Anda di halaman 1dari 8

KEPEMIMPINAN NASIONAL

YANG KUAT DAN TEGAS


H. Wiranto, SH.
Orasi Budaya Sarasehan Budaya Nasional
“Urgensitas Visi Kepemimpinan Nasional
bagi Indonesia Modern”
Forum Kajian Islam dan Politik
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Hotel Grand Quality Yogyakarta


Kamis, 17 Juli 2008

Kalau kita masih belum merasa ada pada masa kini melainkan bawah-sadar kita
masih pada masa lalu maka cita-cita kita tentang negara rasional tak akan
terwujud.
Kuntowijoyo

(Alm) Prof Kuntowijoyo, salah seorang pemikir terkemuka di


negeri ini, pernah menulis buku berjudul, Selamat Tinggal Mitos
Selamat Datang Realitas (2002). Sebuah buku penuh koreksi, terkait
dengan mentalitas anak bangsa, terutama kepemimpinan Indonesia
masa depan. Kontribusinya dalam memberikan kritik mendalam akan
sangat terasa ketika kita benar-benar mau jujur pada diri sendiri.
Ia menulis tentang sikap pemimpin yang tak boleh semena-
mena. Pemimpin yang tidak berkuasa amat mutlak seperti raja-raja di
zaman dulu. Ketika itu, melawan raja dianggap sama dengan melawan
kekuasaan Tuhan. Raja juga memiliki wewenang mengadili. Tentu akan
berbahaya bila wewenang hukum itu telah dipengaruhi oleh bisnis dan
politik. Selain itu, pemimpin juga harus memberikan keteladanan.
Pada konteks kekinian, untuk membangun kepemimpinan
nasional bagi Indonesia modern tentu sangat diperlukan pemimpin-
pemimpin yang memiliki integritas. Pemimpin yang dimaksud adalah
pemimpin yang dapat mengerti perubahan di negeri ini dan punya
sederet solusi untuk menyelesaikan persoalan. Sebelumnya, mari

1
membedah persoalan kekinian Indonesia pada konteks global dan
domestik.

Globalisasi dan Kekalahan Indonesia


Kini, seabad setelah awal kebangkitan kita sebagai bangsa untuk
bebas merdeka, Indonesia masuk dalam era baru, yakni era
globalisasi. Era di mana revolusi teknologi atau triple t (telekomunikasi,
transportasi, dan turisme) telah mengarah ke dunia baru yang
borderless di mana batas formal antarnegara menjadi tidak relevan
lagi. Sebagai sebuah fenomena, globalisasi pada satu sisi memang
menawarkan peluang bagi bangsa-bangsa yang telah siap untuk
tampil sebagai pemenang. Tetapi sebaliknya, bagi yang belum siap
merupakan malapetaka dan bangsa tersebut akan terpuruk menjadi
pecundang.
Indonesia sebagai salah satu bagian dari masyarakat dunia tidak
mungkin dapat menghindar dari globalisasi. Namun masalahnya,
ternyata kita belum benar-benar siap menghadapi era globalisasi. Dan
apa akibatnya?

Kalau kita berani jujur, sejak tahun 1998 bangsa Indonesia


sedang tersudut dalam percaturan global. Secara perlahan tetapi pasti,
kehidupan kebangsaan kita mengarah kepada kondisi krisis dan belum
mampu bangkit kembali, sebagaimana negara-negara lain telah
melakukannya. Peran jati diri bangsa yang kita banggakan di masa
lalu, seakan telah kehilangan makna.

Pertama, bidang budaya. Globalisasi sebagai proses


deteritorialisasi telah memorak-porandakan pemahaman budaya masa
lalu yang dibatasi oleh wilayah geografis tertentu. Saat ini, tidak
sedikit anak muda remaja kita yang lebih suka menyaksikan
pertunjukan musik rock ketimbang wayang. Cukup banyak orang
berpeci dan berkebaya menyantap Mc Donald atau pizza tanpa ada

2
kecanggungan lagi. Kebudayaan pun telah melepaskan diri dari
keterikatannya dengan rasa nasionalisme.

Kedua, bidang politik. Peran nation-state sulit mengungguli


kedigdayaan dominasi lembaga-lembaga internasional. Nation-state
hanya berperan sebagai subordinatnya saja. Globalisasi telah
mereduksi pentingnya lingkup politik dari nation-state yang
merupakan basis bagi pembangunan sosial politik.

Ketiga, bidang ekonomi. Pusaran ekonomi global meminggirkan


nasionalisme. Nasionalisme seakan tidak lagi relevan. Di masa lalu,
modal terkait erat dengan rakyat. Dia memiliki tanggung jawab sosial
untuk menghidupi seluruh bangsanya. Sekarang, privatisasi terus-
menerus menyeret modal menjauh dari dimensi sosial pada komunitas
di mana sebenarnya ia tetap berada. Demi keuntungan yang sebesar-
besarnya, modal berjumlah besar dengan cepat berlari (capital flight)
ke komunitas (negara) yang diinginkannya. Contoh, pada tahun 1997
dan seterusnya memberikan gambaran nyata atas persoalan tersebut.

