Anda di halaman 1dari 17

A.

PENDAHULUAN

Peran tembakau dalam perekonomian nasional dapat dilihat dari beberapa indikator seperti
perannya dalam penerimaan negara (PDB), sumber lapangan kerja dan pendapatan
masyarakat. Industri tembakau secara luas mencakup sektor bahan baku primer daun
tembakau dan cengkeh dan industri pengolahan rokok. Berdasarkan hasil analisa InputOutput tahun 2005 industri tembakau memberikan kontribusi 1,66 persen terhadap total PDB
nasional. Kontribusi terbesar berasal dari Industri rokok sebesar 1,56 persen, sedangkan
sektor bahan baku tembakau dan cengkeh hanya berkontribusi masing masing sebesar 0,036
persen dan 0,067 persen. Namun demikian industri rokok merupakan salah satu industri
pertanian (agroindustri) yang menonjol di Indonesia (Rachmat, 2010). Terhadap Agroindustri
tersebut

peran

industri

rokok

mencapai

13,13

persen

(Tabel

1).

Peran bahan baku primer tembakau dan cengkeh terhadap total perkebunan dan pertanian
relatif kecil. Nilai produksi usahatani tembakau dan cengkeh terhadap nilai produk
perkebunan masing-masing sebedar 1,54 persen dan 2,83 persen; sementara terhadap nilai
produk pertanian masing-masing hanya 0,27 persen dan 0,49 persen (Tabel 2). Kondisi ini
sejalan dengan kecilnya peran areal pertanaman dan jumlah petani tembakau di Indonesia.
Dalam tahun 2007 luas areal tembakau mencapai 198 ribu hektar (sekitar 0,9% total areal
perkebunan Indonesia), sementara jumlah petani yang terlibat dalam usahatani tembakau
hanya 554,5 ribu rumah tangga petani atau sekitar 8,0 persen dibandingkan dengan rumah
tangga petani pekebun sebesar 6880 ribu RT, atau hanya 2,1 persen dari total rumah tangga
pertanian

sebesar

25

579

ribu

RT

(BPS,

2008).

Dalam peranannya terhadap lapangan kerja, secara keseluruhan industri tembakau menyerap
tenaga kerja pada industri tembakau sekitar 4,154 juta tenaga kerja, dimana 93,77 persen
diserap pada kegiatan usahatani termasuk pasca panen, sedangkan tenaga kerja di sektor
pengolahan

rokok

hanya

menyerap

sekitar

6,23

persen

(Tabel

3).

Hasil studi Santoso et al. (2009) menunjukkan bahwa nilai pengganda pendapatan sektor
industri rokok memiliki nilai terkecil kedua dibandingkan dengan pengganda agroindustri
lainnya. Nilai pengganda sebesar 0,127 menunjukkan kondisi bahwa apabila terjadi kenaikan
output pertanian sebesar Rp 1 juta akan menyebabkan kenaikan pendapatan sektor

perekonomian sebesar Rp 127 juta. Kondisi ini karena industri rokok merupakan industri
tunggal yang tidak keterkaitannya kecil. Selanjutnya hasil kajian Sudaryanto et al. (2009)
dalam perekonomian nasional, peranan agribisnis tembakau dan industri rokok dalam
penciptaan nilai output, nilai tambah, dan penyerapan tenaga kerja kurang signifikan, namun
kedua sektor tersebut mempunyai angka pengganda (multiplier effect) output. Angka
pengganda untuk tenaga kerja agribisnis tembakau lebih besar daripada industri rokok. Hal
ini terjadi karena dalam perdagangan internasional, komoditas tembakau dan rokok lebih
banyak menguras dari pada menghasilkan devisa negara, sedangkan agribisnis tembakau
mampu menarik sektor hulu dan mendorong sektor hilir untuk berkembang, sementara
industri

rokok

B.

hanya

mampu

PAJAK

mendorong

sektor

hilir

TEMBAKAU

saja

(Rachmat,

2010).

INDONESIA

Berdasarkan pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, bahwa yang dimaksud dengan cukai
adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai
sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang yang befungsi untuk menjamin
peningkatan penerimaan negara, sehingga dapat mengantisipasi kebutuhan peningkatan
pembiayaan pembangunan nasional guna mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan
keseimbangan

(Suryanto,

2008).

