Anda di halaman 1dari 8

KEPEMIMPINAN NASIONAL

YANG KUAT DAN TEGAS


H. Wiranto, SH.
Latihan Kader III
Badko HMI Sulselrabar

“Menggagas Format Kepemimpinan Nasional;


Antara Kepentingan Politik, Golongan dan
Kepentingan Bangsa”

Selasa, 15 Juli 2008

HMI bukan saja Himpunan Mahasiswa Islam,


tetapi HMI juga Harapan Masyarakat Indonesia
Jenderal Soedirman

Ada penegasan eksistensi HMI di mata Jenderal Soedirman,


selain sebagai organisasi kemahasiswaan pertama di Indonesia.
Beliau sangat berharap sampai kapanpun, HMI tetap menjadi
penyumbang utama kader-kader yang memiliki integritas bagi
republik. Apalagi di tengah persoalan bangsa yang semakin
kompleks pada hari ini.
Bukan lagi basa-basi bila kemudian negeri ini benar-benar
tengah menanti kiprah kader-kader HMI untuk mengentaskan segala
persoalan, tak peduli dari mana ia berasal. HMI tidak melahirkan
pemimpin kelompok, melainkan pemimpin bangsa. Bersama elemen
bangsa yang lain, HMI sangat bertanggung jawab pada persatuan
dan kesatuan bangsa. Jelas bahwa HMI adalah generasi muda Islam
yang nasionalis. Hingga kemudian, kepemimpinan nasional yang
berkualitas pun dapat terwujud.
Pada konteks kekinian, untuk membangun kepemimpinan
nasional tentu sangat diperlukan pemimpin-pemimpin yang memiliki
integritas. Pemimpin yang dimaksud adalah pemimpin yang dapat
mengerti perubahan di negeri ini dan punya sederet solusi untuk
menyelesaikan persoalan.

1
Sebelumnya, mari membedah persoalan kekinian Indonesia
pada konteks global dan domestik.

Globalisasi dan Kekalahan Indonesia


Kini, seabad setelah awal kebangkitan kita sebagai bangsa
untuk bebas merdeka, Indonesia masuk dalam era baru, yakni era
globalisasi. Era di mana revolusi teknologi atau triple t
(telekomunikasi, transportasi, dan turisme) telah mengarah ke
dunia baru yang borderless di mana batas formal antarnegara
menjadi tidak relevan lagi. Sebagai sebuah fenomena, globalisasi
pada satu sisi memang menawarkan peluang bagi bangsa-bangsa
yang telah siap untuk tampil sebagai pemenang. Tetapi sebaliknya,
bagi yang belum siap merupakan malapetaka dan bangsa tersebut
akan terpuruk menjadi pecundang.
Indonesia sebagai salah satu bagian dari masyarakat dunia
tidak mungkin dapat menghindar dari globalisasi. Namun
masalahnya, ternyata kita belum benar-benar siap menghadapi era
globalisasi. Dan apa akibatnya?

Kalau kita berani jujur, sejak tahun 1998 bangsa Indonesia


sedang tersudut dalam percaturan global. Secara perlahan tetapi
pasti, kehidupan kebangsaan kita mengarah kepada kondisi krisis
dan belum mampu bangkit kembali, sebagaimana negara-negara
lain telah melakukannya. Peran jati diri bangsa yang kita banggakan
di masa lalu, seakan telah kehilangan makna.

Pertama, bidang politik. Peran nation-state sulit mengungguli


kedigdayaan dominasi lembaga-lembaga internasional. Nation-state
hanya berperan sebagai subordinatnya saja. Globalisasi telah
mereduksi pentingnya lingkup politik dari nation-state yang
merupakan basis bagi pembangunan sosial politik.

Kedua, bidang ekonomi. Pusaran ekonomi global


meminggirkan nasionalisme. Nasionalisme seakan tidak lagi
relevan. Di masa lalu, modal terkait erat dengan rakyat. Dia

2
memiliki tanggung jawab sosial untuk menghidupi seluruh
bangsanya. Sekarang, privatisasi terus-menerus menyeret modal
menjauh dari dimensi sosial pada komunitas di mana sebenarnya ia
tetap berada. Demi keuntungan yang sebesar-besarnya, modal
berjumlah besar dengan cepat berlari (capital flight) ke komunitas
(negara) yang diinginkannya. Contoh, pada tahun 1997 dan
seterusnya memberikan gambaran nyata atas persoalan tersebut.

Ketiga, bidang budaya. Globalisasi sebagai proses


deteritorialisasi telah memorak-porandakan pemahaman budaya
masa lalu yang dibatasi oleh wilayah geografis tertentu. Saat ini,
tidak sedikit anak muda remaja kita yang lebih suka menyaksikan
pertunjukan musik rock ketimbang wayang. Cukup banyak orang
berpeci dan berkebaya menyantap Mc Donald atau pizza tanpa ada
kecanggungan lagi. Kebudayaan pun telah melepaskan diri dari
keterikatannya dengan rasa nasionalisme.