Kondisi Domestik

Menilik kondisi domestik, Indonesia sekarang tidak lagi menjadi


tuan di negeri sendiri, lantaran berjuta ketergantungan hidup terhadap
produk-produk asing. Kita tak dapat menghindar dari kecenderungan
untuk takluk di depan mereka. Wajar saja, sebab negara berpenduduk
terbesar nomor 4 di dunia ini merupakan pasar konsumen yang sangat
potensial. Makanya mereka merasa perlu untuk menghabisi posisi
Indonesia sebagai negara produsen.

Di sisi lain, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, dan


jumlahnya terbesar di dunia. Apabila pemeluk Islamnya bersatu, akan
sangat sulit dikendalikan oleh kekuatan adidaya, maka mereka merasa
perlu untuk menghabisi semangat persatuan.

3
Keberadaan Indonesia sebagai negara kepulauan yang tersebar
di antara dua samudra dan dua benua juga menjadikannya faktor
penentu dalam konteks geo-politik dan geo-ekonomi dunia, maka
mereka merasa perlu untuk menghabisi kemandiriannya.
Selain itu, sumber daya alam Indonesia sangatlah besar. Jadi,
Indonesia harus secepatnya mereka kuasai dan habisi sebelum mampu
memproteksinya. Keberadaan Freeport, Newmont, Exxon Mobile,
British Petroleum mengisyaratkan keberadaan mereka di Indonesia
sebagai pembenaran atas hipotesis tersebut.

Mengapa Bisa Demikian?


Persoalan domestik yang terus-menerus menghantui perbaikan
negeri ini tentu saja ada penyebabnya. Mari kita merenung, betapa
saat ini akhlak menjadi persoalan berat bangsa. Orang tidak malu lagi
saling serang. Orang tak merasa risih kalau pun harus menjadi
komprador. Orang juga tak membutuhkan kebersamaan sebagai
bangsa, hanya karena membahayakan jabatannya.
Kita lihat dan merasakan demokrasi yang berkembang telah
menyimpang dari nilai-nilai hakikinya. Demokrasi hanya sekadar
menjadi pameran sebatas prosedural, belum menampilkan
keberadaannya secara substansial. Di mana-mana terjadi perilaku
yang mengedepankan euforia kebebasan tanpa mengindahkan
konstitusi. Praktik kekerasan menjadi rutinitas negeri yang dulu sangat
terkenal karena toleransinya ini.
Pada kenyataannya, praktik transformasi demokrasi hanya
sebatas formal. Padahal semestinya, kultur demokratis juga harus
dibangun melalui transformasi sikap dan perilaku demokratis. Hingga
kemudian, pemahaman demokrasi tidak hanya sampai pada peraturan
semata, tapi juga pada kultur politik yang benar-benar demokratis;
sebuah kedewasaan dalam berpolitik.

4
Ketimpangan ekonomi juga sangat kental mewarnai perjalanan
sejarah bangsa. Ia bahkan berkelindan dengan kekuasaan dan
menghasilkan oligarki dominan untuk memperalat rakyat dan
kekuasaan demi kepentingan individu dan kelompok. Dan yang lebih
parah, saking kompleksnya persoalan yang ada, rasa cinta tanah air
masyarakat kita pun mulai menipis. Nilai-nilai kejuangan dan
kebangkitan nasional yang dulu sangat berperan melahirkan Indonesia
merdeka, seperti luntur dengan perlahan.
Sampai di sini, kita lantas akan bertanya, upaya apa yang
sebaiknya ditempuh untuk menyelesaikan semua persoalan di atas?
Dengan apa negeri ini akan berubah menjadi Indonesia modern?
Filosofi Kebangkitan Nasional II
Pada dasarnya, menghadapi permasalahan bangsa yang cukup
kompleks ini harus dicarikan solusi, baik secara filosofis maupun pada
tataran praksis.
Secara filosofis, marilah menyimak pernyataan Dr. Wahidin
Sudirohusodo, seorang dokter pribumi dari Mlati Yogyakarta, di balik
pembentukan Boedi Oetomo di Jakarta, “Manawa bangsa kita bisa idu
bareng, Landa sing ana kene kleleb kabeh.” Artinya, kalau bangsa kita
meludah bersama maka Belanda yang ada di sini pasti mati; semua
tenggelam. Seperti kita ketahui, pernyataan ini berhasil menjadi
pembakar semangat nasionalisme ketika itu.
Dalam tinjauan filosofis, pernyataan Dr. Wahidin Sudirohusodo
ini sesungguhnya menyiratkan empat kesadaran diri sebagai berikut.
Pertama, adanya Musuh Bersama. Ketika itu, musuh bersama
yang dimaksud tentu adalah penjajah Belanda. Artinya, untuk merdeka
bangsa Indonesia harus yakin pada adanya musuh bersama. Musuh
bersama akan membuat kita bersatu.
Kedua, adanya Semangat untuk Melawan. Setelah memahami
adanya musuh bersama, semangat untuk melawan diperlukan untuk
memulai perjuangan kemerdekaan nasional. Kemerdekaan tidak akan