Peran komoditas tembakau yang cukup nyata dalam perekonomian nasional adalah sebagai
sumber penerimaan negara dari cukai. Nilai penerimaan dari cukai yang dari tahun ke tahun
terus meningkat, yaitu dari Rp 11,1 triliun pada tahun 2001 menjadi sekitar Rp 47,0 triliun
pada tahun 2008, suatu peningkatan rata rata 53 persen per tahun (Tabel 4). Penerimaan nilai
cukai sebesar 47 triliun pada tahun 2008 merupakan nilai satu persen dari penerimaan total
negara. Peningkatan cukai tembakau tersebut terutama karena kebijakan peningkatan harga
jual eceran rokok tarif cukai hasil tembakau, sementara produksi rokok memperlihatkan
kecenderungan

menurun

(Rachmat,

2010).

Indonesia saat ini menerapkan dua jenis sistem cukai tembakau yakni ad valorem
(berdasarkan nilai - value) dan cukai spesifik (menurut kuantitas). Kedua sistem tersebut

masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan dalam upaya meningkatkan penerimaan


negara,

administrasi

dan

promosi

peningkatan

harga.

Sistem cukai spesifik memiliki kelebihan dalam konteks meningkatkan penerimaan negara
karena cukai tersebut bertujuan untuk melindungi penerimaan negara dari perang harga atau
penurunan harga. Cukai spesifik dapat menjadi acuan untuk memperkirakan penerimaan
negara apabila jumlah pembelian suatu produk didasarkan atas tinggi rendahnya kualitas
produk. Sistem cukai spesifik juga memberikan insentif untuk meningkatkan harga rokok
karena setiap kenaikan harga akan kembali kepada perusahaan dalam bentuk penerimaan.
Sebaliknya, cukai ad valorem memiliki efek pengganda (multiplier effect). Cukai ini
dikenakan pada nilai produk, sehingga apabila ada kenaikan harga, maka sebagian harga
tersebut (yang dikenai tarif ad valorem) akan kembali kepada pemerintah dalam bentuk
penerimaan cukai. Pada saat yang sama, setiap penurunan harga akan disubsidi secara efektif
oleh pemerintah. Sistem ini tidak menjamin bahwa pemerintah mendapat penerimaan yang
tinggi karena cukai ad valorem dipengaruhi oleh inflasi dan perang arga. Efek pengganda dari
cukai ad valorem ini juga menurunkan insentif bagi perusahaan untuk memperbaiki kualitas
produknya, dan hanya akan berlomba-lomba untuk menurunkan harga. Sebaliknya, cukai
spesifik

berpeluang

meningkatkan

konsumsi

rokok

merek

berkualitas

tinggi.

Penetapan pajak/ cukai umumnya dalam bentuk pajak penjualan ad valorem sebagaimana
juga diterapkan di Indonesia. Cukai ad valorem memberikan proteksi yang lebih besar kepada
produsen dalam negeri yang memproduksi rokok yang relatif murah (kualitas rendah).
Tetapi ketika terdapat perbedaan kualitas yang cukup besar antara produk dalam negeri dan
produk impor , cukai impor dapat diterapkan pada produk impor untuk menekan efek dari
dampak negatif cukai spesifik terhadap penurunan harga atau kualitas produksi domestik.
Ketika bea masuk diterapkan untuk proteksi industri, cukai spesifik dapat dikenakan pada
produk

domestik

dan

produk

impor

Rataan dunia pajak rokok sebesar 41,81 persen dari harga rokok dengan kisaran antara 2
persen sampai 84 persen dari harga rokok (Tabel 7). Pajak/cukai rokok terendah (2%)
dijumpai di Benin, S. Vincent dan Libia; sedangkan negara dengan pajak rokok tertinggi
(84%) dijumpai di negara Niue, kawasan Pasifik Barat. Secara umum kawasan dengan pajak
rokok tertinggi terjadi di Asia Tenggara dengan dipelopori oleh Thailand yang menerapkan
pajak rokok sebesar 79 persen dari harga rokok. Indonesia menerapkan pajak rokok sebesar
22,0 persen, relatif rendah dibandingkan dengan rata rata dunia. Di kawasan Asia tenggara

pajak rokok di Indonesia paling rendah, sebaliknya Thailand menerapkan pajak rokok yang
tinggi

untuk

melindungi

rakyatnya

(Rachmat,

2010).