Kondisi Domestik

Menilik kondisi domestik, Indonesia sekarang tidak lagi


menjadi tuan di negeri sendiri, lantaran berjuta ketergantungan
hidup terhadap produk-produk asing. Kita tak dapat menghindar
dari kecenderungan untuk takluk di depan mereka. Wajar saja,
sebab negara berpenduduk terbesar nomor 4 di dunia ini
merupakan pasar konsumen yang sangat potensial. Makanya
mereka merasa perlu untuk menghabisi posisi Indonesia sebagai
negara produsen.

Di sisi lain, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam,


dan jumlahnya terbesar di dunia. Apabila pemeluk Islamnya
bersatu, akan sangat sulit dikendalikan oleh kekuatan adidaya,
maka mereka merasa perlu untuk menghabisi semangat persatuan.

Keberadaan Indonesia sebagai negara kepulauan yang


tersebar di antara dua samudra dan dua benua juga menjadikannya

3
faktor penentu dalam konteks geo-politik dan geo-ekonomi dunia,
maka mereka merasa perlu untuk menghabisi kemandiriannya.
Selain itu, sumber daya alam Indonesia sangatlah besar. Jadi,
Indonesia harus secepatnya mereka kuasai dan habisi sebelum
mampu memproteksinya. Keberadaan Freeport, Newmont, Exxon
Mobile, British Petroleum mengisyaratkan keberadaan mereka di
Indonesia sebagai pembenaran atas hipotesis tersebut.

Mengapa Bisa Demikian?


Persoalan domestik yang terus-menerus menghantui
perbaikan negeri ini tentu saja ada penyebabnya. Mari kita
merenung, betapa saat ini akhlak menjadi persoalan berat bangsa.
Orang tidak malu lagi saling serang. Orang tak merasa risih kalau
pun harus menjadi komprador. Orang juga tak membutuhkan
kebersamaan sebagai bangsa, hanya karena membahayakan
jabatannya.
Kita lihat dan merasakan demokrasi yang berkembang telah
menyimpang dari nilai-nilai hakikinya. Demokrasi hanya sekadar
menjadi pameran sebatas prosedural, belum menampilkan
keberadaannya secara substansial. Di mana-mana terjadi perilaku
yang mengedepankan euforia kebebasan tanpa mengindahkan
konstitusi. Praktik kekerasan menjadi rutinitas negeri yang dulu
sangat terkenal karena toleransinya ini.
Pada kenyataannya, praktik transformasi demokrasi hanya
sebatas formal. Padahal semestinya, kultur demokratis juga harus
dibangun melalui transformasi sikap dan perilaku demokratis.
Hingga kemudian, pemahaman demokrasi tidak hanya sampai pada
peraturan semata, tapi juga pada kultur politik yang benar-benar
demokratis; sebuah kedewasaan dalam berpolitik.
Ketimpangan ekonomi juga sangat kental mewarnai
perjalanan sejarah bangsa. Ia bahkan berkelindan dengan
kekuasaan dan menghasilkan oligarki dominan untuk memperalat
rakyat dan kekuasaan demi kepentingan individu dan kelompok.

4
Dan yang lebih parah, saking kompleksnya persoalan yang ada,
rasa cinta tanah air masyarakat kita pun mulai menipis. Nilai-nilai
kejuangan dan nasionalisme yang dulu sangat berperan melahirkan
Indonesia merdeka, seperti luntur dengan perlahan.
Sampai di sini, kita lantas akan bertanya, upaya apa yang
sebaiknya ditempuh untuk menyelesaikan semua persoalan di atas?

Filosofi Kebangkitan Nasional II


Pada dasarnya, menghadapi permasalahan bangsa yang
cukup kompleks ini harus dicarikan solusi, baik secara filosofis
maupun pada tataran praksis.
Secara filosofis, marilah menyimak pernyataan Dr. Wahidin
Sudirohusodo, seorang dokter pribumi dari Mlati Yogyakarta, di balik
pembentukan Boedi Oetomo di Jakarta, “Manawa bangsa kita bisa
idu bareng, Landa sing ana kene kleleb kabeh.” Artinya, kalau
bangsa kita meludah bersama maka Belanda yang ada di sini pasti
mati; semua tenggelam. Seperti kita ketahui, pernyataan ini
berhasil menjadi pembakar semangat nasionalisme ketika itu.
Dalam tinjauan filosofis, pernyataan Dr. Wahidin Sudirohusodo
ini sesungguhnya menyiratkan empat kesadaran diri sebagai
berikut.
Pertama, adanya Musuh Bersama. Ketika itu, musuh
bersama yang dimaksud tentu adalah penjajah Belanda. Artinya,
untuk merdeka bangsa Indonesia harus yakin pada adanya musuh
bersama. Musuh bersama akan membuat kita bersatu.
Kedua, adanya Semangat untuk Melawan. Setelah
memahami adanya musuh bersama, semangat untuk melawan
diperlukan untuk memulai perjuangan kemerdekaan nasional.
Kemerdekaan tidak akan terwujud tanpa adanya perlawanan
terhadap segala bentuk penjajahan.
Ketiga, adanya Kebersamaan. Pemahaman adanya musuh
bersama dan semangat untuk melawan melahirkan kebersamaan di
atas rasa senasib sepenanggungan untuk bebas dari penjajahan.