5
terwujud tanpa adanya perlawanan terhadap segala bentuk
penjajahan.
Ketiga, adanya Kebersamaan. Pemahaman adanya musuh
bersama dan semangat untuk melawan melahirkan kebersamaan di
atas rasa senasib sepenanggungan untuk bebas dari penjajahan.
Kebersamaan ini sangat penting untuk mengawal misi kemerdekaan
nasional.
Keempat, adanya Kepemimpinan. Untuk itulah kemudian
kepemimpinan sangat diperlukan untuk mengantarkan tujuan pada
keberhasilan yang dimaksud. Tanpa kepemimpinan, semua ini akan
sia-sia.
Sementara itu, pada tataran praksis, solusi yang dapat ditempuh
adalah dengan melakukan konsolidasi demokrasi dan mewujudkan
kepemimpinan nasional yang kuat dan tegas.

Konsolidasi Demokrasi
Demokrasi memang pekerjaan berat yang tidak serta-merta
terwujud seperti yang diinginkan, segampang kita membalikkan
telapak tangan. Artinya, meski terdapat karut-marut persoalan bangsa
yang hingga kini masih berlarut-larut, niatan baik untuk terus
memperbaiki proses demokrasi di republik ini adalah pilihan bijak yang
akan terus kita dukung.
Secara teoretis, berbagai literatur mengenai konsolidasi
demokrasi, mengaitkannya dengan tiga variabel utama yang perlu
diperhatikan. Variabel pertama adalah perbaikan kondisi ekonomi.
Kondisi ekonomi dipercaya terkait erat dengan ‘tingkat keamanan
demokrasi’. Bahwa proses demokratisasi sebuah bangsa akan
menjumpai sejumlah kendala nyata, apabila masih dihadapkan pada
kompleksitas permasalahan di bidang ekonomi. Sebaliknya,
membaiknya kondisi ekonomi akan berpengaruh bagi kualitas
demokrasi.

6
Variabel kedua, terciptanya kultur politik yang demokratis.
Dengan kata lain, ada suatu pembelajaran dan pendewasaan politik
yang berjalan efektif di mana masyarakat dan semua elemen
demokrasi makin mampu untuk mengaktualisasikan demokrasi
substansial ke praktik-praktik demokrasi prosedural secara optimal.
Variabel ketiga adalah adanya penguatan konsensus politik di
kalangan elite. Kuat atau tingginya tingkat konsensus di satu sisi dan
rendahnya tingkat konflik politik di kalangan elite di sisi lain memiliki
pengaruh positif bagi stabilitas politik yang demokratis.

Pada realitasnya, saat ini kita masih terkendala dalam mencapai


konsolidasi demokrasi, karena ketiga variabel utama yang merupakan
prasyarat demokrasi belum kita miliki. Itulah pekerjaan rumah yang
harus segera ditangani.

Kepemimpinan Nasional yang Kuat dan Tegas


Kepemimpinan yang kuat adalah kepemimpinan legitimatif; yang
tidak gampang dirongrong oleh persoalan temporal. Kepemimpinan
kuat akan membawa negeri ini pada keberlangsungan hidup
berbangsa yang tidak terus-menerus dipenuhi oleh konflik domestik.
Sementara itu, kepemimpinan yang tegas akan bermuara pada
kepastian hidup berbangsa dan tidak terkatung-katung pada
kebimbangan melangkah.
Kepemimpinan model ini harus didukung oleh prasyarat
eksternal dan kapasitas pribadi. Prasyarat eksternal yang dimaksud
adalah back-up politik yang kuat. Harus muncul satu kekuatan politik
besar yang mampu mengungguli kekuatan politik lainnya. Dengan
demikian, kekuatan tersebut, kecuali unggul dalam suara, berarti kuat
dalam bargaining serta menguasai pemerintahan dalam jangka yang
cukup lama.
Kiranya amat sulit membayangkan bahwa dalam waktu singkat
akan muncul suatu kekuatan politik mendapatkan kekuatan single

7
majority. Sebenarnya, kalau pun bukan mayoritas tunggal, harus dapat
terbangun mayoritas koalisi yang merupakan gabungan kekuatan
politik yang memiliki satu platform perjuangan. Mayoritas inilah yang
akan dapat melakukan perubahan yang kuat dalam rangka menata
ulang pembangunan hukum, demokrasi, dan ekonomi nasional kita.
Sedangkan kapasitas pribadi yang dimaksud adalah kepribadian
STMJ.
Sadar bahwa pemimpin mengemban amanah dari Allah SWT dan
diperoleh karena dukungan rakyat.
Tahu apa yang menjadi harapan dan keinginan rakyat.
Mau dan mampu untuk mewujudkan harapan-harapan rakyat
tersebut.
Jamin bahwa jabatan apa pun sejatinya hanyalah mewakili
rakyat menuju kesejahteraan lahir dan batin.
Semoga kondisi republik yang kita cintai ini akan semakin
membaik; menjadi Indonesia modern yang bermartabat dan sejahtera.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan pertolongan kepada kita.
Amin. [w]

Anda mungkin juga menyukai