Anda di halaman 1dari 16

MODEL BISNIS BERBASIS UKHUWAH

(Studi Entitas Bisnis Pesantren Al-Ittifaq Kabupaten Bandung)


Oleh Lukman Fauroni

Latar Belakang Masalah
Pesantren merupakan lembaga ortodoksi Islam yang selalu mengajarkan dan
mensosialisikan ajaran-ajaran Islam dalam keseluruhan aktivitasnya. Pesantren hidup dan
berkembang bersumber dan atas dasar cita Islam, yang telah menjadi salah satu kekuatan
khazanah Islam dan berperan sebagai lembaga pendidikan dan dakwah, sosial
kemasyarakatan serta pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Sebagai lembaga pendidikan dan dakwah, pesantren telah terbukti menjadi barometer
pertahanan moralitas umat. Ia dapat mengadaptasi perubahan dan tantangan sosial baik
konteks lokal, nasional, maupun global. Sebagai lembaga sosial kemasyarakatan, pesantren
telah berperan multi fungsi meliputi fungsi hingga pengembangan kemasyarakatan. Peran
multi fungsi pesantren dilakukan sebagai jawaban atas tantangan perubahan sosial.
Pengembangan pemberdayaan ekonomi muncul sebagai solusi atas permasalahan
ekonomi masyarakat. Pemberdayaan ekonomi bertitik tolak dari pemberdayaan ekonomi
santri dan masyarakat di lingkungannya. Pada sisi tertentu dapat diposisikan sebagai kritik
atas pembangunan ekonomi yang kurang berorientasi kesetimbangan struktur ekonomi.
Namun, pada realitasnya, belum semua pesantren telah melakukan pemberdayaan ekonomi.
Fungsi pemberdayaan ekonomi dipahami sebagai perluasan fungsi yang dipengaruhi oleh
perhatian dan jiwa kewirausahaan kepemimpinan pesantren sebagai social mover.
Dengan kekuatan potensial yang dimiliki pesantren itulah sejumlah pesantren dinilai
telah cukup berhasil dalam pengembangan ekonomi. Pesantren Arrisalah Ciamis aktif dalam
bidang ekonomi perikanan. Pesantren Darussalam Gontor bidang sektor riil, pertanian dan
perkebunan. Pesantren Sidogiri Pasuruan bidang koperasi pondok pesantren, BMT, BPRS
dan berbagai sektor riil. Pesantren Al-Amin Sumenep bidang ekonomi berbasis kelautan,
pesantren Al-Ittifaq Rancabali Bandung bidang ekonomi berbasis agribisnis.
Pesantren Al-Ittifaq mengembangkan ekonomi berbasis agribisnis. Didukung oleh
unit-unit usahanya ekonomi pesantren al-Ittifaq mewujud menjadi entitas bisnis pesantren
yang handal. Omzet setiap hari tercatat Rp 392.000.000,00-540.000.000,00 atau Rp 4,7 M -
6,4 M per tahun. Bahkan pada bulan-bulan tertentu dapat mencapai omzet Rp
500.000.000,00-600.000.000,00 per hari.
Fakta keberhasilan entitas bisnis Al-Ittifaq yang ditopang oleh sistem nilai tertentu,
mengarahkan pada asumsi adanya suatu model bisnis berbasis ajaran agama. Pesantren
dibangun oleh tiga elemen pokok sebagai subkultur. Pertama, pola kepemimpinan yang
mandiri yang tidak terkooptasi oleh Negara. Kedua, kitab-kitab rujukan yang digunakan dari
berbagai abad. Dan ketiga, sistem nilai yang digunakan sebagai bagian dari masyarakat
luas.
Model bisnis merupakan konsepsi seperangkat elemen yang memungkinkan
perusahaan dapat mengekspresikan logika bisnisnya dalam suatu arsitektur perusahaan
beserta jaringannya. Arsitektur ini meliputi produksi, pemasaran, pemberian nilai tertentu
kepada customer sehingga menghasilkan aliran pendapatan yang bernilai dan berkelanjutan.
Model bisnis menggambarkan konsep bagaimana organisasi bisnis dapat menciptakan nilai-
nilai, (ekonomi, social) dan merealisasikan dalam keseluruhan bisnisnya.
Berdasar konsep model bisnis, menarik diteliti bagaimana sistem nilai yang