Dari sisi penerimaan negara, benar bahwa penerimaan negara melalui cukai sangat tinggi dan
terealisasi dengan baik. Departemen keuangan sudah bekerja dengan baik sehingga dana
tersebut mendapatkan angka yang baik. Namun, tanpa disadari oleh pemerintah kebijakan
tersebut dapat menyulitkan Industri Hasil Tembakau untuk bertahan bahkan memancing
tidakan

kriminal

oleh

oknum

tak

bertanggungjawab.

Kerugian negara dari tindak pidana terkait pita cukai palsu yang ditangani Ditjen Bea dan
Cukai selama 2009 mencapai sekitar Rp. 1,5 triliun. Kerugian tersebut adalah dari
penggerebekan percetakan pita cukai palsu yang dilakukan di seluruh wilayah Indonesia.
Peredaran pita cukai palsu tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun dengan melihat tabel
di bawah ini. Apabila dilihat dari cara memproduksi pita cukai tersebut adalah dengan
menjalankan kegiatan pita cukai palsu secara tertutup dengan kedok kegiatan penjualan.

Disini Departemen Perindustrian dan Perdagangan lebih berperan dalam menjaga kestabilan
penerimaan negara dalam hal cukai hasil tembakau. Dapat dilihat pada Tabel 5 di atas bahwa

proses law enforcement begitu gencar dilakukan oleh Dirjend Bea dan Cukai bersinergi
dengan POLRI (Kepolisian Republik Indonesia) dalam melakukan pengawasan pita cukai
palsu
C.TARIF

tersebut.
TEMBAKAU

INDONESIA

Produk tembakau di Indonesia telah dikenai cukai sejak awal tahun 1900-an. Pada tahun
1932, tingkat cukai diberlakukan seragam untuk semua produk tembakau (20 persen). Sejak
tahun 1936, sistem cukai rokok progresif mulai diberlakukan berdasarkan jenis produk, yaitu
rokok kretek tangan (tembakau dan rokok kretek), klobot (rokok kretek yang dibungkus daun
jagung), klembak kemenyan (rokok kretek yang diberikan kemenyan), dan rokok putih
(tembakau tanpa campuran). Tarif cukai yang berbeda untuk rokok kretek tangan dan rokok
kretek mesin dikenakan setelah mekanisasi industri rokok. Pada tahun 1970-an, sistem cukai
tersebut dimodifikasi berdasarkan volume produksi dan jenis produk dimana tarif cukai
tertinggi dikenakan pada perusahaan dengan skala produksi terbesar. Struktur cukai tembakau
terus berlanjut berdasarkan jenis produk, teknik produksi (linting tangan atau mesin), dan
tingkat produksi perusahaan yang diukur melalui jumlah pemesanan pita cukai.

Penerapan cukai tembakau pada masa pasca reformasi atau dapat disebut pada saat sekarang
ini ditetapkan dengan Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Pasal yang mengatur tentang cukai tembakau
adalah

terdapat

pada

Pasal

5,

yang

menyebutkan

bahwa

Barang kena cukai berupa hasil tembakau dikenai cukai berdasarkan tarif paling tinggi :
a.

Untuk

yang

dibuat

di

Indonesia

275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang
digunakan

adalah

harga

jual

pabrik;

atau

57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah
Harga
b.

Jual
Untuk

Eceran.

yang

diimpor

275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang
digunakan

adalah

nilai

pabean

ditambah

bea

masuk;

atau

57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah
harga

jual

eceran.

Penetapan tarif cukai tembakau pada peraturan ini ditetapkan berdasarkan Harga Jual Eceran
(HJE).

