian apakah di
rumah atau tempat kerja, atau apakah serangan berkaitan dengan panas, dingin, juga
aktivitas seksual. Status atopi pada penderita juga perlu ditanyakan karena anafilaksis yang
dicetuskan oleh makanan juga anafilaksis idiopatik lebih sering terjadi pada individu
dengan riwayat atopi dibandingkan dengan yang tidak. Timbulnya kembali gejala setelah
remisi juga perlu diperhatikan karena hal ini menunjukkan reaksi fase lambat, sehingga
diperlukan masa observasi yang lebih lama (Lieberman et. al., 2005).
Untuk mendiagnosa anafilaksis karena obat-obatan diperlukan anamnesis yang
akurat, yaitu kapan obat tersebut diberikan, interval sampai terjadi reaksi, obat-obatan yang
sebelumnya pernah didapatkan oleh pasien (untuk memperkirakan sensitisasi sebelumnya),
dan respon pasien terhadap terapi. Data rekam medis dari unit gawat darurat atau catatan
dokter sebelumnya dapat membantu untuk mendiagnosis dengan tepat (Simon, 2006).
Semua individu yang diketahui memiliki riwayat anafilaksis perlu dicatat dengan
lengkap dan teliti, meliputi manifestasi seperti urtikaria, angioedema, flushing, pruritus,
obstruksi saluran nafas atas, gejala gastrointestinal, sinkop, hipotensi, obstruksi saluran
nafas bawah, dan pusing (Simon, 2006).
Diagnosis banding perlu dipikirkan saat melakukan anamnesis, meskipun penderita
memiliki riwayat anafilaksis sebelumnya (Lieberman et. al., 2005). Salah satu diagnosa
banding yang penting adalah reaksi vasodepres/vasovagal. Pada reaksi ini ditemukan
hipotensi, pucat, lemah, mual, muntah, dan berkeringat. Yang dapat membedakannya
dengan reaksi anafilaksis yaitu tidak adanya manifestasi kulit (urtikaria, angioedema,
kemerahan, dan pruritus) dan adanya bradikardia pada reaksi vasodepres, sementara pada
anafilaksis lebih sering terjadi takikardia. Kejadian kemerahan pada kulit (flushing) juga
dapat menyerupai anafilaksis. Obat-obatan seperti niasin, nikotin, katekolamin, penghambat
ACE, alkohol, tumor tiroid atau saluran cerna, feokromasitoma, hiperglikemi dapat
menyebabkan terjadinya flushing (Simon, 2006).
g. Penanganan : Tindakan harus segera
1. Resusitasi kardiopulmonal
2. Trakeostomi sesuai indikasi
3. Adrenalin (epinefrin) 0,01 ml/kgBB s.k./i.m. (larutan 1:1000), bila perlu ulangi
dengan interval 15-30 menit. Bila syok/kolaps vaskular 0,01-0,05 ml/kgBB, i.v.
(larutan 1:10.000), suntikan perlahan-lahan (1-2 menit). Bila penyebabnya suntikan
adrenalin 0,10,2 ml (larutan 1:1000) s.k. pada daerah suntikan, untuk mengurangi
absorpsi antigen
4. Bila penyebabnya sengatan/gigitan hewan berbisa atau obat yang disuntikkan pada
ekstremitas
5. Longgarkan tourniquet tiap 10 menit selama 1-2 menit
6. O2 : Bila sianosis, dispnea atau mengi : Dosis 5-10 L/menit, melalui masker/kateter
hidung
7. Difenhidramin 1-2 mg/kgBB (maks. 50 mg) i.v./i.m. perlahan-lahan selama 5-10
menit, dilanjutkan p.o. setiap 6 jam setelah keadaan gawat teratasi
8. Bila penderita masih hipotensi, dispnea, rawat di ICU
9. Cairan intravena: Untuk mengatasi syok berikan larutan NaCl fisiologis dan glukosa
5% dengan perbandingan 1:4, 30 ml/kgBB sampai syok teratasi paling lama 2 jam.
10. Aminofilin : Pada bronkospasme berikan aminofilin 4-7 mg/kgBB, larutkan dalam
dekstrosa 5% paling sedikit sama banyak, suntikan i.v. secara lambat (15-20 menit)
11. Bila belum teratasi dilanjutkan perinfus, kecepatan 0,2-1,2 mg/kgBB/jam atau 4-5
mg/kgBB i.v. selama 20-30 menit setiap 6 jam. Kalau memungkinkan, monitor kadar
aminofilin darah
12. Vasopresor : Bila tekanan darah belum terkontrol, berikan salah satu obat dibawah
ini Metaraminol bitartrat (Aramine) : 0,01 mg/kgBB (maks. 5 mg) dosis tunggal, i.v.
secara perlahan sambil memonitor bunyi jantung, bila terjadi aritmia jantung,
hentikan segera. Dosis dapat diulang. Levaterenol bitartrat (Levophed) : 1 mg (1 ml)
dalam 250 ml cairan i.v., kecepatan 0,5 ml/menit. Dopamin : Berikan bersama infus,
kecepatan 0,3-1,2 mg/kgBB/jam. Kortikosteroid: Diberikan setelah fase akut teratasi,
memperpendek lama sakit dan mencegah rekurensi. Hidrokortison: 7-10 mg/kgBB
i.v., dilanjutkan 5 mg/kgBB setiap 6 jam. Hentikan setelah 2-3 hari.
h. Komplikasi
1. Syok Analifaksis (Price dan Wilson, 2005)
i. Prognosis
Prognosis dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: (Kemp dan Lockey, 2002)
1. Beratnya penyakit.
2. Tenaga yang menangani.
3. Peralatan dan ketersediaan obat.
4. Waktu (cepat-tepatnya) penanganan.
5. Waktu pemaparan alergen, lama antara masuknya alergen dengan timbulnya gejala,
semakin lama semakin mudah tertolong.
6. Cara pemberian obat dan dosis alergen; pemberian secara intravena dan dosis tinggi,
maka prognosisnya buruk.
7. Frekuensi kejadian reaksi anafilaksis terhadap antigen yang sama, semakin sering
semakin buruk prognosisnya.Mortalitas (angka kematian) mencapai 3-9%, 50-80%
pada jam pertama.
j. Referensi
Kemp, S.F. dan Lockey R.F. 2002 Anaphylaxis: A review of causes and mechanisms.
Journal of Allergy Clinical Immunology (110:341-8)
Lieberman, P. et al. 2005 The diagnosis and management of anaphylaxis: An updated
practice parameter. Journal of Allergy Clinical Immunology (115:S483-523)
Price, S. A dan Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Sampson, H.A. dan Leung, D.Y. 2004 Anaphylaxis. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatric. Edisi ke-18.Philadelphia: WB
Saunders
Simons F. 2006. Anaphylaxis, killer allergy: Long-term management in the community.
Journal of Allergy Clinical Immunology. 2006;117:367-77
Simons, F.E. 2008 Anaphylaxis. Journal of Allergy Clinical Immunology (121:S402-52)

Anda mungkin juga menyukai