mendasari entitas bisnisnya. Bagaimana membangun budaya ekonomi bisnis, tata kelola dan
daya saingnya. Berdasar pemahaman itu, diharapkan dapat memformulasi model bisnis
Islam atau bisnis syariah. Adalah fakta yang tidak bisa dibantah, pesantren merupakan
lembaga sosial ekonomi yang berazas ajaran Islam. Pesantren dapat diposisikan sebagai
salah satu sumber referensi ekonomi bisnis Islam.
Rumusan Masalah, Tujuan dan Metode Penelitian
Berdasar pemikiran di atas, penelitian akan menjawab tiga masalah: pertama,
bagaimana pesantren sebagai lembaga sosial ekonomi membangun model bisnis yang
unggul dan berdaya saing? Kedua, mengapa entitas bisnisnya dapat menggapai
keberhasilan, Ketiga, bagaimana dampak penerapan model bisnis terhadap peningkatan
kesejahteraan masyarakat?
Tujuan penelitian; pertama, mengeksplorasi proses dan pengalaman entitas bisnis
pesantren dalam membangun model bisnis. Kedua, menjelaskan sebab-sebab tercapainya
keunggulan daya saing entitas bisnis pesantren. Ketiga, menjelaskan pengaruh keberhasilan
entitas bisnis pesantren terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Secara teoritis dan metodologis, pengembangan model bisnis dapat mendorong
pengembangan ekonomi Islam pada tataran praksis. Sebagai ilmu yang relatif baru, ia
membutuhkan sarana dan media bagi implementasinya. Sebagai lembaga sosial yang hidup,
pesantren berpotensi kuat dan strategis dalam implementasi ekonomi bisnis Islam. Manfaat
penelitian adalah mengembangkan model bisnis Islam bagi pemberdayaan ekonomi umat
melalui pesantren. Model bisnis Islam dapat menjadi prototype model bagi pengembangan
ekonomi bisnis kreatif di masyarakat.
Penelitian merupakan penelitian kualitatif dengan memilih desain studi kasus
instrumental. Desain ini dinilai tepat guna mengungkap keseluruhan pengalaman entitas
bisnis, mengeksplorasi hal ihwal meliputi nilai, norma, adat istiadat, sikap mental serta
karakteristik budaya yang berlaku. Pesantren Al-Ittifaq dipilih sebagai lokasi penelitian
dengan kasus penelitian keberhasilan pengembangan entitas bisnis dan pemberdayaan
ekonomi serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Entitas bisnis telah mengalami
forming, storming, norming dan performing atau transformation. Adapun metode
pengumpulan data menggunakan teknik observasi terlibat dan wawancara.
Kerangka Teori
Kerangka teori, pertama-tama ditelusuri dari perkembangan entitas bisnis di sejumlah
pesantren. Entitas bisnis pesantren merupakan peran nyata kegiatan ekonomi yang dilakukan
bertahap sebagai perluasan fungsi pesantren. Peran ini terkait modal sosial ekonomi yang
dimiliki oleh pesantren. Dalam proses bersamaan, pemberdayaan ekonomi masyarakat
muncul sebagai pilihan keberpihakan pesantren. Pemberdayaan ekonomi, telah cukup
menyejarah dalam dinamika pesantren terutama pada sejumlah pesantren yang memilih peran
penting ini, dalam bentuk-bentuk implementasi yang variatif.
Model bisnis merupakan logika keseluruhan bisnis yang diberlakukan dalam
hubunganya dengan pelanggan, rantai nilai yang dipunyai, sumber daya, manajemen
operasional, hingga desain pendapatan atau keuntungan dan keberlangsungan entitas bisnis.
Model bisnis meliputi elemen-elemen, value proposition, market segment and revenue
model, value chain, cost structure and profit potential, value network, dan competitive
strategy
Secara singkat, kerangka teori penelitian dapat disarikan pada gambar di bawah ini:



Gambar 1
Model Bisnis pada Entitas Bisnis Pesantren

Model bisnis pada entitas bisnis pesantren bersumber dari prinsip-prinsip dan asas
ekonomi bisnis Islam sebagai sumber rujukannya. Dari proses dan pengalaman dalam
pengembangan ekonomi bisnis, melahirkan kristalisasi sistem nilai yang menggerakkan
perilaku bisnis kolektif dalam naungan organ entitas bisnis pesantren. Paduan antara ajaran
agama sebagai sumber rujukan, kristalisasi perilaku bisnis dan tempaan dunia bisnis,
kemudian melahirkan suatu model bisnis tertentu, yang dapat disebut model bisnis Islam.



Model Bisnis Islam


Konsep Model
Bisnis
Entitas Bisnis
sebagai Organ
sistem nilai yang
menggerakkan
perilaku bisnis kolektif
Prinsip n Asas
Ekonomi Bisnis
Islam sebagai
sumber rujukan
Hasil Penelitian
Penelitian menemukan konstruksi model bisnis berbasis ukhuwah dapat digambarkan
sebagai berikut:















Gambar: 5.1
Konstruksi Model Bisnis Islam

Gambar 2
Model Bisnis Berbasis Ukhuwah dalam Tiga Unsur Utama

Pada gambar itu, elemen-elemen model bisnis dipetakan berdasar klasifikasi tiga
unsur utama model bisnis, value chain and networking model, operating model dan value
proposition. Dalam konsep model bisnis (konvensional), nilai proposisi ditempatkan sebagai
unsur pertama (awal), kemudian mata rantai nilai dan model networking. Dalam model
bisnis berbasis ukhuwah, yang menjadi basis fundamental adalah mata rantai nilai dan
model networking. Sedangkan nilai proposisi merupakan buah atau konsekuensi dari kedua
unsur lainnya. Inilah salah satu perbedaannya. Untuk memahami lebih lanjut dapat
dijelaskan sebagi berikut:
OPERATING MODEL






Asset sebagai Titipan
Keuntungan Sepadan
3 K (Kualitas, Kuantitas
dan Kontinuitas)
VALUE PROPOSITION




VALUE CHAIN & NETWORKING MODEL




Ukhuwah
Inpekbi
Silaturahmi Terpola

Orientasi Pasar &
Pelanggan
Daya Saing
Orientasi Keutamaan
Saling
Menguntungkan
Kesejahteraan Bersama
Ukhuwah sebagai Episentrum
Ukhuwah merupakan episentrum dinamika dan inovasi budaya ekonomi bisnis pada
entitas bisnis Al-Ittifaq. Episentrum ini diperkuat oleh nilai-nilai kearifan lokal kasundaan
seperti tri tangtu silih asah, asih dan asuh, jeung sasama kudu kawas dulur pet ku hinis, ulah
untung sorangan, kudu repeh rapih dan lain-lain. Ukhuwah bermakna bukan sekedar
persaudaraan, melainkan suatu ikatan perekat sosial ekonomi yang erat dan berpengaruh
signifikan terhadap pencapaian kemajuan masyarakat. Ukhuwah terekpresi dalam sikap dan
perilaku komunitas yang berkarakter kohesiv, saling percaya, memberi dan menerima, dan
saling mengayomi untuk kemajuan bersama.
Di masyarakat, ukhuwah bukan hanya terlihat dalam ritme kehidupan sosial, namun
berlaku dan mentradisi dalam relasi ekonomi dan bisnis. Mereka saling bertransaksi hasil
panen, bibit tanaman, pupuk dengan mudah dan saling percaya. Mereka saling mendukung
dalam aspek permodalan secara mudah, tanpa syarat dengan motif saling memajukan.
Keberadaan kopontren sebagai perusahaan inti, berfungsi bukan hanya membina,
membimbing, mengembangkan anggotanya, tetapi juga sampai pada pertanggung-jawaban
menjaga kesinambungan produksi dan menolong atau mengayomi anggota yang terkena
kerugian. Secara psikologis, ukhuwah telah menjadi semacam pedal gas pelancar tindakan
individu dan kolektif bagi kemajuan bersama. Pada sisi lain, ukhuwah menjadi rem sosial
bila tergelincir pada hal-hal yang menimbulkan kekurang harmonisan. Dengan demikian,
episentrum ukhuwah, melahirkan konsekuensi berbagai komitmen. Komitmen amanah
saling percaya, saling mengayomi dan memajukan serta komitmen bersaing dalam
kebajikan.
Episentrum ukhuwah berkonsekuensi pula terhadap ekspresi budaya kolektif, ke
dalam dan ke luar. Inilah temuan konstruksi model bisnis berbasis ukhuwah yang dapat
digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3
Model Bisnis Berbasis Ukhuwah