KEPUTUSAN

MENTERI

KEUANGAN

REPUBLIK

INDONESIA

NOMOR

89/KMK.05/2000
HJE atau Harga Jual Eceran menunjukkan harga pabrik yang didalamnya memasukkan
komponen biaya produksi, keuntungan produsen dan distributor , dan cukai. Berdasarkan
formulir dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Departemen Keuangan, setiap perusahaan
melaporkan biaya seluruh bahan baku dan biaya produksi (tembakau, cengkeh, kertas,
transportasi, bungkus, kemasan, dll) untuk setiap jenis merek rokok yang diproduksi, agar
dapat diketahui harga dasarnya (Lampiran 3.1). Cukai ad valorem, pajak pertambahan nilai

(PPN - VAT), dan cukai spesifik dikenakan pada harga dasar . Untuk PPN dikenakan tarif
tetap (flat rate) sebesar 8,4 persen. Perusahaan kemudian menambahkan laba perusahaan
(untuk para distributor , agen, dan pengecer) dan biaya produksi untuk menghitung HJE
setiap jenis merek rokok. Berdasarkan hasil diskusi informal dalam penulisan laporan ini,
laba dan biaya transaksi dimasukan dalam perhitungan HJE sebelum cukai ditetapkan. HJE
dalam tabel berikut merupakan harga minimum karena nilainya merupakan batas bawah dari
rentang

harga

setiap

merek

rokok.

Pada tahun 2007, tarif cukai ad valorem untuk rokok kretek mesin dan rokok putih ditetapkan
antara 20 persen sampai 40 persen, tergantung pada skala produksi. Selain itu, cukai per
batang untuk pertama kalinya dikenakan, yang juga bervariasi menurut jenis produk, teknik
produksi (linting tangan atau mesin), dan skala produksi. Pada tahun 2008, cukai ad valorem
diturunkan dan cukai spesifik per batang menjadi lebih besar . Cukai per batang menjadi Rp
35 untuk semua jenis rokok dengan pengecualian untuk rokok kretek tangan yang diproduksi
pada skala kecil (Rp 30). Sejak tahun 2000, tarif cukai ad valorem untuk rokok kretek mesin
dan putih telah seragam; tetapi peraturan yang dikeluarkan pada tahun 2008 memberlakukan
kembali pembedaan cukai ad valorem untuk jenis rokok tersebut. Nilai minimum (batas
bawah) HJE dinaikkan sebesar 9 persen untuk perusahaan rokok yang berada dalam skala
produksi besar , dan bagi skala produksi yang terkecil diturunkan sebesar 15 persen.

Untuk rokok kretek tangan (SKT), terdapat beberapa perbedaan antara peraturan tahun 2007
dengan 2008. Pada jenis rokok ini (SKT), diberikan kategori baru yaitu Sigaret Kretek T
angan Filter (SKTF). Jumlah skala produksi untuk SKT dikurangi dari empat menjadi tiga.
Skala produksi IIIA dan IIIB digabung menjadi hanya golongan III (lihat T abel 3.1). SKT
tanpa filter , tarif ad valoremnya diturunkan. Untuk produsen SKT terkecil, HJE diturunkan
sebesar 38 persen dan tarif ad valorem dihilangkan sama sekali. T etapi, tarif ad valorem
untuk SKTF diseragamkan dengan tarif SKM. Perubahan yang dianggap paling penting
adalah pemberlakuan cukai per batang (cukai spesifik) yang seragam sebesar Rp 35 untuk
semua kategori produksi, dengan pengecualian pada tarif SKT yang lebih rendah (Rp 30)
bagi perusahaan dengan produksi kurang atau sama dengan 500 juta batang per tahun.

Sama seperti sebelumnya, produk tembakau lain (HTPL) yang diproduksi pada skala kecil
dikenakan tarif cukai rendah. Produk ini meliputi rokok klobot, klembak kemenyan, rokok

putih tangan (tembakau tanpa campuran), cerutu, dan tembakau iris. Selain itu, terdapat
penyesuaian dalam skala produksi untuk rokok jenis lain dan daun tembakau.
Untuk memenuhi target penerimaan cukai, Departemen Keuangan melakukan penyesuaian
terhadap tarif cukai ad valorem, cukai per batang, dan cut off point untuk skala produksi
perusahaan, serta jumlah perusahaan dengan skala produksi itu. Penghitungan HJE
didasarkan pada biaya produksi perusahaan tetapi bisa dimodifikasi secara terpisah dari skala
cukai oleh Departemen Keuangan, seperti yang terlihat pada T abel 3.1. Dalam satu tahun
komponen-komponen tersebut dapat disesuaikan satu kali atau lebih, atau tidak sama sekali
pada produk tembakau atau skala produksi tertentu. T etapi untuk produk rokok linting
tangan dan perusahaan berskala kecil secara konsisten terus menikmati tarif cukai yang lebih
rendah.