5
Kebersamaan ini sangat penting untuk mengawal misi kemerdekaan
nasional.
Keempat, adanya Kepemimpinan. Untuk itulah kemudian
kepemimpinan sangat diperlukan untuk mengantarkan tujuan pada
keberhasilan yang dimaksud. Tanpa kepemimpinan, semua ini akan
sia-sia.
Sementara itu, pada tataran praksis, solusi yang dapat
ditempuh adalah dengan; melakukan konsolidasi demokrasi, serta
mewujudkan kepemimpinan nasional yang kuat dan tegas.

Konsolidasi Demokrasi
Demokrasi memang pekerjaan berat yang tidak serta-merta
terwujud seperti yang diinginkan, segampang kita membalikkan
telapak tangan. Artinya, meski terdapat karut-marut persoalan
bangsa yang hingga kini masih berlarut-larut, niatan baik untuk
terus memperbaiki proses demokrasi di republik ini adalah pilihan
bijak yang harus terus kita dukung.
Secara teoretis, berbagai literatur mengenai konsolidasi
demokrasi, mengaitkannya dengan tiga variabel utama yang perlu
diperhatikan.
Variabel pertama, adalah perbaikan kondisi ekonomi. Kondisi
ekonomi dipercaya terkait erat dengan ‘tingkat keamanan
demokrasi’. Bahwa proses demokratisasi sebuah bangsa akan
menjumpai sejumlah kendala nyata, apabila masih dihadapkan pada
kompleksitas permasalahan di bidang ekonomi. Sebaliknya,
membaiknya kondisi ekonomi akan berpengaruh bagi kualitas
demokrasi.
Variabel kedua, terciptanya kultur politik yang demokratis.
Dengan kata lain, ada suatu pembelajaran dan pendewasaan politik
yang berjalan efektif di mana masyarakat dan semua elemen
demokrasi makin mampu untuk mengaktualisasikan demokrasi
substansial ke praktik-praktik demokrasi prosedural secara optimal.

6
Variabel ketiga adalah adanya penguatan konsensus politik di
kalangan elite. Kuat atau tingginya tingkat konsensus di satu sisi
dan rendahnya tingkat konflik politik di kalangan elite di sisi lain,
memiliki pengaruh positif bagi stabilitas politik yang demokratis.

Pada realitasnya, saat ini kita masih terkendala dalam


mencapai konsolidasi demokrasi, karena ketiga variabel utama yang
merupakan prasyarat demokrasi belum kita miliki. Itulah pekerjaan
rumah yang harus segera ditangani.

Kepemimpinan Nasional yang Kuat dan Tegas


Kepemimpinan yang kuat adalah kepemimpinan legitimatif;
yang tidak gampang dirongrong oleh persoalan temporal.
Kepemimpinan kuat akan membawa negeri ini pada
keberlangsungan hidup berbangsa yang tidak terus-menerus
dipenuhi oleh konflik domestik. Sementara itu, kepemimpinan yang
tegas akan bermuara pada kepastian hidup berbangsa dan tidak
terkatung-katung pada kebimbangan melangkah.
Kepemimpinan model ini harus didukung oleh prasyarat
eksternal dan kapasitas pribadi. Prasyarat eksternal yang
dimaksud adalah back-up politik yang kuat. Harus muncul satu
kekuatan politik besar yang mampu mengungguli kekuatan politik
lainnya. Dengan demikian, kekuatan tersebut, kecuali unggul dalam
suara, berarti kuat dalam bargaining serta menguasai pemerintahan
dalam jangka yang cukup lama.
Kiranya amat sulit membayangkan bahwa dalam waktu
singkat akan muncul suatu kekuatan politik mendapatkan kekuatan
single majority. Sebenarnya, kalau pun bukan mayoritas tunggal,
harus dapat terbangun mayoritas koalisi yang merupakan gabungan
kekuatan politik yang memiliki satu platform perjuangan. Mayoritas
inilah yang akan dapat melakukan perubahan yang kuat dalam
rangka menata ulang pembangunan hukum, demokrasi, dan
ekonomi nasional kita.

7
Sedangkan kapasitas pribadi yang dimaksud adalah
kepribadian STMJ.
Sadar bahwa pemimpin mengemban amanah dari Allah SWT
dan diperoleh karena dukungan rakyat.
Tahu apa yang menjadi harapan dan keinginan rakyat.
Mau dan mampu untuk mewujudkan harapan-harapan rakyat
tersebut.
Jamin bahwa jabatan apa pun sejatinya hanyalah mewakili
rakyat menuju kesejahteraan lahir dan batin.
Semoga kondisi republik yang kita cintai ini akan semakin
membaik; menjadi Indonesia modern yang bermartabat dan
sejahtera. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan pertolongan
kepada kita. Amin. [w]

Anda mungkin juga menyukai