Pada gambar itu, episentrum ukhuwah terekspresi menjadi mata rantai nilai
meliputi tiga silih, yaitu silih asih silih asuh dan silih asah, saling mengayomi dan
memajukan dalam kerjasama kemitraan yang kuat serta komitmen dwi khidmat. Dwi
khidmat adalah komitmen masyarakat dalam kebajikan sebagai implementasi pengabdian
kepada umat dan pesantren guna peningkatan kesejahteraan. Komitmen para pelaku
ekonomi bisnis secara individual dan kolektif dengan tiga kekuatan mata rantai nilai itulah
yang menyebabkan tercapainya performen keunggulan entitas bisnis pesantren Al-Ittifaq.
Paduan sikap dan kesadaran itu kemudian terekspresi ke luar menjadi budaya bisnis
atau model bisnis berbasis ukhuwah yang ditopang empat elemen pokok. Keempat elemen
itu meliputi, pertama, berorientasi pasar dan menghindarkan dari mengecewakan pelanggan.
Kedua, kesadaran berdaya saing, mengedepankan keutamaan dalam keseluruhan proses
bisnis. Ketiga, keuntungan yang sepadan antara material dan spiritual dan keempat,
berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan dan keadilan sosial ekonomi umat.
Model bisnis berbasis ukhuwah, memiliki persamaan dan perbedaan dengan model
bisnis pada umumnya. Persamaannya terletak pada elemen dasar yang menopangnya yaitu,
value proposition dan operating models. Value proposition mendefinisikan nilai yang
diciptakan oleh perusahaan bagi customer. Sedangkan Operating models, menggambarkan
bagaimana nilai tersebut diimplementasikan dalam ritme perusahaan dan diberikan kepada
konsumen.
Sedangkan perbedaannya terletak terutama pada landasan nilai-nilai yang mendasari
value proposition dan operating models serta aspek tujuannya. Tujuan utama model bisnis
adalah tercapainya aliran pendapatan sebagai konsekuensi logis dari nilai tambah yang
dipersembahkan kepada pelanggan, sehingga menjadikan kemampulabaan perusahaan
(profitable). Kemampulabaan perusahaan, berdampak pada lingkungan internal perusahaan,
bahkan berporos pada kepentingan pemilik modal.
Sebaliknya dalam model bisnis berbasis ukhuwah, kemampulabaan perusahaan tidak
berporos kepada perusaahan dan pemilik modal semata, melainkan berdampak langsung
pada keseluruhan pihak-pihak yang terlibat maupun pihak-pihak yang tidak terlibat secara
langsung yaitu masyarakat. Dalam model bisnis ini, suatu keberhasilan tidak dimaknai
keberhasilan, bila tidak membawa dampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Dari tataran capaian seperti itu, pesantren dapat memfungsikan dirinya sebagai
pesantren kesejahteraan, yaitu lembaga sosial ekonomi yang dapat menciptakan peningkatan
kesejahteraan masyarakat.