Perubahan tarif ad valorem untuk SKM, SPM, SKT , dan produk tembakau lainnya dapat

dilihat pada Tabel 3.2. Antara tahun 1996 sampai 1999, pemerintah melakukan penyesuaian
satu kali setiap tahunnya terhadap penggolongan cukai tembakau, dan penyesuaian lebih dari
satu kali dilakukan antara tahun 2000 dan 2001. Sementara untuk SKT dan produk rokok
lainnya, tarif ad valorem tidak mengalami perubahan selama tahun 2002 sampai 2007.
Namun, penyesuaian tetap dilakukan terhadap HJE. Pada tahun 2001, HJE yang seragam
dikenakan pada produk SKM dan SPM untuk seluruh kategori skala produksi, tetapi setelah
satu tahun, sistem ini dikembalikan ke sistem lama dengan HJE digolongkan menurut skala
produksi.
D.

QUOTA

EKSPOR

DAN

IMPOR

TEMBAKAU

INDONESIA

Dalam kegiatan perdagangan internasional, Indonesia melakukan ekspor dan impor tembakau
dan produk -produknya. Selama 2000 -2006 nilai ekspor dan nilai impor keduanya
berfluktuasi dengan trend yang meningkat masing-masing 6,82 persen dan 7,64 persen per
tahun ( tabel 6). Selama periode tersebut, secara konsisten Indonesia mengalami defisit
neraca perdagangan cukup besar dengak laju kenaikan rata -rata 8,68 persen per tahun.
Defisit neraca perdagangan tersebut mengindikasikan bahwa tembakau dan produk tembakau
bukan merupakan sumber devisa negara karena impor tembakau sebagai bahan baku industri
rokok dan impor produk tembakau (rokok) untuk konsumsi langsung bersifat menguras
devisa negara. Pada tahun 2006 defisit neraca perdagangan mencapai US$ 82,13 juta yang
merupakan

796,19

persen

dari

nilai

ekspor

(Prajogo,

2008.).

Konsumsi rokok nasional meningkat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya
jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat, serta berkembangnya industri rokok.
Peningkatan permintaan tembakau domestik sudah tidak dapat dipenuhi lagi dari dengan
peningkatan produksi domestik, sehingga sebagian kebutuhan tembakau kita harus dilakukan
impor dengan tendensi yang semakin meningkat, meskipun posisi Indonesia saat ini adalah
net

eksportir

(Saptana,

2001).

Berdasarkan Tabel 3 memberikan gambaran sebagai berikut : (1) rata-rata volume ekspor
pada periode (1990-2000) mencapai 59.613 ton, sedangkan rata-rata volume ekspor daun
tembakau kering mencapai 32.198 ton; (2) perkembangan volume ekspor tembakau
meningkat sebesar 1.49 %/tahun dan dalam bentuk daun kering tumbuh rata-rata 6.95
%/tahun ; (3) Sementara itu perkembangan dalam nilai ekspor dalam bentuk tembakau
sebesar 2.27 % per tahun dan dalam bentuk tembakau daun kering sebesar 5.78%/tahun; (4)
rata-rata volume impor tembakau periode (1990-2000) mencapai 38.226 ton per tahun dan
dalam bentuk tembakau daun kering sebesar 34.834 ton per tahun; (5) perkembangan impor
tembakau selama periode tersebut meningkat sebesar 3.68 %/tahun dan dalam bentuk daun
kering sebesar 2.68 %/tahun;(6) Sementara itu perkembangan impor dalam bentuk nilai untuk
tembakau 8.61 %/tahun dan tembakau daun kering 4.67 %/tahun; (7) Jika di bandingkan
dengan perkembangan luas areal, produksi, dan produktivitas tembakau dalam negeri maka
Indonesia akan mengalami masalah yang serius, karena disatu sisi menghadapi persaingan
global dan disisi lain adanya tuntutan dari lembaga kesehatan dan LSM untuk membatasi
produksi rokok; (8) Adanya perkembangan nilai ekspor yang lebih rendah dibandingkan nilai
importnya menunjukkan bahwa tembakau Indonesia mengalami penurunan kualitas dan
dayasaingnya

di

pasar

dunia

(Sudaryanto,

2009).