Kontribusi Penelitian
Penelitian mengukuhkan temuan keberadaan dan pengalaman model bisnis berbasis
ukhuwah yang telah berjalan secara sistemik pada entitas bisnis pesantren Al-Ittifaq. Model
bisnis ini bertumpu pada episentrum ukhuwah dengan unsur-unsur di dalamnya, yang
berpengaruh kuat terhadap ekspresi budaya bisnis dari dan ke dalam terdiri dari unsur; trust
yang tinggi, kerja sama kemitraan dan dwi khidmat.
Ekspresi kolektif dari dan ke dalam ini menjadi sumber dinamika dan inovasi
keseluruhan entitas bisnis, dan melahirkan ekspresi kolektif ke luar yang berujud model
bisnis dengan empat utama; berorientasi pasar, anti mengecewakan pelanggan, berdaya
saing dengan mengedepankan keutamaan, keuntungan sepadan dan berdampak pada
peningkatan kesejahteraan umat. Kedua ekspresi itu dapat dinilai sebagai coorporate culture
virtuous circle entitas bisnis pesantren Al-Ittifaq.
Coorporare culture virtuous circle, adalah budaya perusahaan yang secara cermat
mempertimbangkan sikap dan perilaku informal demi kepuasan pelanggan,
mengorganisasikanya secara tersistem dalam perusahaan. Dalam istilah Hampden-Turner, ia
dapat diibaratkan roda lingkaran yang jari-jarinya sangat kuat sehingga roda dapat berputar
dengan stabil dan terkendali, walaupun secepat apapun putarannya.
Budaya perusahaan yang kuat dapat diibaratkan sebagai magnet yang mempunyai
kemampuan menarik benda yang berada di sekelilingnya. Sebaliknya, perusahaan yang tidak
memiliki budaya perusahaan diibaratkan sebagai besi. Budaya perusahaan yang telah
berfungsi mengendalikan individu dalam organisasi berujud menjadi kata hati. Sedangkan
dalam lingkup organisasi berujud menjadi pola perilaku kolektif keseharian. Wujud pola
perilaku kolektif inilah yang disebut sebagai wujud nyata budaya atau artefak. Cepat atau
lambatnya proses perwujudan artefak ditentukan oleh kepemimpinan. Dengan demikian,
kepemimpinan berpengaruh yang signifikan dalam perwujudan budaya perusahaan.
Pimpinan pesantren Al-Ittifaq telah dapat memerankan kepemimpinan yang kuat dan
berpengaruh.
Budaya perusahaan itu, telah menjadikan entitas bisnis Al-Ittifaq memiliki
competitive advantage yang baik, yaitu kemampuan perusahaan dapat bersaing lebih unggul
dibanding perusahaan-perusahaan lainnya. Budaya perusahaan merupakan faktor kunci
dalam menentukan keunggulan daya saing perusahaan. Dalam perspektif knowledge
management, keunggulan daya saing yang lebih dapat tercapai ketika transformasi
pengetahuan tacit kepemimpinan telah berhasil menjadi explicit knowledge, yaitu
pengetahuan bersama (semua unsur) dalam naungan jejaring bisnis pesantren. Dalam
jaringan bisnis Al-Ittifaq, explicit knowledge dengan mudah dapat dirasakan. Bisnis adalah
bagian dari ibadah, ulah untung sorangan, 3K (kualitas, Kuantitas dan Kontinuitas),
membawa bibit dari rumah, menanam di kebun dan mengolahnya lalu menjualnya ke pasar,
teu disebut sukses mun tatangga masih miskin, adalah di antara contoh explicit knowledge.
Capaian kemajuan melalui budaya perusahaan yang berujud model bisnis,
merupakan buah dari pendidikan budaya ekonomi yang terpadu dan berkesinambungan
dalam ritme kehidupan pesantren. Suatu pembudayaan ekonomi meliputi pembelajaran,
pelatihan, pengalaman dan peneladanan. Inilah ciri khas model bisnis berbasis ukhuwah
yang berada dalam naungan kelembagaan pesantren. Meskipun telah memiliki entitas bisnis
yang unggul, ia tidak melupakan jati diri dan fungsi utamanya sebagai lembaga pendidikan
sosial dan pemberdayaan umat, bukan lembaga profit oriented.
Model bisnis berbasis ukhuwah dapat dimaknai sebagai model bisnis Islam. Hal ini
didasarkan pada dua alasan; pertama, sistem nilai yang menjadi fondasi bangunan model
bisnis itu bersumber dari ajaran Islam. Kedua, posisi pesantren merupakan representasi
perilaku dan budaya umat Islam. Pesantren selalu bersumber dari pemahaman ajaran Islam
yang diimplementasikan dalam keseharian.
Pada titik inilah, pesantren menjadi organisme yang hidup berdasar semangat
keislaman. Pembelajaran, pembiasaan, peneladanan dan pengalaman atas keseluruhan ajaran
Islam, termasuk dalam bidang ekonomi bisnis dapat tersublimasi melalui keseluruhan
pendidikan kultur ekonomi di pesantren ini. Dengan pijakan ini, sejumlah pesantren yang
memiliki kesamaan-kesamaan tertentu, berpotensi besar dalam pengembangan fungsi
pemberdayaan ekonomi umat.
Keberhasilan suatu entitas bisnis setelah menerapkan model bisnis tertentu,
mengandung esensi dan implikasi bagi tercapainya nilai tambah perusahaan dalam
memberikan kepuasaan dan ekpektasi yang melebihi harapan pelanggan. Kelompok
pelanggan atau masyarakat menerima value added perusahaan dengan senang hati dan
otomatis. Konsekuensi penerimaan itu berdampak positif pada aliran pendapatan yang terus
menerus sehingga menjadikan perusahaan itu unggul dan kompetitif.
Dari perspektif Coorporate social responsibilty (CSR), perusahaan konvensional,
program peningkatan kesejahteraan masyarakat merupakan implementasi kewajiban
perusahaan. Namun dilihat dari struktur keuangannya, ditempatkan sebagai biaya
operasional perusahaan bahkan biaya marketing yang pada akhirnya dibebankan pada
konsumen.
Dalam model bisnis berbasis ukhuwah, tanggung jawab peningkatan kesejahteraan
masyarakat, sejak awal ditekankan sebagai bagian inhern dalam prinsip bisnis sebagai
ibadah, saling memajukan dan mengayomi. Dengan demikian, pengabdian kepada pesantren
dan umat, lebih luas dari sekedar implementasi CSR. Tanggung jawab sosial merupakan
bagian integral dari bisnis itu sendiri, sebagaimana motif mencari keuntungan dalam bisnis.
Infak, shadaqah dan zakat merupakan suatu keniscayaan yang melekat pada setiap
pendapatan.
Fakta kekuatan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui model bisnis berbasis
ukhuwah, pada beberapa hal memiliki titik singgung dengan model bisnis sosial Muhammad
Yunus di Bangladesh. Titik singgung, terutama terletak pada pilihan keberpihakan
pemberdayaan ekonomi umat. Model bisnis sosial Grameen Bank secara tegas berpihak
pada peningkatan kesejahteraan kaum miskin khususnya perempuan melalui pendidikan,
manajemen koorporasi, hingga kepemilikan saham mayoritas yang keuntungannya
diperuntukkan bagi pengembangan dan perluasan pengentasan kaum miskin. Sedangkan
perbedaannya terletak pada pilihan model dan sistem operasional bisnis serta jangkauan
wilayah geografisnya.
Dengan demikian, model bisnis berbasis ukhuwah atau model bisnis Islam memiliki
implikasi yang lebih luas pada aspek jangkauan pemberdayaan ekonomi dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Demikian pula sebagai episentrum, ukhuwah memiliki daya dan
kekuatan lebih dalam dan luas dampaknya dibanding kekuatan model bisnis atas dasar
kesamaan keluarga, etnis, klan, sebagaimana kekerabatan pada pengusaha muslim Alabio
atau aspek keluarga pada pengusaha Cina.
Kekuatan ukhuwah dapat memadukan keseluruhan modal sosial budaya yang
dimiliki oleh masyarakat sehingga dapat mengalahkan pertimbangan dan perhitungan biaya
ekonomi. Dalam perhitungan biaya ekonomi suatu investasi agribisnis stroberi misalnya,
dalam lingkungan kelompok tani jaringan pesantren, ditemukan penghematan biaya hingga
10-15%. Penghematan biaya dapat terjadi, karena sebagian alokasi anggaran wajib tidak
perlu dikeluarkan, karena adanya ikatan kekeluargaan dalam jaringan. Biaya seperti
transportasi pengambilan benih, pupuk organik, pemeliharaan hingga pengiriman
pemasaran hasil, disubstitusi oleh kekuatan modal sosial kekeluargaan dalam jaringan.
Kekuatan modal sosial dalam budaya bisnis Al-Ittifaq, dapat dinilai telah melahirkan
komunitas social entrepreneur. Dalam social entrepreneur modal sosial seperti saling
pengertian (shared value), trust (kepercayaan) dan budaya kerjasama (a culture of
cooperation), merupakan bentuk yang paling penting yang dapat menguatkan kemitraan
ekonomi. Demikian pula, penguatan modal sosial, meliputi jalinan mutual trust, mutual
respect, mutual benefit, organisasi sosial, dan kepemimpinan berdampak langsung pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan dapat dijadikan indikator utama bagi
keberlanjutan pembangunan secara keseluruhan.
Keberhasilan negara Jerman dan Jepang dalam perspektif ini, ditopang oleh akar
long-term relationship dan etika kerjasama yang mampu menumbuhkan inovasi dan
pengembangkan industrinya. Social entrepreneur sangat memahami permasalahan sosial
dan menggunakan kemampuannya untuk perubahan sosial, terutama kesejahteraan (welfare),
pendidikan dan kesehatan (healthcare). Jika business entrepreneurs mengukur keberhasilan
dari kinerja keuangan, maka social entrepreneur diukur dari manfaat yang dirasakan oleh
masyarakat.
Dalam temuan Muhaimin, faktor keberhasilan pengusaha muslim Alabio di
Banjarmasin, disamping adanya faktor etos kerja keras, rahasia strategi dagang turun
temurun, hemat, rajin menabung, ekspektasi spiritual naik haji, juga didukung unsur
kekerabatan klan Alabio di perantauan, sehingga berkomitmen saling memajukan, terutama
dalam kontestasi dengan pengusaha Cina.
Keberhasilan pebisnis Cina dipengaruhi oleh kekuatan ikatan jaringan yang disebut
Guangxi. Guangxi berkembang berdasar kesamaan klan, keluarga, kesamaan tempat
kelahiran (qingqi), teman satu alumni, (tongxue), sahabat di perguruan tinggi (tongshi),
kesamaan minat atau hobi (tonghao). Selain itu, pengusaha Cina menyukai berkelompok
dalam lingkungan tertentu di perantauan sehingga bersikap senasib sepenanggungan.