E.

KESIMPULAN

Peran tembakau dalam perekonomian nasional dapat dilihat dari beberapa indikator seperti
perannya dalam penerimaan negara (PDB), sumber lapangan kerja dan pendapatan
masyarakat. Industri tembakau secara luas mencakup sektor bahan baku primer daun
tembakau dan cengkeh dan industri pengolahan rokok. Rata-rata volume ekspor pada periode
(1990-2000) mencapai 59.613 ton, sedangkan rata-rata volume ekspor daun tembakau kering
mencapai 32.198 ton. Perkembangan volume ekspor tembakau meningkat sebesar 1.49
%/tahun dan dalam bentuk daun kering tumbuh rata-rata 6.95 %/tahun. Sementara itu
perkembangan dalam nilai ekspor dalam bentuk tembakau sebesar 2.27 % per tahun dan
dalam bentuk tembakau daun kering sebesar 5.78%/tahun. Rata-rata volume impor tembakau
periode (1990-2000) mencapai 38.226 ton per tahun dan dalam bentuk tembakau daun kering
sebesar 34.834 ton per tahun. Perkembangan impor tembakau selama periode tersebut
meningkat sebesar 3.68 %/tahun dan dalam bentuk daun kering sebesar 2.68 %/tahun.
Sementara itu perkembangan impor dalam bentuk nilai untuk tembakau 8.61 %/tahun dan
tembakau daun kering 4.67 %/tahun. Dengan adanya fenomena ekspor dan impor tembakau
pemerintah menetapkan kebijakan kebijakan berupa pajak, tarif dan kuota ekspor dan impor
untuk melindungi pasar domestik. Selain itu juga untuk menjaga serta menstabilkan harga di
pasaran

dalam

negri

dan

juga

mendapat

pemasukan

untuk

negara.

DAFTAR

PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2008. Statistik Indonesia, dalam angka. CV. Dua Marga Jaya. Jakarta.
Barber, S., Adioetomo, S.M., Ahsan A., dan Setyonaluri, D. 2008. Tobacco Economic in
Indonesia. Laporan Penelitian. Lembaga Demografi Universitas Indonesia. Jakarta: Fakultas
Ekonomi

Universitas

Indonesia.

Prajogo U. Hadi dan Supena Friyatno. 2008. PERANAN SEKTOR TEMBAKAU DAN
INDUSTRI ROKOK DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA: ANALISIS TABEL I -O
TAHUN 2000. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Rachmat, Muchjidin. 2010. Development of National Tobacco Economy: Developed Country
Policy and Lesson Learned for Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian.

Bogor

Santoso, K., Januar, J., Hartadi, R., Wardhono, A., Rondhi, M. 2009. Tembakau dan Industri
Rokok: Kontribusi Terhadap Perekonomian Nasional, Serapan Tenaga Kerja, Perilaku
Konsumsi, dan Perspektif Petani. Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas
Jember.

Jawa

Timur.

Saptana, Supena Friyanto dan TRri Bastuti P. 2001. ANALISIS DAYASAING KOMODITI
TEMBAKAU RAKYAT DI KLATEN JAWA TENGAH. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial

Ekonomi

Pertanian.

Bogor.

Sudaryanto, T., Prajogo U. Hadi, S. Friyatna. 2009. Analisis Prospek Ekonomi Tembakau di
Pasar Dunia dan Refleksinya di Indonesia Tahun 2010. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan
Kebijakan

Pertanian,

Departemen

Pertanian.

Suryanto, Basuki. 2008. Fungsi Cukai. Artikel Pusdiklat Bea dan Cukai. Kasubbid Program
Pusdiklat

Bea

dan

Cukai.

WHO. 2008. WHO Report on the Global Tobacco Epidemic. The Manpower Package. World
Health Organization.

Anda mungkin juga menyukai