Masyarakat Cina menempatkan berdagang atau bisnis sebagai heroisme yang sangat
dihargai guna mencapai kesejahteraan hidup. Mereka lebih mengutamakan dari lingkaran
yang paling dalam baru ke luar. Disamping kekuatan etos usaha yang kuat, hemat, berani
mengambil resiko, dengan ikatan Guangxi menjadikan mereka berada dalam ikatan usaha
atau kerjasama yang kuat untuk saling memajukan. Di dalamnya terdapat pertimbangan
ekonomi dan non ekonomi (intangible goals).
Temuan model bisnis Islam membawa implikasi, kekuatan ikatan hubungan
kemasyarakatan dalam naungan pesantren atau jamaah-jamaah seperti majelis taklim dan
majelis dzikir mempunyai potensi besar bagi pemberdayaan ekonomi umat. Pesantren
memiliki peran sangat besar terutama dalam hal pendidikan moral dan pembinaan watak
serta nilai-nilai kepribadian. Berperan pula dalam pengembangan bisnis kewirausahaan
berdasar keimanan dan amal saleh sehingga menciptakan keseimbangan antara kebutuhan
material-spiritual dan antara kepentingan individu dan masyarakat.
Kekuatan jamaah, terbukti dalam capaian kemajuan ekonomi pada sebagian
jamaah pengajian di kota-kota besar yang didukung oleh manajerial, SDM dan dukungan
media elektronik. Yayasan Daarul Quran Nusantara pimpinan Yusuf Mansur dapat disebut
sebagai contoh. Dari jamaah pengajian, rumah tahfid, dikembangkan program-program
pendidikan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Pada sisi lain kekhawatiran munculnya efek negatif dari capaian kekayaan material
sebagai rintangan pencapaian kemajuan kemanusiaan yang bermoral, dengan model bisnis
ini dapat teratasi. Pencapaian kemajuan aspek material harus berjalan seimbang secara
harmonis dengan pencapaian dan perkembangan aspek spiritual. Dengan demikian,
pencapaian tingkat kesejahteraan dan kemakmuran secara integral merupakan perwujudan
kesejahteraan yang utuh bagi manusia, baik individual maupun masyarakat secara
keseluruhan.
Temuan penelitian dengan demikian menolak temuan Clifford Geertz di Mojokuto
bahwa, hubungan antara pebisnis dengan pelanggan bersifat spesifik, dan sama sekali
terpisah dari ikatan sosial, persahabatan, ketetanggaan ataupun kekerabatan. Pendekatan
dalam kegiatan ekonomi bisnis terlepas dari hubungan pribadi, penuh perhitungan dan
rasional. Pasar merupakan struktur pranata sosial dalam masyarakat yang khas demi
mendapatkan keuntungan material. Bisnis adalah bisnis. Demikian pula, berlawanan dengan
temuan Lance Castle di Kudus, ajaran, ketaatan terhadap agama dengan tingkah laku
ekonomi tidak mempunyai hubungan yang tegas. Dalam beberapa hal, penelitian ini
menguatkan temuan Irwan Abdullah. Keberhasilan pebisnis muslim dipengaruhi oleh
ketaatan dalam menjalankan ajaran Islam. Perbedaannya, Irwan bertumpu pada pengaruh
ajaran agama dalam proses pembaharuan pemikiran yang mendorong lahirnya perilaku
ekonomi pebisnis muslim.
Temuan penelitian semakin menguatkan bahwa ajaran agama bukan hanya
berpengaruh signifikan terhadap keberhasilan ekonomi bisnis, dalam pengambilan
keputusan mengenai jenis komoditi yang diproduksi, perilaku ekonomi dan
kelembagaannya, melainkan dapat membentuk karakter perilaku kolektif ekonomi bisnis
yang kokoh (budaya perusahaan). Dengan karakter perilaku kolektif itulah, entitas bisnis Al-
Ittifaq dapat mencapai keberhasilan dan keunggulan daya saing yang lebih. Keberhasilan
menguasai pasar tradisional, pasar induk, pasar-pasar modern di wilayah Bandung, Bogor,
Jakarta, bahkan menembus pasar internasional Dubai merupakan di antara buktinya.
Secara teoritis, temuan penelitian ini membuktikan kebenaran asumsi dalam ekonomi
Islam, perilaku ekonomi dipengaruhi secara kuat oleh tingkat kualitas keimanan. Semakin
tinggi kualitas keimanan seseorang, akan semakin produktif perilaku ekonomi bisnisnya dan
proporsional dalam perilaku konsumsinya. Sebaliknya, semakin rendah tingkat kualitas
keimanannya, akan rendah pula tingkat produktivitas dan perilaku konsumsinya, yaitu masih
besar pasak dari pada tiang. Dari pemahaman itu, dapat dimaknai, belum termasuk beriman
secara baik, bila seseorang belum produktif secara ekonomi atau masih berperilaku
konsumtif.
Keluasan cakupan kandungan ukhuwah, didukung bukti dan pengalaman dalam
model bisnis berbasis ukhuwah, untuk pengembangan ilmu muamalat, maka ukhuwah dapat
diposisikan sebagai asas pertama dan utama asas-asas mualamat. Asas-asas muamalat ada
enam, meliputi tabadulul manafi, pemerataan, an taradin, adamul gurar, al-birr wa al-
taqwa, musyarakah. Dengan demikian, asas muamalat menjadi tujuh. Asas merupakan
dasar sesuatu yang menjadi tumpuan berfikir dan bertindak. Sementara prinsip merupakan
kebenaran yang menjadi pokok dasar berfikir atau bertindak.

Kesimpulan
Penelitian menyimpulkan tiga hal: pertama, pesantren Al-Ittifaq dapat membangun
model bisnis melalui proses terpadu dan berkesinambungan yang dapat disebut sebagai
pembudayaan ekonomi bisnis meliputi penanaman nilai, pembiasaan, peneladanan dan
pengalaman. Ukhuwah merupakan episentrum dinamika dan inovasi ekonomi bisnisnya,
terdiri dari tiga silih, kerjasama kemitraan saling mengayomi memajukan dan dwi khidmat
sebagai ekspresi budaya kolektif ke dalam.
Tiga ekspresi budaya ke dalam, kemudian terekspresi menjadi ekspresi budaya ke
luar sebagai model bisnis berbasis ukhuwah. Model bisnis berbasis ukhuwah terdiri dari
lima elemen: ukhuwah, berorientasi pasar anti mengecewakan pelanggan, berdaya saing
mengedepankan keutamaan, keuntungan yang sepadan dan berdampak langsung pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Model bisnis berbasis ukhuwah adalah model bisnis
Islam.
Kedua, keberhasilan dan keunggulan daya saing entitas bisnis pesantren, merupakan
konsekuensi model bisnis berbasis ukhuwah dalam tempaan pengalaman, jejaring jamaah
pesantren dan kepemimpinan yang kuat. Model bisnis ukhuwah dapat pula dimaknai sebagai
budaya perusahaan Islam yang menjadikan entitas bisnis sebagai perusahaan unggul dan
berdaya saing lebih, dengan aliran pendapatan yang stabil (revenue stream) dan high
profitable.
Ketiga, model bisnis berbasis ukhuwah dapat menggantarkan pesantren dan
masyarakat pada keberdayaan ekonomi dan tingkat kesejahteraan yang baik melalui sistem
pemanfaatan hasil sebagai optimalisasi pendayagunaan karunia rezeki Allah SWT secara
tepat guna dalam naungan jamaah atau simpatisan pesantren.
Paparan tiga kesimpulan di atas, mengarahkan pada tiga aksioma; pertama,
keberhasilan entitas bisnis ditentukan oleh pembentukan budaya bisnis yang mensinergikan
kesadaran berekonomi (Islam), pengalaman, jejaring, kepemimpinan, peneladanan dan
modal sosial (kearifan lokal). Kedua, keunggulan daya saing akan lebih kokoh bila lahir
sebagai konsekuensi kesadaran bisnis kolektif dari dalam kemudian ke luar. Ketiga,
pencapaian kesejahteraan umat merupakan keniscayaan dari ekspresi logis-ideal bisnis
Islam.
Kontribusi teoritis penelitian, mengukuhkan ukhuwah sebagai episentrum bisnis
Islam yang menjangkau tiga tataran sekaligus; ideal etis, strategis dan implementatif. Pada
tataran ideal etis, bisnis merupakan optimalisasi keseluruhan sumber daya seorang mukmin
yang berkonsekuensi spiritualitas, kemandirian dan kesalihan sosial ekonomi.
Pada tataran strategis, mengarahkan bisnis selalu berorientasi pasar, unggul dan
berdaya saing tinggi. Sedangkan pada tataran implementatif, bisnis selalu sepadan antara
material dan spiritual serta berdampak kesejahteraan sosial. Semakin sukses pebisnis
muslim, maka akan semakin taqarrub kepada Allah. Perilaku keberagamaan Islam, bukan
hanya berpengaruh terhadap perilaku ekonomi bisnis, melainkan dapat membangun
kesadaran kolektif budaya perusahaan yang berdaya saing tinggi. Secara teoritis pula,
berdasar kedalaman keluasan kandungan, bukti dan pengalaman sebagai episentrum model
bisnis, maka ukhuwah layak menjadi salah satu asas muamalat yang utama.
Hasil penelitian berimplikasi, penerapan model bisnis berbasis ukhuwah pada
kelembagaan sosial ekonomi umat, dapat mengantarkan pada penguatan dan perluasan
fungsi kelembagaan yang berdampak pada kemandirian ekonomi dan peningkatan
kesejahteraan umat. Totalitas kesungguhan, konsistensi kelembagaan dan kepemimpinan
menjadi syarat utamanya.
Implementasi pengembangan ekonomi bisnis melalui kewirausahaan yang dilakukan
dengan pola cangkok atau copy paste dari keberhasilan entitas bisnis lain, akan sulit
mencapai keberhasilan. Dibutuhkan pendidikan budaya ekonomi bisnis secara terpadu dan
berkesinambungan. Setiap pesantren pada dasarnya telah memiliki potensi yang cukup kuat,
namun seringkali kalah oleh tempaan proses, pengalaman dan kurangnya keteladanan
kepemimpinan.
Kekuatan modal sosial yang dimiliki pesantren, sebagai lembaga sosial ekonomi
yang hidup dengan napas ajaran Islam, sangat tepat menjadi barometer penerapan ekonomi
Islam pada berbagai dimensinya. Bahkan dapat mewujud menjadi pesantren kesejahteraan
yang mandiri dan produktif pada peningkatan kesejahteraan umat. Pada masa depan,
pesantren dapat menjadi kekuatan ekonomi yang handal dan menyejahterakan umat, sebagai
penopang stabilitas ekonomi nasional seperti peranan yang telah dimainkan oleh UMKM.

Anda mungkin juga menyukai